ARTIKEL HUKUM
Rakyat yang Bodoh akan Dibodohi Pemerintahnya, Kodrat Bangsa Bodoh, Wabah pun Dijadikan Objek Lelucon
Republik serta Bangsa Indonesia telah mencetak sejarah, yakni sejarah “kebijakan berlarut-larut tunggu vaksin ketika wabah akibat pandemik virus menular mematikan muncul di muka bumi”, membiarkan puluhan ribu rakyatnya bergelimpangan menjadi korban jiwa keganasan wabah yang tidak terkendalikan selama bertahun-tahun hingga vaksin ditemukan dan diproduksi secara massal, atau menunggu secara pasrah kebaikan dan kemurahan hati sang virus agar tidak lagi demikian ganas dalam tingkat penularannya setelah meminta puluhan ribu korban jiwa di Indonesia saja seperti tatkala Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang menjadi “global pandemic” turut melanda Indonesia.
Kelak, ketika muncul wabah akibat varian virus lain atau akibat virus menular jenis lainnya (potensi ancaman demikian selalu terbuka lebar, menurut sejarah telah kita kenal adanya “flu Spanyol”, “MERS”, “SARS”, yang kesemuanya tergolong Corona Virus), sejarah yang telah dicetak sebelumnya akan kembali berulang menjelma “preseden”, yakni preseden “anti LOCK DOWN”, dahulukan ekonomi ketimbang kesehatan (seolah-olah “LOCK DOWN” artinya “kiamat”, sekalipun cukup selama satu bulan untuk “memutus mata rantai penularan” wabah Corona Virus Tipe-2), anti puasa, anti hiburan, anti liburan, anti ini dan anti itu, ingin ini ingin itu, banyak sekali alasan serta kompromi yang dibuat seolah kita mampu berdiplomatis diri terhadap sang virus penyebab wabah.
Ketika strain atau varian lain dari virus yang sama yang telah bermutasi secara lebih tinggi tingkat penularan atau bahkan tingkat mortalitasnya (siapa yang akan tahu, tidak tertutup kemungkinan, segalanya dapat terjadi akibat mutasi genetik virus sebagaimana pengalaman sejarah), apakah rakyat kita kembali harus bergelimang menjadi korban jiwa dan korban kemiskinan akibat kebijakan yang serba berlarut-larut oleh pemimpin negara, yakni kebijakan “tunggu hingga vaksin ditemukan dan dicetak secara massal”? Syukur jika vaksin yang berhasil ditemukan adalah efektif dan dapat diakses oleh seluruh warga, namun bagaimana jika nasibnya seperti vaksin “demam berdarah” maupun “HIV” yang tidak kunjung berhasil diformulasikan hingga saat kini, meski telah menjadi momok mematikan sejak zaman dahulu kala?
Apakah merupakan bentuk kesombongan sekaligus “ignorant”, ataukah sebentuk spekulasi, ketika menyatakan para warga lanjut-usia (lansia) yang tewas atau meninggal dunia dengan dinyatakan positif terpapar wabah akibat pandemik Virus Corona Tipe-2 (COVID-19) yang sempat melanda Indonesia dan dunia global sebagai “global pandemic” yang telah demikian jelas sangat ilmiah serta saintifik dilaporkan oleh kalangan medik maupun pers dan pemerintahan hingga organisasi kesehatan internasional (WHO), semata dianggap sebagai sebatas meninggal karena memang usianya yang telah uzur, alias meninggal karena faktor usia yang kebetulan terpapar virus menyebab wabah.
Sekalipun kalangan dokter dari berbagai belahan dunia telah melaporkan akibat mematikan dari tertularnya seseorang pasien akibat sang virus penyebab wabah, tampaknya masyarakat Indonesia lebih mempercayai ucapan “dukun” ketimbang ucapan “dokter”. Jika begitu adanya, mengapa selama ini berbagai rumah sakit dan pusat kesehatan masyarakat (puskesmas) kita selalu penuh ramai sesak oleh pasien yang meminta penanganan medik oleh kalangan dokter? Ataukah, diam-diam tanpa kita ketahui, padepokan para kalangan profesi “per-dukun-an” di negeri kita lebih ramai lagi dikunjungi oleh warga Indonesia yang selama ini mengaku “agamais” sehingga merasa kebal dan imun dari peluru, termasuk imun dari virus yang kecil ukuran fisiknya?
