Bila Agama adalah Ranah Privat Personal, mengapa Menjadi Mata Pelajaran / Kuliah Wajib di Sekolah / Kampus?

ARTIKEL HUKUM

Agama Anu, Anu yang Mana? Sekte yang Mana? Aliran yang Mana? Yang Konservatif, Moderat, ataukah yang Liberal?

Seagama, Namun Beragam (Bhineka, Kemajemukan) Keyakinan (pada Aliran dalam Satu Agama yang Sama), Dipaksa Duduk Bersama-Sama pada Satu Kelas Pelajaran Agama, Sama Artinya Melanggar Konstitusi yang Menyatakan Kebebasan Memilih dan Memeluk Agama (serta Sekte) Sesuai Keyakinan Masing-Masing

Sebagian kalangan pendidik dan akademisi di Indonesia yang tampaknya nyaman berada dalam kondisi mapan dalam “menjual agama” (mencari nafkah dari agama), tampaknya cukup “genit” untuk bersikap “sok moralis” dengan secara reaktif, berlebihan, serta tendensius menentang wacana penghapusan mata pelajaran agama di sekolah, tanpa menghiraukan argumentasi logis sebagian kecil kalangan pemerhati pendidikan yang pro terhadap wacana demikian, seolah hendak menjadi “pahlawan moral” agar dapat mendulang simpatisan dan pencitraan sebagai “agamais” di dalam bangsa “agamais”.

Sekalipun faktanya, tidak seluruh kalangan pendidik menyatakan penolakan demikian, dimana juga Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 tidak pernah menyatakan bahwa mata pelajaran agama wajib menjadi kurikulum di sekolah formal. Sila “Ketuhanan” dalam Pancasila sebagai satu dari lima ideologi negara, tidak dapat kita maknai secara sempit sebagai pendidikan keagamaan pada kurikulum wajib sekolah, dengan menafikan wadah diluar ruang-ruang sekolah. Janganlah, kita bersikap seolah-olah pelajaran agama hanya dapat kita jumpai pada bangku pendidikan formal, itu pikiran yang sempit serta kerdil nan picik.

Bila sekte, aliran, ataupun tipologi mayoritas agama tertentu yang dijadikan materi pelajaran agama pada bangku sekolah formal, sekalipun para peserta didik berangkat dari latar-belakang agama yang sama, kemungkinannya tetap terbuka peluang terdapat satu atau lebih peserta didik yang memiliki haluan, sekte, aliran, maupun tipologi spesifik keyakinan keagamaan yang lebih beragam dan lebih luas spektrumnya ketimbang pengetahuan dan pemahaman keagamaan sang guru pengajar, yang akibatnya ialah tidak akan terjadi praktik pembelajaran secara demokrasi, yang ada ialah indoktrinisasi, pendiktean dan penghafalan, menjelma burung beo yang mem-beo, mengingat dogma keagamaan tidak dapat (baca : tidak boleh) dibantah, didebat, terlebih diragukan dan dipertanyakan—yang bila itu dilakukan oleh sang peserta didik, maka sama artinya menantang sang guru untuk memberikan nilai “merah” pada raport sang anak serta seolah-olah mendebat Tuhan, sang pemberi wahyu.

Pengecualian mungkin hanya terdapat pada Buddhisme, dimana Sang Buddha telah menyatakan, “Ehipassiko”, yang bermakna : datang dan buktikan sendiri (untuk lebih jelasnya, lihat “kalama sutta” dalam sutta pitaka, Tripitaka). Karenanya, ajaran Sang Buddha, guru agung dari para dewa dan para manusia, justru menantang para siswa untuk membuktikannya dengan mata serta kepala sendiri, bukan sekadar mempercayainya secara “membuta”. Tetap saja, para guru pengajar agama Buddha sekalipun, bukanlah seorang Buddha, namun masih seorang manusia biasa yang sedikit banyak masih diliputi dengan kekotoran batin pada berbagai pandangannya.

