Etika Komunikasi dan Cara Bertamu yang Buruk, Jangan Bersikap Seolah-olah Tuan Rumah adalah Kurang Kerjaan Diharuskan Meladeni Permainan Teka-Teki Sang Tamu

ARTIKEL HUKUM

Tamu yang Tidak Diundang, Tidak Perlu Dilayani, Datang Tidak Diundang maka Pergi Tidak Perlu Diantar (Diusir Saja)

Konon, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang sangat penuh sopan-santun. Namun mengapa fakta realita empirik lapangan justru menyatakan sebaliknya, tiada sopan santun, tiada penghormatan, tiada penghargaan, etika komunikasi yang memprihatinkan, serta cerminan EQ (Emotional Quotient) yang lebih mengenaskan, sebagaimana salah satu contohnya ialah ulasan yang mengangkat sebuah penggalan kecil tutur-kata yang kerap penulis dan pastinya para pembaca juga alami dikeseharian, mengganggu dan terganggu tanpa introspeksi diri betapa tidak etisnya berkomunikasi yang tidak dilandasi sikap penuh hormat terhadap waktu maupun hak-hak personal seseorang yang kita hubungi via pesawat telepon maupun pesan teks aplikasi messenger pada gadget.

Bila memang suatu bangsa adalah betul memiliki budaya atau jiwa penuh etika komunikasi dan sopan santun, disrupsi kemajuan teknologi digital tidaklah menjadi alasan untuk tidak bersopan-santun dalam komunikasi secara tidak bertatap-muka via perangkat digital. Buruknya etika komunikasi saat berkomunikasi secara via jarak jauh, justru menjadi cerminan betapa lemah, rapuh, serta kerdilnya budaya etika komunikasi konvensional via tatap-muka suatu bangsa—konon disebutkan, ketika seseorang merasa tidak ada orang lain yang melihat aksi dan perilakunya, maka watak asli seseorang tersebut akan menampakkan wajah aslinya.

Salah satu ilustrasi yang paling sederhana ialah komunikasi pembuka sebagai berikut: “Selamat pagi”, atau seperti “Selamat siang”. Sudah, sampai disitu saja, tiada pesan teks penjelasan apapun, dari nomor yang bahkan tidak dikenal alias “tamu yang tidak diundang”, yang patut kita beri julukan sebagai “setan tanpa nama”. Pesan-pesan semacam itu, sebenarnya tergolong “spam”, alias “sampah”, yang layak kita masukkan ke dalam “tong sampah” dimana pengirim pesan sampah demikian dikategorikan sebagai “manusia sampah” (spammer). Itulah sebabnya, semua email provider menyediakan fitur “blokir” untuk menandai pesan-pesan demikian dan pengirimnya sebagai “spam” serta “spammer” agar tidak mengganggu waktu produktif kita lagi untuk selanjutnya.

Mengapa pesan-pesan semacam demikian sejatinya tergolong sangat tidak sopan, dan entah mengapa mayoritas masyarakat Indonesia bersikap dan memiliki kebiasaan tidak sopan yang sangat mengganggu demikian? Jawabannya ialah terletak pada sikap sang pengirim pesan (“tamu” yang “bertamu”) yang bersikap seolah-olah sang penerima pesan (dapat kita analogikan dengan “tuan rumah”) sebagai orang yang kurang kerjaan yang dipaksa harus mengikuti kemauan sang “tamu” (mengapa juga kita harus mengikuti kemauan mereka?) untuk bermain teka-teki dan tebak-tebakan—suatu sikap yang sangat melecehkan disamping “tidak sopan”, tentunya, karena disaat bersamaan secara implisit, dapat kita baca pesan eksplisit di atas sebagai:

“Selamat siang. Cobalah tebak, siapakah saya? Coba juga tebak, apa maksud dan tujuan saya menghubungi Anda? Coba juga tebak, dapat darimanakah saya nomor kontak kerja Anda?” [Disaat bersamaan sang “tuan rumah” sudah jelas-jelas merasa terganggu, dan akan menjawab dalam hati : “Siapa juga elu? Siapa juga yang butuh orang seperti kamu, yang hanya mengganggu waktu saya?”]

Hanya dibutuhkan tingkat EQ paling dasar, untuk bisa membaca pesan nonverbal demikian, yang gaibnya rata-rata atau mayoritas masyarakat di Indonesia ternyata gagal untuk menyadari dan memahami pelecehan dibalik gaya berkomunikasinya yang terkesan “aroganisme”. Bagaimana dengan pokok-pokok komunikasi lainnya yang lebih esensial, bila komunikasi pembuka yang paling mendasar saja, demikian memprihatinkan ditampilkan oleh rata-rata masyarakat di Indonesia dalam berkomunikasi jarak jauh?

Jangankan kita berbicara perihal “hak untuk memilih diam” sebagai jawaban atas pertanyaan seseorang (orang-orang Indonesia memiliki budaya gemar memaksakan orang lain untuk menjawab pertanyaan yang bersangkutan (minta dipuaskan, mengapa juga harus kita yang memuaskan keinginan mereka? Kewajiban dan hak dari mana?), seolah individu lain bukanlah pribadi yang bebas dan merdeka untuk menjawab ataupun untuk bungkam, dimana salah satu korbannya ialah penulis secara pribadi yang sempat mengalami pengalaman hendak dianiaya karena semata menolak meladeni dan menjawab pertanyaan dari tamu tidak diundang), berbanding terbalik dengan praktik hukum acara pidana dimana seorang tersangka sekalipun memiliki “hak untuk diam” (the right to remain silent), tampaknya Bangsa Indonesia tergolong sebagai bangsa yang jauh dari kata beradab, alias masih “biadab”, dimana untuk urusan etika komunikasi paling mendasar saja, masyarakat kita yang telah dewasa senyatanya masih perlu ditatar dan diberikan edukasi, salah satunya edukasi lewat artikel ini dimana penulis harus repot-repot dan merepotkan diri meluangkan waktu sumber daya yang terbatas untuk menguraikannya—meski sejatinya akal sehat (IQ) dan EQ paling mendasar sekalipun sudah cukup menjelaskan.

