Menggugat Monopolistik Kewenangan Notaris / PPAT, Pejabat Pembuat Akta Tanah

ARTIKEL HUKUM

Nafkah yang Bersumber dari Kewenangan Monopolistik, Sama Artinya PEMERASAN TERSELUBUNG Jual-Beli Akses Kebutuhan Pokok Rakyat Umum

Bila dahulu kala, sebelum era berlakunya “eCourt” dan “eLitigation” yang memungkinkan publik umum secara luas untuk  mengakses lembaga dan ruang peradilan tanpa lagi bergantung pada profesi Pengacara sebagai kuasa hukum yang selama ini memonopolisir akses menuju peradilan, begitupula format-formal surat gugatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di republik ini, maka profesi Advokat menjadi primadona di mata para anak muda yang memilih fakultas dan jurusan studi, seolah berhasil menyandang gelar Advokat merupakan pencapaian tertinggi, seakan telah terjamin hidup makmur bergelimang harta-materi dari jasa memonopolisir akses menuju keadilan.

Kini, sejak terbitnya “eCourt” maupun “eLitigation”, segenap klien dari penulis maupun masyarakat umum, perlahan namun pasti berangsur-angsur secara mandiri mengakses peradilan tanpa lagi bergantung pada kuasa hukum bernama Advokat, “lonceng kematian profesi Advokat” pun telah di depan mata, berkat kecanggihan teknologi dan terimakasih terhadap “political will” lembaga Mahkamah Agung RI—rakyat luas yang patut bersyukur dan memberi apresiasi, sementara itu profesi Advokat justru ter-depresiasi semata karena “termakan” oleh keserakahan hendak memonopolisir akses menuju peradilan yang ternyata hanya cocok untuk zaman dahulu kala. Masyarakat kita dewasa ini, bahkan telah terampil membuat surat gugatannya sendiri, sementara itu regulasi dapat diakses tanpa kesulitan berarti sebagaimana beberapa dekade lampau dimana aturan hukum masih menjadi monopoli kalangan profesi hukum.

Satu-satunya profesi yang masih meraup banyak kuntungan pribadi dengan praktik monopoli, saat kini praktis ialah kalangan profesi Notaris maupun PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah) di Tanah Air, sekalipun pada fakta realitanya untuk mendaftarkan dan mencoret jaminan kebendaan seperti Hak Tanggungan maupun Fidusia, sistem registrasi telah secara “online” administrasinya. Begitupula untuk pendaftaran badan hukum Perseroan Terbatas dan badan usaha lainnya, pendaftaran telah berbentuk sistem digital yang serba “online”, yang mana sejatinya peran Notaris tidak lagi sekrusial seperti dahulu kala zaman konvensional-analog, yang artinya pula semestinya dan idealnya kewenangan monopolisir Notaris dihapuskan agar tidak membebani rakyat mengingat tarif jasa “sesuka hati” kalangan Notaris menjadi “ekonomi berbiaya tinggi” bagi rakyat yang hanya akan memakmurkan kalangan profesi Notaris di Indonesia.

Begitupula untuk mendaftarkan hak atas tanah seperti peralihan hak akibat jual-beli, hibah, tukar-menukar, pelepasan hak, dan lain sebagainya, bahkan juga “checking” sertifikat hak atas tanah, permohonan Surat Ketarangan Pendaftaran Tanah, dan lain sebagainya, kini telah terjadi secara “online”, yang idealnya birokrasi semacam PPAT yang menjelma “makelar” atau “broker” (penengah antara rakyat dan Kantor Pertanahan) demikian hanya membebani rakyat dan disaat bersamaan hanya memakmurkan pundi-pundi pribadi kalangan PPAT, sehingga kewajiban menggunakan jasa PPAT-swasta yang mereka sebut sebagai “pejabat umum” demikian, sebagai pemegang kekuasaan monopolistik mengakses pendaftaran hak atas tanah yang merupakan kebutuhan pokok-primer (papan, disamping sandang dan pangan) sehingga tidak pada tempatnya dimonopolisik kalangan profesi PPAT-swasta. PPAT, semestinya menjadi kewajiban pemerintah untuk membuka ruang non-swasta, dengan memperluas loket-loket pelayanan dan memangkas kerumitan birokrasi yang ada maupun regulasi yang tidak perlu ada, serta tidak hanya menjadi kewenangan Lurah ataupun Camat setempat. Semestinya, para Notaris dan PPAT-swasta yang merupakan perpanjangan tangan layanan pemerintah, digaji oleh negara, sehingga tidak lagi memungut tarif jasa dari rakyat pengguna jasa.