Kebijaksanaan, tidak mengenal umur, bisa jadi sang guru lebih “kekanakan” dari segi pengalaman spirituil ketimbang peserta didiknya. Pengalaman pribadi penulis ketika mengikuti mata pelajaran agama Buddha di salah satu kampus swasta di Indonesia, sekalipun mata kuliah tersebut adalah pilihan sesuai “agama” masing-masing (namun tidak terdapat opsi sekte ataupun aliran sesuai aliran masing-masing) mahasiswa, faktanya ialah kami semua yang “se-agama” dikumpulkan menjadi satu dalam satu ruangan, mendengarkan ceramah satu orang pengajar yang mengaku beragama Buddha (entah agama Buddha “yang mana”), dimana kembali lagi, para peserta didik hanya boleh menurut, mencatat secara satu arah (linear alih-alih diskusi), mengingat, serta menjawab dalam ujian sebagaimana panafsiran sang guru terhadap ajaran Sang Buddha (menjadi mesin “tape recorder” barulah disebut “lulus”)—yang artinya tetap saja terdapat pemaksaan persepsi serta perspektif mengenai Buddhisme secara linear satu arah, baik tersirat maupun terselubung, tiada demokrasi dalam gaya pengajaran sang guru agama tersebut sekalipun telah diberikan teladan langsung Sang Buddha lewat kehidupan-Nya yang ketika memberikan khotbah selalu secara dialog dua arah—dimana bahkan Sang Buddha yang lebih kerap menanyakan pendapat para audiens, sebagaimana dinyatakan oleh Sang Buddha, “Untuk menjawab pertanyaan penanya, ada tiga cara. Yakni, pertama dengan menjawabnya berupa afirmasi maupun negasi. Kedua, dengan cara balik bertanya. Ketiga, dengan cara bersikap diam.” (Karenanya pula, “memilih untuk DIAM (remain silent)” adalah opsi bagi kita untuk menjawab dan menjadi jawaban dari kita itu sendiri, dimana pihak-pihak yang bertanya secara memaksakan kehendaknya agar kita memuaskan diri sang penanya, adalah bentuk-bentuk pelanggaran terhadap “hak untuk diam”)

Bila kita sepakat bahwa agama mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan keluhuran karakter yang bersifat universal, maka mengapa kita menutup diri dari kemungkinan alternatifnya, kita hapuskan kurikulum wajib bernama mata pelajaran agama, dan menggantikannya dengan mata pelajaran etika ataupun budi pekerti dan moralitas yang berlaku secara universal, yang pastilah dapat lebih bermanfaat serta lebih mendatangkan faedah serta kebaikan bagi kerukunan antar umat beragama dalam semangat kebhinekaan serta kemajemukan, sebagai perekat atau kohesi sosial? Ataukah, para pemuka agama takut merasa tersaingi dan tergantikan profesinya oleh para pengajar etika dan budi pekerti? Itulah, ketika motif ekonomi dipolitisir sedemikian rupa, sekalipun itu artinya harus mengorbankan kepentingan umat beragama itu sendiri, yakni ego sektoral para pengajar agama maupun pemuka agama pada forum-forum pendidikan formal (namun tidak akan pernah mendapat penentangan pemuka agama pada forum-forum informal manapun).

Faktanya, dunia ini tidak akan kiamat tanpa pelajaran agama pada bangku pendidikan formal, terlihat dari masifnya tempat ibadah serta kegiatan-kegiatan keagamaan, masifnya ayat-ayat keagamaan dikumandangkan “dari subuh hingga ketemu subuh” secara membahana luas bersahut-sahutan, organisasi-organisasi keagamaan yang tumbuh subur bahkan menyaingi cendawan dimusim penghujan lengkap dengan panji-panji dan bendera-bendera keagamaan, sinetron-sinetron bernuansa agamais sambung-menyambung setiap harinya, lengkap dengan “halal lifestyle” dalam segala aspek kehidupan, perbankan dengan embel-embel nama keagamaan tertentu, pada pemuka agama yang deras mengalir di tengah-tengah masyarakat, apakah belum cukup?

Berdasarkan data survei yang pernah dirilis pemerintah Indonesia belum lama ini, paham-paham radikal menyusup ke dalam sekolah dan bangku perkuliahan, besar kemungkinan lewat medium mata pelajaran agama itu sendiri, karena beberapa diantara simpatisannya justru berangkat dari latar-belakang profesi guru dan dosen. Para orangtua siswa, tidak dapat memilih ataupun menentukan bagi putera-puteri mereka, kepada guru agama manakah yang hendak diserahkan pendidikan agama putera-puteri mereka, bahkan kenal pun tidak, terlebih perihal aliran sang guru agama meski satu agama dengan sang murid dan orangtuanya.

Kembali kepada kisah lama sebelum ini ketika penulis masih sebagai seorang mahasiswa pada salah satu kampus swasta di ibukota, suka tidak suka, mau tidak mau, penulis harus tetap duduk dan mengikuti perkuliahan mata kuliah agama selama satu semester lamanya, sekalipun setuju maupun tidak setuju terhadap sang guru pengajar agama—sekalipun fakta empiriknya ialah, Kartu Tanda Penduduk kami, antara sang guru dan kami selaku mahasiswa, adalah sama. Tiada pilihan bebas untuk menjalankan kegiatan agama dan keyakinan berdasarkan kehendak dan kebebasan masing-masing peserta didik untuk beribadah dan mempelajari doktrin-doktrin keagamaan dalam aliran spesifik tertentu, bahkan tiada ruang untuk memperdebatkan dan mendebat sang guru (tetap saja, mindset para guru di Indonesia masih “anti kritik”, apapun sebutan untuk agama mereka).

