Supremasi Aturan Tidak Tertulis dan Bahaya yang Mengancam Dibaliknya, Berpotensi Merongrong Wibawa Aturan Tertulis maupun Konstitusi Negara

ARTIKEL HUKUM

Aturan Tidak Tertulis, Kadang Menyerupai Racun Berbahaya yang Tidak Berwarna, Tidak Berbau, dan Tidak Berasa, Warga menjadi Abai serta Gagal Menaruh Waspada terhadap Ancaman Dibaliknya

Tekanan Sosial, Terkadang Lebih Suprematif daripada Norma Hukum yang Dibiarkan Terbengkalai Tidak Tegak Sebagaimana Mestinya. Faktor keterpaksaannya sebagai “konformitas”, dilakukannya karena itulah satu-satunya “cara untuk diterima masyarakat” yang mewajibkan ataupun yang melarang. Sebuah Tinjauan Sosiologi Hukum

Apakah “aturan tidak tertulis” kalah penting terhadap “aturan tertulis”? Faktanya, jarang sekali kalangan hukum di Indonesia yang menyentuh aspek “aturan tidak tertulis”, semacam hukum adat, norma kebiasaan atau kultur bangsa ataupun semacam budaya organisasi suatu lembaga dan komunitas, faktor politik dan sosiologis, tekanan psikis-psikologis, desakan budaya sosial masyarakat mayoritas, relasi dominasi yang tidak sejajar semisal antara guru-murid, orangtua-anak, penguasa-rakyat, hingga “arus mainstream” itu sendiri dimana melawan arus sama artinya menjelma “aneh sendiri” dan terkucilkan.

Norma hukum tertulis, tidak pernah berdiri sendiri, namun selalu didampingi atau diikuti oleh “preseden tidak tertulis” yang menggambarkan betapa norma hukum tertulis tersebut adalah diberlakukan secara efektif dalam praktik ataukah justru sebaliknya, tidak tegak sama sekali karena tidak ditegakkan sama sekali atau bahkan disimpangi dengan secara disengaja atau karena pengabaian.

Karena itulah, tugas besar hukum tidak berhenti hanya sampai pada pembentukan norma hukum tertulis, namun juga memastikan norma hukum tertulis tersebut mampu menciptakan apa yang penulis sebut sebagai “preseden tegaknya norma hukum tertulis” tersebut. Ketika pada tataran praktik di lapangan, ternyata tidak ditegakkannya norma hukum tertulis demikian, itulah yang dapat kita sebut sebagai “preseden tidak tertulis berupa tidak diberlakukannya norma hukum tertulis” dimaksud. Karenanya, antara norma hukum tertulis dan preseden yang menyertainya, saling berpasangan.

Ketika “aturan tertulis” (norma hukum tertulis) dalam tataran praktiknya disimpangi dan tidak diberi kehormatan, alias tidak dijalankan sebagaimana mestinya, maka “aturan tidak tertulis” yang (dalam praktiknya dibiarkan) menderogasi keberlakuan “aturan tertulis” akan menjelma “preseden” itu sendiri, yakni “preseden aturan tidak tertulis yang menihilkan supremasi aturan tertulis”. Karenanya, faktor konsistensi terutama dalam tataran penegakan hukum yang tidak kompromistis, perlu disikapi secara serius dan sepenuh hati oleh segenap aparatur penegak hukum, segenap aparatur pemerintahan, serta oleh segenap warga masyarakat agar ter-internalisasi sehingga tidak lagi terbuka ruang penyimpangan yang memungkinkan terbentuknya “preseden aturan tidak tertulis yang menyimpang” demikian.