Bila memang keterlibatan PPAT-swasta adalah dalam rangka kepastian hukum pendaftaran pertanahan, maka mengapa hingga saat kini masih kerap dijumpai praktik-praktik semacam “mafia pertanahan”, gugat-menggugat sengketa dan konflik pertanahan secara perdata bahkan secara pidana, dimana kalangan PPAT-swasta senantiasa berkilah : “Tidak mungkin bagi kami untuk memeriksa kebenaran materiilnya sampai sejauh itu!” Lalu, pertanyaan besar kita ialah, untuk apa yang bersangkutan meminta bayaran mahal? Bila hanya ingin “enaknya saja”, atau yang “manisnya saja”, maka bukankah itu artinya semacam “makan gaji buta”?

Kita, selaku rakyat umum, menjadi maklum dan dapat memahami ketika Basuki Cahaya Purnama alias Ahok ketika masih menjabat sebagai Gubernur Jakarta, sempat menyindir kalangan Notarais / PPAT yang meminta tarif jasa “persenan”. Bayangkan, jika triliunan rupiah nilai objek tanah di Jakarta, sang PPAT meminta tarif “persenan”, maka berapa miliar rupiah nominal harga yang harus dibayarkan oleh Pemerintah Daerah ataupun oleh pihak warga masyarakat? PPAT, sejatinya menjadi kewajiban pihak pemerintah untuk mempersiapkan dan membiayai gaji mereka, alih-alih membiarkan rakyat di-peras dengan memberikan kekuasaan monopolistik ke tangan kalangan PPAT yang mengambil keuntungan dengan cara yang demikian “memeras”—dalam arti yang sesungguhnya, dimana pemerasan identik dengan monopolistik kekuasaan dan kewenangan. Ketika kalangan PPAT meminta bayaran tinggi dari warga masyarakat, itulah yang kita sebut sebagai “abuse of power”, penyalah-gunaan kewenangannya memopolisir akses menuju lembaga pertanahan, hal yang sejatinya amat “memalukan” alih-alih membanggakan.

Kini, dapat para pembaca maklumi, mengapa penulis tidak pernah berminat menyentuh profesi Notaris maupun PPAT, semata karena bertentangan dengan hati nurani—bagaimana mungkin, bersenang-senang gelimang uang tarif jasa “kerja santai” duduk manis, sementara itu “memeras” rakyat dengan melakukan praktik MONOPOLISTIK akses terhadap kebutuhan pokok bernama “papan”? Di mata penulis pribadi yang masih mengusung tema “moralis”, praktik kalangan PPAT-swasta selama ini yang hidup makmur seorang diri dengan cara mengambil keuntungan dan kesenangan diatas penderitaan rakyat karena kebutuhan pokoknya di-MONOPOLISIR, sama artinya merupakan pelaku pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

Kita, rakyat dan republik kita di Indonesia, sangat urgen butuh reformasi regulasi besar-besaran semacam “revolusi regulasi”, dimana kewenangan Notaris serta PPAT sejatinya merupakan warisan rezim hukum Kolonial yang jauh dari konsep “online”. Mungkin, saat kini satu-satunya elit politik yang sependapat dengan penulis, hanyalah sang “Ahok” yang dikenal lebih “pro” terhadap kepentingan rakyat ketimbang kemakmuran segelintir pihak swasta yang selama ini makmur memonopolisir.