Bila saja pendidikan keagamaan diberikan ruang kebebasan bagi masing-masing peserta didik, maka kita selaku siswa-siswi dapat memilih secara swadaya dan secara pribadi berdasarkan minat intenal murni dalam diri, kepada siapa kita akan berguru perihal agama, dan kepada siapa kita akan memilih untuk mendekat dan menjauh (“option in” dan “option out”) bila ternyata tidak terdapat kecocokan persepsi perihal agama yang sama, yang mana hanya mungkin bila wadahnya ialah pendidikan agama secara non-formil.

Kita dapat melihat sendiri, bahwa agama dan keyakinan merupakan ranah personal, privat yang paling privasi derajat internalisasi dirinya. Segala bentuk “top to down”, merupakan pengingkaran terhadap jati-diri masing-masing peserta didik, dimana agama justru menyerupai sebuah “hukuman” atau “siksaan”, tanpa dilandasi kebebasan maupun rasa suka, terlebih kecintaan. Rasa cinta, selalu bertumbuh diatas kesukarelaan dan kebebasan, bukan kungkungan maupun ancaman yang mengantas-namakan apapun.

Karenanya, ketika pihak luar, bernama seorang guru agama, menekankan dan men-dogma-kan tentang mana yang “benar” dan mana yang “salah”, berdasarkan perspektif diri sang guru agama tentunya, maka itu sama artinya tiada ruang “kebebasan beragama” sesuai keyakinan masing-masing—dalam penafsiran itulah, Konstitusi Republik Indonesia justru tidak membenarkan praktik yang selama puluhan tahun ini berjalan pada bangku-bangku pendidikan formal di Indonesia, dan butuh reformasi alias perubahan dalam lini kegiatan belajar-mengajar baik di sekolah maupun di perguruan tinggi.

Baiklah, jika ada diantara Anda maupun para “pebisnis” pendidikan yang bisa jadi merasa terancam bila profesi mengajarnya akan “tergusur” bila mata pelajaran agama dihapuskan dari sekolah maupun dari perguruan tinggi. Kita anggap dan asumsikan bahwa pelajaran agama sungguh-sungguh diperlukan dan berkontribusi nyata bagi masyarakat, terutama bagi para peserta didik ketika mereka tumbuh dewasa dan terjun ke tengah-tengah publik. Bila para guru agama kita semulia itu peran dan tugasnya, mengapa kondisi sosial dan moralitas bangsa kita di Indonesia, justru dewasa ini kian tergolong memprihatinkan, telah sampai pada pangkal selokan penuh lumpur hitam?