Hak yang tidak sesuai tempatnya, dan kewajiban yang tidak sesuai kedudukannya, itulah kurang-lebihnya gambaran kasar dari etika komunikasi yang buruk, terlebih bila “first impression” sudah sedemikian rapuhnya, putar-balik hak dan kewajiban masing-masing pihak secara tidak proporsional (bukan salah-kaprah ataupun salah-paham, namun akibat sikap minim atau kurangnya sikap penghormatan terhadap individu lainnya). Secara akal sehat maupun etika komunikasi paling dasar bangsa beradab, bukanlah kewajiban dan bukan menjadi beban pihak “tuan rumah” untuk diwajibkan menerka-nerka dan bertanya-tanya:

Mengapa saya harus mengikuti kemauan Anda untuk juga merepotkan diri menjawab balik ‘Selamat siang juga’? Apa pernah Anda bertanya pada saya, apakah Anda telah mengganggu saya ataukah tidak? Mengapa juga harus jadi saya selaku ‘tuan rumah’ untuk bertanya kepada ‘tamu’ yang bertamu, siapakah Anda? Saya ataukah Anda, ‘tuan rumah’ ataukah ‘tamu’, yang harus dan punya kewajiban untuk memperkenalkan diri? Hanya perampok, yang tidak memperkenalkan diri saat bertamu.

“Mengapa juga Anda bersikap seolah-olah saya ini kurang kerjaan dipaksa harus masuk dalam permainan tebak-tebakan dan mengikuti teka-teki Anda, seperti pertanyaan : apa maksud dan tujuan Anda menghubungi nomor kontak kerja saya, dapat darimanakah Anda nomor kontak kerja saya, siapakah yang mengizinkan Anda menghubungi nomor kontak kerja saya namun tidak bersedia untuk patuh pada prosedur dan aturan main saya selaku ‘tuan rumah’, dan apakah Anda menghubungi saya untuk meminta dilayani dengan bersedia membayar kompensasi jasa ataukah hanya bermaksud untuk meminta dilayani disaat bersamaan melecehkan dan memperkosa profesi saya tanpa bersedia membayar tarif jasa sepeser pun? Mau membuat teka-teka lebih penuh pertanyaan apa lagi, setelah ini?

Mengapa juga, harus penulis yang bertanya, “Saya berbicara dengan siapa?”, “Apa maksud dan tujuan Anda menghubungi nomor kerja saya?”, “Dari mana Anda bisa mendapat nomor kontak kerja saya?”, “Apakah Anda telah membaca syarat dan ketentuan layanan, serta menyetujuinya?”, “Apakah Anda bersedia membayar tarif jasa sebelum meminta dilayani?”—bukanlah kewajiban dan bukan menjadi beban untuk diwajibkannya pihak “tuan rumah” untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan demikian, mengingat yang sejatinya memiliki beban kewajiban demikian dan kesemua itu ialah “tamu” yang “bertamu”, dimana adalah hanya tamu yang “kurang hajar” disamping “tidak sopan” yang membuat sikap seolah-olah “sang ‘tuan rumah’ adalah kurang kerjaan” sehingga meladeni kemauan sang “tamu” untuk bermain teka-teki kekanakan yang membuang-buang waktu.

Kontras dengan sikap-sikap seseorang yang ber-IQ rendah yang dicirikan dengan EQ yang sama dangkalnya (EQ saling terkoneksi dengan IQ, dimana relasinya ialah “IQ yang rendah, cenderung memiliki EQ yang juga rendah”, dan berlaku prinsip sebaliknya), orang-orang dengan IQ yang tinggi cenderung memiliki EQ yang lebih memadai, sebagaimana tercermin dari pesan teks via messenger atau pesan singkat via gadget ataupun surat elektronik (email) berikut, sebagai perbandingannya dengan contoh kasus sebelumnya di atas:

“Selamat pagi / siang / malam, Bapak / Ibu ... , nama saya ... , mendapatkan nomor profesi Bapak / Ibu selaku ... dari ... . Dengan ini saya bermaksud untuk ... , dimana saya telah membaca ‘term and conditions’ layanan secara saksama, sebagaimana tercantum dalam website Bapak / Ibu di ... . Mohon kiranya arahan lebih lanjut bilamana saya hendak mendaftar sebagai klien, dan saya setuju atas ketentuan yang berlaku serta perihal tarif layanan.”

Pesan teks di atas adalah cerminan sikap respek dari pihak pengirim pesan, yang karenanya pula patut mendapatkan respek yang sama secara bertimbal-balik (resiprokal) dari pihak “tuan rumah”. Sopan santun hanya berlaku, ketika kedua belah pihak, terutama dimulai dari pihak “tamu” yang bertamu, sehingga menjadi tidak pada proporsinya bila pihak “tamu” yang justru menyatakan “tuan rumah” sebagai “tidak sopan” sekalipun yang sang “tamu” tidak bersedia menghargai aturan-main milik “tuan rumah” ketika bertamu—fakta realita yang pernah penulis alami langsung dalam beberapa kali kejadian menghadapi masyarakat Indonesia ketika bertamu, tiga orang berbadan hitam besar dan berbaju preman datang berkunjung pukul sembilan malam (perhatikan konteksnya), penulis tanyakan berulang kali apa maksud dan tujuan kedatangan mereka namun ternyata tidak menjawab oleh sang “tamu”, bahkan tidak memperkenalkan diri, sehingga patut sekiranya penulis anggap sebagai segerombolan penyamun hendak merampok.