Tetap saja, sebagian besar warga kita di Indonesia (bahkan juga sebagian rakyat negara maju semacam Amerika Serikat) meyakini bahwa sang virus penyebab wabah adalah fiktif adanya, lebih sibuk berspekulasi dengan “teori spekulasi” liarnya seolah semua itu adalah bentuk rekayasa kaum Yahudi, adanya “konspirasi” (halusinasi “mendadak jadi intel), dsb, sekaligus bentuk pamer arogansi betapa dirinya “kebal” sekalipun sama sekali tidak mengindahkan “protokol kesehatan (dalam rangka cegah wabah)”, mencobai “Tuhan”.
Spekulasi yang lebih arogan, ialah berspekulatif demikian “liar” bahwa adalah wajar bagi kaum manula yang telah lansia untuk meninggal dunia, sebagai faktor umur, sekalipun kalangan medik yang lebih mengetahui fakta empirik dan bersentuhan langsung di lapangan sebagai pihak yang menangani pasien yang mengalami gejala berat akibat terpapar wabah, seperti kesulitan bernafas ataupun kerusakan organ paru-paru sebagai penyebab utama komplikasi akut berujung kematian sang pasien. Semata karena anak muda lebih tinggi imunitas tubuhnya, lantas memandang remeh dan menyepelekan hidup dan kehidupan para lansia, adalah bentuk cerminan sifat egositik-narsistik kaum muda Indonesia terhadap para senior mereka sendiri yang telah sepuh. Itukah, yang selama ini kita sebut sebagai etika sopan-santun bangsa Ketimuran ala Indonesia, membiarkan kaum lansia menderita resiko tertular dan meninggal akibat wabah lantas dipandang adalah faktor usia belaka sehingga wajar bila meninggal dunia?
Tanpa terserang wabah, sekalipun memiliki komplikasi penyulit akibat penyakit lainnya, mereka para lansia tersebut, bisa jadi memiliki tingkat harapan hidup hingga mencapai umur satu abad lamanya, namun harus meninggal dalam kondisi tersiksa akibat sesak tidak mampu bernafas bagaikan orang yang tewas tenggelam mengingat paru-parunya penuh oleh lendir. Minimnya bentuk penghormatan anak muda Indonesia terhadap para senior mereka yang telah sepuh, adalah bentuk kegagalan sistem pendidikan budi-pekerti maupun pendidikan agama pada bangku pendidikan formal maupun informal di Indonesia, lewat pemberian teladan penuh kemunafikan serta justifikasi diri.
Telah begitu banyak sumber penyakit di sekitar kita, mengapa juga kita masih membiarkan negeri dan bangsa ini harus terpaksa dan dipaksa (atau memaksakan diri) “hidup berdampingan” (terpapar) dengan virus penyebab wabah lainnya semacam Virus Corona yang menular antar manusia dan dapat demikian mematikan tingkat infeksinya, disamping potensi untuk bermutasi kian mengkhawatirkan pada waktu yang akan datang? Itulah akibat komunikasi politik dan komunikasi publik yang buruk dari pihak pemerintah, seolah-olah rakyat harus siap “hidup berdampingan” dengan virus baru lainnya.
Hidup kita di dunia ini telah demikian berat, oleh berbagai ancaman virus maupun kuman penyebab penyakit, mengapa harus kita tambah berat kondisi kesehatan masyarakat kita seperti seolah “sengaja” memelihara dan mengembang-biakkan wabah dengan tidak menghormati dan mematuhi “protokol kesehatan” dalam rangka memutus mata rantai penularan? Jika kelak timbul virus menular mematikan baru, semisal varian baru virus ebola yang demikian mengerikan tidak kalah mematikannya, apakah rakyat di negeri kita pun harus “hidup berdampingan” dengan virus asal Benua Afrika tersebut?