Untuk memahami bahaya dibalik praktik-praktik yang membiarkan disimpanginya berbagai norma hukum tertulis, terutama di-“kangkangi”-nya norma hukum dalam Konstitusi Negara yang semestinya dan segoyianya dijunjung tinggi sakralitas dan wibawa supermasi norma hukumnya terutama oleh lembaga-lembaga yang bernaung dibawah institusi pemerintahan sebagai “garda terdepan” dalam memberikan teladan bagi masyarakat, sebagai bentuk kehormatan terhadap Konstitusi Negara yang menjadi simbol nasionalisme, bukan berdasarkan kepentingan segelintir pihak tertentu. Reputasi hukum yang baik, ialah ketika norma aturan hukum tertulis dihormati dan dipatuhi oleh segenap aparatur pemerintah dan rakyatnya, tanpa terkecuali, tidak menyerupai “macam ompong” ataupun sekadar semacam “macan diatas kertas” (preseden “meng-ompong-kan” norma hukum).

Salah satu ilustrasinya, dapat kita jumpai ketika BBC News Indonesia merilis laporan berjudul “Saya lepas jilbab dicap bermoral buruk, diintimidasi, dikucilkan lingkungan”—tantangan dan perlawanan siswi yang menolak berjilbab di sekolah negeri, https:// www. bbc .com/indonesia/indonesia-56425516, diakses pada tanggal 19 Maret 2021, dengan potret empirik lapangan yang memperlihatkan betapa “aturan tidak tertulis” dapat menihilkan “aturan tertulis” sekaliber Konstitusi Negara sekalipun:

Peraturan wajib jilbab yang sewenang-wenang dan diskriminatif di sejumlah sekolah negeri di Indonesia telah menyebabkan tekanan psikologis bagi siswi dan guru perempuan yang menolaknya, demikian laporan organisasi Human Rights Watch (HRW).

Bahkan ada beberapa korban — diantaranya ada yang beragama Islam — dilaporkan mengalami depresi dan berusaha bunuh diri setelah mendapat tekanan keluarga dan lingkungan.

Dalam laporan setebal 150 halaman, berjudul “Aku ingin lari jauh” : Ketidak-adilan aturan berpakaian bagi perempuan di Indonesia, yang diliris Kamis (18/03), HRW mendokumentasikan para siswi dan guru perempuan di beberapa kota di Indonesia yang menolak berjilbab telah mengalami perundungan yang meluas.

“Anak yang tidak patuh dengan jilbab dipaksa keluar sekolah atau mengundurkan diri di bawah tekanan,” kata Elaine Pearson dari HRW, Kamis.

“Sementara pegawai negeri perempuan kehilangan pekerjaan mereka atau mengundurkan diri untuk menghindari tuntutan terus-menerus memakai jilbab.”

Laporan ini diterbitkan hampir sebulan setelah pemerintah menerbitkan Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri yang melarang aturan busana sekolah, menyusul protes siswi Kristen yang dipaksa berjilbab di sebuah sekolah negeri di kota Padang.

“Pemerintahan Jokowi harus memegang teguh dan menegakkan SKB Tiga Menteri ini yang melarang pemaksaan jilbab, dan kemudian melangkah lebih jauh dengan mengakhiri semua peraturan yang diskriminasi gender di sekolah atau tempat kerja,” kata Elaine Pearson.

Sejak 2014 hingga tahun ini, HRW melakukan wawancara antara lain 140 siswi, guru perempuan di beberapa sekolah negeri di kota di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, yang sebagian besar mengalami tekanan psikologi, bahkan dilaporkan ada yang berusaha bunuh diri.

Laporan ini juga merekam kasus remaja dan perempuan yang mengalami body dysmorphic disorder — gangguan psikologis dengan perasaan merasa kurang pada penampilan diri akibat perundungan dan intimidasi terus-menerus.

“Peraturan-peraturan ini merupakan serangan atas hak dasar kebebasan beragama, berekspresi, dan privasi,” kata Andreas Harsono dari HRW Indonesia.

Aturan busana yang dianggap diskriminatif itu juga disebutnya sebagai serangan atas kemampuan perempuan memperoleh pendidikan, pekerjaan, dan jaminan sosial.

Menurut Andreas, tidak semua korban diskriminasi aturan busana ini menyatakan siap apabila jati dirinya diungkap dalam laporan HRW. “Sebagian korban takut, trauma,” katanya.