Mengingat masifnya penyalah-gunaan oleh para penyalah-guna nomor kontak kerja profesi penulis yang berprofesi menjual jasa konseling seputar hukum selaku Konsultan Hukum, maka untuk itu penulis membuat “filtering” dengan serangkaian indikator lewat pencantuman “syarat dan ketentuan layanan” disamping format pendaftaran klien pengguna jasa dimana mustahil bagi mereka untuk dapat menemukan nomor kontak kerja maupun email profesi penulis tanpa membacanya terlebih dahulu—bila mereka berkilah, itu artinya “belum apa-apa sudah berbohong” (sangat melecehkan di mata penulis), mengingat yang membuat desain serta tata-letak khusus dalam website profesi penulis ini adalah penulis pribadi selaku perancang dan pemiliknya, sehingga tiada yang lebih mengetahui website ini selain penulis sendiri.

Salah satu indikatornya ialah kewajiban bagi pihak-pihak yang mencoba menghubungi penulis untuk menyatakan dirinya “bersedia membayar ketentuan tarif yang berlaku”, serta adalah mustahil seseorang dapat menemukan nomor kontak kerja maupun email profesi penulis tanpa mereka menginput “link aktif” dalam website ini yang menyatakan “saya setuju syarat dan ketentuan yang berlaku dan bersedia membayar tarif layanan jasa sesuai ketentuan yang berlaku”, karenanya bila seseorang menghubungi penulis kemudian bersikap “pura-pura bodoh tidak tahu”, itu sama artinya yang bersangkutan SENGAJA melanggar (kesengajaan untuk melanggar, tidak patut dimaafkan), bukan karena lalai atau ceroboh mengetahui apa yang menjadi sumber nafkah profesi penulis, serta artinya pula yang bersangkutan telah MELANGGAR disamping MENYALAH-GUNAKAN nomor kontak kerja maupun email profesi penulis.

Indikator kedua yang paling mencolok ialah, ketika seseorang menghubungi penulis dengan seketika melanggar kewajiban berupa membuat pernyataan sebagaimana “format pendaftaran klien” yang penulis wajibkan bila suatu pihak hendak bermaksud menghubungi penulis (untuk menilai tingkat kepatuhan serta cara untuk menghormati profesi penulis sebelum meminta saling dihormati), salah satunya ialah pernyataan “kesediaan untuk membayar tarif layanan jasa”, namun pernyataan demikian tidak berani disampaikan oleh yang bersangkutan, itu sama artinya yang bersangkutan memang memiliki itikad tidak baik dengan agenda untuk meminta dilayani tanpa bersedia membayar tarif layanan jasa SEPERAK PUN—jika sudah demikian adanya, apanya lagi yang perlu dinegosiasikan? Pemerkosa mana, yang hendak membayar?

Faktanya, kejadian demikian telah ribuan kali penulis hadapi setiap harinya, kejadian-kejadian dimana pelakunya ialah “para pemerkosa profesi konsultan hukum” yang notabene adalah sesama warga masyarakat Indonesia itu sendiri yang membalas “air susu dengan perkosaan”, mengingat telah tidak terhitung lagi pengorbanan yang penulis kerahkan dari segi waktu, tenaga, biaya, keringat, cucuran air mata dan darah, hingga kesehatan untuk dapat menyuguhkan website publikasi hukum ini, namun membalasnya dengan perbudakan, perkosaan, penjajahan, dan perampokan terhadap nasi di atas piring milik profesi penulis.

Cerminan EQ dan SQ (Spiritual Quotient) yang “tiarap”, dangkal dan sekotor-kotornya, namun disaat bersamaan mengaku sebagai bangsa yang “agamais” dan ber-Tuhan, yang mana disaat bersamaan pula tidak malu mengumbar aksi-aksi tercela semacam memperkosa profesi orang lain yang sedang mencari nafkah (pengemis mana juga yang punya masalah hukum?) serta tidak takut berbuat dosa (meminta dilayani namun disaat bersamaan menyuruh yang melayani mati “makan batu”?).

Dalam beberapa kesempatan tidak terkecuali penulis alami langsung, seseorang tidak dikenal (“tamu” tidak diundang) mengganggu penulis dengan menelepon nomor kontak kerja penulis, tanpa terlebih dahulu sang tamu memperkenalkan diri (etika komunikasi maupun etika bertamu yang paling mendasar, tamu wajib hukumnya memperkenalkan diri), alih-alih menyebutkan siapa diri bersangkutan, apa maksud dan tujuan gerangan menghubungi, hendak mencari siapa, dan patuh pada “syarat dan ketentuan layanan” yang menjadi prosedur penyedia jasa (penyedia jasa mana, yang tidak memiliki prosedur dan SOP?), sang penelepon justru bertanya dengan nada diktator, siapakah pihak yang ditelepon oleh yang bersangkutan (?). Apakah penulis tidak salah dengar?

Halo, selamat siang, SHIETRA & PARTNERS?” Penulis jawab, “Iya, betul” (artinya sudah benar tidak salah alamat, yang ditelepon ialah SHIETRA & PARTNERS). Namun masih juga yang bersangkutan tanpa memperkenalkan diri, bertanya kembali dengan nada arogan, “Kamu siapa?” Apa tidak salah, penulis pun murka : “Anda sendiri yang, SIAPA KAMU?” Pernah juga terjadi, “Halo, selamat siang.” “Ya, selamat siang.” “Saya bicara dengan siapa?” “KAMU YANG SIAPA!?” Terlebih ekstrim, ternyata tidak sedikit pula yang menghubungi penulis dengan pesan teks yang demikian ‘sopan’ semacam : “Tes.” “Kamu tes saja otak kamu sendiri yang sepertinya telah korsleting itu, mungkin ada yang rusak. Salah sambung, ini bukan rumah sakit jiwa. Yang Anda butuhkan ialah dokter penyakit jiwa.

