Rahasia Gelap Kalangan Profesi Notaris maupun PPAT terkait Akta Otentik

LEGAL OPINION

“Akta Otentik” Vs. “Akta Dibawah Tangan”, Apa Bedanya dan Pilih yang Mana?

Notaris Bertanggung Jawab (Menjamin) secara Formil dan Materiil terhadap Akta Otentik yang Dibuat Olehnya, Kekuatan Pembuktian Formil dan Materiil, Ternyata MITOS Hanya Sebatas TEORI

Question: JIka buat perjanjian hutang-piutang atau jual-beli dan kesepakatan bisnis lainnya, pakai akta dari notaris, tapi akhirnya tetap saja pihak lawan bisa gugat kita sekalipun katanya akta notaris itu akta otentik yang tidak bisa lagi dibantah oleh pihak internal ataupun oleh pihak eksternal perjanjian. Kalau begitu, buat apa kita bayar mahal jasa notaris ini? Bukankah itu artinya cukup kita buat akta “dibawah tangan” saja, untuk semua keperluan usaha dan perjanjian bisnis dan niaga kita?

Lagipula sekalipun pakai akta “dibawah tangan”, pihak lawan tidak bisa seenaknya memungkiri tanda-tangan dia sendiri di akta itu, tanpa didahului adanya putusan pidana yang telah “inkracht” (berkekuatan hukum tetap) yang menyatakan bahwa tanda-tangannya pada akta “dibawah tangan” ini adalah palsu. Tanpa adanya putusan pidana tentang pemalsuan tanda-tangan, akta “dibawah tangan” artinya tetap diakui juga sebagai benar adanya oleh pengadilan.

Artinya, bukankah juga kita bisa buat kesimpulan bahwa akta notaris itu hanya lebih kuat sedikit karena ada saksi dalam proses penanda-tanganan para pihak yang bersepakat, dan pada akta “dibawah tangan” juga kita bisa buat konstruksi serupa, memakai satu atau dua orang saksi yang turut menyaksikan dan tanda-tangan di dalam akta itu, dengan maksud untuk lebih menguatkan pembuktiannya sebagai antisipasi jika ada sengketa dikemudian hari terutama bila pihak yang hendak memungkiri telah tanda-tangan di akta itu. Bila dinilai masih belum cukup juga, akan bisa kita buat juga daftar hadir disertai cap jari maupun foto dokumentasi agar lebih lengkap, maka mau berkelit seperti apa lagi mereka jika sudah seperti itu?

Brief Answer: Tampaknya pertanyaan yang umum dan lazim kita dengar sifatnya demikian memang ada benarnya, dimana semakin lama SHIETRA & PARTNERS mencermati demikian banyak fenomena dalam praktik peradilan, baik perkara pidana maupun perdata, sekalipun objek sengketa ialah berupa “Akta Otentik” yang dibuat oleh pihak Notaris selaku “Pejabat Umum”, tetap saja Majelis Hakim pemeriksa dan pemutus perkara tampaknya lebih menaruh perhatian terhadap alat-alat pembuktian para pihak yang saling bersengketa sekalipun alat-alat bukti lainnya tersebut berupa “akta dibawah tangan”, sekalipun salah satu pihak dalam dalil gugatan atau bantahannya menyatakan bahwa “Akta Otentik” memiliki kekuatan pembuktian formil maupun materiil (yang artinya tidak memerlukan dan tidak membutuhkan pembuktian alat bukti apapun lain dan selebihnya).