Berikut kesaksian dua orang korban dan satu orang yang merekam kasus-kasus perundungan dialami beberapa korban. Mereka memberikan kesaksian kepada HRW dan BBC News Indonesia, kemudian mewawancarai mereka secara terpisah, Rabu (17/03):

“Saya lepas jilbab, karena ini tubuh saya sendiri” — Kisah Nadya Karima Melati.

“Hei, jilbabnya mana!” Ucapan sang guru saat dirinya menjadi siswa SMA Negeri II di Cibinong, Kabupaten Bogor, terus membekas — hingga kini, 10 tahun kemudian.

Saat itu, Nadya Karima Melati, kelahiran 1994, mengaku dirinya sudah mempertanyakan mengapa perempuan harus menutup rambutnya dengan sehelai kain. Itulah sebabnya, dia kemudian beberapa kali melepas jilbabnya saat di lingkungan sekolah.

Lalu, “Hei, jilbabnya mana! Itu [guru] sambil nunjuk-nunjuk [ke muka saya],” Nadya — panggilan akrabnya — menghela napas panjang.

“Itu selalu diulang-ulang dan dijadikan alat untuk mendisplinkan murid perempuan di sekolah,” ungkapnya kepada BBC News Indonesia.

Nadya, yang beragama Islam, mengaku dirinya “dijebak” dengan aturan yang tidak tertulis di sekolahnya yang mengharuskan siswa perempuan harus berjilbab.

“Kata-kata ‘jilbabnya mana’, itu benar-benar jadi alat untuk mendisiplinkan tubuh dan mengunci perempuan dalam ruangnya yang akhirnya membuat dia tidak bisa kemana-mana,” kata Nadya.

Karena tidak suka dan tidak pernah menerima ‘kewajiban’ berjilbab di sekolah, Nadya acap mencopotnya di lingkungan sekolah. Ketika didamprat gurunya, barulah dia memakainya lagi.

“Dan ketika aku ke luar pintu gerbang [saat pulang sekolah], aku buka lagi,” kali ini dia seraya tertawa.

Dia memang menolak mengenakan jilbab, tapi saat itu dia tidak mampu menghadapi tekanan pihak sekolah, keluarga dan teman-temannya yang berjilbab.

Nadya kemudian teringat ucapan teman-temannya saat dia melepas jilbabnya karena kegerahan: “Eh, jangan dibuka, auratnya nanti dilihat cowok...”

Belum lagi, apa yang disebutnya sebagai “sistem penilaian” terkait perilaku siswa yang melepas jilbab.

“Aku merasa kalau lepas jilbab, berarti aku melanggar peraturan sekolah, karena ada poin [nilai], berarti aku dianggap anak bandel.”

Dan, “kalau aku jadi bandel, nanti kalau nilaiku berapa pun, tidak akan ngefek, karena di rapor akan ditulis bahwa moralku buruk.”

Kelak, dia menyebut keterpaksaannya mengenakan jilbab di masa SMA itu sebagai “konformitas”. Itu dilakukannya karena itu satu-satunya “cara untuk (dapat) diterima masyarakat” yang mewajibkan jilbab.

Namun, tekanan masyarakat tentang 'kewajiban jilbab' terus menghantuinya, hingga dia memasuki bangku kuliah di jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia.

“Puncak depresinya ketika akhir semester, ketika aku memutuskan melepas jilbab,” ujarnya. “Dan itu guncangan besar, karena aku betul-betul dikucilkan lingkungan.”

Kepada tim peneliti HRW, Nadya mengaku dirinya pada masa itu “harus bolak-balik ke psikolog-psikiater” karena “percobaan bunuh diri” karena ditekan dan diintimidasi akibat membuka jilbab.

Toh Nadya terus melawan. Di akhir masa kuliahnya, dia “sengaja” mengambil kajian tentang Islamologi untuk skripsinya. Pilihan intelektual ini ditempuhnya “demi melawan argumentasi jilbab adalah suatu yang wajib.”