Ribuan orang Indonesia tercatat telah pernah menghubungi penulis semata hanya untuk “memperkosa” profesi penulis, minta dilayani tanpa bersedia membayar seperak pun kompensasi layanan jasa (hanya pandai meminta, mengambil, dan mengemis tanpa prinsip timbal-balik resiprositas, akibat ideologi “pemberian, meminta, memohon, dan diberi kenikmatan” bukan “menanam karma baik untuk memetik buah karma baik”), “mendadak miskin” namun memiliki sengketa tanah senilai lima belas miliar Rupiah (kenyataan yang bukan satu atau dua kali penulis hadapi), meski sudah jelas sikap-sikap melecehkan demikian melukai perasaan profesi penulis yang sedang mencari nafkah peras keringat dan cucuran darah banting-tulang secara legal, masih juga minta dan mengharap dilayani dengan sopan santun setelah disuruh “makan batu” dan “kerja rodi” ala penjajahan?

Bahkan pernah terjadi, suatu pihak secara lancang memaksa penulis melayani perkosaan yang bersangkutan terkait sengketa waris hak atas tanah tanpa bersedia membayar kompensasi jasa SEPERAK PUN (hak atas nafkah sudah ditegaskan Konstitusi sebagai hak asasi manusia), hanya karena penulis menanggapi “Ada tarif, ada jasa”, disambut pernyataan melecehkan “Anda mata duitan!Keserakahan, pengemis yang memiliki sengketa hak atas tanah, namun masih juga merampok nasi dari piring milik profesi orang lain, memperbudak, menjajah, tidak ubahnya penjajahan dan kerja rodi. Bukan tidak mampu membayar tarif layanan jasa sebagai kompensasi, namun KESERAKAHAN sebagai akar penyebabnya, seringkali itulah corak atau motif utama para pelaku pemerkosaan profesi orang lain yang jelas-jelas dan tegas-tegas sedang mencari nafkah.

Sudah jelas mengganggu dan melecehkan (memeras keringat, darah, dan air mata, lantas diberi makan “batu”), masih juga tanpa malu mengharap dilayani? Bahkan para pelakunya tidak jarang menggunakan istilah-istilah agamanya ketika memperkosa profesi penulis, tanpa kenal malu, tanpa menghormati agama penulis yang berbeda dari agamanya, melanggar seolah bukan hal tabu namun “babi” ditabukan, merampok nasi dari piring milik “kafir” seolah-olah membanggakan untuk dimakan, seolah-olah adalah dosa tidak memperkosa dan menyalah-gunakan nomor kontak kerja profesi orang lain yang sedang mencari nafkah secara legal (mencari nafkah adalah mulia, merampok dan memperkosa yang “lebih hina daripada pengemis” disamping tercela), meng-halal-kan segala cara untuk memuaskan keserakahan “pengemis yang punya sengketa hukum”, “mental miskin” bangsa “bermoral miskin”, bangsa pemalas yang bahkan menjadikan Tuhan sebagai “sapi perahan” dan “mesin ATM” alih-alih merepotkan diri membayar hutang dosa maupun merepotkan diri untuk menanam karma baik.

 Para pelakunya tidak jarang mengenakan busana “agamais” serba tertutup, hanya memakan makanan yang dipilih dengan fanatik (anti babi), namun perihal ucapan dan perbuatan, lebih kotor daripada air comberan beracun maupun kotoran ternak yang berbau busuk, bahkan masih juga mencoba merampok “babi” dari piring milik profesi penulis yang “non” (kaum minoritas). Menyuruh orang lain yang sedang mencari nafkah untuk “makan batu” namun dirinya sendiri meminta dilayani dan “makan enak”? Tanpa rasa malu maupun rasa takut berbuat sehina demikian, Tuhan manakah yang tidak akan “alergi” terhadap manusia “kotor” demikian?

Apa tidak salah, etika komunikasi dan sosial semacam apa EQ dan SQ bangsa “agamais” bernama manusia “Made in Indonesia” ini? Bahkan seringkali ribuan pihak tersebut tidak perkenalkan diri, sengaja melanggar (mustahil tidak tahu, namun “pura-pura tidak tahu” adanya ketentuan tarif jasa yang berlaku maupun profesi penulis yang sedang mencari nafkah sebagai penyedia jasa konseling seputar hukum, apakah kurang cukup besar judul pada bagian kepala dan sekujur tubuh website ini?), belum apa-apa telah melanggar dan melecehkan (bagaimana nantinya?), masih juga menuntut dilayani bahkan tanpa bersedia menghormati profesi orang lain yang direpotkan olehnya (namun mengharap dilayani tanpa bersedia merepotkan diri mematuhi prosedur dan membayar tarif jasa), tanpa “rasa malu” terlebih “rasa takut” (sekalipun telah penulis berikan peringatan adanya SANKSI bagi pelanggarnya)? Penulis menjadi ragu, masyarakat Indonesia yang “agamais” merasa takut akan ancaman semacam ancaman penjara maupun konsep abstrak semacam ancaman “neraka”? (terbukti selalu penuh dan tidak pernah sepinya penghuni penjara kita di Indonesia)

Bangsa “agamais” yang tidak takut berbuat dosa ini, bahkan pernah menyatakan penulis sebagai “tidak sopan” karena murka semurka-murkanya ketika profesi penulis diperkosa dan disuruh “makan batu”, “kerja rodi”, “dirampok”, dan “dibalas air susu dengan perkosaan” (nafkah adalah urusan HIDUP DAN MATI menyambung nafas dan hidup keluarga, bukan hal untuk disepelekan, dimana menyepelekan perasaan korban adalah ciri khas “mental penjahat” bangsa penjahat), sebagai “tidak sopan” seolah-olah korban tidak berhak menjerit dan seolah-olah penulis adalah mayat yang beku dan kaku, sikap yang justru menyalahkan dan kian mendiskreditkan korban alih-alih menyalahkan pelakunya, sebagaimana penistaan terhadap Tuhan seolah-olah Tuhan lebih “pro” terhadap para pendosa dengan menghapus dosa-dosa para pendosa tersebut yang artinya disaat bersamaan mendiskreditkan keadilan bagi pihak korbannya, diumbar tanpa “rasa malu” ataupun “rasa takut” membuat maksiat ataupun melukai, menyakiti, dan merugikan pihak lainnya (terbukti dari tiada satu pun maksiat paling primitif yang berhasil dimusnahkan dari muka bumi, bahkan tetap lestari demi eksistensi “supply and demand” ideologi “penghapusan dosa”).

