Menjadi Jenius, Berkah ataukah Kutukan? Resiko Mengidap Bipolar sebagai Harga dari Kecerdasan

ARTIKEL

Gen JENIUS dan Gen BIPOLAR bagai Pinang Dibelah Dua.Relasi antara Genetik JENIUS dan Genetik Penyebab Kondisi BIPOLAR, Cenderung Identik. Kreativitas adalah Genetik, sehingga Jenius adalah Dilahirkan, Bukan Dibuat

Orang Jenius Bisa Jadi Gila, tapi Orang Gila Tidak Bisa Jadi Jenius. Orang Jenius Mengolah Pikiran-Pikiran Gilanya menjadi Konstruktif, sementara Orang Gila Justru Membuat Pikiran-Pikiran Konstruktifnya menjadi Destruktif

Manusia Indonesia selama ini tidak menjadikan tabu, “penyakit fisik” seperti diabetes, obesitas, kolesterol, dan berbagai penyakit lain yang bahkan dicari-cari sendiri sifatnya (mencari penyakit sendiri) seperti menghisap bakaran produk tembakau, meminum minuman beralkohol, hingga mengkonsumsi obat-obatan terlarang, tidak malu berduyun-duyun antri penuh sesak pada berbagai pusat kesehatan masyarakat maupun pada berbagai rumah sakit di seantero kota dan desa di Indonesia yang tidak pernah sepi dari pasien yang berobat.

Tidak menjaga pola hidup sehat, namun mengharap dan menuntut sehat, terlebih mengharap bisa disembuhkan, bukankah itu “sinting” namanya? Maka, mengapa seolah-olah “penyakit non-fisik” seperti “penyakit mental”, dijadikan hal yang tabu serta dianak-tirikan perlakuannya oleh masyarakat umum? Yang semestinya menjadi “aib” memalukan, ialah ketika suatu penyakit, entah dari segi fisik ataupun mental, dibuat dan dicari-cari sendiri sifatnya, seperti “penyakit mental” mencandu permainan video game yang kini banyak melanda dan menjangkiti para generasi muda kita, seolah-olah tidak keasyikan lain untuk ditekuni—yang bisa jadi adalah cerminan kegagalan orangtua maupun kalangan guru dalam membangkitkan inspirasi maupun motivasi belajar dan sikap-sikap produktif lainnya dalam benak internal sang anak muda.

Bila kaum “gemukisme” menyatakan, bahwa bukanlah sebuah kejahatan menjadi seseorang yang gemuk atau terlahir sebagai orang yang gemuk (“penyakit” fisik), maka mengapa juga berbagai “disorder” yang sebetulnya adalah “penyakit mental” seperti “tergila-gila makan”, atau semacam “tergila-gila shopping”, “keserakahan sehingga masih juga merampok hak-hak orang yang lebih miskin” (di-idap oleh para koruptor), “secara durhaka memeras dan menjadikan objek pungutan liar sapi-perahan warga sipil pembayar pajak yang sumber gaji para ‘civil servants’”, “tidak malu dan tidak takut berbuat jahat”, “sudah putus urat malu dengan berbuat dosa”, “memperkosa profesi orang lain namun masih juga mengharap dilayani”, “balas air susu dengan air tuba”, “menjadikan orang-orang baik sebagai ‘mangsa empuk’”, maupun berbagai “disorder” (gangguan) lainnya, dipandang sebagai “penyakit fisik” alih-alih “gangguan mental”?

Sehingga, menjadi mulai lebih jelas pula bila adalah salah-kaprah ketika para kalangan koruptor yang terbukti meng-korupsi hak-hak rakyat yang lebih miskin dari mereka, dipidana penjara menjadi penghuni “hotel prodeo”, alih-alih dipenjara bersama para penderita sakit jiwa pada berbagai “rumah sakit jiwa”? Semestinya, para koruptor tersebut dihukum pasung dengan rantai besar dari besi membelenggu kaki dan tangan mereka dalam rumah sakit jiwa.

Bermula ketika penulis mencari tahu pada berbagai literatur mengenai “ciri-ciri orang jenius”, dan mendapatkan tanda-tanda yang familier. Kegelisahan kemudian menjangkiti benak penulis ketika pada beberapa waktu kemudian mendapati istilah “gangguan bipolar” sebagai salah satu masalah kesehatan mental (meski tidak identik dengan “gangguan mental”, bipolar adalah bipolar). Alangkah terkejutnya penulis, ketika mendapati bahwa ciri-ciri atau yang menjadi tanda-tanda orang dengan tingkat intelektual berpredikat “jenius”, ternyata memiliki ciri atau corak tanda yang sama dan identik dengan mereka yang didiagnona sebagai pengidab masalah akibat “gangguan bipolar”.

Alhasil, dengan penuh rasa ingin tahu, ekplorasi pengetahuan baru demikian mendorong penulis untuk mencari kata kunci berikut pada dunia maya : “orang jenius cenderung menderita gangguan bipolar”, dan hasil yang didapatkan sangat menyentak kesadaran diri pribadi penulis, ternyata keduanya IDENTIK, antara “jenius” dan “bipolar”. Siapa sangka, ternyata “jenius” bukanlah sebuah “kondisi intelektual”, namun lebih tepat bila kita sebut sebagai sebuah “kondisi mental”.

Selama ini, bila ada diantara para pembaca yang berasumsi bahwa kalangan yang tergolong jenius, tidak memiliki segudang masalah dalam hidupnya, maka Anda keliru besar. Kendala-kendala yang dihadapi oleh orang-orang jenius, adalah kendala yang sama dengan mereka yang mengidab “bipolar”, karena sekali lagi, keduanya IDENTIK—meski tiada atau belum ada laporan yang berani secara eksplisit menyatakan demikian, namun dilihat dari ciri-ciri atau tanda-tandanya, sangat identik, bahkan kongruen satu sama lain dan dapat saling dipertukarkan.

Meski untuk golongan jenius, berbagai media lebih menonjolkan aspek kelebihannya yang membuat orang-orang terpukau dan kagum pada mereka, sementara terhadap istilah bipolar yang lebih ditekankan publikasinya ialah perihal kelemahan atau kekurangannya tanpa menyoroti lebih kepada kelebihan mereka. Ketika kita menyatukan keduanya, antara kelebihan dan kekurangan mereka, maka kita menemukan KEDUANYA sebagai satu kesatuan individu. Jangalah terlampau banyak menuntut, tiada manusia yang sempurna di dunia ini terkecuali seorang Buddha yang telah merealisasi pencerahan sempurna.