Kini, saat kalangan Notaris dan PPAT telah “over supply” sehingga saling “banting harga” antar Notaris dalam rangka “perang harga”, masih juga kalangan “drakula penghisap darah” bernama profesi Notaris dan PPAT mengeluhkan betapa tarif jasa mereka demikian menjelma “murah” seharga “sepiring nasi padang dengan rendang”. Murah? Tidak berhati dan butakah para kalangan Notaris dan PPAT kita melihat masyarakat jelata kita yang bahkan untuk mampu makan dua kali sehari pun masih berat di sejumlah daerah di Republik ini? Kerja duduk santai, sekadar “copy paste”, dan masih pula menjual jasa dengan praktik “pemerasan” bernama monopolistik menuju lembaga pendaftaran jaminan kebendaan, monopolistik pendirian serta registrasi badan hukum dan badan usaha, hingga monopolistik akses lembaga pertanahan? Penulis, tidak sampai “tega hati” berprofesi selayaknya “drakula penghisap darah” yang mana praktik monopolistiknya justru dilegalkan dan difasilitasi oleh negara.

Sebagai contoh akses menuju registrasi Hak atas Kekayaan Intelektual, dahulu kala masyarakat dan pelaku usaha mungkin masih membutuhkan peran jasa Konsultan Kekayaan Intelektual untuk mendaftarkan Paten, Merek, Desain Industri, Hak Cipta, dan lain sebagainya. Kini, sejak era “online”, pendaftaran berbagai Kekayaan Intelektual dapat dilakukan oleh masyarakat umum kapan dan dimanapun berada tanpa batasan waktu maupun sekat ruang, alias kebijakan “potong kompas”, dimana pula tanpa lagi harus bergantung pada monopolistik pihak swasta manapun. Mengapa kita tidak menirus sistem serupa, dimana segala pendaftaran jaminan kebendaan, badan hukum, hingga pertanahan, cukup dilakukan secara “online” oleh rakyat secara mandiri dan swadaya, tanpa perlu lagi diperantarai oleh pihak-pihak swasta yang memonopolisir hak akses menuju lembaga-lembaga tersebur?

Sekali lagi, jika dikatakan peran Notaris dan PPAT ialah untuk menciptakan tertib dan kepastian hukum, maka penulis dapat memaparkan begitu banyak fakta realita dimana asumsi demikian tidak benar adanya, dimana pada kenyataannya akta-akta yang dibuat oleh Notaris maupun PPAT kerap berujung pada sengketa perdata maupun pidana, dimana salah satu klien penulis bahkan ketika menjual hak atas tanah dengan akta PPAT, dinyatakan telah “LUNAS” dalam akta sekalipun faktanya belum terdapat pembayaran terlebih pelunasan apapun. Karenanya, akan lebih elok untuk menghapus saja jabatan monopolisir semacam Notaris maupun PPAT, yang hanya menggemukkan kantung saku segelintir pihak yang memopolisir akses menuju lembaga-lembaga hukum dan pertanahan. Faktanya, yang lebih banyak melanggar aturan perihal akta otentik, ialah kalangan Notaris dan PPAT itu sendiri. Contoh, pernahkah dan adakah, Notaris ataupun PPAT yang benar-benar membacakan seluruh isi akta kepada para penghadap?

Prosedur hukum pendirian dan pendaftaran badan hukum Perseroan Terbatas, pendaftaran dan pencoretan jaminan kebendaan Hak Tanggungan dan Fidusia, maupun untuk jual-beli hak atas tanah bersetifikat Kantor Pertanahan, perlu disederhanakan dengan mengubah dan mereformasi regulasi yang ada secara radikal, dimana tentunya membutuhkan keberanian disamping “political will” dari para stakeholder dan penyusun kebijakan yang lebih “pro” terhadap rakyat umum, sehingga cukup sesederhana selayaknya pendaftaran Hak atas Kekayaan Intelektual yang mana dapat dilakukan oleh masyarakat secara swadaya dan mandiri.