Virus Corona, telah menjadi momok dalam dua periode di China, yakni strain SARS dan COVID-19, namun beruntung China memiliki sejarah penuh prestasi dengan menangani SARS cukup selama satu semester dan prestasi serupa kembali dicetak dengan menanggulangi dan mengendalikan COVID-19 selama satu semester pula oleh pemerintahan Tiongkok. Kita lihat, prestasi kegagalan maupun keberhasilan, menjadi preseden (kepercayaan diri yang tinggi maupun yang rendah) yang akan terulang dikemudian hari.
Cepat atau lambat, anak muda kita akan menjelma lansia pula, sehingga arogansi dan kesombongan mereka saat kini akan menemui “bumerang” pada gilirannya (Hukum Karma, menanam arogansi maka akan berbuah dan memetik diperlakukan secara penuh arogansi), bila wabah dipelihara dan dibiakkan sendiri oleh mereka. Sikap-sikap narsistik atas usia muda mereka, berujung pada sikap egoistik, tanpa sikap rasional mengakui bahwa cepat atau lambat mereka sendiri pun akan menjelma kaum yang mereka sebut sebagai “kakek-kakek” dan “nenek-nenek” yang tua-renta yang rentan dan beresiko tinggi dari serangan wabah disertai gejala ringan hingga gejala berat. Bahkan, anak muda sekalipun, ketika imunnya kebetulan turun (imunitas manusia menyerupai kurva naik dan turun, tidak pernah stabil stagnan dalam jangka waktu panjang), tetap saja sejumlah laporan menyebutkan adanya gejala cukup berat dan disfungsi organ tubuh paska dinyatakan sembuh dari virus penyebab wabah yang sempat menjangkiti diri pasien dalam usianya yang relatif muda.
Kesalahan utama media pers kita, ialah mengumandangkan pihak-pihak dari latar-belakang usia muda yang pernah terpapar virus penyebab wabah ini, kemudian sang pemberi testimoni menyatakan dengan penuh kebanggaan dan percaya diri yang tidak pada tempatnya, “Tidak perlu takut pada wabah ini, lihat saya, tetap hidup sehat dan bahagia sekalipun pernah terpapar virus penyebab wabah, tidak masalah, dan tidak ada masalah, sama sekali tidak mengancam keselamatan, wabah pasti segera berlalu.”
Secara antusias, publik yang menyimaknya pun mulai berpikir, secara naif tentunya, bahwa “Lihat, lihatlah itu, Bapak dan Ibu sekalian, tokoh tersebut atau orang tersebut, yang pernah terpapar wabah ini, ternyata masih sehat dan bersuara serta dapat kembali bekerja setelah berlibur dan diliburkan oleh kantornya untuk selama beberapa minggu di rumah, betapa enaknya, sehingga wabah ini sama sekali tidak berbahaya dan tidak perlu ditakutkan untuk ‘hidup berdampingan’ dengan wabah ini. Mari kita teruskan pesta kita, tidak ada yang perlu kita khawatirkan. Percuma juga menjalani protokol kesehatan, toh itu buktinya ketua Satuan Tugas Penanganan Wabah hingga berbagai Kepala Daerah pernah turut terkena wabah ini, ternyata tetap bisa terpapar meski menjadi percontohan ‘protokol kesehatan’, dan ternyata masih hidup sampai sekarang.”
Memang, patut kita sayangkan, tiada satu pun korban jiwa akibat terinfeksi sang virus penyebab wabah yang telah menjadi seonggok mayat di peti mati, yang mampu dimintakan testimoni betapa tersiksa dan menderitanya hidup sang almarhum yang terbujur kaku-dingin di liang kuburnya akibat terpapar sang virus penyebab wabah. Namun bukankah seluruh kalangan medik lokal maupun mancanegara telah begitu banyak memberikan serta menyiarkan secara luas laporan dan publikasinya kepada publik, tentang betapa berbahaya dan mematikannya virus menular mematikan ini?