Menjadi tidak mengherankan pula, bila ternyata penulis mendapati adanya sebagian diantara masyarakat kita yang melakukan penelusuran dangan kata kunci berikut, seperti : “penyakit orang pintar”, “penyakit orang terlalu pintar”, “sindrom jenius”, “apakah penderita bipolar, sadar atas penyakitnya ini?”, yang bahkan oleh “Artifisial Intelligence” mesin penelusuran dunia maya dalam “search engine result page”-nya ternyata mampu dikoneksikan antara “jenius” dan “bipolar”, yang oleh sebagian kalangan tampaknya masih tampak seperti dua ranah yang saling berbeda, terpisah satu sama lain, dan bertolak-belakang. Penting untuk kita pahami, hindari sikap untuk menyamakan antara “jenius” dengan kelainan ataupun gangguan dan masalah mental lainnya, karena kemiripan hanya akan kita jumpai pada orang-orang dengan tanda-tanda atau ciri khas orang yang tergolong jenius dan ciri-ciri khas orang-orang dengan “bipolar disorder”.

Dalam  kesempatan ini, para pembaca mungkin tidak akan lagi menaruh rasa cemburu atau iri hati terhadap mereka yang tergolong “jenius”, dan diharapkan akan mulai menunjukkan rasa simpatik penuh pengertian alih-alih sinisme, serta menaruh welas-asih kepada mereka, ketika telah memahami berbagai kendala yang selama ini mereka hadapi yang tergolong “jenius”, yakni menderita “kondisi bipolar” yang sifatnya tampaknya ialah terkait kode genetik yang memicu bentuk otak serta hormonal yang diproduksi otak manusia-manusia yang tergolong “jenius”.

Semoga ulasan dari penulis berikut ini, dapat cukup membawa pencerahan dan menggugah kesadaran bagi segenap masyarakat kita yang memandang dirinya “normal” (lebih seringnya tidak sadar diri para anggota masyarakat kita juga mengidap “kelainan mental” lainnya, yang tidak jarang lebih memprihatinkan ketimbang “kondisi bipolar”), untuk lebih menaruh perhatian dan simpatik terhadap mereka yang tergolong jenius, sebagai kawan, bukan sebagai musuh ataupun ancaman, dan mulai lebih besedia memahami mereka secara lebih dekat lengkap dengan kompleksitas karakter dan kepribadiannya, secara apa adanya.

Masih secara salah-kaprah, sejumlah media menggunakan istilah “gangguan mental” bagi para kaum dengan “kondisi bipolar”, sebagaimana artikel bertajuk “Semakin Cerdas, Seseorang Rentan Kena Gangguan Mental? Gangguan Bipolar”, 26 Oktober 2018, https:// www. halodoc .com/artikel/semakin-cerdas-seseorang-rentan-kena-gangguan-mental, diakses pada tanggal 25 Maret 2021:

Dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa orang cerdas memiliki risiko terkena gangguan mental, seperti gangguan bipolar empat kali lebih tinggi dibandingkan dengan seseorang yang kurang cerdas. Orang-orang cerdas juga lebih sering terkena kecemasan fisik dan gelisah. Selain itu, seseorang yang memiliki IQ tinggi juga lebih berisiko mengidap gangguan bipolar.

Maka dari itu, seseorang dengan kecerdasan di atas rata-rata memiliki kaitan yang sangat erat dengan kelainan atau gangguan jiwa. Para peneliti juga belum menemukan hubungan antara tingkat kecerdasan yang gemilang dengan rentannya pada gangguan jiwa. Namun, ada satu penelitian yang dapat dijadikan acuan untuk memahami korelasi akan keduanya.

Penelitian tersebut menemukan bahwa orang-orang cerdas memiliki kandungan protein yang sama di otak dengan pengidap skizofrenia dan bipolar. Protein ini dapat menjadi penghubung antara kecerdasan dan jenis gangguan jiwa. Namun, penelitian lebih lanjut masih dibutuhkan untuk membuktikan apakah protein tersebut benar-benar dapat memengaruhi otak manusia.

Kebanyakan orang cerdas dan pengidap gangguan jiwa memilikii satu sifat yang sama, yaitu merasa canggung dengan orang lain. Maka dari itu, mereka cenderung menarik diri dari lingkungan sosial.

Bagian otak yang berfungsi mengatur kehidupan sosial jarang digunakan oleh orang cerdas. Alhasil, mereka mempunyai energi lebih untuk dialihkan fungsinya. Pengalihan fungsi tersebut memungkinkan mereka untuk berpikir, berkonsentrasi, dan memecahkan persoalan rumit.

Maka dari itu, orang-orang cerdas dapat membuat suatu hal yang besar dan mengaplikasikannya dengan baik. Contohnya seperti sebuah penemuan teknologi, obat-obatan untuk penyakit yang belum dapat disembuhkan, karya seni, sastra, dan lainnya. Walau begitu, penelitian ini harus diuji lebih jauh untuk validasi yang tepat.

Pada penelitian lainnya yang melibatkan 3.715 orang, dilakukan uji kegelisahan, depresi, autisme, ADHD, dan kelainan pada saraf lainnya. Seluruh peserta yang berada untuk penelitian tersebut memiliki IQ di atas 130. Hasil dari penelitian tersebut adalah, 20 persen peserta mengidap kecemasan dan depresi. Pada penelitian tersebut disebutkan bahwa peserta dari penelitian tersebut memiliki imunitas yang buruk.

Dari penelitian sebelumnya, terbukti adanya hubungan antara kecerdasan dengan gangguan mental dan juga gangguan suasana hati serta penyakit fisik. Peningkatan risiko gangguan mental tersebut berhubungan dengan masalah sosial, karena lebih antusias dengan analitis daripada interaksi dengan orang lain.

Untuk penyakit fisik, para peneliti menemukan terdapat korelasi yang jelas antara kapasitas intelektual yang mumpuni dengan kondisi psikologis juga fisiologis pada orang-orang cerdas. Lalu, mereka menarik kesimpulan bahwa orang-orang cerdas memiliki aktivitas otak yang lebih tinggi dan akhirnya aktivitas tersebut menjadi terlalu berlebihan, sehingga mereka lebih rentan terhadap penyakit.

Selain itu, ada pengaruh gen tertentu yang dapat menyebabkan gangguan mental, seperti gangguan bipolar yang mungkin harus ditukar dengan kecerdasan yang didapatnya. Juga ditemukan risiko gangguan mental naik sebesar 17 persen pada seseorang yang bekerja sebagai seniman.

Masih juga secara “latah”, kalangan media massa masih menyandangkan stigma “gangguan” bagi para bipolar, sebagaimana tajuk “Penderita Gangguan Bipolar Punya Kecerdasan di Atas Rata-rata”, Aditya Eka Prawira, 02 Oktober 2013, https:// www. liputan6 .com/health/read/708976/penderita-gangguan-bipolar-punya-kecerdasan-di-atas-rata-rata, diakses pada tanggal 25 Maret 2021:

Meskipun dianggap “gila”, penderita gangguan bipolar (GB) sebenarnya memiliki kemampuan otak di atas rata-rata manusia normal pada umumnya.

Ahli Kesehatan Jiwa dr. AAA Agung Kusumawardhani, SpKJK (K) mengatakan, pada umumnya penderita GB memiliki kecerdasan di atas rata-rata manusia pada umumnya. Dalam kehidupan sehari-harinya, penderita GB memiliki banyak ide, dan semuanya itu dinilai brilian. Tidak hanya cerdas, penderita GB juga dinilai cukup kreatif.

