Kriminalisasi Anggota Keluarga Koruptor, Cara Baru Memberantas Niat untuk Korupsi

ARTIKEL HUKUM

Istri dan Anak Koruptor, Wajib Turut Dihukum Dipidana, karena Vonis Pidana Mati maupun Dimiskinkan Terbukti Gagal Membendung Libido Birahi untuk Korupsi

Tampaknya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga yang akan terus eksis secara permanen di Indonesia. Mengapa? Sebagaima namanya, Komisi Pemberantasan Korupsi, namun faktanya korupsi tumbuh subuh ibarat “mati satu tumbuh seribu”, alias “diberantas satu tumbuh koruptor lain” di lain tempat atau bahkan pada lembaga yang sama yang sebelumnya telah pernah disentuh oleh sang lembaga pemberantas oknum-oknum pelaku korupsi di Republik Indonesia, sehingga karena sifatnya menyerupai “mission impossible” untuk dituntaskan, maka misi suci lembaga satu ini ialah tampaknya “never ending stories”.

Disebutkan pula, ancaman hukuman mati sekalipun bagi para pelaku korupsi, tidak akan mampu membuat jera para calon koruptor baru lainnya untuk melakukan perbuatan ilegal serta tercela serupa, dimana para penentang hukuman mati bagi para koruptor (seolah-olah “pro” terjadap para tersangka korupsi) merujuk data-data di berbagai negara yang selama ini benar-benar menerapkan hukuman mati (dead penalty) bagi para koruptor, alias bukan sekadar ancaman pasal-pasal di atas kertas bernama Undang-Undang, telah ternyata korupsi masih tetap merajalela silih-berganti oknum pelakunya, seolah “ditebang satu tumbuh pelaku lainnya”, bahkan kian menjelma “berjemaah” antar pelakunya secara tersistematis.

Sinisme demikian, tidaklah pada tempatnya, mengingat bila para pelaku pengedaran obat-obatan terlarang, seperti vonis mati bagi para pengedar obat-obatan terlarang turut pula ditentang dengan mengatas-namakan kampanye “hukuman mati tidak membuat jera” (propaganda yang entah dicetuskan oleh siapa), itu sama artinya membuka peluang sang pelaku yang “sekadar” dan “sebatas” dihukum penjara untuk seumur hidup atau selama beberapa puluh tahun lamanya, untuk kembali berpraktik ilegal berupa memproduksi serta mengedarkan obat-obatan terlarang selama menjalani masa pidana penjaranya di Lembaga Pemasyarakatan.

Ancaman dibalik eksistensi terpidana korupsi di dalam Lembaga Pemasyarakatan, tidaklah lebih kecil daripada ancaman eksistensi para bandar obat-obatan terlarang, mengingat operasional mereka dapat dilakukan secara jarak jauh, sebagai “otak” alis “pelaku intelektualnya”. Dahulu, saat era manual konvensional belum mengenal digitalisasi “mobile”, pidana perampasan kemerdekaan fisik cukup mengatasi persoalan tindak pidana terkait “otak kejahatan”. Kini, konsep usang warisan kolonial demikian sudah tidak lagi relevan terlebih untuk dipaksakan. Siapa yang dapat menjamin, para elit politik yang kini mendekam di balik jeruji, tidak benar-benar berhenti melakukan praktik korupsi “dari jarak jauh”? Kejahatan yang tersistematis artinya, tidak harus sang “otak intelektual” yang melakukan aksinya secara langsung, namun secara manajerial lewat sistem jejaring rantai komando.

Kelemahan utama kedua dari argumentasi “kontra” hukuman mati bagi para pelaku kejahatan berat, dimana korupsi termasuk kejahatan berat (penulis menyebut perilaku korupsi sebagai “pencurian tingkat tinggi” yang sangat tertutup erat dan penuh selubung yang rapat modusnya, sehingga sukar diberantas selain sifatnya yang sistematik dan terencana rapih) oleh karena itu penindakannya bersifat “extra-ordinary” pula, ialah spekulasi yang membuat “re-framing” seolah-olah hukuman mati membawa kontra-produktif bagi tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum.