Bila memang sistem pembuktian dalam perkara perdata, ialah bersifat pembuktian formal belaka, faktanya, sebagai contoh, sekalipun dalam “Akta Otentik” jual-beli hak atas tanah yang dibuat oleh pihak Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) menyatakan bahwa harga jual-beli “telah LUNAS”, akan tetapi bila pihak pembeli yang dijadikan sebagai pihak Tergugat, tidak mampu memberikan bukti-bukti berupa surat-surat “dibawah tangan” yang membuktikan dirinya telah melakukan sejumlah pembayaran dan penyetoran, seperti kuitansi tanda terima uang atau “print out” mutasi dana antar rekening lembaga keuangan, dan sebagainya, maka dianggap jual-beli belum benar-benar dibayar lunas oleh hakim pengadilan perkara perdata—yang artinya secara tidak langsung Majelis Hakim pengadilan memandang dan meyakini bahwa tidak benar adanya keterangan dalam “Akta Otentik” yang dibuat pihak PPAT, bahwa harga jual-beli telah “LUNAS”.

Keganjilan lainnya, ialah fakta empirik Hukum Acara Perdata yang seolah memungkiri sendiri sifat “Otentik” dalam yang melekat pada “Akta Otentik”, seakan-akan memungkiri pula sifat kekuatan pembuktian formil dan materiil yang melekat pada “Akta Otentik” dimaksud tersebut, dengan tetap pula mewajibkan pihak Penggugat turut menggugat pihak Notaris ataupun PPAT sebagai pihak “Turut Tergugat” atau setidaknya ditarik sebagai pihak “saksi” untuk memberikan keterangan langsung di hadapan pengadilan agar didengarkan keterangan atau kesaksiannya—dimana bila sang Notaris ataupun PPAT memberikan keterangan dalam surat jawaban maupun pernyataan kesaksian langsung di hadapan Majelis Hakim persidangan yang melenceng dari apa yang tertuang dalam “Akta Otentik” yang dibuat olehnya sendiri, sama artinya sang Notaris ataupun PPAT hendak menjebloskan dirinya sendiri ke dalam penjara karena pemalsuan atau memasukkan keterangan palsu ke dalam akta, sehingga karenanya pula adalah mubazir disamping hanya menjelma duplikasi-redundansi keterangan dalam akta maupun surat jawaban dan keterangan sang Notaris di pengadilan, yang sangat tidak efiesien.

PEMBAHASAN:

Biasanya, “Akta Otentik” oleh pihak Notaris maupun PPAT, menyertakan setidaknya minimal dua orang saksi dalam penanda-tanganan “Akta Otentik”—yang mana biasanya merupakan karyawan atau pegawai dari pihak Notaris maupun PPAT—sehingga semestinya juga gugatan Penggugat turut menggugat pihak saksi-saksi dalam penanda-tanganan “Akta Otentik” dimaksud, bukan sekadar “menyeret” pihak yang menjabat jabatan Notaris maupun PPAT sebagai Turut Tergugat dalam aksi gugat-menggugat. Bila Hukum Acara Perdata memandang pihak-pihak yang tergolong “afiliasi” seperti pegawai, tidak sebagai memiliki kualitas kesaksian yang “utuh”, maka kualitas “saksi” semacam apakah bagi kedua orang pegawai Notaris yang turut membubuhkan tanda-tangannya pada “Akta Otentik” yang diterbitkan oleh sang Notaris?

Logika sederhana dibalik pendirian SHIETRA & PARTNERS tersebut di atas ialah, bila saja akta yang ditanda-tangani para pihak ialah berupa sekadar “akta dibawah tangan” yang menyertakan saksi yang turut menanda-tangani, maka ketika terjadi aksi gugat-menggugat maka para saksi tersebut pastinya akan turut “diseret” sebagai pihak Turut Tergugat atau setidaknya diposisikan sebagai pihak “saksi” dalam gugat-menggugat, dengan ancaman gugatan dinyatakan “cacat formil” akibat “kurang pihak” sehingga gugatan akan secara serta-merta dinyatakan “tidak dapat diterima”.