Sangking idenya itu banyak, mereka bahkan sampai kuat untuk tidak tidur. Dan mereka mampu melakukannya,” kata dr. AAA Agung Kusumawardhani, SpKJK (K), dalam acara Memperingati Hari Kesehatan Jiwa Dunia 2013: Mental Health in Older Adults, Hotel Gran Melia, Jakarta, Selasa (2/10/2013)

Gangguan Bipolar merupakan masalah kesehatan jiwa terkait mood (alam perasaan atau suasana hati), dengan gejala manik (suasana hati yang tinggi), dan depresi yang cukup ekstrem, sehingga memengaruhi cara berpikir, perasaan, tindakan, dan kualitas hidup penderitanya.

Penderita gangguan bipolar (GB) akan mengalami perubahan mood dari yang sangat tinggi (manik), menjadi sangat rendah (depresi), dan sebaliknya. Bila dibandingkan dengan orang normal yang perubahan mood terjadi pada kisaran yang stabil, ini dinilai sangatlah ekstrem.

Masih juga terkungkung pada istilah yang salah-kaprah, “gangguan” alih-alih “kondisi bipolar, sebagaimana tajuk “Menelusuri Hubungan Gangguan Bipolar dengan Kejeniusan. Apa benar orang kreatif dan cerdas lebih rentan mengidap gangguan bipolar?”, Jaimie Hodgson, 14 Desembr 2020, https:// www. vice .com/id/article/y3g3j7/menelusuri-hubungan-gangguan-bipolar-dengan-kejeniusan, diakses pada tanggal 25 Maret 2021:

Gangguan bipolar dan kreativitas punya sejarah panjang, sehingga tidak mengherankan jika “Is bipolar a sign of genius?” (Apakah bipolar tanda orang jenius?) menjadi pertanyaan yang paling banyak dicari di Google tentang penyakit ini.

Selena Gomez, Mariah Carey dan Demi Lovato mengalami gangguan bipolar seperti Kanye. Ernest Hemingway dan Virginia Woolf bahkan diperkirakan memilikinya juga.

Melihat banyaknya publik figur yang bipolar, benarkah gangguan kejiwaan ini ada hubungannya dengan kejeniusan? VICE minta pencerahan kepada Eduard Vieta Pascual, Guru Besar Psikiatri di Universitas Barcelona yang berspesialisasi menangani gangguan bipolar.

VICE: Kenapa banyak banget orang kreatif yang mengidap gangguan bipolar?

Eduard Pascual: Ada bukti ilmiah bahwa gen yang menyebabkan gangguan bipolar sama dengan gen yang memicu kreativitas dan sikap kepemimpinan. Semakin banyak jumlah gennya, maka semakin besar pula risiko kalian mengalami kondisi ini. Di sisi lain, kalian akan merasakan manfaatnya jika memiliki gen ini, tapi jumlahnya tidak kebanyakan.

Kami sudah memahami genetika gangguan bipolar, tapi belum bisa menemukan hubungan pasti antara kreativitas dan kepemimpinan.

Itu artinya orang kreatif dan berprestasi lebih rentan memiliki gen tersebut?

Betul, tapi bukan berarti semua orang kreatif dan seniman akan menderita bipolar. Yang jelas mereka memiliki risiko lebih tinggi.

Jika bipolar muncul secara alami dan karena faktor lingkungan, apakah bekerja di industri kreatif dapat memicu kondisi tersebut?

Bisa jadi. Penggunaan obat-obatan terlarang, kurangnya rutinitas dan jadwal tidur yang berantakan dapat merangsang bipolaritas. Seseorang bisa mengembangkan gangguan bipolar jika memiliki kebiasaan seperti ini. Begitu pula halnya dengan stres.

Gejala hipomania — mania yang lebih ringan — sering tertukar dengan kondisi di mana seseorang mencapai puncak inspirasi. Bagaimana caranya membedakan keduanya?

Hipomania memang bisa membuatmu lebih kreatif, tapi juga bisa menumbuhkan sikap mengkritik diri sendiri. Ketika seseorang [yang mengalami hipomania] menyadari apa yang telah mereka lakukan, mereka sebenarnya tidak melakukan sesuatu yang berharga. Hipomania cenderung terjadi berulang kali dan diawali atau diikuti oleh depresi, tidak seperti ketika kalian merasakan kesadaran spiritual atau kebahagiaan sejati.

Hipomania berlangsung singkat, dan ditandai oleh perilaku yang berbeda dari sifat asli penderita. Hipomania menciptakan perasaan senang, tapi belum tentu memberikan manfaat kepadamu. Kalian mungkin menjadi lebih aktif dan kreatif, tapi wawasanmu mungkin terganggu. Pada akhirnya, apa yang dilakukan tidak sehebat yang kalian rasakan.

Seberapa umum penderita bipolar memilih tidak mengobati gejalanya?

Ada orang yang menyangkal kondisinya, ada pula yang enggan mengobatinya. Ada banyak orang yang enggan minum obat ketika mengalami masalah kejiwaan. Mereka merasa baik-baik saja, dan takut kepribadiannya akan berubah jika minum obat. Itu sebenarnya tidak benar. Gangguan bipolar yang tidak diobati bisa berakibat fatal.

Bagaimana kamu menyikapi pandangan minum obat bisa menghambat kreativitas seseorang?

Kalian masih bisa kreatif meski mengidap gangguan bipolar. Kreativitas tidak sejalan dengan episode manik dan hipomanik. Hal itu muncul dengan beberapa faktor pribadi yang mungkin tidak pernah kita ketahui. Bipolar belum tentu menyiratkan kreativitas, tapi beberapa gen yang terkait dengan gangguan bipolar dapat mengembangkan bakat kalian sendiri.

Bukan penyakitnya yang menghambatmu, melainkan kebingungan yang kalian rasakan. Orang yang mengalami mania atau hipomania sering kali melakukan hal-hal gila yang sebenarnya tidak kreatif. Kalian membutuhkan ketenangan dan merefleksikan diri untuk menjadi penulis, seniman atau musisi hebat. Jadi bukan sebatas inspirasi. Kegilaan cenderung bukan komponen kreativitas yang baik.

Delusi kehebatan adalah gejala umum mania. Publik figur yang menderita bipolar pasti sulit menghadapinya.

Benar sekali. Buku saya menceritakan tentang Raja Spanyol Fernando VI (Ferdinand the 6th) yang mengidap bipolar. Para penasihat kerajaan kesulitan mengajaknya berbicara dengan akal sehat karena dia sering mengalami fase mania. Dia ingin menyatakan perang terhadap dua musuh utamanya, Inggris dan Prancis, pada saat bersamaan.

Seberapa sering penderita bipolar mengubah pandangan dan opininya secara ekstrem?