Bila mereka menyebutkan (baca : “berspekulasi”) bahwa vonis hukuman mati tidak membuat jera para pelaku korupsi lainnya, mengingat fakta tetap adanya aksi korupsi di negara-negara yang menerapkan hukuman mati bagi para koruptor sekalipun, menjadi pertanyaan yang tidak dapat mereka bantah ialah:

“Apakah ada diantara kita yang dapat menjamin, dengan dihapuskannya hukuman mati dari praktik penegakan hukum pidana serta vonisnya di ruang peradilan negara-negara yang selama ini menerapkan hukuman mati bagi para pelaku korupsi, maka praktik korupsi di negara-negara tersebut akan menurun tingkat prevalensinya, atau bahkan yang terjadi kemudian ialah sebaliknya alias berkebalikan dari spekulasi Anda? Bukankah itu artinya, Anda terlampau berani menyimpulkan secara bias fakta bahwa, vonis hukuman mati ialah omong-kosong tidak berfaedah sama sekali sebagai efek penjera bagi calon pelaku lainnya? Mau dan bersediakah Anda, dihukum mati?

Tidak tertutup kemungkinan, dan selalu terbuka kemungkinan, mengingat kita bukanlah seorang cenayang yang dapat membaca masa depan, dengan dihapuskannya hukuman mati bagi para koruptor di negara-negara tersebut, maka praktik korupsi di negara-negara tersebut akan kian tumbuh subur dan merajalela bak cendawan di musim penghujan. Kita tidak dapat menutup mata dari kemungkinan demikian. Untuk apalah juga, negara menghambur-hamburkan uang rakyat untuk memberikan makan serta menyediakan “hotel prodeo” bagi sang terpidana korupsi yang mendekam di penjara untuk seumur hidupnya, sama sekali tidak produktif serta menyia-nyiakan uang rakyat, dimana sang terpidana pelaku korupsi telah sebelumnya melakukan aksi korupsi terhadap “uang (milik) rakyat”. Masih juga, para pahlawan “hak asasi manusia” kita akan berdendang heboh, agar para terpidana diberikan fasilitas penjara yang “humanis”.

Baiklah, mari kita berkompromistis dengan menyepakati bersama bahwa hukuman mati tidaklah “favorable” di republik “agamais” yang ternyata “korup” ini, dengan alasan yang disetujui dengan suara bulat bahwa ancaman hukuman mati maupun vonis hukuman mati bagi para pelaku korupsi tidaklah pernah dan tidaklah akan dapat membuat jera para pelakunya, maka menjadi pertanyaan berikutnya ialah apakah yang benar-benar dapat membuat jera para pelaku aksi korupsi tersebut?

Sejumlah elemen masyarakat menyatakan bahwa solusi praktis-pragmatisnya ialah agar sang terpidana korupsi “dimiskinkan” harta kekayaan hasil korupsinya, sehingga terjadi demotivasi bagi mereka untuk melakukan aksi korupsi. Perlu kita ketahui, argumentasi demikian pun merupakan sebuah asumsi yang spekulatif, bahkan terbukti meleset alias tidak akurat. Betapa tidak, ancaman mati pun tidak ditakutkan oleh para pelakunya, terlebih sekadar dimiskinkan namun tetap dapat terjamin makan dan minum serta tempat menginap “hotel prodeo” tanpa harus mengeluarkan biaya sepeser pun tanpa pula perlu menggelandang di jalanan bersama sejumlah tunawisma—dimana tentunya, rakyat pembayar pajak yang harus membayar biaya hidup sang koruptor di dalam penjara yang super “humanis” yang melampaui kediaman milik rakyat jelata pembayar pajak.

