Akar dan Sebab Musabab Ideologi Radikal Intoleran bernama TEROR!SME

ARTIKEL HUKUM

Mungkinkah Teror!sme Punah dari Muka Bumi? Bila Teror!sme merupakan Gejala, maka Sepanjang Akar Penyebabnya masih Eksis, bagai Api dalam Sekam, Sewaktu-Waktu Mencuat ke Permukaan dengan Kobaran Api yang Dahsyat dan Merenggut Korban Jiwa

Makna kata TEROR!SME, Fanatisme yang Estrim Disertai Radikalisme Pertumpahan Darah yang Haus akan Darah

Kalangan medik maupun kriminolog selalu mengumandangkan tanpa pernah bosan, bahwasannya selama akar penyakitnya masih eksis (sebagai penyebab), maka selamanya gejala (yang merupakan akibatnya), akan tetap eksis sampai kapan pun. Ramuan antara ideologi intoleransi yang diracik bersama dengan gerakan radikalisme, itulah yang kita sebut sebagai “teror!sme”. Intoleran akibat fanatisme yang tidak berlebihan, adalah sah-sah saja sepanjang tidak masuk dalam tataran kekerasan fisik, intimidasi, ancaman, represif, hingga perampasan hak atsa hidup milik orang lain, terlebih pertumpahan darah. Namun, paham teror!sme selalu berkelindan antara intoleransi dan radikalisme. Fanatisme yang berlebihan, menjurus pada radikalisme, dimana radikalisme selalu menuntut fanatisme yang berlebihan.

Seseorang yang sebatas intoleran, disebut sebagai fanatik yang berpotensi menjelma berlebihan (ekstrim dan cenderung menjurus memasuki ranah “radikal”). Sementara seseorang yang radikal yang tidak didahului oleh suatu fanatisme, kita sebut sebagai preman pelaku aksi premanisme. Itulah sebabnya, pelaku rasisme tergolong mereka yang radikal sekaligus fanatik-etnik sekaligus antipati terhadap etnik tertentu lainnya. Adapun teror!sme, adalah “preman yang fanatik secara berlebihan (ekstremis)” yang kita sebut sebagai “teror!s”. Para preman pelaku premanisme, tidak memiliki legitimasi ataupun justifikasi ketika melakukan aksinya, seperti kekerasan fisik, yang mana para pelakunya pun tidak memiliki keyakinan akan masuk surga paska melakukan aksi premanisme yang menyakiti, melukai, hingga merugikan individu lainnya.

Berbeda dengan pelaku premanisme, pelaku radikalisme yang fanatik berlebihan (intoleran-radikal alias pelaku teror!sme), lebih sukar diberantas dan dicegah kemunculannya mengingat terdapatnya “wahyu” atau dogma keagamaan pada salah satu atau lebih keyakinan, berupa perintah “Tuhan” untuk dijalankan oleh para umatnya, menegakkan “jalan Tuhan” dan bila perlu mati serta menumpahkan darah pihak lain dalam rangka menegakkan “jalan Tuhan” yang diyakini olehnya. Perang melawan teror!sme, semestinya titik-topang utamanya ialah perang melawan ideologi, alias paham (alam pikir), bukan semata memerangi “gejala” berupa penangkapan dan penahanan fisik para pelaku maupun otak intelektual dibalik aksi-aksi teror!sme. Ketika ideologi radikal nonkeagamaan mencoba menghadapkan manusia berhadapan dengan sesama manusia lainnya, maka ideologi radikal kegamaan mencoba menghadapkan antara “manusia melawan ‘Tuhan’” (yang diwakili oleh para umatnya yang radikal serta intoleran, lebih tepatnya “mengatas-namakan” nama Tuhan).