Sangat sering. Orang kerap berubah pikiran ketika mereka beralih dari fase hipomania ke depresi. Apa yang awalnya mereka kira normal, menjadi sesuatu yang bikin mereka merasa bersalah. Penderita bipolar berubah dari satu kondisi ke kondisi lain. Hal yang sangat mereka yakini dua hari lalu mendadak berubah beberapa hari kemudian.

Bisakah bipolar menjadi kekuatan positif dalam kehidupan seseorang?

Tidak terlalu positif, tapi bisa dimanfaatkan untuk memperbaiki diri bagi penderitanya. Jadi, memiliki sesuatu yang buruk bisa membantumu menjadi pribadi yang lebih baik. Hanya saja itu tidak menjadikan hal buruk sesuatu yang baik.

Lebih ekstrim, sebuah tajuk menyamakan antara “jenius” dan “kegilaan” (entah pujian ataukah sebuah pelecehan terselubung yang mendiskreditkan potensi dibalik kejeniusan seseorang), sebagaimana dalam “Otak si Jenius dan si Gila Memang Tak Beda Jauh”, 05 Jun 2012, https:// health. detik .com/berita-detikhealth/d-1933558/otak-si-jenius-dan-si-gila-memang-tak-beda-jauh, diakses pada tanggal 25 Maret 2021:

Pemikiran bahwa ada hubungan antara jenius dan kegilaan telah mempesona banyak orang sejak lama. Pemikiran itu muncul karena orang melihat banyak tokoh-tokoh jenius yang ternyata memiliki gangguan kejiwaan.

Isaac Newton (fisikawan), Ludwig van Beethoven (komposer), Edgar Allan Poe (penulis), Vincent van Gogh (pelukis) dan John Nash (matematikawan) adalah contoh orang-orang jenius yang mengalami gangguan kejiwaan hingga schizofrenia.

Banyak para ahli yang mendebatkan masalah itu dan penelitian pun terus dilakukan untuk membuat definisi yang jelas antara jenius dan kegilaan. Namun kini hubungan antara jenius dan kegilaan bukan lagi sekedar guyonan. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa dua pikiran ekstrem tersebut benar-benar terkait dan ilmuwan mulai memahami alasannya.

Hasil penelitian terbaru tersebut telah dibahas di acara yang digelar sebagai bagian dari 5th annual World Science Festival pada 31 Mei lalu di New York.

Salah satu panelis dalam acara tersebut, Kay Redfield Jamison, seorang psikolog klinis dan profesor dari Johns Hopkins University School of Medicine, mengatakan temuan dari 20 atau 30 studi ilmiah mendukung pandangan tentang “jenius yang disiksa”.

Dari banyak jenis psikosis, kreativitas tampaknya yang paling sangat terkait dengan gangguan mood (suasana hati) dan terutama gangguan bipolar, yang juga diderita oleh Jamison sendiri.

Sebagai contoh, sebuah penelitian menguji kecerdasan 700.000 orang Swedia usia 16 tahun dan kemudian menindak-lanjuti selama 10 tahun untuk dipelajari kemungkinan mengembangkan penyakit mental. Hasilnya cukup mengejutkan dan telah diterbitkan pada tahun 2010.

“Mereka menemukan bahwa orang yang unggul saat mereka berusia 16 tahun empat kali lebih mungkin untuk terus mengembangkan gangguan bipolar,” ungkap Jamison, seperti dilansir Livescience, Selasa (5/6/2012).

Gangguan bipolar memerlukan perubahan suasana hati yang dramatis antara kebahagiaan ekstrem (dikenal sebagai mania) dan depresi berat. Bagaimana mungkin siklus brutal ini menimbulkan kreativitas?

“Orang-orang dengan bipolar cenderung menjadi kreatif ketika mereka keluar dari depresi berat. Ketika suasana hati seorang pasien bipolar membaik, kegiatan otaknya pun bergeser. Aktivitas mati di bagian bawah otak yang disebut lobus frontal dan menyala di bagian yang lebih tinggi dari lobus,” jelas James Fallon, neurobiologis dari University of California-Irvine, yang juga menjadi panelis.

Hebatnya, lanjut Fallon, pergeseran yang sama terjadi ketika orang memiliki kreativitas yang sangat tinggi. “Ada hubungan antar sirkuit yang harus dilakukan dengan bipolar dan kreativitas,” jelas Fallon.

Adapun cara pola otak diterjemahkan ke dalam pikiran sadar, Elyn Saks, profesor hukum kesehatan mental di University of Southern California, menjelaskan bahwa orang dengan psikosis tidak memfilter rangsangan sebaik orang normal.

Sebaliknya, pasien psikosis bisa mempertimbangkan ide yang kontradiktif secara bersamaan dan menjadi sadar dengan asosiasi bebas yang kebanyakan otak bawah sadar orang tidak mempertimbangkannya layak untuk dikirim ke permukaan kesadaran.

Sementara invasi omong kosong ke dalam pikiran sadar dapat banyak dan mengganggu, itu juga bisa sangat kreatif,” jelas Elyn Saks, yang juga mengembangkan skizofrenia saat muda.

Hanya orang-orang yang mengalami kondisi sebagaimana digambarkan di atas, yakni orang dengan “kondisi bipolar” yang dapat memahami perihal “invasi omong kosong ke dalam pikiran sadar sebagai sumber inspirasi dan ide kreatif”. Masih dengan tajuk yang tidak kalah cukup “provokatif” lainnya, berjudul “Benarkah Jenius dan Gila Beda Tipis?”, https:// health. detik .com/berita-detikhealth/d-1306645/benarkah-jenius-dan-gila-beda-tipis, diakses pada tanggal 25 Maret 2021:

Pemikiran bahwa ada hubungan antara jenius dan kegilaan telah mempesona banyak orang sejak lama. Tapi para ahli masih mendebatkan masalah itu. Penelitian terus dilakukan untuk membuat definisi yang jelas antara jenius dan kegilaan.

“Batas-batas antara normal, tidak normal, dan supernormal masih belum banyak yang memuaskan. Apa mungkin perilaku eksentrik seseorang dapat dianggap kegilaan bagi orang lain. Apakah seseorang yang yang gila mungkin dianggap jenius oleh orang lain. Dan jika orang jenius terlalu jauh pemikirannya di depan waktunya, ide-ide cemerlang itu mungkin tidak akan dihargai kecuali ia telah meninggal,” kata Dr Kenneth Lyen, pediatrik dan penulis tentang kreativitas otak yang juga dokter di Mount Elizabeth Hospital Singapura dalam jurnalnya yang dimuat di sma.org, Kamis (25/2/2010).

Seorang jenius secara samar didefinisikan sebagai orang yang sangat kreatif dan mampu membuat kontribusi yang signifikan bagi kemanusiaan, sering menentang pakem-pakem dan membangun paradigma baru.

Sedangkan gangguan mental atau kegilaan merupakan suatu pola psikologis atau gangguan perilaku yang terjadi pada seseorang yang diakibatkan karena tekanan mental atau gangguan di saraf, tapi untuk beberapa jenis kegilaan seperti schizofrenia bahkan belum ditemukan penyebabnya.