Masyarakat kembali berspekulasi, bahwa “yang ditakutkan oleh para koruptor ialah jatuh miskin, daripada (dihukum) mati”. Fakta yang lebih jujur ialah, siapakah diantara kita yang tidak takut terhadap mati, terlebih dihukum mati? Banyak contoh kasus, kepailitan atau dipailitkannya seseorang, bukanlah “kiamat” ataupun akhir dari segalanya. Walt Disney, tokoh pencipta dunia kartun yang kini menjelma raksasa dinasti industri kartun dan animasi, sempat jatuh miskin dan pailit sebelum kemudian mendirikan Disney Studio. Apakah yang salah ialah, eksekusi hukuman mati-nya yang terlampau “humanis”, ataukah perlu kita ubah agar seperti pada zaman kerajaan di Tiongkok dahulu kala, yakni para terpidana vonis mati di hukum penggal atau digantung leher kepala di depan publik, semata agar “menakutkan”, “mengerikan”, dan membuat jera?

Jangan-jangan kita pun ramai-ramai menuntut, jika perlu menjadi sponsor bagi Organisasi Massa yang selama ini mengklaim lembaganya sebagai pejuang hak asasi manusia, agar “dimiskinkan” dengan cara-cara yang tidak kalah “humanis”? Negeri bernama Indonesia ini, telah terlampau banyak bersifat kompromistis dalam berbagai hal terkait penegakan hukum serta penindakannya, terlebih urusan eksekusinya, semisal berlarut-larutnya eksekusi oleh algojo bagi para terpidana vonis mati para pelaku pengedar dan bandar obat-obatan terlarang, yang sudah menjadi isu klasik namun tetap relevan hingga saat kini.

Kini, akan penulis ungkap satu fakta yang entah mengapa, jarang dikemukakan oleh para pengamat ataupun para akademisi ke hadapan publik, ialah perihal “memiskinkan” koruptor. Praktik yang berlangsung selama ini para ruang-ruang peradilan khusus tindak pidana korupsi di Indonesia selama satu dekade terakhir, telah benar-benar menerapkan praktik vonis “memiskinkan” bagi para terpidana yang terbukti melakukan aksi korupsi. Fakta berikut di bawah ini, sekaligus meruntuhkan seluruh argumentasi penuh spekulasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat sebagaimana yang tertuang pada apa yang telah kita bahas di muka.

Biasanya, amar putusan menyatakan bahwa sang Terdakwa terbukti melakukan aksi korupsi sebagaimana dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum. Lalu, pada amar kedua dalam putusan yang sama, berupa vonis “denda” yang mana bila tidak dibayarkan oleh sang Terpidana, maka akan subsider berupa kurungan pengganti denda. Ketiga, berupa pencabutan hak khusus kewargaan dan politiknya seperti hak untuk mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah, untuk mengikuti tender, dan lain sebagainya. Keempat, pada pamuncak atau klimaksnya, ialah vonis pidana “uang pengganti” kerugian negara (yang sebenarnya kerugian bagi rakyat) yang mana bila tidak bayarkan oleh sang Terpidana maka harta benda milik sang Terpidana akan disita dan dirampas untuk dijual-lelang dalam rangka menutupi atau memulihkan kerugian negara yang dikorupsi oleh sang pelaku.

Terdapat dua fakta hukum dalam fakta empirik di atas, yakni : Pertama, praktik selama ini di ruang peradilan khusus tipikor memang telah mempraktikkan vonis “memiskinkan” harta kekayaan para pelaku korupsi. Sehingga, mengapa juga aksi korupsi masih merajalela di republik yang telah cukup berusia “tua” (namun ternyata belum “matang”) sejak kemerdekaannya diproklamirkan ke hadapan bangsa? Kedua, terhadap perilaku aksi “kolusi” (penyalah-gunaan kekuasaan dan kewenangan yang tidak menimbulkan kerugian negara, namun seringkali merugikan warga lainnya yang menjadi kompetitor sesama pegawai untuk kenaikan pangkat maupun sesama kompetitor peserta tender, akibat tiadanya prinsip meritokrasi), seperti kasus kolusi jual-beli putusan yang menjerat Hakim Konstitusi Akil Mochtar (bukan “mantan hakim”, namun “hakim”, mengingat aksi kolusi dilakukan olehnya saat masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi RI), tiada terjadi “kerugian negara”, sehingga vonis “memiskinkan” tidak dapat dijatuhkan oleh Majelis Hakim pada pengadilan khusus tindak pidana korupsi. Kejadian dan sejarah serupa, dicetak kembali oleh Hakim Konstitusi RI lainnya, Patrialis Akbar.