Bila Komisi Pemberantasan Korupsi disebutkan sebagai lembaga dengan “mission impossible” untuk dapat benar-benar memberantas korupsi hingga tuntas di Indonesia dan agar praktik maksiat semacam korupsi “punah” selama-lamanya, namun menyerupai misi yang membuat frustasi karena korupsi tidak kunjung berakhir dari muka Bumi ini, selain sekadar direpresi dan ditekan seminal mungkin bibit-bibitnya agar tidak tumbuh menjadi “penyakit sosial” tanpa terkendalikan, serta memangkas gejala-gejala yang muncul ke permukaan (bernama aksi para koruptor), maka tugas para polisi khusus anti-teror juga memasuki domain atau ranah yang serupa, suatu “mission impossible” itu sendiri, sebagaimana akan kita bahas bersama akar sebab-musababnya, dimana sepanjang akar sebab-musababnya tetap eksis maka selama itu pula aksi-aksi semacam teror!sme tidak akan pernah benar-benar dapat tuntas diatasi secara permanen terkecuali hanya sekadar ditekan dan direpresi gejala yang meletup ke permukaan publik.

DISCLAIMER Redaksi: Ulasan dalam artikel berikut tidak menyebutkan atau menunjuk nama salah satu atau lebih agama mana pun, karena itu segala bentuk ketersinggungan dari pandangan pembaca, menjadi domain ranah perspektif internal masing-masing, yang bisa jadi perspektif para pembaca berbeda dari perspektif penulis, yang karenanya tiada penistaan terhadap nama agama mana pun bila yang ada ialah perbedaan ranah perspektif individual masing-masing pembaca dalam menafsirkan. Penafsiran Anda, menjadi urusan serta tanggung jawab Anda pribadi.

Setiap bulannya, selalu dapat kita jumpai pemberitaan mengenai penangkapan para anggota sindikat teror!sme ataupun aksi-aksi peledakan tidak terkecuali aksi berdarah semacam “pertumpahan darah” oleh para teror!s. Faktanya, para simpatisan aksi-aksi ekstremis demikian, yang tidak muncul ke permukaan dan tidak terpublikasikan serta bahkan tidak terendus oleh kepolisian khusus antiteror, yang berada di balik layar dan tersembunyi dibalik ruang temaram, diyakini jauh lebih masif, seperti kalangan simpatisan, donatur, hingga pendukung yang terang-terangan memberikan dukungan tempat persembunyian, pendanaan, logistik, informan, pasokan alat-alat persenjataan, agen kaderisasi, maupun yang sifatnya sebagai penyebar ideologi yang konon sudah memasuki bangku-bangku sekolah dan ruang-ruang perkuliahan disamping pada ruang-ruang mimbar pada tempat-tempat ibadah yang meluas dan tersistematis sifatnya.

Terhadap pertanyaan yang selalu menjadi klise : Apakah mungkin ideologi teror!sme bisa dimusnahkan dan menjadi punah di dunia atau setidaknya di negeri kita? Jika sumber ideologi teror!sme ternyata ialah “dogma” berupa “wahyu” (yang mengatas-namakan kehendak / perintah Tuhan) yang dapat kita temukan legitimasi serta justifikasinya dalam doktrin-doktrin keyakinan keagamaan, serta yang memiliki sumber primer rujukannya pada Kitab Suci suatu keyakinan keagamaan, dimana sepanjang agama bersangkutan masih memiliki umat atau pengikut, maka ideologi teror!sme akan tatap hidup, lestari, dan tumbuh tanpa pernah dapat kita bendung terlebih hentikan sepenuhnya dan seutuhnya secara tuntas, semata karena memang dipelihara dan dilestarikan dalam Kitab Suci itu sendiri.

Karenanya, upaya untuk memutus mata rantai aksi-aksi teror!sme dengan cara menangkap para pelaku teror!sme, adalah sebuah misi yang mendorong kita kepada kondisi penuh frustasi, karena tiada akan pernah usai. Berikut salah satu atau beberapa diantara dogma yang bersumber dari wahyu keyakinan keagamaan yang dapat kita jumpai pada Kitab Suci para pelaku aksi teror!sme (sekaligus menjelaskan mengapa deradikalisasi para narapidana aksi teror!sme selalu menemui kegagalan):

- “Malaikat menemuiku dan memberiku kabar baik, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak mempersekutukan ... dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga. Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzinah? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzinah’.”