“Kita harus memberi pemahaman, bahwa kalau lepas jilbab dan perempuan memiliki tubuhnya sendiri, itu tidak apa-apa. Kalau kamu kelihatan rambutmu, kamu tetap jadi perempuan, dan tidak ada kategori antara perempuan baik dan tidak baik-baik. Semua perempuan adalah manusia,” tandas Nadya.

Di sebuah kota di pulau Jawa, seorang ibu yang putrinya mengalami perundungan akibat didiskriminasi lantaran menolak berjilbab seperti dituntut sekolahnya, meminta agar jati dirinya dan anaknya disembunyikan.

Di awal wawancara, Rina — bukan nama sebenarnya — menyebut dirinya Muslim, tapi memilih tidak berjilbab, meski dulu sempat mengenakannya.

Kemudian dia menggaris-bawahi bahwa dia dan suaminya tidak pernah memaksa anaknya mengenakan jilbab atau melarang mengenakan jilbab. Mengenakan jilbab adalah pilihan, sebagaimana dia memahami agamanya, ujarnya.

“Ini sekaligus agar anak kami bisa belajar untuk punya pilihan, dan bisa ambil keputusan menyangkut dirinya,” katanya.

Dia kemudian menyebut apa yang disebutnya prinsip bahwa jilbab tidak boleh dilarang dan sebaliknya jilbab tidak boleh dipaksakan.

Dari cara pandang seperti ini, Rina bisa memahami ketika anaknya mau melepas jilbab ketika mau melanjutkan ke sebuah SMP negeri — setelah sebelumnya mengenakannya.

Namun di sinilah awal masalah timbul. Guru agama di SMP negeri itu mendorong putrinya agar mengenakan jilbab.

“Teman-temannya juga mulai bertanya ‘kenapa kamu tidak pakai jilbab?’” Ungkapnya. Situasi ini kemudian membuat anaknya “tidak nyaman”.

Rina dan suaminya kemudian menemui kepala sekolahnya dan memperoleh kepastian bahwa mengenakan jilbab bukanlah kewajiban. “Tetapi disarankan memakai jilbab.”

Akhirnya dicapai kompromi : Putrinya hanya mengenakan jilbab pada saat pelajaran agama. Rina dan anaknya sepakat.

Tetapi, sang guru agama tetap gencar menyatakan ‘dosa kalau perempuan tidak menutup aurat’. Rina menyebut hal ini berlangsung terus-menerus hingga anaknya naik klas dua.

Suatu saat anaknya mencurahkan isi hatinya kepada sang ibu, setelah gurunya menyebut “rambut bisa menimbulkan hasrat seksual” sehingga mengenakan jilbab itu merupakan kewajiban. [Note : Pria yang berhasrat dan gagal membendung libido diri sendiri, tubuh wanita yang dipersalahkan.]

Dalam perkembangannya, guru agama — yang juga wali klas — terus mengecek agar sang anak mengenakan jilbab, tidak semata saat mengikuti pelajaran agama. “Ini terus menerus,” katanya.

Akibatnya, “anak saya merasa tidak konfiden, dan selalu mempertanyakan ‘kenapa saya tak mengenakan jilbab, kok jadi masalah’,’'kenapa perempuan yang pakai jilbab dapat mencegah birahi yang memandangnya.’”

“Dia bahkan bertanya ‘kenapa Islam menjadi diskriminatif terhadap perempuan’,” ungkap Rina. Di sini dia memberikan pemahaman bahwa ada interpretasi yang dominan dan represif terhadap agama.

“Anak saja menjadi marjinal dari komunitas sekolahnya itu, dia merasa lain sendiri,” katanya. Dia kemudian hati-hati membangun pertemanan. “Ini berat buat anak seusia dia.”

Hal inilah yang membuat Rina dan suaminya menemui kepala sekolah. Mereka kemudian diminta menemui langsung wali klasnya.