Itulah, “etika” komunikasi bangsa “agamais” bernama Republik Indonesia, dimana-mana ayat-ayat dikumandangkan dan berbahana sahut-menyahut, serba “halal lifestyle”, serba berbusana “agamais”, serba “arabic language” yang seolah menafikan “Sumpah Pemuda”, namun disaat bersamaan tidak malu dan tidak takut memperkosa dan merampok profesi orang lain yang sedang mencari nafkah setelah segenap pengorbanan yang penulis kerahkan untuk profesi ini, sebuah perbudakan manusia terhadap manusia. Memprihatinkan, satu kejadian oleh satu pihak yang tidak bertanggung-jawab, artinya “oknum”. Ketika pelakunya “berjemaah”, itulah yang kita sebut sebagai “budaya” alias “mentalitas” suatu bangsa.

Menjelma menjadi korban perasaan, korban pelecehan, korban pelanggaran, korban perampokan, korban putar-balik fakta, korban perkosaan, seolah-olah adalah “salah menjadi korban”, seolah-olah adalah kesalahan pihak penulis yang menjadi korban dan dikorbankan, seolah-olah menjadi korban adalah hal yang tabu (namun seolah-olah melanggar dan memperkosa bukanlah hal tabu?), yang mana rupa-rupanya menjadi orang baik adalah “mangsa empuk” di tengah-tengah bangsa “agamais” yang bahkan tidak takut berbuat dan mengkoleksi “dosa”, bangga lengkap dengan harapan kelewat “korup” bernama “penghapusan dosa” (analog dengan memperkosa namun masih juga mengharap dilayani?)—sekalipun anak Sekolah Dasar pun mengetahui, hanya seorang pendosa, yang membutuhkan iming-iming ideologi penuh kecurangan bernama “penghapusan dosa”, suatu “too good to be true” yang mana Surat Keputusan Tuhan untuk memasukkan pendosa ke dalam surga layak dan patut digugat “class action” oleh para korban ke hadapan Pengadilan Tata Usaha Semesta, karena “salah alamat”. Para kriminil tempatnya di penjara atau di tong sampah, bukan di alam surgawi (harapan yang kelewat “korup”).

Tidak takut berbuat dosa, hanya berfokus pada apa yang dimasukkan ke mulut (alih-alih berfokus pada apa yang keluar dari mulut, yakni : ucapan), hidup dan mati mengumbar “penghapusan dosa” yang bahkan secara tidak malu dipromosikan dan dikumandangkan setiap kali mimbar keagamaan yang didengar publik luas, malu menutupi “aurat” tubuh (kriminalisasi tubuh) namun bangga mengumbar kekotoran perilaku (tercela dan hina), tidak malu dan tidak takut berbuat jahat dengan melukai, merugikan, maupun menyakiti pribadi lainnya (seolah adalah “rugi” dan “merugi”, tidak mengkoleksi dosa), merugikan orang lain dipandang sebagai suatu “keuntungan”, mentalitas “mendadak miskin”, keserakahan yang “lebih hina daripada pengemis”, maka atas dasar serta mengingat ramuan dari racikan kesemua sifat dan perangai demikian, etika komunikasi semacam apakah yang patut kita harapkan dari bangsa “agamais” bernama Indonesia ini?

Secara pribadi, penulis tidak pernah lagi menaruh banyak harapan dari karakter maupun watak manusia “Made in Indonesia”, dimana orang jujur lebih langka daripada permata, orang yang patuh lebih langka daripada berlian, dan dimana orang-orang berjiwa adil serta berjiwa kesatria adalah lebih langka daripada logam mulia mana pun. Pengalaman yang mengajarkan penulis, bukanlah penulis yang apriori dan apatis, namun secara rasional mengakui dan mencemati segala fenomena yang pernah penulis alami dan hadapi ketika berhadapan dengan manusia “Made in Indonesia” sang “agamais” yang “korup” karena “berbuat dosa masih pula mengharap dilayani dan masuk alam surgawi” (baca : sebuah delusi akibat mentalitas semangat “korup” penuh kecurangan).

Mungkin yang tidak kalah buruknya, ialah tipe komunikasi “manipulatif-eksploitatif”, seperti tidak terkecuali pernah pula penulis alami ketika seseorang “setan tanpa nama” lainnya (betapa sopannya?) menghubungi penulis dengan pesan sebagai berikut : “Saya diberhentikan dari perusahaan. Bila Bapak adalah orang baik, maka pastilah Bapak akan dengan berbaik hati bersedia menolong dan membantu masalah hukum saya.” Luar biasa, eksploitasi moril ala manipulator, dirinya menuntut diberikan upah dan gaji dari profesinya, namun disaat bersamaan menyuruh profesi orang lain untuk mati “makan batu” serta didorong untuk “kerja rodi” ala penjajahan. “Anda adalah bajingan yang lebih biadab daripada setan biadab. Bajingan biadab meminta tolong dan mengharap ditolong? Jika Anda mati, maka alam semesta akan bersyukur. Anda mati saja, wahai tukang perkosa!

Mungkin juga yang terlebih buruk ialah sebagaimana pengalaman pribadi penulis sebagai berikut. Seseorang dengan nomor tidak dikenal, menghubungi nomor kontak kerja penulis. Tanpa bertanya apakah telepon dari yang bersangkutan telah mengganggu waktu ataupun kesibukan “tuan rumah” atau tidaknya yang dihubungi olehnya, “Selamat siang, saya dari hukumonline. Sebelumnya, apakah Bapak telah mengetahui tentang hukumonline?” Dirinya tidak menjelaskan dapat dari manakah dirinya nomor kontak kerja penulis, yang artinya telah menyalah-gunakan nomor kontak KERJA profesi penulis tanpa izin. “Ada perlu apa?” tanya penulis, tidak tertarik diajak bermain teka-teki konyol-kekanakan yang membuang-buang waktu.