Teori lain yang juga menarik untuk melihat penelitian jenius dan gila ini adalah “teori biososial kreativitas”. Pada intinya, teori ini menyatakan bahwa kreativitas adalah genetik dan dengan demikian jenius adalah dilahirkan bukan dibuat.

Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa tokoh-tokoh kreatif dunia seperti pelukis Van Gogh dan penulis Jack Kerouac yang jenius ternyata juga menderita gangguan psikotik. Mereka berdua dipuji sebagai orang yang jenius tetapi justru menunjukkan perilaku merusak diri sendiri.

Tapi banyak juga yang tidak setuju kalau jenius dibilang mirip dengan gila. Orang jenius mengolah pikiran-pikiran gilanya menjadi konstruktif (bangunan). Sedangkan orang gila justru membuat pikiran-pikiran konstruktifnya menjadi destruktif (hancur).

“Orang jenius bisa jadi gila tapi orang gila tidak bisa jadi jenius,” kata barisan orang yang tidak mau gila disamakan dengan jenius.

Sementara menurut Dr Kenneth Lyen setidaknya ada 7 penyakit yang mengaitkan antara kelainan jiwa dan jenius, meskipun itu kondisi yang masih sulit didiagnosa.

1. Disleksia.

Disleksia adalah gangguan belajar yang ditandai dengan kesulitan mengenali dan memahami bahasa tertulis ketika membaca, menulis, dan mengeja. Orang-orang terkemuka yang diduga menderita disleksia adalah Albert Einstein, Thomas Alva Edison, Walt Disney, Pablo Picasso dan Lee Kuan Yew.

2. Bipolar.

Gangguan bipolar dicirikan oleh perubahan suasana hati antara euforia dan depresi. Gejala psikotiknya seperti delusi, halusinasi, paranoia atau berperilaku aneh. Orang terkenal yang dianggap memiliki gangguan bipolar adalah Winston Churchill, Edgar Allan Poe, Sylvia Plath, Robert Schumann, Vincent Van Gogh, Tim Burton dan Francis Ford Coppola.

4. Obsesif-Compulsive Disorder (OCD).

OCD adalah kondisi kejiwaan yang ditandai dengan tekanan untuk berpikir dan berperilaku terus-menerus. Seperti obesesi untuk terus mencuci tangan, mengecek pintu berulang-ulang karena ada perasaan tidak nyaman. Orang terkenal yang memperlihatkan kecenderungan OCD antara lain Nicola Tesla, Howard Hughes, dan Marc Summers.

5. Autistic Savant

Beberapa profesor di universitas yang cenderung suka menyendiri terdiagnosis memiliki autistic savant.

6. Terminal Illness

Meskipun bukan kondisi kejiwaan, penyakit terminal dapat memicu respons emosional yang luar biasa pada penderitanya. John Stuart Mills menderita TBC, yang tidak dapat disembuhkan dan menyebabkan kematian perlahan-lahan. Setelah diagnosa, dia mulai menulis karya-karya yang akan membuatnya terkenal.

Dalam tajuk “Secara Ilmiah, Orang Cerdas Mudah Terkena Gangguan Fisik & Mental. Ternyata gak selamanya menjadi cerdas itu menyenangkan”, Ishak Okta Sagita, https:// www. idntimes .com/science/discovery/ishak-okta-sagita/orang-cerdas-mudah-terkena-gangguan-fisik-mental-c1c2/4, diakses pada tanggal 25 Maret 2021:

Sejak masih sekolah, kita selalu menilai bahwa orang pintar itu hidupnya enak. Kemudahan yang diraih adalah kemudahan beasiswa, selesai sekolah dijamin auto kerja, dan auto kaya.

Tetapi orang dengan tingkat intelektual tinggi juga dikaitkan dengan gejala gangguan mental dan imunologis, seperti depresi, bipolar, kecemasan berlebihan, ADHD serta gangguan fisik seperti asma dan gangguan imunitas.

Fenomena ini sudah dilakukan penelitian dan dipublikasikan di Science Direct. Para peneliti melakukan pengambilan data dengan mengirim email ke American Mensa Society. Mensa adalah organisasi yang berisikan orang-orang berintelektual tinggi, dengan IQ di atas 132.

1. Orang dengan intelektual tinggi kondisi mood-nya mudah berubah dan gampang sekali alergi.

Para peneliti membandingkan data dari 3.715 responden dari Mensa dengan data dari survei nasional untuk melihat prevalensi dari beberapa gangguan para mereka yang memiliki intelektual tinggi dibandingkan masyarakat pada umumnya.

Hasilnya menunjukan orang dengan intelektual tinggi lebih mudah didiagnosa terkena gangguan spektrum autisme (ASD) sebanyak 20 persen, 80 persen lainnya didiagnosa mengidap ADHD, 83 persen mengidap kecemasan berlebihan dan 82 persen memiliki gangguan mood.

Survei ini mencangkup gangguan mood, kecemasan, gangguan hiperaktif-perhatian dan autisme. Hal ini juga termasuk gangguan alergi lingkungan tertentu, asma dan gangguan autoimun. Responden diminta melakukan melaporkan apakah pernah diperiksakan secara profesional dengan setiap gangguan atau indikasi gangguan tersebut.

Ketika ke penyakit fisiologis, orang dengan kemampuan kognitif mencapai 213 persen lebih berisiko terkena alergi lingkungan, sebesar 108 persen berisiko terkena asma dan 84 persen mengidap penyakit autoimun.

2. Orang intelek cenderung untuk “intelektual berlebihan” dan hiperreaktif pada sistem saraf pusat.

Berikutnya penelitian dialihkan ke bagian psychoneuroimmunology (PNI). PNI meneliti bagaimana stress kronis menumpuk sebagai respon terhadap faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi komunikasi antara otak dan sistem imunitas.

Hasil penelitian menunjukan, orang yang sangat cerdas memiliki kecenderungan untuk “intellectual overexcitabilites” dan hiper reaktif pada sistem saraf pusatnya. Di satu sisi, membuat orang dengan kecerdasan tinggi meningkatkan kesadaran yang dapat membantu pekerjaan kreatif dan artistik mereka. Faktanya, kemampuan kognitif menjadi salah satu aspek dari untuk menjadikan mereka memiliki kapasitas yang lebih luas dan mendalam untuk memahami lingkungan mereka.

Untuk memperjelas temuan mereka, Karpinski selaku anggota penelitian mengusulkan teori hiper otak / hiper tubuh. Teori ini menyatakan, semua kenikmatan menjadi orang cerdas dikaitkan dengan “kelebihan gairah secara psikologis dan fisiologis”, atau OE.

Konsep OE pertama kali dicetus oleh Kazimierz Dabrowski pada 1960-an. OE adalah reaksi intens yang luar biasa terhadap ancaman atau penghinaan lingkungan. Hal ini bisa mencangkup apa saja dari suara yang mengagetkan dan konfrontasi dengan orang lain.