Lantas, yang patut menjadi pertanyaan kita bersama ialah, mengapa dalam konteks “Akta Otentik”, yang wajib “diseret” sebagai pihak Turut Tergugat, justru adalah pihak Notaris maupun PPAT pembuat akta seorang, alih-alih para saksi yang turut menanda-tangani akta dimaksud? Itulah salah satu keganjilan paling utama dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia yang sangat tidak logis dan terlampau birokratis penuh prosedural yang sejatinya dapat dipangkas agar lebih efektif disamping efisien. Bila memang “Akta Otentik” memiliki kekuatan pembuktian formil, maka bukankah artinya akta dimaksud secara inheren dan “in casu” sudah merupakan “testimonium” yang “otentik” dari pihak sang Notaris itu sendiri, sehingga untuk apa lagi dijadikan Turut Tergugat atau dijadikan sebagai “saksi” di persidangan? Prosedur hukum maupun hukum acara yang tidak logis dan tanpa faedah, sudah sepatutnya dipangkas dan ditinjau ulang kebijakannya.

Perlu juga kita ingat serta pahami latar-belakang terbentuknya profesi Notaris dan “Akta Otentik” yang menjadi produk profesinya, yakni bermula pada era konvensional dimana segalanya masih bersifat “analog”, alias belum mengenal alat dokumentasi digital seperti kamera, potret, rekaman video maupun foto, dan lain sebagainya, sehingga dibentuklah suatu profesi yang dibebankan “sumpah jabatan” untuk hanya membuat dan memasukkan keterangan sebenarnya-benarnya dan “apa adanya” (as it is) ke dalam akta yang dibuat olehnya, kemudian diberi gelar sebagai “Otentik” lengkap dengan cap “lambang negara” yang menyertai setiap lembar dokumen penyusun aktanya.

Sederhananya, dahulu kala, profesi Notaris dibentuk semata untuk menyederhanakan proses pembuktian, karena memang tiada alat bukti lain untuk memudahkan pembuktian seperti saat kini di era digital yang mudah bagi setiap warga masyarakat untuk melakukan proses dokumentasi terlebih ketika di Indonesia telah diakuinya dokumen dan data digital berdasarkan terbitnya Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang termasyur itu. Kini, sejatinya tidak lagi dibutuhkan profesi semacam Notaris untuk membuat akta terkait hubungan hukum apapun, mengingat sifat pembuktiannya telah dapat diatasi lewat solusi praktis sederhana seperti dokumentasi lewat rekaman foto maupun video saat proses mengikatkan diri dalam suatu perikatan perdata kontraktual dilangsungkan antar dua atau lebih subjek hukum.

Menjadi ambigu pula, ketika pada praktik di lapangan ternyata “Akta Otentik” yang dibuat oleh kalangan Notaris maupun PPAT secara “de facto” tidak benar-benar diakui oleh Majelis Hakim di pengadilan perkara perdata sebagai benar-benar memiliki kekuatan pembuktian formal, sekalipun benar secara “de jure” (yang mana tampaknya kini wibawa serta reputasi “Akta Otentik” Notaris maupun PPAT telah tercoreng dan tercemar oleh akibat beragam aksi tidak etis kalangan Notaris maupun PPAT itu sendiri), sehingga pada kekinian praktis kalangan Notaris maupun PPAT masih juga membekali dirinya dengan menyertakan lembaran “Daftar Hadir” bagi para pihak yang menanda-tangani “Akta Otentik” yang dibuat oleh Notaris maupun PPAT, lengkap dokumentasi berupa rekaman foto—pun masih saja dapat berujung pada aksi gugat-menggugat, bahkan tidak jarang pula berujung pada perkara pidana karena adanya pemalsuan identitas salah satu pihak penghadap seperti yang kerap diberitakan modus “mafia tanah” yang hingga kini masih menjadi “momok” di republik agraris ini, seolah tanpa penanganan cukup berarti dari negara untuk membenani regulasi terkait pertanahan.