Secara tidak sopan, yang bersangkutan memaksa penulis selaku “tuan rumah” untuk mengikuti aturan main milik sang “tamu” secara sepihak sekalipun dirinya sejatinya hanyalah “bertamu”, tanpa menyadari bahwa dirinya telah mengganggu waktu orang lain dengan menjawab, “Sebelumnya, apakah Bapak telah mengetahui tentang hukumonline?”, “ADA PERLU APA!?” kali ini penulis melontarkan pertanyaan yang lebih tegas, tanpa bersedia mengikuti kemauan sang “tamu” yang tidak sopan demikian yang melecehkan aturan main milik “tuan rumah” ketika “bertamu” ke nomor kontak milik “tuan rumah”.

Telah ternyata, sang “tamu” bersikukuh kembali memaksakan aturan mainnya kepada “tuan rumah”, dengan melontarkan kembali pernyataan serupa, “Sebelumnya, apakah Bapak telah mengetahui tentang hukumonline?” “SAYA BILANG ADA PERLU APA!!!?” Lain kesempatan, akan seketika penulis tutup dan blokir nomor “tamu” tidak sopan semacam yang bersangkutan. Barulah sang “tamu” menyatakan maksud dan tujuannya, “Kami hendak menawarkan produk kami...” Namun seketika penulis potong kalimat yang bersangkutan, “Kapan saya minta ditawarkan produk Anda? Kapan Anda minta izin ganggu dan salah-gunakan nomor kontak kerja saya? Anda telah mengganggu saya, dan JANGAN GANGGU WAKTU SAYA LAGI!

EQ paling sederhana sudah cukup menjelaskan, pesan teks berisi “spam” saja sudah cukup mengganggu, terlebih sebuah telepon yang berdering mendistraksi konsentrasi kita, menginterupsi kegiatan kita dan menuntut seketika diangkat, ditanggapi, serta diberikan respon selain menyita waktu “tuan rumah”, ternyata adalah telepon dari seorang “spammer”, yang mana jika sedari awal kita mengetahui telepon bersangkutan adalah dari seorang “spammer” belaka (alias “PHP”, pemberi harapan palsu, terlebih yang dihubungi ialah nomor kontak kerja kita), maka apakah akan kita sudi dan membiarkan sumber daya waktu kita yang berharga dan terbatas DICURI oleh para “spammer” tersebut? Apakah perlu, informasi seputar nomor kontak KERJA kita ditambahkan keterangan atau peringatan, “Spammer dilarang menghubungi nomor kami ini”? Faktanya, nomor kontak kerja penulis pada website profesi penulis ini pun mencantumkan peringatan dan larangan demikian, TETAP SAJA DILANGGAR OLEH PARA PELANGGAR (namanya juga “pelanggar”, kerjanya “melanggar”).

Pernah pula suatu waktu, datang tiga orang pria berbadan besar dan berkulit hitam ke kediaman keluarga penulis pada pukul sembilan malam (perhatikan konteks waktu ini, biasanya hanya kalangan perampok yang datang pada waktu yang tergolong larut malam), mengetuk pintu rumah. Penulis yang terganggu waktu istirahatnya, bertanya kepada para tamu tersebut, “Ada perlu apa?” Namun, sang tamu tanpa menunjukkan sikap respek dengan mengutarakan maksud dan tujuan kedatangannya sebagaimana ditanyakan “tuan rumah”, hanya menjawab, “Ada tuan rumahnya?” Oh, ternyata penulis yang berkediaman di rumah penulis selama hampir separuh abad, tidak dianggab sebagai “tuan rumah” oleh sang “tamu”? Belum apa-apa, sudah melecehkan harkat dan martabat pihak “tuan rumah”.

Kembali penulsi bertanya, “Ada perlu apa?” Namun sang tamu hanya berdiam diri, seolah-olah hendak bermain teka-teki dengan penulis, yang dianggapnya “kurang kerjaan” untuk meladeni permainan tebak-tebakan konyol bersangkutan? Jika yang bersangkutan “kurang kerjaan”, maka jangan samakan dengan orang lain ketika bertamu, terlebih mengganggu waktu istirahat tuan rumah. Tiada respon, penulis sudah cukup demikian bersabar merepotkan diri (“tuan rumah” yang justru direpotkan oleh sang “tamu”) untuk kembali bertanya, “ADA PERLU APA?!!” Namun sang tamu justru hanya tersenyum dan terkekeh mengejek. Akhirnya penulis menjadi murka, dan terjadilah keributan, dimana kemudian seluruh anggota keluarga penulis terganggu, dan sang tamu dengan hebatnya justru menyatakan kepada keluarga penulis bahwa penulis adalah orang yang “tidak sopan”? Tamu, yang justru menyatakan tuan rumah sebagai “tidak sopan” ketika bertamu sekalipun tanpa pernah diundang? Ini rumah milik “tuan rumah”, aturan main milik “tuan rumah”, jika tidak suka, mengapa bertamu, terlebih memaksakan aturan main milik sang “tamu” yang sekadar “bertamu” statusnya?

Ternyata, sang “tamu” yang bertamu tersebut hanya bertujuan untuk meminjam rekaman kamera CCTV yang dipasang pada kediaman keluarga penulis, dengan alasan kendaraan bermotor sang tamu ada kehilangan akibat pencurian. Tamu yang “bodoh”, tuan rumah mana yang sudi kembali direpotkan dan diganggu setelah disebut sebagai “tidak sopan” oleh tamu yang “lebih tidak sopan daripada tidak sopan, yakni kurang hajar”? Dirinya yang membutuhkan sesuatu dari “tuan rumah”, namun “tuan rumah” dipaksa untuk bersikap seolah-olah membutuhkan sang “tamu”, tamu yang bahkan tidak diundang?