Faktanya, kini mari kita lihat apa hasil pendidikan agama yang selama puluhan tahun ini berjalan di Indonesia, korupsi merebak dimana-mana mulai dari pejabat hingga masyarakat jelata sekelas “office boy”, pemuka agama justru berperilaku korup, pria maupun wanita berperilaku amoral sekalipun berbusana dan berbicara dengan istilah-istilah “agamais” (bukan tuduhan, namun fakta berdasarkan pengalaman pribadi penulis, dan masif sifatnya, bahkan profesi penulis pernah “diperkosa” oleh seorang berbusana agamais dari ujung kepala sampai ujung kaki, menuntut dilayani tanpa bersedia memberikan kompensasi jasa seperak pun sekalipun hak atas nafkah adalah hak asasi manusia, serta masih pula menghardik penulis sebagai “mata duitan”, tanpa mau menyadari betapa “serakah” dirinya yang memperkosa profesi orang lain yang sedang mencari nafkah secara legal, lebih hina daripada pengemis dimana seorang pengemis sekalipun tidak mencari makan dengan cara merampok nasi dari piring milik orang lain, seolah-olah adalah lazim bila seorang pengemis mempunyai masalah hukum sengketa tanah?), balas budi baik dengan “perkosaan” (tidak terhitung lagi pengorbanan yang telah penulis kerahkan dari segi waktu, biaya, tenaga, hingga kesehatan untuk membangun website ini, namun alih-alih berterima-kasih, ribuan pihak telah membalas air susu dengan sengaja melanggar, menyalah-gunakan nomor kontak kerja penulis, serta “memperkosa” profesi penulis tanpa rasa malu terlebih rasa bersalah, mengakibatkan kini penulis terpaksa menyembunyikan nomor kontak penulis pada website profesi pribadi milik penulis ini), kejahatan merajalela, penjara selalu over-kapasitas hingga terpaksa pemerintah menerapkan kebijakan “obral remisi”, kepolisian lebih kerap mengabaikan dan menelantarkan aduan korban pelapor akibat “over load” terlampau banyaknya aksi kejahatan dan laporan yang harus mereka tangani, berbagai kejahatan jalanan yang tidak tersentuh hukum, mafia-mafia berkeliaran ditengah “siang bolong” dan dimuka umum mencari mangsa tanpa penindakan apapun, bahkan mencuri dan merampok tanpa merasa malu ataupun takut persis di depan mata sang korban (pernah penulis alami secara langsung, dimana pelakunya tetap asyik sibuk mencuri buah-buahan dari tengah jalan di siang hari sekalipun mereka ditegur oleh penulis selaku pemilik rumah dan sekalipun para pelakunya ialah tukang yang dipekerjakan tetangga dengan mendapatkan upah namun seolah-olah tidak dapat membeli buah di pasar), aksi “maling teriak maling”, aksi-aksi intoleransi dan radikalisme yang selalu berulang bagai berita basi, kejujuran kian langka, dengan serakah merampok nasi dari piring milik orang-orang yang lebih miskin, tanggung jawab hanya menjadi “polesan bibir” tanpa realisasi, berhasil merugikan dan menyakiti korban dianggap sebagai kemujuran oleh pelakunya, janji dan ingkar janji diumbar seolah menjadi menu sehari-hari, tidak malu dan tidak takut berbuat jahat, dengan senang hati berbuat jahat, mengulangi perbuatan buruk serupa seolah sudah menjadi profesinya, bangga mengoleksi dan menimbun diri dengan berbagai perbuatan yang merugikan pihak lain, serta berbagai kebusukan moralitas lainnya yang tidak akan habis penulis uraikan satu per satu dalam kesempatan singkat ini, dilakukan baik oleh orang yang tergolong berusia tua maupun yang masih muda, baik yang pria maupun yang wanita, apapun warna kulitnya, tanpa terkecuali, bahkan tidak sedikit pemuka agama Buddha menjadi pelaku keburukan moral yang tidak dapat dibenarkan dan terang-terangan melanggar ajaran Sang Buddha itu sendiri, mencoreng nama agama sendiri.

Guru bukanlah dewa, dan murid bukanlah kerbau, demikian Soe Hok Gie pernah menuliskan dalam catatan hariannya yang ia wariskan kepada sejarah perjuangan anak bangsa. Guru agama kita, ialah pendiri agama (Sang Buddha bila Buddhisme) bukan seorang guru di depan kelas sebagai penentu kebenaran. Sementara itu yang menjadi sumbernya, ialah Kitab Suci (Tripitaka dalam Buddhisme) bukan aliran tertentu ataupun hasil akulturasi budaya tertentu terlebih teori tokoh agama tertentu.

Karenanya, bila kita memang memahami betul bahwa kita hanya tepat berguru pada Sang Buddha dan Tripitaka, bagi mereka yang menganut Buddhisme, maka mengapa juga yang dihadirkan ke depan kelas sebagai penentu kebenaran, penentu lulus atau tidaknya, penentu nilai dalam raport sebagai tinggi atau mendapatkan nilai “merah”, yang kita yakini dan dengarkan justru adalah seorang umat lainnya yang diberi jubah “guru agama”? Itu adalah tanda-tanya besar yang belum dan tidak akan pernah sanggup dijawab oleh para penyusun kebijakan kita dibidang pendidikan di Indonesia.

Sang Buddha bersabda, Dhamma telah sempurna dibabarkan, karenanya sejatinya kita tidak pernah membutuhkan sosok-sosok lain diluar sang guru agung, untuk menjadi “Sang Buddha versi kedua”, cukup bagi kita untuk memilih tokoh-tokoh atau para mentor agama Buddha yang mana pendekatan dalam pengajarannya secara pribadi kita rasakan lebih mendekati ajaran Sang Buddha dengan memposisikan dirinya sebagai sesama dan sebagai sebatas umat pengikut, sebatas sebagai menawarkan untuk menjadi pembimbing dan pemandu atas “jalan” (versi sesuai penafsiran pribadi sang guru, yang artinya “keyakinan atas sebuah versi atau aliran” itu sendiri) jalan yang sebelumnya telah ditunjukkan oleh Sang Buddha, “jalan” mana telah dibuka oleh Sang Buddha untuk dapat kita turut tapaki berjalan di atasnya—yang artinya, seorang guru agama tidak memiliki hak untuk menyatakan “benar” atau ataupun “salah”, “lulus” ataupun “gagal”, terlebih merampas kemerdekaan peserta didik untuk memilih dan memeluk “versi” yang sebaliknya.