“Oh ibunya yang melarang anaknya mengenakan jilbab,” ujar sang wali kelas, saat melihat Rina tak berjilbab. Di sinilah, suaminya menjelaskan bahwa jilbab tidak wajib bagi muslim.

Menurutnya, wali klas berkilah bahwa penggunaan jilbab adalah aturan sekolah. Rina tidak pernah menemukan aturan itu. Pada titik inilah, Rina kemudian menemui Ombudsman untuk menanyakan apakah jilbab wajib di sekolah negeri.

Ombudsman kemudian mengeluarkan rekomendasi agar kepala sekolah mengawasi sang guru agama tersebut. Kantor dinas pendidikan setempat juga diminta mengawasi sekolah-sekolah di lingkungannya.

Sekolah yang bersangkutan juga diminta merevisi aturan yang menyebutkan jilbab adalah kewajiban. “Setelah itu, anak saya tidak pernah ditekan guru agamanya dan anak saya merasa lebih aman.”

Di penghujung wawancara, Rina mengharapkan agar dunia pendidikan memungkinkan anak-anak untuk belajar menerima perbedaan.

“Yaitu menciptakan anak-anak dari berbagai latar belakang bisa belajar bersama dengan nyaman. Mau kemana lagi, kalau sekolah negeri tidak menyediakan hal seperti itu,” tandas Rina.

‘Identitas sebagai non-Muslim tidak dihargai’

Nur Laeliyatul Masruroh, yang terlibat mewawancarai korban peraturan wajib jilbab di Kota Solok, Padang, Bogor hingga Banyuwangi dalam penelitian HRW, menyebut sebagian besar mereka “yang dipaksa berjilbab” mengalami trauma.

Dia mengungkap seorang siswi Katolik yang dipaksa mengenakan jilbab di sebuah sekolah negeri di Banyuwangi, sehingga dia sempat menolak bersekolah.

“Gurunya mengatakan ‘nanti yang ikut olah raga harus pakai jilbab ya’, padahal itu tidak ada kegiatan keagamaan,” ungkap Nur kepada BBC News Indonesia.

Kepada Nur pada 2018 lalu, siswi itu mengalami trauma karena merasa tidak diterima di lingkungannya.”"Dia akhirnya tidak mau sekolah, dan dia menangis saat saya wawancarai,” katanya.

Di Kota Padang, Nur juga mewawancarai seorang siswi Kristen yang orang tuanya harus merogoh kocek lebih dalam untuk membeli kain dan menjahitnya menjadi jilbab yang lebarnya harus bisa menutupi pantat dan rangkap dua.

“Dan ketika tidak memenuhi [syarat] itu, ada guru mencatat poin. Kalau melakukan pelanggaran terus-menerus, itu dapat dikeluarkan dari sekolah,” ujarnya.

Nur juga sempat mewawancarai siswi Kristen di sekolah negeri yang keluarganya masuk kategori miskin. Menurutnya, mereka tidak punya pilihan, karena sekolah swasta biayanya lebih mahal.

“Itu membuat mereka mau-tidak-mau tunduk pada aturan sekolah, dan ini membuat identitas mereka sebagai non-Muslim tidak dihargai,” ungkap Nur.

Dia dipaksa berjilbab sejak SD, SMP hingga SMA. “Tapi mereka takut sekali kasus ini terekspose media. Mereka tidak mau namanya disebutkan, karena minoritas.”

Di Bogor, Nur mengakui ada siswi Muslim yang berani melawan kebijakan pimpinan sekolah negeri yang mewajibkan siswinya mengenakan model jilbab yang lebih ketat.

“Dia tidak menolak jilbab, tapi mempertanyakan kenapa model jilbabnya besar dan menutup dada serta tebal, ‘kan panas’,” kata Nur Laeliyatul menirukan sang siswi.

Dia melawan dengan menggelar lomba semacam ‘jilbab cantik’. "Tapi ini ditegur, karena dianggap jilbab itu tidak sesuai syariat," ungkap Nur, yang kini aktif di organisasi CSAVE (Civil Society Against Violent Extremism).