Bila menghukum mati maupun memiskinkan koruptor, dinilai tidak membawa kontribusi positif bagi praktik penindakan serta pemberantasan korupsi di republik ini, maka apakah lagi yang masih tersisa sebagai opsi serta solusi ideal alternatifnya? Tidak kurang-kurangnya para agamawan di republik ini, tidak kurang-kurangnya ayat-ayat Kitab Suci dikumandangkan setiap radius seratus meter di setiap pemukiman penduduk dari Sabang hingga Merauke, tidak kurang-kurangnya para guru maupun para guru honorer kita mengajarkan dan mendidik, tidak kurang-kurangnya pendidikan anti korupsi digalakkan, tidak kurang-kurangnya lembaga inspeksi semacam inspektorat jenderal pada setiap institusi pemerintahan, tidak kurang-kurangnya auditor oleh Badan Pemeriksa Keuangan maupun lembaga auditor pemerintah sejenis lainnya, namun mengapa juga aksi korupsi masih merajela?

Jangankan menyebut angka kasus yang tersentuh hukum, yang tidak tersentuh hukum jauh lebih masif dan lebih banyak di lapangan, dilakukan oleh “oknum” berjemaah mulai dari tingkat perangkat Ketua Rukun Warga, Ketua Rukun Tetangga, Kelurahan, Kepala Desa, Kecamatan, Walikota, Gubernur maupun Bupati selaku Kepala Daerah, Kementerian, dan segenap elemen Aparatur Sipil Negara lainnya, sebagaimana pastinyalah kita selaku warga masyarakat pernah menjadi korban pemerasan oknum-oknum “berjemaah” demikian, yang mana praktiknya terus berlangsung secara masif hingga saat kini, sebagai pula bukti kurangnya keseriusan maupun “political will” pemerintah yang menjadi arsitek dari sistem birokrasi beserta “reformasi” lembaganya yang sekadar “pemanis bibir” yang “genit” nan “centil”, alias “berlari di tempat”.

Hanya saat era pemerintahan Gubernur Basuki Cahaya Purnama alias Ahok, wajah perizinan di Jakarta yang semula penuh pemerasan dan pungutan liar oleh pejabat-pejabat di masing-masing kelurahan (berjemaah mulai dari aparatur terendah sampai teratas, terhadap masyarakat yang mengajukan perizinan usaha), diberantas sepenuhnya dan menjelma pelayanan terhadap masyarakat yang profesional, bebas dari kolusi dimana warga benar-benar “dilayani” dalam arti yang sesngguhnya oleh para “civil servants”. Testimoni demikian, penulis sampaikan sebagai saksi mata langsung warga yang mengurus perizinan usaha dan perbandingannya pra dan saat belaiu menjabat sebagai Gubernur Jakarta beberapa waktu lampau—perubahan yang sangat esensial, radikal, penuh keberanian dan ketegasan, serta “pro” terhadap warga yang tidak pernah kita jumpai pada era pemerintahan para Gubernur sebelumnya, dimana warga benar-benar menjadi “raja yang dilayani” oleh para Pegawai Negeri Sipil di Jakarta.

Bahkan, untuk sekelas “office boy” sekalipun, berdasarkan pengalaman pribadi penulis pada praktik di berbagai perkantoran di ibukota, aksi korup memang demikian masif dan seolah menjadi menu rutin di keseharian mereka. Bila Lord Acton menyebutkan bahwa “Power tends to corrupt”, maka penulis menyebut fenomena sikap “korup” khususnya di Indonesia sebagai “mendarah-daging”, alias “kultur” atau budaya itu sendiri, sehingga bukanlah lagi perihal ada atau tidaknya “power”. Bila orang-orang sekelas “office boy”, ternyata kerap korupsi pada kesehariannya, bahkan mengkorup hak-hak sesama karyawan dalam satu perusahaan, terlebih bila para pejabat kita yang memegang kekuasaan? Kita tidak perlu berharap terlampau banyak di republik “korup” namun “agamais” ini, agar tidak mendapat kekecewaan dikemudian hari.