Mulai pula dapat kita lihat, “keyakinan derajat pertama” bernama nama suatu agama tertentu, yang bisa jadi sama dengan kita. Sementara itu yang menjadi “keyakinan derajat kedua”-nya, ialah penafsiran keagamaan tertentu, tidak dapat dimonopolisir sifatnya oleh seorang guru agama tertentu mana pun, yang karenanya bisa jadi kita berbeda sekalipun “satu agama”, yang karenanya pula sifat dari mata pelajaran / kuliah keagamaan pada sekolah formal ialah bersifat “memasung kebebasan” untuk memilih “keyakinan derajat kedua”, mengakibatkan tercemarnya semangat kebhinekaan itu sendiri, yang mana kemudian timbul ialah sentimen negatif bukan hanya terhadap antar umat beragama, namun juga segregasi yang sentimentil antar seagama.

Seorang guru agama, karenanya, hanya sebatas berperan sebagai seorang pembaca ceramah dalam sebuah seminar, tidak lebih dari itu (artinya tanpa kewajiban peserta dan hadirin untuk menghadiri kelas, terlebih melakukan penilaian selayaknya ujian dan nilai raport bagi masing-masing penonton), dimana juga acara-acara semacam seminar maupun mimbar keagamaan demikian masif di tengah-tengah masyarakat (bahkan dikumandangkan lewat pengeras suara yang membahana) sehingga karenanya pula pendidikan keagamaan secara nonformal telah lebih dari cukup memadai, sepanjang ada kemauan yang berangkat dari panggilan hati masing-masing individu bersangkutan maka pastilah akan ditekuni lewat kesadaran pribadi tanpa paksaan pihak mana pun.

Perlu kita ingat dan pahami betul, tanpa adanya dorongan kemauan internal dari diri sang individu, metode semacam “pemaksaan” lewat kurikulum yang bersifat di-wajib-kan pihak sekolah sekalipun, tiada akan ada faedahnya, yang ada ialah mulai timbulnya bibit-bibit rasa “kebencian”, “kemuakan”, “penolakan”, “antipati”, “apatis”, serta rasa “bermusuhan”, sebagaimana pengalaman penulis selama beberapa tahun bersekolah pada sebuah sekolah swasta keagamaan tertentu dimana para peserta didik dipaksa secara politis untuk mengikuti berbagai ritual keagamaan yang menjadi kiblat sekolah bersangkutan, dimana perilaku pihak otoritas sekolah mulai dari kepala sekolah, guru sekolah, maupun murid-murid sekolahnya justru mencerminkan nilai-nilai yang jauh menyimpang dari belas kasih dan kejujuran yang paling universal, menimbulkan dan melahirkan kesimpulan pada benak penulis bahwa seperti itulah akhir jadinya bila memeluk agama yang selama ini menjadi kiblat sekolah tersebut. Penulis menyebutnya sebagai, maksud hati hendak “...isasi”, yang terjadi kemudian ialah kontraproduktif, pemaksaan ditambah realita betapa tidak humanisnya pihak otoritas sekolah maupun karakter para muridnya, menjadikan praktik demikian “jauh panggang dari api”.

Kini, mari kita lihat apa yang sebetulnya dibangga-banggakan oleh mereka yang tampil bak “pembela agama”, mengklaim dirinya sebagai “agamais”, dengan menolak keras wacana penghapusan mata pelajaran agama di sekolah-sekolah formal. Sempat tersiar berita di media, buku ajar pada suatu Sekolah Dasar negeri di Indonesia (meski kini pemerintah pusat buru-buru melarang dan menarik kembali peredaran buku ajar dimaksud), meniru konsep di Arab Saudi yang berpaham Wahabi (paham demikian menjadi kurikulum formal di negeri tersebut), untuk memusuhi dan membenci disertai perintah untuk tidak segan membunuh kaum yang mereka sebut sebagai “kafir”, bahkan menjadi materi ajar bagi anak-anak Sekolah Dasar di Arab Saudi—semata karena berbeda agama, bahkan yang berbeda sekte atau aliran meski masih dalam satu rumpun agama yang sama, akan diberi stigma sebagai “lebih kafir daripada kafir”. Tidaklah mengherankan bila negara-negara yang terhimpun sebagai “Timur Tengah”, kemajemukan beragama direpresi sedemikian rupa, dinihilkan kemajemukan terlebih wajah kebhinekaan, tanpa menyisakan ruang bagi kebebasan berkeyakinan sejengkal tanah pun, sementara disaat bersamaan kaum mereka menuntut diberikan keistimewaan berupa toleransi beribadah dan berkeyakinan serupa di negara-negara lain dimana mereka masih merupakan kaum minoritas, suatu politik “standar ganda”, agama yang dipolitisir alias mempolitisirkan agama.