Bila untuk hal yang demikian saintifik, masyarakat kita yang konon sangat “agamais”, tidak meyakini serta apatis terhadap bukti-bukti empirik-ilmiah, maka terlebih konsep-konsep yang lebih abstrak dan tidak empirik semacam Ketuhanan, Dewa-Dewi, surga maupun alam neraka? Gaibnya, para praktisi “per-dukun-an” tidak pernah sepi dari pengunjung dan “pelanggan”, entah hanya menjadi fenomena ganjil di Indonesia ataukah juga menjadi fenomena pecandu “black magic” di negara-negara lainnya—boleh percaya atau tidak, mayoritas penduduk di Indonesia adalah para pecandu “black magic” alias bersekutu dengan para makhluk dari alam rendah seperti setan dan jin-asura, suatu sikap irasional dimana manusia yang lebih tinggi derajatnya justru menyembah dan berlindung kepada makhluk-makhluk dari alam “apaya” (istilah Sansekerta “apaya” artinya ialah “tanpa kebahagiaan”, sehingga bermakna alam tanpa kebahagiaan).
Saat wabah berlangsung dan tumbuh pesat angka warga terjangkit virus penyebab wabah di Indonesia, saat penulis terpaksa keluar rumah untuk membeli kebutuhan pokok, seseorang mendekati penulis dan dari jarak kurang dari satu meter dengan maksud untuk bertanya alamat kepada penulis TANPA MENGENAKAN MASKER. Betapa “sopan”-nya masyarakat Indonesia, tidak menghargai eksistensi dan keselamatan warga lainnya, suatu budaya sopan-santun “omong kosong” Ketimuran ala Indonesia.
Memberikan ancaman serta potensi resiko tertular bagi orang lain, tanpa rasa takut terhadap “dosa” bila sampai merugikan maupun melukai warga lainnya, disebut dan menyebut diri sebagai bangsa ber-Tuhan dan “agamais”? Tampaknya, yang menjadi motto Bangsa Indonesia ialah, “Berbuat dosa, siapa takut?! Berbuat maksiat saja kami tidak takut, untuk apa ada penghapusan dosa bila tidak dimanfaatkan? Itulah sebabnya Tuhan tidak pernah memusnahkan satu pun maksiat paling primitif dari muka Bumi.” Mengerikan, hanya sesama “serigala” yang mampu hidup akur dan berdampingan dengan sesama “serigala”. Di mata penulis, berdasarkan pengalaman yang mengajarkan, negeri “agamais” bernama Indonesia tidak ubahnya “kandang serigala” yang penuh kumpulan “manusia serigala”, serigala yang “ber-Tuhan-kan” serigala, sehingga sikap-sikap predatoris menjadi simbolisasi Tuhan yang mereka sembah dan junjung.
Bila penulis tidak meladeni kemauannya untuk dilayani pertanyaan yang bersangkutan, atau bahkan memberi teguran keras karena memberi ancaman resiko yang tidak kecil bagi penulis atas ulahnya yang “dekat-dekat ajak bicara tanpa masker, tidak takut dosa Anda bawa resiko penularan wabah bagi orang lain?”, maka dapat dipastikan orang “Made in Indonesia” yang akan lebih galak daripada yang diberikan potensi kerugian dan yang menegur, bahkan tidak jarang menantang untuk berkelahi hingga mengintimiasi secara kekerasan fisik—cerminan sikap-sikap arogansi, buah dari sifat narsistik seolah dirinya “kebal” akibat menjadi “anak emas” dari Tuhan. Jangankan yang bersangkutan merasa bersalah dan meminta maaf, bahkan penulis yang harus “meminta maaf” agar yang bersangkutan jangan dekat-dekat dengan diri penulis ketika dirinya tidak mengenakan masker dikala wabah sedang merebak pesat-pesatnya? Suatu putar-balik akrobatik logika moril bangsa beradab yang mengaku dan berbusana “agamais”.