Dengan kini kita mulai memahami dan menjadi mafhum, bahwasannya profesi dan peran Notaris maupun PPAT hanya relevan ketika era masih bersifat “analog” tanpa pernah dikenal teknologi seperti era modern digital sekarang ini yang serba efisien, menjadi “ekonomi berbiaya tinggi” bila masih juga memaksakan diri menggunakan jasa Notaris untuk membuat “Akta Otentik” dalam rangka berbisnis membuat kontrak perjanjian, dan lain sebagainya. Karenanya pula, menjadi “latah” yang tidak pada tempatnya, ketika Undang-Undang tentang Hak Tanggungan maupun Fidusia, mewajibkan Akta Pembebanan Hak Tanggungan maupun Fidusia berbentuk “Akta Otentik”, bila hendak didaftarkan serta diterbitkan Sertifikat Hak Tanggungan dari Kantor Pertanahan maupun Sertifikat Fidusia dari Kementerian Hukum.

Pertanyaannya ialah, mengapa kedua jenis akta terkait jaminan kebendaan demikian, harus berupa “Akta Otentik” yang hanya menjadi monopolisir kalangan Notaris maupun PPAT? Adalah tidak pada tempatnya, persepsi lawas yang telah usang, tetap dilestarikan sekalipun teknologi modern dan digitalisasi telah memungkinkan kita untuk memangkas prosedur maupun peran Notaris maupun PPAT. Teknologi yang diberdayakan secara optimal, akan mampu benar-benar menihilkan peran seorang Notaris maupun PPAT yang saat kini dari sejak dahulu kala hidup makmur berkat “monopoli kewenangan”, demi kebaikan masyarakat yang lebih luas dari beban biaya yang tidak perlu ada seperti tarif jasa Notaris maupun PPAT-swasta.

Kini SHIETRA & PARTNERS akan memasuki bahasan yang lebih sensitif yang jarang disinggung maupun diakui oleh kalangan Notaris maupun PPAT di Indonesia, yakni ketika substansi atau muatan materi “Akta Otentik” dipermasalahkan secara materiil oleh pihak ketiga sebagai terdapat keterangan palsu di dalamnya sehingga para pihak yang terlibat maupun pihak Notaris maupun PPAT turut terseret sebagai Tersangka perkara pidana pemalsuan, yang kemudian selalu menjadi dalil bantahan pihak Notaris ataupun PPAT dalam berkilah (secara “klise”, tentunya), ialah bahwa tidaklah mungkin bagi mereka untuk memastikan kebenaran materiil kandungan isi akta yang dibuat olehnya, mereka hanya berperan dalam hal yang “formil-formil” saja.

Menjadi pertanyaan besar SHIETRA & PARTNERS yang tampaknya tidak akan berani dijawab terlebih mampu dibantah oleh kalangan Notaris maupun PPAT ialah, kalau begitu artinya kekuatan “Akta Otentik” sejatinya dari dahulu kala hingga kini ialah “tidak utuh lagi” atau bahkan sama sekali “tidak pernah utuh”? Dengan demikian, pihak-pihak yang telah menyimpangi serta mengingkari teori paling mendasar dari fungsi serta peran “Akta Otentik”, ialah kalangan Notaris maupun PPAT itu sendiri.

Ketika para penanda-tangan “Akta Otentik” mendalilkan serta berasumsi (penuh “delusi”) bahwa “Akta Otentik” ialah akta dengan kekuatan pembuktian formil maupun materiil, namun senyatanya pihak Notaris maupun PPAT pembuat akta justru mendalilkan akta yang dibuat olehnya hanya menjamin pembuktian formil, sekalipun ketentuan hukum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maupun teori dalam “text book” Hukum Acara Perdata menyatakan “Akta Otentik” memiliki nilai sebagai memiliki kekuatan pembuktian baik secara formil maupun materiil, sama artinya yang telah melakukan “perselingkuhan”, pencemaran, serta penodaan disamping pengingkaran dan “pengkhianatan” terhadap peran dan fungsinya sendiri selaku pembuat dan penerbit “Akta Otentik”, tidak lain tidak bukan ialah kalangan profesi Notaris maupun PPAT itu sendiri, yang karenanya memang sudah saatnya profesi semacam Notaris maupun PPAT patut serta harus dibubarkan dan “dikubur” untuk selamanya karena ternyata dan senyatanya selama ini memungkiri peran, tugas, dan tanggung-jawab profesinya sendiri.