- “Saya diperintahkan untuk memerangi manusia hingga mereka mengucapkan ‘tidak ada Tuhan selain ... dan bahwa ... rasul ...’, menghadap kiblat kami, memakan sembelihan kurban kami, dan melakukan rituil bersama dengan kami. Apabila mereka melakukan hal tersebut, niscaya kami diharamkan menumpahkan darah ataupun merampas harta mereka."

- “Pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi ... dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, ialah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan serta kaki mereka.”

- Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada...”

- “Tuhanmu mewahyukan kepada para malaikat : ... , maka penggallah kepala mereka dan pancunglah seluruh jari mereka.”

- “Perangilah mereka, niscaya Tuhan akan menyiksa mereka dengan tangan-tanganmu...”

- “Perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik dan bersikap keraslah terhadap mereka.”

- Bunuhlah mereka di mana saja kamu bertemu mereka, ...”

- “Bunuhlah orang-orang ... itu di mana saja kamu bertemu mereka, dan tangkaplah mereka.”

Menurut para pembaca, dengan hati nurani yang terdalam dan paling jujur, adakah mungkin, kita mampu hidup secara damai dan tenteram serta terjamin aman, hidup berdampingan dengan kaum yang memeluk keyakinan keagamaan demikian? Ibarat seekor kelinci, memasuki kandang serigala, itulah gambaran hiperbola untuk kondisi realita yang dapat kita temukan pada tengah-tengah realita masyarakat kita di keseharian, yang mungkin pernah kita saksikan atau alami sendiri sebagai sang “kelinci” yang menjadi korbannya. Hanya sesama serigala, yang dapat hidup secara akur dan berdampingan. Secara pribadi, sebagai seorang tergolong kaum “minoritas”, penulis dari sejak kecil hingga tumbuh dewasa hidup dan berdomisili di Indonesia, telah merasakan dan mengalami betul, setidaknya aksi-aksi intoleran disertai radikalisme (kekerasan fisik yang “haus darah”) oleh mereka yang bahkan notabene pemuka agama dan memakai busana serta atribut keagamaan—para pelakunya rajin beribadah dan mengaku “ber-Tuhan”, bahkan melakukan anarkisme kekerasan fisik saat mengenakan busana keagamaan (terlebih ketika tidak sedang beribadah?).

Ketika kekerasan fisik, melukai, merusak, merampok, menumpahkan darah, menyakiti, hingga membunuh, mencuri ataupun seperti berzinah, tidak ditabukan, bahkan dipromosikan oleh ideologi keyakinan keagamaan yang dikemas sebagai sebuah “dogma” atau “wahyu” yang menjadi perintah dari “Tuhan”, maka masyarakat umum selaku para umatnya tidak akan segan-segan melakukan aksi-aksi demikian atau yang serupa dengan derajat yang berbeda, seperti menyakiti, merugikan, dan melukai warga lainnya, secara tanpa rasa malu serta tanpa rasa takut, semata karena budaya menyakiti fisik pihak lain tidak ditabukan bahkan dipromosikan oleh dogma yang terdapat justifikasinya lewat ajaran dalam keyakinan keagamaan, maka hal demikian serupa dengan hidup berdampingan bersama “manusia serigala” yang sewaktu-waktu dapat menjadi predator yang “memakan sesama manusia”, dimana para korbannya bahkan seolah-olah harus berterima-kasih dan mengucapkan terima-kasih kepada pelakunya semata karena setidaknya tidak dirampok dan dibunuh, cukup sekadar disakiti dan dilukai—“standar moralitas” yang bahkan lebih “barbarik” ketimbang bangsa manusia zaman purbakala, dimana pada zaman purbakala tiada satupun pelaku kejahatan yang meyakini akan memasuki surga setelah kematiannya, namun para kriminal radikal-intoleran yang berbuat jahat dengan melukai, menyakiti, maupun merugikan korbannya merasa yakin dan terjamin mendapatkan gelaran “karpet merah” serta tiket memasuki alam surgawi dan berbahagia di dalam kesenangan surgawi.