Budaya “tidak tahu malu” serta “tidak takut dosa” yang menjangkiti otak Bangsa Indonesia bagaikan virus menular itu sendiri (menjelma budaya “mendarah-daging”), tampaknya lebih berbahaya, lebih mengancam, dan lebih mematikan daripada pandemik akibat virus menular apapun. Kontras dengan kultur demikian di Indonesia, mari kita sandingkan dengan budaya “malu dan takut berbuat jahat” yang hidup dan tumbuh pada kesadaran masyarakat Jepang, sebagai berikut dalam laporan bertajuk “Efek Pandemi, Kasus Bunuh Diri Wanita di Jepang Meningkat Tajam”, Rosiana Chozanah, 25 Februari 2021, sumber : https:// www. suara .com/health/2021/02/25/095658/efek-pandemi-kasus-bunuh-diri-wanita-di-jepang-meningkat-tajam?page=all, diakses pada tanggal 18 Maret 2021:
Jepang merupakan negara tercepat dan paling akurat dalam melaporkan kasus bunuh diri dibanding negara lain di dunia. Bukan lagi tahunan, negara ini mengakumulasi kasus bunuh diri setiap bulan.
Selama pandemi virus corona Covid-19, angka kasus bunuh diri meningkat tajam pada 2020, pertama kalinya dalam 11 tahun. Meski tingkat kasus pada pria sedikit menurun, pada wanita justru melonjak hampir 15% (6.976 kasus).
Dalam satu bulan, yakni Oktober, angka bunuh diri wanita di Jepang naik lebih dari 70% dibanding pada bulan yang sama tahun sebelumnya, lapor BBC.
Pandemi ternyata membuat tekanan pada wanita Jepang semakin bertambah. Seperti di banyak negara, banyak wanita yang kehilangan pekerjaannya.
Di Tokyo, sekitar satu dari lima wanita tinggal sendirian. Aturan untuk tetap tinggal di rumah atau selama lockdown dan mengindari kunjungan dengan kerabat telah memperburuk perasaan terasing mereka.
Sementara wanita lain bergumul dengan disparitas dalam pembagian pekerjaan rumah dan merawat anak selama masa bekerja di rumah. Beberapa mengalami pengingkatan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan kekerasan seksual, dilansir Japan Times.
Di Jepang, wanita juga sering dianggap sebagai pengasuh utama, terkadang takut dipermalukan di depan umum jika mereka gagal mematuhi aturan pemerintah dalam memakai masker dan mempraktikkan kebersihan yang baik atau terinfeksi virus corona.
“Wanita menanggung beban pencegahan virus. Wanita harus menjaga kesehatan keluarga dan kebersihan serta dapat dipandang rendah jika mereka tidak melakukannya dengan benar,” kata Yuki Nishimura, direktur Asosiasi Layanan Kesehatan Mental Jepang.
Ada satu kasus seorang wanita 30-an tahun penyintas Covid-19 bunuh diri.
Media Jepang mengungkapkan catatan sang wanita yang menyatakan kesedihan atas kemungkinan dirinya telah menginfeksi orang lain dan menyebabkan masalah. Sementara para ahli mempertanyakan apakah rasa malu yang mungkin telah membuatnya putus asa.
“Sayangnya kecenderungan saat ini adalah menyalahkan korban,” ujar Michiko Ueda, seorang profesor ilmu politik di Universitas Waseda di Tokyo.
Ueda menemukan dalam survei tahun lalu bahwa 40% responden mengkhawatirkan tekanan sosial jika mereka tertular virus.
“Kami pada dasarnya tidak mendukung Anda jika Anda bukan ‘salah satu dari kami’. Jika Anda memiliki masalah kesehatan mental, Anda bukan salah satu dari kami,” sambungnya.
Di sisi lain, para ahli juga khawatir kasus bunuh diri yang dilakukan selebriti Jepang memicu serangkaian kasus peniru. Setelah Yuko Takeuchi, aktris populer yang mengakhiri hidupnya pada akhir September 2020, jumlah wanita yang bunuh diri pada bulan berikutnya melonjak hampir 90%.