Secara psikologis, OE mencangkup kecenderungan tinggi untuk merenung dan khawatir, sedangkan OE fisiologis muncul dari respon tubuh terhadap stres. Berdasarkan teori hiper otak / hiper tubuh, kedua jenis OE ini banyak ditemui pada orang-orang cerdas dan berinteraksi satu sama lain dalam lingkaran setan yang menyebabkan disfungsi psikologis dan fisiologis.

Contohnya saja adalah orang cerdas dapat menanggapi komentar orang lain secara berlebihan, orang biasa jarang membayangkan hasil negatif terhadap komentar orang lain.

Untuk hiper-reaktivitas juga dapat menyebabkan depresi yang mendalam dan kesehatan mental yang buruk. Hal ini benar terjadi kepada penyair, novelis dan orang dengan kecerdasan verbal tinggi.

Respon emosional mereka yang intens terhadap lingkungan meningkatkan tendensi untuk khawatir dan cemas, yang keduanya menunjukan gangguan depresi dan gangguan kecemasan.

3. Logika sederhana dari penelitian ini adalah orang cerdas sibuk belajar sehingga gak ada waktu untuk olahraga.

Hasil penelitian harus ditafsirkan dengan hati-hati karena mereka korelasional. Walau menunjukan gangguan lebih umum pada sampel orang IQ tinggi daripada masyarakat awan menunjukan nggak ada hubungan antara kecerdasan dengan gangguan tersebut.

Orang-orang yang bergabung ke Mensa tidak semerta-merta dilihat dari tes IQ semata. Sebagai contoh, orang yang seharian belajar akan mudah memiliki gangguan psikis dan fisik daripada orang yang rajin olahraga dan melakukan interaksi sosial.

Sebuah studi tahun 2015 oleh Rosalind Arden dan kelompoknya menyimpulkan bahwa hubungan IQ dengan umur panjang dapat dijelaskan sebagian besar dari faktor genetik.

4. Tujuan sederhana dari penelitian ini adalah bagaimana meningkatkan kesejaterahan antara fisik dan psikologi.

Gampangnya dari penelitian ini adalah dapat memberi wawasan bagaimana meningkatkan kesejahteraan fisik dan psikologi orang. Intervensi yang bertujuan untuk mengekang respon yang terkadang maladaptif dapat membantu orang menjadi lebih sehat dan bahagia.

Bandingkan dengan beberapa tanda paling umum yang dimiliki orang-orang tergolong “jenius”, dalam tajuk “Bila Punya Tanda-tanda Ini, Berarti Anda Memiliki Tingkat Kecerdasan di Atas Rata-rata”, 18 Agustus 2016, https:// jogja. tribunnews .com/2016/08/18/bila-punya-tanda-tanda-ini-berarti-anda-memiliki-tingkat-kecerdasan-di-atas-rata-rata , diakses pada tanggal 25 Maret 2021:

Kecerdasan memang sulit diukur secara pasti, itu sebabnya peringkat di sekolah tak selalu bisa menunjukkan seberapa tinggi kecerdasan seseorang.

Anda mungkin pernah mendengar cerita bahwa Albert Einstein, salah satu ilmuwan paling berbakat, kesulitan belajar di sekolahnya dan sempat dianggap anak bodoh. Ada banyak contoh orang-orang berbakat dan sukses lain yang memiliki kisah serupa.

Sebelum Anda mengira-ngira apakah sebenarnya Anda juga memiliki potensi kecerdasan tersembunyi, coba cek beberapa tanda-tanda seseorang cerdas, berikut ini:

Gangguan mental.

Kaitan antara gangguan mental dan kecerdasan memang masih kontroversial, tetapi tak ada salahnya diperhatikan. Misalnya saja, banyak orang berbakat di bidang sastra ternyata menderita bipolar, sebut saja Vincent Van Gogh, Emily Dickinson, dan Ernest Hemingway.

Kaitan antara kecerdasan dan kesehatan mental memang belum jelas. Salah satu teori menyebut, protein spesifik yang terkait dengan memori dan rasa ingin tahu di otak tikus, juga terkiat dengan gangguan bipolar dan skizofrenia pada manusia.

Selain itu, kemampuan yang dperlukan untuk menyelesaikan soal matematika dan memproses informasi dengan cepat, bisa membuat seseorang beresiko mengalami mania (kondisi fokus tinggi dan beraktivitas tanpa lelah yang sering dialami orang bipolar).

Bahasa kurang sopan (sarkastik).

Walau secara umum kebanyakan orang mengaitkan bahasa yang kotor dan tidak sopan dengan kurangnya pendidikan, tetapi penelitian menunjukkan orang yang sering mengumpat ternyata cerdas. Mereka biasanya memiliki kosa kata yang lebih banyak.

Berani ambil risiko.

Seseorang yang terbuka pada tantangan baru dan tidak takut mengambil risiko cenderung punya kecerdasan lebih tinggi. Demikian menurut penelitian tahun 2015 di Finlandia.

Kurang aktif.

Meski sifat pemalas tak akan membuat seseorang lebih pintar, tetapi orang yang banyak berpikir biasanya tidak tertarik pada olahraga yang mengerahkan tenaga fisik, seperti olahraga. Sifat tidak aktif itu bagi kebanyakan orang juga dianggap sebagai kemalasan.

Pencemas.

Senang merenung atau memikirkan sebuah situasi dan pengalaman berulang kali, bisa jadi merupakan tanda kecerdasan. Karena sering mempertimbangkan kejadian masa lalu dan masa depan secara detail, orang-orang ini juga dianggap sebagai pencemas.

Mari kita simak, bagaimana para kaum Bipolar menjalani hidup mereka, sebagaimana dikutip dari pengakuan para netizen dalam https:// www. kaskus .co.id/thread/578c71b0e0522789458b4569/kenali-quotbipolar-disorderquot-serta-kaitannya-dengan-dampak-kecanduan-konten-dewasa/19, diakses pada tanggal 25 Maret 2021:

Jadi, agan-agan sekalian... Gue ini penderita gangguan Bipolar...

Sebenarnya udah sejak SD sih merasa seperti ini tapi baru bisa diidentifikasinya sewaktu aku SMA kelas 2 SMA dengan cara konsultasi langsung ke psikolog...

Ketika aku berada dalam kondisi POSITIF alias MANIA, gue bisa dibilang menjadi pribadi yang super extrovert...

Aku bisa murah senyum, mengerjakan pekerjaan apapun dalam waktu sekejap, masalah apapun bisa gue selesaikan... Everyone is happy...

Kamu tidak akan bisa menghentikan gue dalam kondisi ini karena gue bahkan bisa tidak tidur sama sekali kalau udah dalam kondisi seperti ini...

Bawaannya aku harus selalu aktif, harus ada yang gue kerjain... Lain ceritanya kalau aku dalam kondisi NEGATIF alias depresif....

Gue bisa nangis sejadi-jadinya, cepat tersinggung, marah sama hal sekecil apapun...

Mungkin ente semua yang baca ini akan ketawa dan akan mengatakan kalo gue ini GOBLOK, TOLOL, dan GILA...