Kejadian serupa, terjadi kembali beberapa tahun kemudian oleh tetangga yang lain, pada pukul delapan malam, kediaman penulis diketuk, saat dimana konteksnya ialah kondisi di Indonesia sedang dilanda puncak wabah pandemik Virus Corona. Entah memang budaya sopan-santun di Indonesia adalah “omong kosong” ataukah lebih tepatnya disebut budaya “arogan”, sang tamu yang terdiri dari dua orang pria dewasa tersebut ketika penulis tanyakan “Siapa?” Justru menjawab, “Ada tuan rumahnya?” “Saya tanya KALIAN SIAPA?” Barulah disampaikan, bahwa mereka ternyata adalah tetangga penulis. Luar biasa sekali, penulis yang telah menetap hampir separuh abad pada kediaman yang sama, dipandang bukan “tuan rumah”, suatu pelecehan di telinga penulis. “Ada perlu apa?” Namun alih-alih menjawab, sang “tamu” yang statusnya sekadar bertamu, justru bermain teka-teki dengan tidak bersedia menjawab pertanyaan “tuan rumah”.

Dua kali, tidak dijawab, tiga kali ditanya lantas sang tamu menjawab “privasi” (privasi? Jawaban semacam apa itu? Seolah-olah “tuan rumah” juga tidak punya privasi. Jika begitu, silahkan simpan sendiri, dan mengapa masih juga “bertamu”?), kini penulis bersikap lebih tegas dan keras, “Kalian itu TAMU, saya ini TUAN RUMAH. Kalian jika ditanya, ada mau apa, jawab! Ini rumah punya TUAN RUMAH, aturan main milik TUAN RUMAH. Kalau kalian tidak suka, jangan bertamu!

Barulah dijawab dan dijelaskan, bahwa rumahnya kehilangan mobil, dan meminta diberikan akses untuk melihat rekaman CCTV. Memangnya keluarga kami selama ini mengeluarkan biaya rutin untuk CCTV “umum”? Yang bersangkutan meminta dipertemukan dengan orangtua penulis, dan memaksa, seolah-olah kami yang butuh mereka, dan kembali lagi penulis harus direpotkan (yang sebetulnya penulis tidak menyukai dipaksa dan terpaksa merepotkan diri semacam ini, karena orang yang sudah dewasa semestinya dapat berpikir sendiri) oleh mereka untuk menjelaskan bahwa keadaan sedang wabah dan usia orangtua penulis telah tergolong lanjut-usia yang berpotensi resiko tertular dengan gejala berat.

Akhirnya, penulis tidak perlu lagi menaruh sikap sopan ataupun hormat, karena sang tamu pun tidak menunjukkan sikap hormat pada tuan rumah, dengan menyebutkan fakta bahwa sang tamu telah pernah kehilangan mobil beberapa waktu sebelumnya, mengapa tidak belajar dari pengalaman dan memasang CCTV pada kediamannya sendiri? Itu adalah mentalitas “curang”, jika tiada pencurian lagi, maka keluarga mereka tidak perlu repot-repot memasang dan membiayai perawatan CCTV, dan jika terjadi hal-hal semacam pencurian lantas cukup meminta akses rekaman CCTV milik tetangga?

Penulis kembali teringat beberapa tahun sebelumnya, kejadian “tamu” lainnya yang juga tetangga yang justru bermain teka-teki dengan “tuan rumah”, juga pernah penulis alami, sehingga kejadian di atas adalah kejadian serupa untuk ketiga kalinya yang penulis alami. Pintu gerbang kediaman diketuk, penulis selaku “tuan rumah” bertanya, “Siapa?” “Dari tetangga baru di sebelah rumah, orangtuanya ada?” Usia penulis pada saat itu, telah mencapai tiga puluh tahun, telah cakap hukum secara umur dan secara hukum. “Ada perlu apa?” “Orangtuanya ada?” “ADA PERLU APA!!?” Seolah-olah “tuli”, sang tamu kembali bersikukuh : “Orangtuanya ada?

Kembali lagi, penulis terpaksa dan dipaksa harus merepotkan diri, menjelaskan kepada dua orang “tamu” pasangan suami-istri yang telah dewasa tersebut ketika bertamu pada kediaman milik “tuan rumah”, agar mereka bersikap respek terhadap “tuan rumah”, bukan justru mendikte “tuan rumah” untuk ikut dengan kemauan dan permainan milik sang “tamu” yang sekadar “bertamu”. Ternyata, yang bersangkutan hanya sekadar memberikan nasi kotak sebagai tetangga baru, yang semestinya tidak penulis terima dan cukup menyatakan “Selamat datang kami ucapkan sebagai sesama tetangga. Terimakasih atas pemberian nasi kotaknya, namun kami sudah makan siang. Agar kedepannya dapat saling menghargai dan menghormati antar tetangga”, tanpa bersikap seolah-olah keluarga kami kekurangan makanan.

Rupanya, itulah budaya “sopan santun” yang dimaksud oleh Bangsa Indonesia, “tuan rumah” yang harus bersikap meladeni permainan milik sang “tamu” yang “bertamu”. Kini, setelah melewati serangkaian kejadian yang serupa sebanyak tiga kali peristiwa “tamu” yang mencoba mendiktekan aturan main milik sang “tamu” kepada “tuan rumah” ketika berkunjung, penulis sampai pada satu buah pemahaman baru, bahwa strategi pendekatan sosialnya perlu diubah oleh pihak “tuan rumah” ketika menghadapi manusia “Made in Indonesia” yang ternyata tidaklah sesopan itu dan tidak sesantun yang diklaim oleh bangsa ini, bahkan ketika “bertamu” (terlebih ketika konteksnya ialah ketika sang “tamu” tidak sedang bertamu?).