Para pemuka agama dan para profesi guru kita di Tanah Air, terbukti gagal total, sehingga tidaklah adil bila kesemua kesalahan serta beban berat dilemparkan tanggung-jawabnya serta dibebankan ke pundak lembaga pemberantasan aksi korupsi semacam KPK yang terbatas sumber daya manusia serta anggarannya sementara area kerja pengawasan KPK ialah seluruh wilayah di Indonesia. Perlu diingat dan kita ingat selalu, KPK adalah lembaga yang sejak semua dibentuk khusus untuk menindak dan memberantas aksi korupsi, bukan lembaga untuk mencegah aksi korupsi—dimana apa yang disebut terakhir tersebut merupakan beban serta tanggung-jawab moril para pemuka agama dan para tenaga pendidik kita di bangku-bangku sekolah.

Apakah belum cukup, lamanya masa pendidikan para anak bangsa kita, mulai dari Taman Kanak-Kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, hingga Universitas ataupun Sekolah Tinggi sebagai kesempatan untuk memberikan edukasi serta teladan hidup yang baik? Jangan-jangan, berdasarkan pengalaman pribadi penulis, selama ini para peserta didik kita dipertontonkan kemunafikan oleh para guru mereka, yang bernama “sinetron teladan yang berkebalikan daripada apa yang mereka ucapkan alias ucapan-ucapan yang tidak dapat ‘dipegang’ komitmennya”.

KPK kita yang “malang” dan seolah menjadi “solo fighter”, praktis hanya menjadi lembaga “cuci-cuci piring kotor”, dimana pelaku yang mencemari atau membuat kotor, tidak lain ialah para pemuka agama serta para tenaga pendidik kita yang cemar, kotor, serta yang paling patut untuk terlebih dahulu dibersihkan. Merekalah, para guru dan para pemuka agama kita, yang menjadi agen-agen “cuci otak” para generasi muda yang dijelmakan menjelma anak-anak muda yang tumbuh besar dan dewasa sebagai racun serta “sampah masyarakat”. Merekalah, yang paling patut kita gugat bersama-sama, bukan lembaga “cuci-cuci piring kotor” semacam KPK yang memiliki keterbatasan sumber daya personel untuk menjamah seluruh segmen warga di tengah-tengah masyarakat.

Kesemua fakta demikian, bukanlah tuduhan tanpa dasar sifatnya, karena pengalaman pribadi penulis pernah menyentuh langsung dunia gelap sistem pendidikan serta kehidupan beragama dalam praktik real di masyarakat urban selama ini, di Indonesia, negeri dimana penulis lahir dan bertumbuh hingga dewasa, dimana seringkali didudukkan sebagai korban sekaligus saksi mata langsung yang berhak untuk membuat testimoni berdasarkan pengalaman pribadi ini. Rakyat kita, dalam kenyataannya, tidak benar-benar serius anti terhadap korupsi, kolusi, dan nepotisme—itulah fakta kedua yang tampaknya membuat kian suram wajah Bangsa Indonesia yang mengaku “ber-Tuhan”, sekalipun mereka berteriak “anti korupsi” dan mengutuk para terdakwa kasus korupsi (namun akan diam bungkam seribu bahasa ketika mereka menghadapi langsung realita praktik korupsi, atau bahkan turut terlibat di dalamnya sebagai “pemain”).

Baiklah, kita anggap opsi vonis hukuman mati bagi koruptor, kita eliminir. Opsi “memiskinkan” koruptor, sejatinya telah lama dipraktikkan dan terbukti telah lama gagal mengerem laju akselerasi praktik korupsi di Tanah Air. Kini, penulis akan masuk pada bahasan yang lebih sensitif namun justru menjadi jantung dari akar penyakit korupsi, yakni dalam tataran domestik paling privat, yaitu RUMAH-TANGGA—sebuah isu lama yang tampaknya akan mengundang “pro” dan “kontra” yang hebat, sehingga wacananya sempat tenggelam satu dekade lampau tanpa pernah digali kembali ke permukaan, mungkin akibat ketakutan masyarakat kita itu sendiri yang selama ini mengaku-ngaku membenci praktik korupsi dan mengutuk para aktor korupsi (lihat kasus Juliari Batubara, Menteri Sosial yang mengkorupsi uang bantuan sosial bagi rakyat saat krisis ekonomi melanda Indonesia akibat pandemik yang disebabkan wabah Virus Corona Tipe-2, pada tahun sebelum tertangkap KPK dirinya berkoar-koar perihal “ANTI KORUPSI”). Masyarakat kita, faktanya, penuh kamuflase, tidak otentik, serta “lain di mulut, lain di hati”.