Budi pekerti dan pelajaran etika, dapat sangat bertolak-belakang terhadap ajaran-ajaran dogma keagamaan tertentu—karenanya, kedua bidang disiplin pendidikan tersebut tidak dapat eksis dalam satu atap sekolah yang sama, atau bisa jadi diajarkan oleh dua orang guru terpisah dalam waktu yang bersamaan namun mengakibatkan kebingunan dan ambigutas hebat di dalam kepala para peserta didik yang masih dibawah umur maupun yang telah dewasa, sebuah konflik nilai-nilai perihal kebenaran dan kemanusiaan, “dogma Vs nurani” yang berkecamuk dahsyat bagai medang tempur. Itulah juga sebabnya mengapa, sekaligus turut menjelaskan fenomena klise perihal dihapusnya pelajaran budi pekerti yang sempat menjadi kurikulum wajib beberapa dekade lampau di Indonesia, dan tidak pernah lagi terdengar gaungnya hingga detik sekarang kini.

Apa yang akan timbul pada benak para pembaca, ketika diajarkan ajaran-ajaran dogmatis semacam doktrin-doktrin keagamaan salah satu keyakinan keagamaan, yang sifatnya tidak dapat dan tidak boleh dibantah, sebaliknya hanya wajib dilaksanakan, mengingat sifatnya berasal dari “Tuhan”, berikut (serta bayangkanlah apa jadinya generasi penerus kita dimasa mendatang bila mendapat pendidikan demikian, sekaligus menjawab mengapa pelajaran budi-pekerti dan etika tidak lagi menjadi kurikulum pada jenjang pendidikan formal di Indonesia, disamping juga menjelaskan mengapa masyarakat kita di Indonesia demikian tidak menjadikan tabu praktik-praktik seperti kekerasan fisik maupun anarkhi berdarah untuk menyelesaikan setiap masalah maupun untuk memaksakan kehendaknya kepada orang lain, hingga praktik-praktik “tidak takut dosa”):

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”

Bila dogmatisasi agama semacam demikian yang diajarkan pada jutaan siswa-siswi generasi penerus kita, entah akan seperti apa wajah para generasi penerus kita ketika telah beranjak dewasa dan memiliki kekuatan, pengaruh, ataupun kekuasaan. Berikan mereka “pemanis” berupa ayat-ayat yang manis pada mulanya hingga mereka tertarik menekuni lebih lanjut untuk menjelma fanatisme yang cukup radikal, maka cepat atau lambat ayat-ayat tersebut pada contoh di atas akan mereka jumpai serta jalankan pula karena telah “kepalang basah”, sekalipun pada bangku sekolah formal disembunyikan dari mereka—karena memang terdapat sumber otentiknya yang sahih pada Kitab Suci agama bersangkutan, dan mengapa juga harus ditutup-tutupi? Bukankah yang ditutupi adalah hal yang memalukan, menyerupai “aurat”? Bagaimana mungkin wahyu dari Tuhan dianggap memalukan dan ditutup-tutupi dari umat manusia, sementara itu dapat kita temukan dan baca sendiri pada Kitab Suci bersangkutan?

Budi pekerti dan etika bangsa beradab tidak mentolerir kejahatan apapun semacam mencuri maupun berzinah, namun mengapa agama justru mempromosikan maksiat seolah tanpa konsekuensi dan bahaya apapun dibaliknya? Bukankah misi misionaris agama tujuannya ialah untuk memusnahkan maksiat, lantas mengapa terdapat iming-iming “penghapusan dosa”? Bila budi pekerti dan pelajaran etika mendahulukan kepentingan korban, maka mengapa seolah-olah agama menggambarkan sosok Tuhan yang lebih pro terhadap pelaku kejahatan? Bila baik budi pekerti maupun etika menjunjung toleransi serta praktik “ahimsa” (tanpa kekerasan), maka mengapa seolah-olah Tuhan justru memberikan perintah yang merusak standar moralitas umat manusia?

Bukankah itu adalah pujian dan sanjungan yang justru menghina serta menista Tuhan? Menyerupai istilah “cobaan dari Tuhan”, adalah penghinaan terbesar terhadap keagunan dan ke-esa-an Tuhan, seolah hendak berkata bahwa betapa “Maha Bodoh”-nya Tuhan karena umur umat manusia telah sama tuanya dengan umur Planet Bumi tempat berpijak dan lahirnya umat manusia sejak pertama kalinya tercipta, namun masih juga Tuhan mencobai manusia seolah-olah tidak mengenal dan tidak memahami ciptaan-Nya sendiri—serta tidak belajar dari serangkaian kegagalan proses penciptaan dan percobaan, dimana sang “kelinci percobaan” yang gagal kemudian dicampakkan ke dalam tong sampah raksasa bernama “neraka”. Kecuali, ada diantara kita yang menganggap Tuhan adalah sosok yang memang dapat dibodohi oleh berbagai puja-puji dan sembah-sujud umat manusia, seolah-olah Tuhan kesepian dan membutuhkan kesemua itu, lagi-lagi suatu penghinaan terhadap keluhuran dan kemurnian disamping keterpenuhan dan keutuhan Tuhan, seakan-akan Tuhan akan musnah dan tidak lagi eksis bila tiada yang menyembahnya.