Silahkan... kalau ente ngomong kayak gitu berarti ente ga punya perasaan...

Gangguan Bipolar ini hanya dialami oleh 3% total populasi manusia, dan ini mayoritas bersifat genetis...

Gangguan Bipolar ini terjadi karena ada reaksi kimia yang tidak stabil di dalam otak si penderitanya...

Makanya kalau ada pemicunya, penderita Bipolar bisa menjadi Mania atau Depresif hanya dalam hitungan detik aja...

Terlihat seolah-olah seperti kepribadian ganda, tapi jauh berbeda...

Keuntungan bagi kami yang memiliki gangguan ini adalah pada saat berada dalam kondisi mania, kami bisa belajar apapun dalam waktu sekejap dan mengatasi problem apapun... Layaknya orang jenius atau orang bijak... Jadinya kalo emang lagi dalam kondisi ini kami bisa melahap pelajaran apapun bahkan yang paling susah kayak matematika pun beres... Beberapa penderita Bipolar malah menganggap gangguan ini anugerah karena sebagian ada yang punya bakat yang luar biasa... (multitalenta)

Ruginya, kami sering jadi korban bully, dikucilkan, dianggap aneh, dan seringnya diomeli kalau dalam kondisi depresif... Jangan picu penderita bipolar dengan hal-hal negatif karena udah banyak penderita gangguan ini yang memilih jalan singkat dengan bunuh diri... Alasannya? Dalam kondisi depresif kami butuh di temani dan dimengerti tapi seringnya malah di kata-katain, dan dibiarkan sendirian karena tidak ada yang paham dengan kondisi kami...

Aku harap kalian semua tidak menganggap penderita Bipolar ini sebagai bahan olokan apalagi sampe ngatain kami gila karena sebenarnya jauh di dalam hati kami tersinggung walaupun kami terihat tersenyum saja... We can't do anything about it... Tidak ada yang namanya obat atau terapi untuk mengatasi Bipolar ini... Sama sekali ga ada...

Yang kami butuhkan hanyalah keluarga atau teman yang paham kondisi kami seperti ini dan memaklumi...

Satu-satunya cara buat Aku ngatasin gangguan ini adalah dengan memahami yang namanya Bipolar...

Aku lebih memilih untuk tidak melabeli diri aku terus menerus akan gangguan ini karena kalau begitu terus aku akan selalu menganggap apa yang aku lakukan adalah benar dan mengabaikan orang lain...

Dan kalau dalam keadaan depresif aku atasin dengan curhat sama orang yang aku anggap bisa di percaya dan kadang-kadang aku ngomong sama diri aku sendiri kalau lagi sendirian...

================

Gua ngerasa udah mulai punya bipolar sejak SMA kelas XI. Kalau gua nyoba2 tes2 yang ada di internet, gua kena bipolar yang campuran. Sebenarnya udah banyak yang bilang gua bipolar sejak SMP. Tapi ga terlalu banyak karena masih sedikit yang tau dan ngerti gangguan ini.

Cuma gua gamau bilang kalau gua bipolar kalau belum datang ke psikiater, waktu itu sahabat gua udah nyaranin coba tapi gua gamau.

Gua mau jalanin aja hidup gua ini, karena menurut gua kalau gua kena bipolar toh “It’s a gift not a curse”.

Gua kena bipolar mungkin karena faktor lingkungan kelas X SMA yang waktu itu temen perempuan gua semuanya main genk2 an.

Gua gasuka, gua main sama semua orang gamau terikat oleh satu genk tertentu apalagi temen2 perempuan gua itu dominannya waktu kelas X itu kayak di sinetron gitu. Kalo udah buang2 duit, mereka jagonya.

Di kelas X itu, gua lebih suka main bareng cowok akhirnya.

Di kelas ini emosi gua ga bisa stabil, di satu sisi gua bisa seneng tapi bisa sedih langsung seketika, dan bikin dada gua nyesek gajelas.

Gua mulai bersifat tomboy, potong rambut sampai akhirnya gua pernah disukain cewek.

Tapi gua normal, jadi gua cuma bisa ngehargain dia sebagai teman.

Ibu gua nargetin banget gua masuk PTN, gua ngerti harapan dia. Di kelas XI ini gua ngerasa gua banyak dituntut.

Tugas sedemikian rupa + gua jadi PJ lomba di salah satu event lomba disekolah gua.

Ini yang bikin gua stress. Jam 12 malam gua baru sampai rumah baru pulang sekolah.

Saat gua kena mania, gua bisa ngerjain semua tugas dengan senyum2 aja, ngerjain persiapan buat event lomba sampai jam 12 malam juga gua sanggup, gua ngerjain ini itu yang orang butuhkan. Tapi ketika depresi, biasanya gua tiba2 marah2 karena terlalu capek dan kesel tapi gua justru nangis. Iya gua lebih nangis. Tapi saat nangis dalam keadaan gua yang down, ide2 muncul lebih banyak.

Tau ah, gua gangerti apa gua kena bipolar atau engga, sejak SMA sih udah hampir 5 lebih orang yang ngomong gitu sama gua.

===============

Tambahan dari ane:

Kebetulan ane follow twitter seseorang yg bipolar dan kadang dia suka ngeshare tentang bipolar dan usahanya untuk berdamai dengan bipolar.

Salah satunya dengan meditasi.

Bukan berarti sembuh dengan meditasi sih, tapi lumayan untuk meringankan saat fase mania dan depresi emosi tidak naik turun terlalu tajam.

Langkah pertama yang dapat kita tempuh untuk menyikapi “entah berkah, entah petaka” otak yang jenius namun harus “dibayar” dengan masalah seperti “kondisi bipolar”, ialah dengan melakukan diagnosa terhadap diri kita sendiri, identifikasi apa yang terjadi dalam diri kita sendiri (apa yang sebetulnya sedang terjadai dengan otak di kepala saya? “What’s going on?!”), serta mulai belajar untuk berani memahami dan menerima diri kita sendiri bila seandainya memang tidak dapat disembuhkan dan diobati secara total.

Setidaknya, kita dapat melakukan antisipasi, mitigasi, serta melakukan langkah-langkah persiapan dan perbaikan yang kita butuhkan semampu upaya kita, sebaik yang kita mampu, tanpa perlu lagi menaruh harapan semu bahwa orang lain akan dapat memahami dan menerima para bipolar. Alangkah lebih baik, bila kita yang belajar untuk mampu menerima dan memahami kondisi kita sendiri, dengan mengoptimalkan potensi dan meminimalisir dampak penyampingnya. Salah satu yang dapat penulis rekomendasikan ialah latihan secara rutin meditasi, terutama untuk menenangkan diri dari kecemasan dan mengatasi sedikit banyak masalah konsentrasi yang mudah terdistraksi dan terpecah oleh hal apapun, maupun untuk mengatasi obsesi atau tendensi untuk cenderung “over-aktif dalam analitis” terhadap berbagai hal yang membuat frustasi tidak berkesudahan aktivitas otak yang senantiasa aktif tanpa bisa berhenti.