Tidak dapat kita pungkiri, dimana dapat kita lihat, saksikan, serta dengar sendiri dalam lingkup domestik internal rumah-tangga, gaya hidup anggota keluarga sedikit banyak membuat tekanan dari segi ekonomi bagi pihak kepala keluarga selaku pencari nafkah. Akar “biang kerok” dari perspektif sosiologi serta kriminologi yang menjadi penyebab atau “biang keladi” dari aksi-aksi tercela semacam mencuri hak-hak rakyat bernama “korupsi” ataupun mencuri hak-hak kompetitor bernama “kolusi” dan “nepotisme”, ternyata dapat kita temukan dalam lingkup domestik rumah-tangga bernama keluarga, lingkup domestik tempat ibadah bernama kegiatan agama yang “suci di busana”, lingkup domestik tempat pendidikan bernama kemunafikan antara teladan dan ucapan, lingkup domestik lingkungan komunitas sekolah dan kampus, lingkup domestik lingkungan organisasi baik tempat bekerja maupun berkumpul, lingkup domestik lingkungan pemukiman tempat-tinggal, dan segala bentuk lingkup domestik lainnya yang privat dan personal sifatnya.

Namun untuk lebih berfokus, kita cukup berfokus pada lingkup domestik rumah-tangga bernama keluarga internal tempat kita dilahirkan, bertumbuh, serta berkembang dan menghabiskan sebagian besar waktu kita. Adalah tetap terbuka peluang tanpa dapat dipungkiri kemajemukan karakter para anggota keluarga dalam satu atap tempat tinggal, salah satu atau lebih anggota keluarga kita memiliki gaya hidup yang “lebih besar pasak daripada tiang” secara memaksakan keadaan, tanpa pernah bersedia memahami kondisi ekonomi sang pencari nafkah, tanpa menghargai apa yang ada, entah istri ataupun anak, hingga orangtua sebagai oknum pelaku yang mendorong sang pencari nafkah terjerumus dalam perbuatan ilegal seperti menipu, mencuri, merampok, hingga praktik korupsi. Tidak dapat kita pungkiri bahwa kita tidak memiliki keluarga yang demikian ideal dengan seluruh anggota keluarga terdiri dari para suciwan dan para malaikat yang mampu mengendalikan pola dan gaya hidup secara sederhana dan bersahaja.

Ketika tuntutan biaya hidup mulai dari biaya makan, biaya kesehatan, biaya berobat, biaya transportasi, biaya hiburan, biaya perawatan rumah, biaya sekolah anak, yang menjadi kebutuhan primer yang paling mendasar, ternyata tidak terpenuhi, seolah-olah menjadi “alasan pembenar” untuk melakukan perbuatan tercela seperti “merampok nasi dari piring milik orang lain” dimana bisa jadi orang yang dirampok atau dicuri hak-haknya lebih miskin daripada yang merampok dan mencuri—perbuatan yang lebih hina daripada pengemis yang mencari makan tidak secara mencuri nasi dari piring milik profesi orang lain.