Terdapat kalangan-kalangan yang menawarkan solusi, agar khusus ayat-ayat tersebut di atas, tidak diungkapkan kepada publik, dengan harapan para umatnya menjelma umat yang “moderat”. Opsi demikian adalah sebuah “delusi”, yakni “hiper-reality” pencitraan (“re-framing”) seolah-olah keyakinan keagamaan bersangkutan adalah cinta damai, toleran, ahimsa, tidak radikal, baik, lurus, murni, suci, bersih, dan segala klaim lainnya yang tujuannya ialah untuk mempromosikan nama keyakinan keagamaan itu sendiri. Terlagi pula, jika memang demikian adanya sebagaimana klaim dimaksud, mengapa terdapat satu atau lebih dogma di dalam Kitab Suci keyakinan keagamaan dimaksud yang kemudian ditutup-tutupi, bahkan menciptakan “hoax” secara disengaja dengan maksud membuat pencitraan seolah-olah keyakinan keagamaan bersangkutan ialah ajaran yang hanya penuh akan cinta damai dan toleran?

Keberatan kedua atas tawaran demikian, ialah ketika seseorang warga menjadi tertarik hatinya untuk masuk dan memeluknya menjadi seorang umat-pengikut, maka cepat atau lambat akan terpapar oleh ajaran atau ideologi dogmatis yang sekalipun selama ini disembunyikan dan ditutup-tutupi secara rapat (dengan agenda politis tertentu ditutup rapat, sebelum kemudian dibuka kembali dari dalam lemari yang terkunci). Dengan mengingat aspek psikologis “sudah kepalang tanggung” tercebur ke dalam agama bersangkutan, maka pilihan satu-satunya yang paling rasional baginya ialah untuk menceburkan diri lebih dalam dengan turut pula meyakini dan menelan dogma-dogma berupa “wahyu” sebagaimana perintah-perintah di atas. Adalah fakta, para kader aksi-aksi teror!sme, bukan direkrut dan di-“cuci otak” dari orang-orang yang tergolong “non”, namun dari umat yang pada mulanya menamakan dirinya “umat yang moderat”—sebagaimana terlihat dari fakta, bahwa keluarga para aksi teror!sme tergolong “umat yang moderat” dan pada mulanya para pelaku aksi teror!sme adalah “umat yang moderat” adanya. Karenanya, “moderat menjadi pintu masuk dari aksi-aksi teror!sme, bahkan menjadi salah ciri khas-nya.

Karenanya, menyembunyikan “aib” bukanlah solusi permanen, kecuali hanya pengingkaran, seolah-olah mencoba mengingkari apa yang menjadi dogma serta wahyu dari “Tuhan”, adalah bukan penistaan terhadap “Tuhan” sumber pemberi wahyu serta Kitab Suci agama yang bersangkutan itu sendiri, dengan menutup mata dari keberadaan dogma-dogma perintah yang radikal dan intoleran demikian, namun pada saat yang bersamaan dengan penuh semangat mengkampanyekan dan mempromosikan dogma-dogma yang tampak lebih “moderat” dengan memungkiri dan mengingkari keberadaan wahyu-wahyu yang eksis dalam Kitab Suci yang sama.

Hanya “aurat” yang perlu disembunyikan serta ditutup rapat. Mengapa juga, dogma yang merupakan wahyu dari Tuhan, perlu ditutup-tutupi layaknya “aurat” yang memalukan? Bagaikan “aurat”, ditutupi, dipandang memalukan, jorok, namun disaat bersamaan dicintai serta disukai pada ruang tertutup. Yang terlebih buruk dari kesemua itu, karena hanya memperkeruh keadaan, ketika para simpatisan dan umatnya justru membuat “hoax” kepada publik, bahwa seolah keyakinan keagamaan yang dianut dan dipeluk olehnya tersebut adalah agama yang cinta damai, lurus, toleran, ahimsa, penuh cinta kasih, suci, dan segala klaim citra positif lainnya—agama “hasil fantasi” para umatnya.