Penulis adalah Sarjana Hukum yang sangat amat menentang praktik monopolisir dalam bentuk apapun, terlebih kewenangan monopolisir yang diberikan kepada kalangan swasta semacam Notaris maupun PPAT-swasta. Adalah memalukan dan tidak dapat disebut sumber nafkah yang baik, ketika itu berupa “pemerasan” yang merugikan hak ekonomi rakyat dengan tarif jasa yang demikian luar biasa diluar akal sehat maupun diluar nalar psikologi manusia, semata karena menyalah-gunakan kewenangan monopolistik yang dikuasai olehnya. Sang Notaris dan PPAT, tidak sungkan dan tanpa malu, memungut tarif secara “memeras”, sekalipun bisa jadi itu setara beberapa hari atau beberapa minggu atau bahkan beberapa bulan sang warga harus bekerja berdasarkan gajinya yang hanya sebatas Upah Minimum Provinsi.

Fakta falsafahnya, pendaftaran badan hukum, pendaftaran jaminan kebendaan, hingga pendaftaran hak atas tanah, adalah tugas dan kewajiban pemerintah lewat Aparatur Sipil Negara yang tersebar di berbagai daerah. Kekurangan personil kini telah disikapi dengan efisiensi kinerja lewat bantuan teknologi otomatisasi. Karenanya, tidak lagi relavan mempertahankan konsep lama semacam eksistensi profesi Notaris maupun PPAT yang eksis satu abad yang lampau ketika zaman belum mengenal sistem digitalisasi terlebih sistem “online” seperti dewasa ini.

Penulis memahami betul akan terdapat kalangan Notaris dan PPAT yang secara masif mencela pandangan penulis, namun demi kepentingan yang lebih luas, yakni rakyat umum yang patut diberi perlindungan dari praktik-praktik monopolistik kalangan swasta bernama Notaris dan PPAT, maka ulasan ini penulis suguhkan sebagai bentuk refleksi nalar disamping nurani terdalam, yang juga penulis yakini akan mampu “menyentil” logika paling mendasar di kepala para kalangan Notaris dan PPAT-swasta tersebut—sekalipun mereka akan terlihat mencaci-maki pandangan dan opini penulis dalam ulasan ini, namun hati nurani mereka tidak akan dapat membantah bahwa mereka bersenang-senang diatas derita biaya tinggi yang harus dibayarkan oleh rakyat, sebagaimana komplain beberapa klien dari penulis yang menyatakan tarif jasa yang ditagihkan oleh Notaris dan PPAT menyerupai “pemerasan” semata karena menyalah-gunakan kewenangan monopolistiknya.

Terlagi pula, apa yang diulas dalam bahasan ini, sudah menjadi “rahasia umum”. Tidak ada diantara kalangan masyarakat kita yang benar-benar menaruh hormat kepada kalangan profesi Notaris maupun PPAT, terlebih kalangan profesi semacam Pengacara yang kesemua itu selama ini hidup makmur dari menjual jasa secara monopolistik. Era reformasi ialah era dimana keterbukaan tidak lagi membenarkan praktik-praktik semacam monopoli kewenangan dan akses, namun semata murni meritokrasi sebagai sumber kebanggaan dan ladang mencari nafkah yang baik, TANPA PAKSAAN PALING HALUS SEKALIPUN.

Kritik yang sama penulis tujukan kepada lembaga Kepolisian yang memonopolisir penyidikan maupun Kejaksaan yang memonopolisir akses mendakwa ke hadapan persidangan pidana, dimana kedua lembaga tersebut akan dipastikan “gulung tikar” bila kewenangan monopolistik mereka ditanggalkan. Monopolistik, sangat identik dengan potensi penyalah-gunaan, pemerasan, dan “power tends to corrupt”, baik oleh lembaga negara, terlebih diserahkan ke tangan swasta. Semua ini, berpulang kembali kepada pilihan hidup, menjadi “malaikat” ataukah menjadi “iblis”, dengan konsekuensi masing-masing.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.