Yakni, sebagai seorang “tuan rumah”, kita tidak perlu bersikap seolah-olah kita selaku “tuan rumah” yang justru membutuhkan mereka, para “tamu”. Ketika sang tamu tidak kooperatif ketika bertamu dan ditanya apa perlu apa gerangan bertamu, maka jawablah dengan tegas dan cukup sesingkat sebagai berikut:

Kalian itu TAMU, sementara saya TUAN RUMAH, ini rumah milik TUAN RUMAH, kalian itu BERTAMU! Jangan bersikap seolah-olah saya yang butuh kalian. Saya tidak ingin dipaksa terlebih kalian dikte untuk mengulang-ulang pertanyaan, jika kalian tidak mau menjawab sekalipun sudah saya tanyakan apa mau kalian bertamu ke rumah saya, maka itu urusan kalian, tamu yang TIDAK SOPAN, tidak menghormati aturan main milik TUAN RUMAH. Cukup saya bertanya sekali, itu urusan kalian mau menjawab atau tidaknya, yang jelas urusan saya adalah JANGAN GANGGU SAYA selaku TUAN RUMAH dan TIDAK INGIN DIGANGGU! Silahkan kalian pergi, atau tunggu di sini sampai besok jika kalian mau.

Etika bertamu di atas sebagaimana penulis uraikan, adalah hal yang sangat mendasar. Namun entah mengapa, manusia dewasa di Indonesia, bangsa yang mengakunya “penuh sopan santun dan tata krama”, ternyata gagal untuk menyadarinya secara akal sehat pribadi, sampai-sampai “tuan rumah” yang harus merepotkan diri memberikan pemahaman paling mendasar demikian (bagaimana dengan etika komunikasi lainnya?). Beberapa waktu yang lampau, ketika penulis telah mendapatkan pemahaman demikian, pada suatu tempat penulis melewati sebuah perumahan, terdapat seorang ibu yang bertamu berujar kepada sang ibu lainnya yang menjadi tuan rumah dengan dialog sebagai berikut: “Ibu ada mau ikut arisan ya, saya dengar dari teman saya?” “Tidak, saya tidak pernah ingin ikut arisan mana pun.” “Iya, tapi kata teman saya rumah yang ini yang ingin ikut arisan.” “Tidak, saya tidak pernah ingin ikut arisan, juga tidak kenal teman Anda tersebut.” “Tapi saya dengar katanya ibu mau ikut arisan saya ini.” “Tidak, saya tidak pernah ingin ikut arisan!

Dalam hati penulis tersenyum, seandainya boleh memberi nasehat kepada sang “tuan rumah”, karena bagai bercermin pada pengalaman pribadi penulis : wahai sang “tuan rumah”, janganlah bersikap seolah-olah Anda yang membutuhkan sang “tamu”. Sudah jelas itu penipuan, di tengah kondisi ekonomi yang resesi akibat wabah pandemik virus menular, modus penipuan merajalela. Cukup jawab dengan tegas sekali saja, lalu masuk ke dalam rumah dan tutup telinga rapat-rapat:

Tadi saya sudah jawab, saya tidak mau dipaksa mengulang-ulang jawaban yang sudah saya jawab, dan saya tidak suka. Terserah bila Anda mau dengar jawaban saya itu atau tidak, kerena Anda sudah mendengarnya, mengapa bersikap seolah-olah tuli? Terserah bila Anda mau terus berdiri di depan rumah saya, tuan rumah bahkan punya hak untuk tidak menjawab tamu yang bertamu. Anda yang tidak sopan dengan memaksa tuan rumah untuk mengulang-ulang jawaban. Jangan bersikap seolah TUAN RUMAH yang butuh Anda, TAMU. Hormati dan hargai TUAN RUMAH dan aturan main milik TUAN RUMAH, ketika Anda BERTAMU.

Entah memang otak Bangsa Indonesia sudah “rusak” (jika masih punya otak), budaya etika berkomunikasi yang “sakit” (akal sakit milik orang sakit), EQ dan SQ yang “sekarat” meski mengakunya “agamais”, disamping sopan-santun yang sama sekali tidak dapat disebut sebagai santun terlebih sopan (lebih tepatnya “aroganis”), ribuan pihak telah mengirimi pesan semacam berikut (bahkan diantaranya dengan lancang berani menelepon untuk berbicara langsung dan juga yang bahkan meminta untuk bertemu untuk tatap-muka) : “Selamat siang, saya ada masalah hukum anu, boleh tanya?

Sang “tamu tidak diundang” bahkan tidak memperkenalkan diri (sopan sekali, pemerkosa mana pula yang hendak memperkenalkan diri?), masih juga meminta dilayani tanpa bersedia membayar tarif jasa SEPESER PUN (fakta bahwa mereka tidak bertanya berapa harga tarif layanan jasa sebagai indikatornya, dimana bahkan sebagian diantaranya seketika “memperkosa” dengan menceritakan atau bertanya seputar masalah hukum tanpa pernah minta izin dan tanpa pernah diberikan izin) sekalipun sudah jelas-jelas penulis berprofesi dan sedang mencari nafkah sebagai Konsultan Hukum dimana sekujur tubuh website telah begitu jelas dan tegasnya memberikan keterangan perihal profesi penulis. Tanpa malu dan tanpa takut, memperkosa profesi orang lain yang sedang mencari nafkah, sama artinya mencoba melakukan praktik perbudakan, keserakahan, kerja rodi, serta “tidak punya malu”, masih juga mengklaim sebagai bangsa “agamais” ber-SQ tinggi? Adalah mustahil, seseorang dapat memiliki SQ yang tinggi, bila tidak memiliki IQ dan EQ yang memadai.

Telah ternyata, Bangsa Indonesia adalah bangsa yang amat sangat terampil serta pandai dalam hal “membalas air susu dengan perkosaan”, tanpa rasa malu, sekalipun berbusana serta tertutup dan makanan serba “halal”—fakta yang tidak terhitung lagi penulis jumpai dan alami langsung dalam keseharian tumbuh dan besar di Indonesia, bahkan sudah menjadi rahasia umum yang menjadi aneh bila terdapat pihak-pihak yang mencoba untuk membantahnya, kecuali sang pelakunya itu sendiri yang pastinya akan berkelit seribu satu kata memungkiri perbuatan tercelanya sendiri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.