Pendidikan menekankan saintifik, ilmu pengetahuan ilmiah yang sifatnya ialah metodologi yang dapat dibuktikan oleh peneliti mana pun, secara OBJEKTIF, semisal bumi berotasi dan berevolusi mengelilingi matahari, heliosentris, bukan sebaliknya sebagaimana keyakinan keagamaan. Manusia dewasa ini adalah hasil evolusi manusia purba, bukan jadi sebagaimana adanya saat kini sedari sejak semula “taken for granted” layaknya keyakinan keagamaan, meski dapat kita saksikan sendiri bentuk tipikal wajah orang “tempo dulu” memiliki parubahan karakteristik cukup drastis dengan tipikal wajah orang-orang masa kini (apakah mereka semua “masuk neraka”, karena agama samawi belum dikenal para nenek moyang kita? Setidaknya, para nenek moyang kita bebas dari perbudakan agama dan diktatoriat Tuhan yang meminta disembah dengan dibawah ancaman “pamer kekuasaan milik Tuhan”).

Bumi adalah planet berbentuk bundar, bukan plat menyerupai dataran yang pada tepinya terdapat jurang menganga dimana kita dapat terjatuh kedalam lembah tanpa dasar bila “terpeleset”. Bahwa juga terdapat jutaan planet lain yang “mati” di luar sana, sehingga sejatinya Planet Bumi bukanlah planet ciptaan yang istimewa oleh sebab “planet yang gagal ternyata jauh lebih banyak di alam semesta luar sana”. Karenanya, alam semesta adalah produk penuh kesalahan dan kegagalan, alih-alih produk keajaiban (cobalah tengok “usus buntu” di perut Anda, adakah fungsinya? Cobalah juga sentuh tulang ekor pada panggul belakang Anda, darimanakah itu berasal?). Sains juga meyakini, terdapat planet menyerupai Bumi pada galaksi lainnya, hingga berbagai temuan mengejutkan mengenai makhluk “luar angkasa” lengkap dengan piring terbangnya yang terkenal itu, dimana kesaksian telah demikian banyaknya.

 Kini dapat dan tengah kita saksikan sendiri, dimana kekerasan fisik sama sekali tidak menjadi hal yang “tabu”, bahkan dibanggakan dan di-obral dalam setiap kesempatan untuk memaksakan kehendak dan untuk menyelesaikan setiap masalah. Mental kolektif bangsa demikian, tidaklah muncul dan terkristalisasi secara sendirinya, tentulah terdapat sebentuk ideologi yang mendahuluinya secara massal, tidak lain ialah faktor keyakinan keagamaan (dogmatis) sebagai justifikasi yang melegalkannya dari generasi ke generasi. Belum lagi perihal praktik-praktik intoleransi disertai aksi-aksi anarkis hingga radikalisme yang tidak berkesudahan kelanjutan episodenya (karena “mati satu tumbuh seribu”).

Bila kita sungguh-sungguh memperhatikan tingkat moralitas generasi penerus kita, faktanya kita selalu dapat memilih agar putera-puteri kita mendapatkan pendidikan dari negara secara penuh integritas pada kejujuran dan keluhuran karakter, maka yang paling perlu didorong dan digalakkan ialah kewajiban mata pelajaran budi-pekerti dan etika moralitas pada bangku-bangku sekolah serta perkuliahan, karena sifatnya lebih umum serta universal (generalis dan lebih cenderung dapat diterima oleh seluruh kalangan seperti nilai-nilai kebaikan, kemuliaan, dan keluhuran hati, seperti tidak merugikan ataupun menyakiti makhluk hidup lainnya ataupun terhadap manusia lainnya, cara dan sikap-sikap itulah yang sudah cukup untuk bukti telah mengharumkan serta memuliakan nama “Tuhan”, alih-alih segala “lip service”) bukan memaksakan diri demi pamor “agamais” namun menjelma radikal dan intoleransi disamping mencederai, menodai, dan mencemarkan kebhinekaan yang sudah sejak lama diamanatkan oleh Konstitusi Republik Indonesia itu sendiri. Sudah saatnya kita menjadikan “moralitas sebagai agama” dalam ranah publik, tidak terkecuali di sekolah, sekalipun secara pribadi kita menjadikan “agama sebagai moralitas” dalam ranah personal privat.