Bagi sang pencuri dan perampok, mencuri hak-hak orang lain demi kepentingan keluarganya, ialah suatu kebaikan bagi anak dan istrinya, dimana suami dan ayahnya tampak sebagai seorang pahlawan. Perlu penulis nyatakan, persepsi demikian ialah sekadar “DELUSI” yang menyesatkan, karena faktanya ialah sang suami atau sang ayah telah “MENCEMARKAN” istri dan anak yang diberi makan oleh uang “kotor” yang dihimpun olehnya. Prinsip utamanya tetaplah, jangan masuk dalam kondisi “lebih besar pasak daripada tiang”, sehingga kita tetap memiliki pilihan untuk tidak berumah-tangga bila belum memiliki fondasi yang kokoh dibidang finansial, terlebih membuat pilihan untuk memiliki banyak anak yang perlu diberi makan dan dinafkahi. Apapun alasannya, alasan yang bukan “urusan orang lain” demikian tidak dapat dijadikan “alasan pemaaf” apapun—yang kita namakan sebagai “pembenaran diri”, sebuah justifikasi atas ketidak-benaran perbuatan diri sendiri yang di-“bingkai ulang” sehingga seolah tampak menjadi “tugas mulia” memberi nafkah penyambung hidup istri dan anak (re-framing).

Kini kita melangkah lebih jauh dan lebih mendalam, yakni ketika kebutuhan menyentuh pada ranah yang berupa kebutuhan sekunder, hingga memasuki pula kebutuhan tersier alias gaya hidup mewah yang senyatanya tidak benar-benar diperlukan untuk dapat bertahan hidup (survive), yang semestinya membuat malu ketika sang aktor berhadapan dengan seorang pertapa seperti Sang Buddha yang bahkan hidup secara “tidak merepotkan” orang lain ataupun siapapun, demikian bersahaja, yang bahkan menanggalkan segala kebutuhan duniawi yang dikejar-kejar oleh umat manusia dewasa ini dan kian menguasai pikiran mereka, maka faktanya tidak bisa lain ialah aksi korupsi sejatinya bukan dilakukan dalam rangka untuk “survive”, namun memang semata “korupsi untuk korupsi”. Namun benarkah demikian? Inilah kompleksitas yang akan penulis kemukakan secara lebih elaboratif dan gamblang tanpa bermaksud berpanjang-lebar.

Ketika kita hidup seorang diri sebagai seorang pria atau wanita lajang tanpa beban istri ataupun seorang anak, terkecuali dibebani oleh nafkah dan segala beban terkait tanggungan akan keberadaan orangtua yang tidak lagi produktif dari segi pendapatan finansial, bisa jadi kita tidak akan terjebak dalam kondisi mental (state of mind) semacam “korupsi demi korupsi” (alias pola hidup konsumtif-borjuis) akibat tiadanya faktor dorongan atau tekanan psikologis yang bersumber dari ranah paling privat dan personal, yakni keluarga internal satu atap domestik bernama “rumah tangga” yang terdiri dari kepala keluarga, istri, dan anak, serta orangtua yang menjadi tanggungan pencari nafkah.

Istilah nafkah, secara sempit dimaknai sebagai “makanan”. Artinya, masih sebatas kebutuhan pokok alias kebutuhan primair, menyerupai pada era manusia “purba” yang mana sang “istri pria purba” cukup mudah dilayani berupa diberikan hewan hasil buruan serta api unggun sebagai layar “televisi” mereka di dalam gua kecil tercinta mereka yang berdebu tanpa ranjang ataupun selimut namun penuh kasih. Namun zaman telah berubah, umat manusia berevolusi, tidak terkecuali para “wanita purba” menjelma “wanita modern” yang tidak lagi tertarik sepanjang hari menatapi “api unggun” mereka. Layar handphone yang kini menjadi “api unggun” milik wanita modern, serta “shopping” dengan menggunakan dana di dalam dompet milik sang suami.

Celakanya, manipulasi serta eksploitasi seringkali mengatas-namakan “nafkah batin” (interpretasi secara lebih meluas serta melebar, disamping ambigu serta subjektif) yang tidak jelas dan rancu parameter serta tolak-ukur maupun kriteria batasannya. Seorang istri, anak, atau orangtua menuntut untuk “di-bahagia-kan”, sementara itu frasa “bahagia” dapat demikian subjektif dan personal dan berbeda masing-masing individu, dimana sifatnya kian hari kian tidak mengenal kata “puas”, dan menjadi tekanan beban tersendiri bagi para “pria modern”, dimana para “manusia pria purba” mungkin akan tertawa dan terkekeh-kekeh mengetahui betapa tidak beruntungnya para “pria modern” yang menjadi cucu-buyut mereka. Para “wanita purba” mencintai suami “purba” mereka, sekalipun hanya disuguhkan seekor “babi guling” di atas api unggun yang menyala, ditemani sinar rembulan, romantis, tanpa perlu dipusingkan oleh urusan tagihan dan cicilan berbagai jenis iuran yang menunggak dan menumpuk untuk dibayar dan dilunasi setiap bulannya.