Praktik ketimpangan penuh ketidak-adilan yang juga hendak penulis singgung serta angkat pada kesempatan ini, ialah perihal praktik “standar ganda”, yakni dimana suatu kaum tertentu menuntut diperlakukan toleran pada negara-negara dimana mereka adalah “minoritas”, namun disaat bersamaan pada negara-negara suatu kawasan yang menjadi miniatur “dunia dengan keseragaman satu agama tertentu” yang menolak paham kemajemukan umat beragama dimana sila “Bhineka Tunggal Ika” seperti pada Pancasila yang menjadi ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah hal tabu yang seketika dilarang dan dibrendel serta ditumpas hingga ke-akar-akarnya, yang eksis hanya satu keyakinan keagamaan, bukan karena kesukarelaan para penduduknya, namun lewat represi ancaman bayonet serta moncong senapan api hingga kriminalisasi dan pelarangan disertai ancaman hukuman, baik secara hukum negara maupun secara sosial maupun secara politis.

Mereka memandang, bahwa mereka memiliki hak prerogatif untuk melabel keyakinan keagamaan lainnya sebagai “sesat”, “terlarang”, “dilarang”, atau seperti “wajib hukumnya diberantas” hingga punah. Komun!sme, adalah sebuah ideologi yang dapat kita kategorikan sebagai “agama”, mengingat Karl Marx sebagai “nabi”-nya, buku yang menjadi karya monumental Marx perihal kelas proletar sebagai Kitab Sucinya, serta adanya umat pengikut yang sempat tumbuh subur di Eropa dan menjalar ke kawasan Asia beberapa waktu lampau, memiliki sebagian kalangan umat yang baik secara sosial dan secara moralitas, namun ternyata kini bernasib sebagai agama yang dilarang dan ditumpas secara represif oleh sejumlah negara di dunia dan termasuk di Indonesia.

Pertanyaan yang kemudian dapat kita kemukakan ialah lebih lanjut ialah, apakah dogma-dogma yang berisi perintah radikal serta intoleransi berlebihan demikian, tidakkah lebih buruk dan lebih berbahaya ketimbang Marx!sme yang kini menjadi ideologi terlarang setidaknya di Indonesia? Faktanya di Indonesia, kuantitas korban jiwa akibat paham komun!sme tidak lebih banyak daripada korban jiwa yang jatuh akibat paham teror!sme. Teror!sme itu sendiri kalah lebih memiskinkan ketimbang aksi korupsi, seperti sempat dibeberkan fakta perihal puluhan ribu kotak amal disalah-gunakan bagi kepentingan sumber pendanaan aksi teror!sme.

Bila kita belajar pada sejarah rezim Orde Lama di Indonesia, ideologi komun!sme bukanlah menjadi ideologi terlarang yang dilarang karena dilarang sejak sedari sejak semula terbit dan berdirinya Partai Komun!sme Indonesia (PKI), karena sejarah mencatat sempatnya PKI menjadi partai paling besar di Indonesia dan memiliki jutaan pengikut, simpatisan, serta anggota, yang dinilai sempat meresahkan kalangan militer karena menjadi kompetitor kekuasaan militer resmi negara disamping menguasai kursi strategis karena kekuatan suara pengikutnya.

Semata karena faktor politis, yakni kedekatannya dengan rezim penguasa Orde Lama, PKI dan para anggotanya menjadi korban “tragedi sejarah penuh pertumpahan darah”, sebelum kemudian menjadi organisasi dan ideologi terlarang di Indonesia. Tanpa terjadinya insiden “G 30 S”, maka PKI dan komun!sme mungkin masih eksis dan tumbuh subur sebagai kekuatan politis serta ideologi terbesar dengan pengikut terbanyak di Indonesia. Justru dalam peristiwa terbunuhnya para jenderal dalam “peristiwa lubang buaya” G 30 S, korban sesungguhnya ialah puluhan ribu korban jiwa pengikut / anggota PKI, belum terhitung mereka yang dituduh sebagai anggota PKI yang menjadi tahanan politik tanpa proses peradilan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.