Bagaimana evaluasi pelaksanaan SKB tiga menteri?

Aktivis HRW Andreas Harsono mengatakan, sejak SKB tiga menteri tentang larangan mewajibkan jilbab di sekolah negeri diberlakukan, “baru sedikit ada perubahan” di lapangan.

Dia memberikan contoh, baru 23 siswi di sebuah sekolah menengah atas di kota Padang, yang disebutnya “menggunakan hak mereka untuk memilih [berjilbab atau tidak]”.

“Ratusan siswi lainnya tidak memilih. Kenapa ini terjadi? Karena, peraturan sekolah [terkait kewajiban jilbab di sekolah negeri] belum diubah,” kata Andreas kepada BBC News Indonesia, Rabu (17/03).

Faktor lainnya, demikian Andreas, sanksi bagi sekolah yang menolak menjalankan SKB tiga menteri, belum dijalankan sanksinya.

“Jadi kita belum melihat ada perubahan yang substansial, tetapi ini sebuah langkah positif, karena dari semua peraturan [diskriminatif], yang paling besar dampaknya, yang paling melanggar bagi siswi dan guru perempuan, adalah peraturan Kemendikud tahun 2014 tentang aturan seragam sekolah,” jelasnya.

Pada 2014, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan aturan seragam sekolah di mana digambarkan “busana Muslimah” dengan rok panjang, kemeja lengan panjang, dan jilbab.

Menurut Andreas, peraturan itu memberi kesan bahwa itulah satu-satunya pilihan bagi para gadis Muslim.

Akibatnya, aturan itu kemudian mendorong dinas pendidikan di daerah untuk memperkenalkan peraturan-peraturan baru.

Dia melanjutkan, hal ini lantas mendorong ribuan sekolah negeri, dari sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, untuk menulis ulang tata terbit seragam sekolah, yang mewajibkan jilbab bagi Muslimah.

Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang menanda-tangani peraturan tahun 2014, mengatakan kepada Human Rights Watch, peraturan itu memberi dua pilihan: kemeja lengan panjang, rok panjang dan jilbab, atau seragam tanpa jilbab.

Dikutip oleh Andreas Harsono, Nuh mengatakan, “Saya membuat peraturan itu. Tapi jilbab tidak wajib. Tidak ada kata wajib di sana.” [Note : Adakah frasa “wajib” dalam aturan-aturan hukum seperti dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana? Semua aturan hukum, sepanjang tidak terdapat istilah “kebolehan”, artinya WAJIB hukumnya.]

Norma hukum tertulis, baik Konstitusi Negara maupun Peraturan apapun itu sifatnya, butuh keseriusan, komitmen, serta konsistensi dalam tataran praktik dari atas hingga “akar-rumput”. Bila tidak, “harga” yang harus kita bayarkan ialah lahirnya “preseden aturan tidak tertulis yang menyimpangi aturan tertulis”. BBC juga sempat mendokumentasikan, dengan tajuk “Kewajiban jilbab di Riau, antara kearifan lokal dan pelanggaran kebhinekaan”, https:// www. bbc .com/indonesia/indonesia-45319155, diakses pada tanggal 18 Maret 2021:

Sebuah sekolah menengah atas di Kabupaten Rokan Hulu, Riau, dilaporkan mewajibkan seluruh siswinya mengenakan jilbab, termasuk bagi yang non-Muslim.

Ketentuan itu dianggap tak sesuai dengan kebhinekaan yang diajarkan di bangku sekolah, namun kepala sekolah mengatakan “ini hanya imbauan dan merupakan bagian dari kearifan lokal”. [Note : Aturan tidak tertulis yang menyimpangi dan mengangkangi aturan tertulis.]

Peraturan ini diterapkan di SMA Negeri 2 Rambah Hilir di Rokan Hulu.

Pimpinan sekolah, Norman, menyebut ketentuan berpakaian itu bukan keharusan dan tak diatur secara tertulis. [Note : Namun diatur secara tertulis.]