Di Indonesia, berkebalikan dari kondisi di Jepang, jika Anda menerapkan “protokol kesehatan (cegah wabah)” secara penuh komitmen, maka Anda yang akan dianggap “aneh sendiri” serta “bukan bagi dari kami (mayoritas yang menganggap dirinya “kebal” dan imun dari wabah apapun)”. Masih di Indonesia pula, warga yang benar-benar me-“LOCK DOWN” diri sendiri selama wabah berlangsung, justru yang menjadi korban, karena pandemik terus berlarut-larut akibat mayoritas warga tidak mengindahkan “protokol kesehatan” dan “anti LOCK DOWN”. Akibatnya, sebagaimana tidak mengherankan, cara penanganan dan dampak pandemik COVID-19 di Indonesia menjadi yang terburuk di ASEAN bahkan tercatat sebagai yang terburuk pula di ASIA.
Bila ada diantara pembaca yang masih menyisakan sedikit ruang “rasa malu” sekalipun budaya masyarakat di Indonesia belum mengenal “rasa malu” kecuali busana serba tertutup, akan memahami makna implisit dibalik laporan bertajuk “Artis Jepang Maria Hamasaki Meninggal, Sempat Dibully karena Tak Pakai Masker, Diduga Bunuh Diri”, 2 September 2020, sumber : https:// www. tribunnews .com/seleb/2020/09/02/artis-jepang-maria-hamasaki-meninggal-sempat-dibully-karena-tak-pakai-masker-diduga-bunuh-diri, diakses pada tanggal 18 Maret 2021, demikian kontras terhadap “mental dan culture” tidak tahu malu Bangsa Indonesia yang “agamais” (namun tidak takut menularkan, bahkan bangga alih-alih mampu merasakan “rasa malu”):
Model sekaligus bintang reality show Jepang, Maria Hamasaki meninggal dunia di usia yang sangat muda, 23 tahun.
Maria Hamasaki ditemukan tewas di rumahnya, di Tokyo pada 26 Agustus 2020.
Dilansir dari Japan Times, kematiannya diperkirakan karena bunuh diri.
Sementara itu, polisi tidak menemukan indikasi adanya kejahatan atas meninggalnya Maria Hamasaki.
Maria diduga mengakhiri hidupnya setelah dibully netizen karena kedapatan tidak pakai masker saat keluar rumah.
Dilansir dari NHK, Maria Hamasaki sebelumnya memang kerap mengunggah momen kesehariannya di media sosial.
Ia pernah kedapatan pergi tanpa mengenakan masker pada April lalu.
Hal itu menjadi sorotan warganet, terlebih pemakaian masker sangat dianjurkan untuk mencegah penyebaran virus corona atau Covid-19.
Dari situ, ia pun kerap mendapatkan komentar negatif.
Maria juga sempat terlibat perselisihan di media sosial dengan warganet yang mengkritiknya.
Artis Jepang yang cantik dan masih muda-belia, bunuh diri karena di-bully akibat pernah tidak pakai masker saat keluar rumah tatkala pandemi akibat virus menular COVID-19, sangatlah kontras terhadap realita “kulit wajah setebal kulit badak” yang khas ditampilkan Bangsa “badak” Indonesia, yang lebih galak daripada aparatur yang menegur sang warga “Made in Indonesia” ketika keluar rumah tanpa mengenakan masker. “Tidak takut” berbuat dosa seperti membawa potensi resiko menularkan wabah, serta “tidak malu” membawa potensi resiko menularkan dan ditularkan orang lain maupun diri sendiri, tampaknya adalah satu-satunya “vaksin” yang dimiliki Bangsa Indonesia, yakni “vaksin kebal dari bunuh diri” seburuk dan se-tercela seperti apapun perilaku Bangsa Indonesia, alias “vaksin bebal”, imun dari rasa malu ataupun rasa bersalah (itulah juga, yang disebut oleh masyarakat Indonesia sebagai “vaksin iman”, ala “badak”). Bangsa Jepang dinilai tidak “agamais”, namun ternyata lebih takut dan lebih malu berbuat keliru daripada Bangsa Indonesia yang “agamais”, “ironic” bahasa Inggris-nya.