Entah kejeniusan yang megnakibatkan “kondisi bipolar” ataukah “kondisi bipolar” yang sebagai kompensasinya memberikan kejeniusan pada seseorang yang menyandang genetik “unik” demikian, yang jelas ciri-ciri orang dengan bipolar adalah identik dengan ciri-ciri mereka yang tergolong jenius. Kita tidak perlu memelihara berbagai kelemahan dan kekurangan ini, dalam kepala kita, hanya demi memiliki kelebihan berupa kekuatan daya pikir yang luar biasa gemilang, sebagaimana disebutkan secara senada oleh Arne Dietrich, profesor psikiatri Universitas Georgia, “Nyatanya, mayoritas orang kreatif tak menderita gangguan psikologi. Dan mereka yang mengalami gangguan psikologi pun tak bisa disebut cerdas atau kreatif.”

Boleh jadi, gagasan itu tetap ada karena dirasa memberi kebanggaan “delusif” penuh jebakan mental : bahwa gangguan kejiwaan yang dialami mungkin memiliki dampak positif. Namun, menutup mata dari realita yang sebenarnya. “Jika aku bisa bekerja tanpa penyakit terkutuk ini, bayangkan apa yang bisa kulakukan,” ujar Vincent Van Gogh. Bisa jadi juga, menjadi cemerlang dan gemilang dari segi kapasitas berpikir dan berkreativitas, adalah sebagai kompensasi atas kehidupan yang berat dan penuh tekanan. Kita tidak dapat berspekulasi, kita saat ini hanya dapat bersikap jujur terhadap realita yang ada tentang diri kita dan juga diri orang-orang di sekitar kita yang bisa jadi menunjukkan gejala serupa.

Sebagai saran terakhir, meski bukan yang paling akhir, hindari faktor stress yang tampaknya memang menjadi salah satu pemicu paling dominan timbulnya gejala bipolar, dengan manajemen psikis berupa keseimbangan batin yang perlu dilatih serta kondisi kehidupan sehari-hari yang perlu dikondisikan bebas dari segala “alergen” dan “polutan” seperti dengan hidup bebas dan terpisah dari orang-orang, lingkungan kerja, lingkungan tempat tinggal, atau bahkan anggota keluarga yang “iritatif”.

Tidak apa-apa bila tiada yang bisa memahami kondisi, latar-belakang hidup, maupun situasi pelik yang kita hadapi, kita cukup untuk mau bersedia menerima dan mampu memahami diri kita sendiri, apa adanya. Itulah yang disebut dengan berkah utama, yakni ketika kita mengenal dan menerima diri kita sendiri, apa adanya. Setidaknya, yang pasti, kita tidak seorang diri, karena tidak sedikit orang-orang dengan “keunikan” serupa di luar sana, yang bisa memiliki kondisi yang tidak jauh berbeda dengan kita. Seperti kata pepatah, “No pain, no gain”. Atau, bisa juga kita balik paradigmanya, menjadi “No gain, no pain”.

Menjadi teringat kembali pendapat Ajahn Brahm, bahwasannya yang disebut masalah, adalah sesuatu yang memiliki solusi pemecahannya untuk dipecahkan. Yang tidak dapat dipecahkan dan tiada solusinya, maka itu bukanlah lagi dapat disebut sebagai masalah, tapi “kondisi”. Jika memang bipolar tidak dapat disembuhkan ataupun ditanggulangi kecuali lewat terapi obat-obatan kimiawi yang temporer saja sifat penanggulangannya, tidak secara permanen, maka itu artinya bipolar bukanlah “masalah” dan tidak perlu lagi disebut sebagai “masalah”, yang karenanya tidak tepat bila kita masih menyebutnya sebagai “gangguan bipolar”. Bipolar adalah bipolar, orang dengan bipolar adalah orang dengan bipolar, bukan orang dengan “gangguan bipolar”. Sama seperti kondisi jenius, ia bukanlah “penyakit”, “penyulit”, maupun “gangguan”, kejeniusan adalah sebuah “kondisi”. Sudah saatnya kita menggantikan istilah “gangguan bipolar” dengan istilah “kondisi bipolar”, mengingat tiada gunanya memakai istilah “gangguan”.

Biarkan saja para “bodoh” yang cenderung ekstrovert menghina dan mengolok-olok para jenius yang introvert sebagai “kurang gaul”, “tidak banyak teman”, “anti sosial”, dan penghinaan lainnya yang bersifat “menghakimi tidak secara proporsinya”. Semata karena mereka “bodoh” dan minim prestasi akibat memiliki banyak waktu dihabiskan untuk pembicaraan “omong-kosong” dalam rangka “menjadi gaul” bersama dengan para “bodoh” lainnya, sehingga pengertian dan pemahamannya sangat dangkal juga minim pengetahuan perihal sains dan informasi, yang bahkan tidak mampu memahami pengetahuan mendasar perihal karakter manusia terbagi menjadi introvert dan ekstrovert, dimana menjadi introvert bukanlah sebuah aib, cacat mental, ataupun “tragedi”. Orang bodoh yang merasa bangga dengan kebodohannya, adalah jenis manusia yang dapat kita sebut sebagai “manusia kerdil”, dan minim prestasi selain “besar mulut”.

Menjadi pula mulai dapat penulis pahami, mengapa hanya penulis seorang diri, yang menyebutkan bahwa profesi hukum adalah “profesi seni”, bukan “profesi bertukang”. Para Sarjana Hukum lainnya memandang bahwa profesi hukum bukanlah selayaknya profesi para “seniman” lainnya—itulah sebabnya mayoritas Sarjana Hukum kita di indonesia tidak memiliki prestasi besar apapun untuk dapat mereka banggakan dan bernilai tinggi sebagai sebuah “karya seni”.

Perlu juga diketahui oleh masyarakat, para bipolar adalah pribadi yang “unik” karena mereka sangat berjiwa adil namun disaat bersamaan sangat sensitif terhadap ketidak-adilan yang mereka terima. Sekali terpicu oleh rasa diperlakukan tidak adil, maka muncullah gejala bipolar yang khas, yang dapat kita artikan bahwa para bipolar adalah korban dari kondisi sosial, bukan sebaliknya. Bipolar, adalah kondisi, sepanjang kondisinya tidak terkondisi maka “kondisi bipolar” tidak akan muncul—karenanya perlu kita kondisikan dengan baik agar “kondisi bipolar” tidak terpicu dan memicunya.

Bukanlah masyarakat yang berhak menuntut agar para bipolar menyesuaikan diri mereka dengan masyarakat pada umumnya, namun masyarakat pada umumnya yang perlu mulai belajar menghargai betapa sensitifnya jiwa kaum bipolar yang sangat polos dan idealis adanya. Kaum bipolar sangat jarang mengecewakan kita, justru sebaliknya sikap tidak adil masyarakat yang kerap menjadi pemicu rasa kecewa dalam benak para bipolar, sebelum kemudian terpiculah gejala khas seseorang dengan “kondisi bipolar”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.