Akibat sifat “mendua” (ber-“standar ganda”) tanpa ketegasan kalangan profesi Notaris maupun PPAT, ketika menjual jasanya mengumandangkan bahwa “Akta Otentik” bersifat memiliki kekuatan pembuktian baik dari segi formil serta materiil, namun ketika dihadapkan kepada kasus-kasus perdata ataupun pidana, para kalangan profesi Notaris maupun PPAT senantiasa menyanyikan lagu lama yang kembali didendangkan, “Kami tidak menjamin kebenaran materiil isi akta yang kami buatkan.”

Itulah asal-muasal serta akar penyebab, keruh dan kian carut-marutnya praktik peradilan terkait sengketa yang timbul bermula dari terbentuknya berbagai “Akta Otentik” yang “banci” sifatnya, karena salah satu pihak yang bersengketa mendalilkan bahwa “Akta Otentik” yang menjadi Objek Sengketa memiliki kekuatan pembuktian formil maupun materiil, namun disaat bersamaan sang Notaris maupun PPAT penerbit akta menyatakan “bisa ya (formil dan materiil), namun bisa juga tidak (hanya kekuatan pembuktian formil semata)”, sesuai kebutuhan dan kepentingan sang Notaris itu sendiri yang seolah-olah sedang menyisakan ruang bagi dirinya sendiri untuk “berkelit” dan “berkilah”.

Karenanya, SHIETRA & PARTNERS selalu memberi gelar terhadap kalangan profesi Notaris maupun PPAT sebagai profesi yang menyerupai “politikus”, ketika dihadapkan kepada sisi marketing akan sesumbar perihal kekuatan pembuktian sebuah “Akta Otentik”, namun ketika disidik oleh penyidik Kepolisian terkait keterangan palsu di dalam akta, atau bahkan terdapat unsur-unsur pemalsuan yang mendasari pembentukan “Akta Otentik” dimaksud, kalangan Notaris maupun PPAT selalu menjadikan alibi kalimat sumur penuh klise : “Kami, para Notaris maupun PPAT, tidak mungkin memastikan kebenaran isi materiil akta yang kami buatkan.”

Dengan demikian, bila kekuatan pembuktian sebuah “Akta Otentik”, sebagaimana pengakuan kalangan Notaris maupun PPAT ketika dihadapkan ke hadapan penyidik Kepolisian, ialah hanya sekadar mengandung kekuatan pembuktian secara formil belaka, maka cukuplah kita menyertakan beberapa orang saksi yang independen (sekalipun kita bayar untuk menjadi “saksi sewaan”, dimana Notaris dan pegawainya pun adalah “saksi sewaan”) maka pembuktian formil telah terpenuhi layaknya “Akta SEMI Otentik”.

Bukankah membingungkan, seorang karyawan atau pegawai dinyatakan sebagai tidak independen sehingga tidak boleh disumpah saat didengarkan keterangannya sebagai saksi di pengadilan, semata karena diberikan upah. Pertanyaannya, apakah ada, saksi yang independen tanpa dibayar atau diberikan kompensasi upah atau imbalan apapun? Faktanya, tiada kalangan Notaris yang bersedia menjadi “saksi” tanpa dibayar sebagai “saksi sewaan” dalam wujud kemasan bernama “Akta Otentik” (sebagaimana klaim kalangan Notaris maupun PPAT, bahwa “Akta Otentik” hanyalah mengandung kekuatan pembuktian formil semata dan belaka).

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.