Belum lagi ketika kita berbicara mengenai ketersediaan vaksin, seolah pemerintah maupun warga tidak menyadari bahaya dibalik fakta “langkanya pasokan” vaksin, bisa menjadi bumerang ketika vaksin belum masif tersedia untuk diakses oleh publik luas, karena timbul persepsi yang real-konkret di tengah-tengah masyarakat, bahwa yang sudah diberikan vaksin tidak lagi memerlukan pembatasan diri selayaknya “protokol kesehatan”, berpotensi akan jadi teladan buruk ketika tidak menjalankan “protokol kesehatan” dengan alasan sudah divaksin—alias menjadi agen perusak “protokol kesehatan” itu sendiri.
Sembuh, bukan artinya pulih seutuhnya. Seperti penderita infeksi Corona Virus tipe baru, paru-parunya tetap masih rusak sekalipun virusnya sudah bersih, “long COVID” istilah mediknya, butuh waktu untuk recovery, seperti halnya juga gejala letih berkepanjangan dan vertigo, tentunya produktivitas menjadi menurun dalam jangka panjang dan turunnya kualitas hidup sebagai mahalnya harga yang harus kita bayarkan atas perjumpaan sang warga terhadap sang virus penyebab wabah—itu menjadi kesaksian anak muda yang pernah terpapar COVID-19.
Sama juga dengan trauma akibat pernah terpapar dan (sebelum kemudian) menulari orang lain yang ternyata orang lain tersebut menulari keluarganya sehingga tewas, ada bekasnya membekas bisa permanen tak sembuh oleh waktu, RASA PENYESALAN dan RASA BERSALAH (yang tampaknya budaya “takut dosa” [menulari dan rasa bersalah atas akibat yang timbul karenanya] demikian hanya menjadi fenomena sosial di Jepang, belum tumbuh pada jiwa masyarakat di Indonesia yang masih terlena oleh iming-iming “penghapusan dosa”). Betapa beku dan dinginnya, hati nurani masyarakat di Indonesia yang konon mengaku “agamais”, tidak malu, tidak malu, serta tidak memiliki rasa bersalah bila sampai menulari orang lain dan membawa malapetaka serta musibah bagi keluarga orang lain yang tertular oleh sang orang “Made in Indonesia”, yang mengaku-ngaku “ber-Tuhan”.
Itulah bukti, Bangsa Indonesia adalah bangsa “agamais” yang tidak takut berbuat dosa dan menjadi seorang pendosa yang berdosa, sekalipun itu bukan hal sepele semacam menulari virus menular mematikan bagi orang lain—yang tentu saja, sang pelaku meremehkan ancaman dari perbuatannya sendiri, mengingat tiada satu pun kalangan penjahat yang tidak meremehkan perbuatan jahatnya dan tidak menyepelekan derita ataupun kerugian yang diderita oleh para korbannya, ciri khas “mental penjahat” yang sangat masif penulis jumpai pada mayoritas cara berpikir masyarakat Indonesia, baik pria maupun wanita “Made in Indonesia”.
Indonesia adalah negeri pusatnya orang yang “kurang waras” (orang-orang “tidak waras” yang bahkan menghina orang yang lebih “eling” sebagai “tidak waras”), sebagaimana fakta realita empirik, setidaknya pada lingkungan pemukiman penulis, penulis menjadi “aneh sendiri” dengan mengenakan masker secara baik dan benar ketika terpaksa harus keluar rumah dan berada di lingkungan jalan umum. Pemerintah kita di Indonesia lucu sekali, justru menyerahkan tanggung-jawab tegur dan tegakkan “protokol kesehatan” ke pundak warga sipil yang tidak memiliki otoritas penegakan hukum apapun untuk menegur sesama warga lainnya, jadi seolah adu “warga Vs. warga”, jelas tidak akan efektif. Pemerintah lebih represif memberangus para demonstran yang menentang kebijakan-kebijakan yang tidak pro terhadap rakyat jelata, namun mendadak mengklaim sebagai “pendekatan humanis” ketika terjadi pelanggaran terhadap “protokol kesehatan”.