Kita tidak perlu memaksakan kaum non-Buddhistik untuk mempercayai perihal Hukum Karma (yang sejatinya sangatlah saintifik, hukum tentang konsekuensi “sebab dan akibat”, selayaknya hukum alam, hukum kimia, dsb), namun cukup kita perkenalkan (sebagai alternatif frasa “tanamkan”) nilai-nilai serta jiwa semangat ksatria yang mampu serta mau bertanggung-jawab serta dimintakan pertanggung-jawaban—bukan hanya kepada Tuhan, namun juga kepada pihak KORBAN. Berani berbuat, maka berani bertanggung-jawab, itulah mentalitas ksatria, dimana diluar itu yang ada ialah “mentalitas pengecut”.

Berbuat jahat, maka mendapatkan konsekuensi yang sama buruknya bagi sang pelaku, yakni jiwa berani untuk mengirim tubuhnya sendiri ke dalam penjara untuk dihukum dan mengganti kerugian yang diderita pihak korban. Menipu, harus berani ditipu. Mencuri, maka harus membiarkan dirinya dicuri dan tercuri. Merampok, maka harus sengaja membuka pintu rumahnya agar dikunjungi perampok lainnya. Menganiaya, karenanya perlu meminta siksaan di neraka. Berbohong, karenanya terdapat korban yang termakan kebohongan kita, untuk itu menjadi urgensi bagi pelakunya untuk segera “harakiri”. Melukai, maka harus siap untuk memenggal tangan sendiri.

Kesemua itulah yang disebut sebagai jiwa-jiwa ksatria, tiada berkilah, tidak berkelit, tiada “kambing hitam”, tiada tedeng aling-aling, tiada “lempar batu, sembunyi tangan” tidak mencari-cari alibi ataupun alasan pembenar apapun. Beranikah Anda, merangkul segala konsekuensi perbuatan kita pribadi? Kabar baiknya, menurut cara bekerjanya Hukum Karma (untuk lebih jelasnya lihat Abhidhamma Pitaka, salah satu pitaka dari Tripitaka), buah karma tidak diwarisi oleh anak ataupun cucu, namun diwarisi oleh diri kita sendiri pada kehidupan selanjutnya—sebagai bekal “modal” sekaligus sebagai “hutang” karma untuk ditebut.

Lawan kata dari “jiwa ksatria”, ialah apa yang kita sebut sebagai “jiwa korup” semacam “malas menanam Karma baik namun hanya ingin pandai serta rajin meminta dan memohon nikmat dijatuhkan dari langit” (harapan yang demikian penuh delusi kekanakan, seolah tanpa menanam benih kebajikan dapat tumbuh selain semak-belukar), hingga ideologi penuh kecurangan yang kita kenal dengan istilah “penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” (menyerupai “meminta maaf terlebih dahulu sebelum berbuat dosa terhadap para korbannya”), dimana kerugian justru harus ditanggung oleh pihak korban, menjadi korban di dunia dan di akherat—seolah-olah Tuhan lebih berpihak kepada manusia yang bermental “korup” demikian, dan menjadi korban adalah hal yang tabu, termasuk tabu untuk menjerit kesakitan karena akan diberi stigma sebagai “tidak sopan” dan “sudah tidak waras”, semata karena “Tuhan saja lebih pro dan mengistimewakan serta menganak-emaskan para pelaku yang berdosa, para pendosa”.

Mental-mental “korup” semacam itulah yang sejatinya menjadi “kontra revolusi mental”, dimana institusi pendidikan formal mulai dari Sekolah Dasar maupun Perguruan Tinggi seyogianya menjadi wadah untuk berpikir kritis secara intelek sebagai bagian dari akademisi yang demokratis, bukan dicemarkan dan tercemar oleh anasir-anasir dogma keagamaan manapun yang memenjarakan daya berpikir kritis dan nalar yang menjadi tumpuan utama kaum intelektual dan cendekiawan yang mampu berpikiran terbuka, serta yang terpenting, dapat dipertanggung-jawabkan—alias tidak “anti kritik” maupun menutup dialektika forum-forum diskusi dan debat terbuka yang transparan serta akuntabel bebas dari intimidasi, intervensi, terlebih ancaman dari pihak manapun. Pendidikan semestinya membebaskan, bukan memenjarakan pikiran para peserta didik, agar tidak terkungkung bagai kerdil-nya “katak dalam tempurung” yang sempit cakrawala berpikir dan pandangannya, sifat “naif”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.