Norman mengatakan sejak lama sekolahnya hanya mengimbau pemakaian jilbab, yang disebutnya sesuai dengan nilai keislaman yang kental di Riau.

“Riau adalah daerah Muslim, tapi memang ada pendatang. Dari 472 siswa kami, hanya 40 yang non-Muslim,” kata Norman kepada BBC Indonesia, Senin (28/08). [Note : “Hanya”? Istilah “hanya” konotasinya ialah patut dan layak disepelekan alias tidak berarti.]

“Jadi arahan kepala sekolah terdahulu, yang non-Muslim juga berjilbab. Kami tidak pernah sampaikan itu hal wajib,” kata Norman. [Note : Apakah dalam semua hal, baik lisan maupun tertulis, aturan-aturan mencantum frasa “WAJIB” untuk menandakan tidak boleh memilih lain bagi warganya?]

Ia menganggap aneh keluhan kaidah berjilbab yang muncul belakangan. Ia mengklaim, selama ini sekolahnya tidak pernah menjatuhkan sanksi pada siswi non-Muslim yang tak mengenakan jilbab.

Kalau wajib berarti ada sanksi, selama saya menjadi kepala sekolah, tidak pernah ada yang disanksi, saya juga pernah lihat siswi tidak berjilbab. Ini sekedar motivasi bagi anak didik,” ujarnya. [Note : Sanksi, dapat berupa sanksi hukum maupun sanksi sosial, hingga sanksi politis yang terkadang tidak kalah menakutkan daripada sanksi hukum.]

Isu kewajiban berjilbab muncul di beberapa daerah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.

Isu wajib jilbab di sekolah-sekolah Riau sebelumnya pernah muncul tahun 2016. Saat itu, SMP Negeri 3 di Indragiri Hulu mengharuskan seluruh siswi mereka mengenakan jilbab.

Namun ketika itu Dinas Pendidikan Riau segera menegur pimpinan sekolah dan menganulir ketentuan ini.

Bagaimanapun, meski kebudayaan Riau sarat nilai-nilai keislaman, pengamat menilai sekolah tidak seharusnya mewajibkan siswa non-Muslim mengenakan jilbab.

Anggota Dewan Pertimbangan Persatuan Guru Republik Indonesia di Riau, Jakiman, menganggap sekolah merupakan ruang untuk menyemai keberagaman dan kebhinekaan.

“Jilbab untuk menjalankan syariat agama dan demi norma kesopanan tidak masalah. Tapi kalau dipaksakan, saya rasa itu perlu ditinjau kembali,” tambah Jakiman.

Jakiman menuturkan, kewajiban berjilbab hanya dapat diatur dalam sekolah berbasis agama. Menurutnya, para peserta pelajar yang bersekolah di lembaga agama harus siap dengan konsekuensi tersebut.

Dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah sekolah di beberapa kota mengharuskan setiap siswi mereka mengenakan jilbab.

Adapun, DKI Jakarta era Basuki Tjahaja Purnama pernah secara terang-terangan melarang sekolah negeri di ibu kota memaksakan seragam berjilbab.

Basuki alias Ahok saat itu beralasan, jilbab merupakan panggilan jiwa yang tak dapat dipaksakan orang lain.

Menjadi sebentuk kemubajiran, ketika aturan tertulis disusun dan dibentuk secara demikian ideal substansi norma hukum yang diatur di dalamnya, namun ketika perihal implementasi dalam praktiknya menyimpang atau setidaknya dibiarkan terus dan tetap menyimpang, maka terbentuklah apa yang disebut sebagai “preseden penyimpangan” itu sendiri. Karena itulah, terdapat dua jenis preseden, yakni “preseden penguat” yang menjadi pendamping yang mengiringi jalannya implementasi dan penegakan norma aturan hukum tertulis, serta “preseden penyimpang” yang sebaliknya ialah justru menyimpangi atau menihilkan penegakannya dalam praktik nyata.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.