Tingkat ekonomi di Indonesia, kian drop akibat gagal memutus “mata rantai penularan” wabah. Akar penyebabnya, manusia “Made in Indonesia” demikian “narsistik” dan “egoistik” (dua perangai yang saling komplomenter dan tidak terpisahkan, orang-orang dengan jiwa “narsistik” dapat dipastikan memiliki karakter sifat “egoistik” disaat bersamaan sebagai gejala kasat-matanya), seolah disayangi Tuhan sehingga “yakin KEBAL dan IMUN terhdadp wabah” namun tidak takut dosa dengan mencelakai orang lain.
Dalam Buddhisme, sikap-sikap dangkal yang dapat dicela para bijaksanawan demikian, mustahil disukai makhluk dari alam dewata maupun makhluk Brahma di atas langit. Hanya orang-orang suci, yang tidak berbau busuk di mata dan di hidung para makhluk dewata (tercatat dalam Sutta Pitaka, salah satu pitaka dalam Tripitaka). Para dewata tidak akan sudi mendekati manusia-manusia “berbau busuk” demikian, terlebih mengharapkan manusia “busuk” bersatu dengan Tuhan yang suci dan luhur, ibarat mengharap api bersatu dengan air, mustahil, alias fantasi yang kelewat “korup”.
Berikut inilah semboyan yang tampaknya tidak akan pernah mampu dipahami oleh bangsa Indonsia yang “agamais” : “Health & safety protocol, so customers know you're putting their safety first.”—suatu istilah yang penulis kutip dari layanan salah satu media digital. Sifat-sifat semacam “egoistik”, tidak akan pernah mampu ataupun bersedia untuk memperhatikan kepentingan orang lain, tidak terkecuali potensi bahaya dan resiko yang dihadapi oleh orang lain akibat cara hidup kita. Kita, tanpa terkecuali, saling berbagi sumber daya ruang, nafas, udara, dan sumber daya lainnya, karenanya individu serta anggota masyarakat yang baik ialah warga yang dapat saling menghargai dan menghormati eksistensi serta hak-hak sesama warga.
Angka prevalensi pandemik, jangan dilihat dari angka kasus “positif” (terjangkit) baru seolah-olah menurun, dimana indikator yang lebih real-nya ialah “positive rate” antara jumlah sampel warga yang diuji dan persentase kasus “positif” yang ditemukan, ternyata hingga kini masih tinggi di Indonesia, diatas anjuran WHO yang hanya 5%, yakni diatas 10%, yang artinya wabah dan pandemik masih mencekam dan belum ada penurunan secara nyata mengingat sampel yang diuji menurun hampir separuhnya, bukan “positive rate”-nya yang menurun.
Bila pemerintah hendak membuat politik pencitraan lebih ekstrim, jumlah kuantitas sampel yang diuji diturunkan saja hingga hanya sepuluh persen dari jumlah sampel uji sebelumnya, jadilah pemerintah kita dapat kembali mengumandangkan klaim “kasus positif COVID-19 telah turun drastis, menurun hingga hanya menyisakan 10% saja, pemerintah Indonesia kini resmi telah berhasil kendalikan dan tangani wabah!”—namun disaat bersamaan menutupi fakta bahwa jumlah sampel yang diuji diturunkan pula hingga hanya menguji sebanyak sepuluh persen dari kuantitas sampel uji sebelumnya. Mengapa pemerintah di Indonesia, begitu mudahnya membuat komunikasi politik serta komunikasi publik yang membodohi rakyatnya sendiri? Karena rakyatnya memang “bodoh” dan mudah “dibodohi”, tidak ada penjelasan lain. Kejahatan terjadi, bukan hanya karena ada niat, namun karena adanya kesempatan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.