Sebagai contoh, bagi seorang kepala kelurga pencari nafkah, hidup bersahaja dapat cukup makan tiga kali atau dua kali sehari, sudah cukup membahagiakan. Namun, bisa jadi bagi anggota keluarga lainnya, bila tidak bisa makan yang enak yang dibeli dari Mall, maka artinya belum cukup membahagiakan, atau semisal bila belum dapat membeli perabot rumah-tangga yang canggih keluaran terbaru dan mahal, bila belum dapat memiliki pembantu rumah-tangga yang bekerja mengurus segala urusan rumah dan melayani, bila belum dapat membeli dan memiliki kendaraan bermotor serta rumah sendiri di tengah perkotaan, bila belum dapat berwisata keliling dunia, bila belum dapat makan di restoran mewah, bila belum dapat membeli pakaian baru sebulan sekali, bila belum dapat memiliki asisten pribadi, bila belum dapat memiliki seribu anak buah dan selusin kantor dan perusahaan, bila belum dapat melakukan pesiar dengan kapal pesiar yang elegan, dan berbagai harapan serta keinginan lainnya yang bersifat “kesenangan tersier demi kesenangan tersier” itu sendiri.

Ajahn Brahm, seorang Bhikkhu monastik, memiliki pandangan hidup “’Free from wanting’, bukan ‘free to wanting’”, yang karenanya tipis sekali kemungkinan bagi beliau untuk jatuh dalam perangkap gaya hidup hedonisme, mengingat beliau adalah seorang yang melakukan praktik latihan hidup selibat, tanpa berumah-tangga, sehingga terbebas dari setidaknya potensi resiko menghadapi keserakahan anggota keluarga lainnya seperti dari tuntutan istri maupun dorongan anak untuk melakukan aksi-aksi pencurian maupun korupsi. Satu-satunya tantangan bagi kaum selibat, ialah potensi dorongan untuk berbuat korup yang bersumber dari dalam hati dan pikiran mereka sendiri. Menjadi tidak mengherankan, bila Sang Buddha pernah bersabda, ikatan yang paling kuat dan paling besar ialah istri dan anak.

Beberapa waktu lampau, pernah tersiar berita seorang Gubernur Sumatera Utama yang hidup berpoligami, tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi akibat aksi korupsi saat masih menjabat sebagai seorang Gubernur. Masyarakat pun mulai berspekulasi, mungkinkah akibat desakan istri keduanya, sehingga sang Gubernur terjerumus dan terjerat kasus korupsi? Jawabannya bisa jadi ialah sebaliknya, sang pejabat Gubernur memaksakan dirinya untuk memiliki istri lebih dari satu orang istri, yang artinya dibutuhkan sumber pembiayaan baru dalam rangka memberi suntikan “nafkah fisik” dan “nafkah batin” bagi kedua istrinya, dimana sumber instan pembiayaan baru bisa berupa aksi korupsi maupun kolusi. Sama seperti fenomena sosial semacam perilaku para pengendara “motor besar” (moge) yang kerap arogan di tengah jalan milik umum, bukan dikarenakan menaiki dan mengendarai “moge” yang menyebabkan seseorang menjadi arogan, namun karena sedari awal memang sudah arogan, sehingga kemudian membeli dan mengendarai “moge”.

Berikut inilah yang terjadi, secara memakai sudut pandang psikologi, ketika ancaman hukuman hanya tertuju pada sang kepala keluarga selaku pencari nafkah yang terlibat dan terjerumus aksi korupsi akibat desakan keluarga untuk mencari cara instan memperoleh sumber-sumber kekayaan untuk mendanai gaya hidup anggota keluarganya, sama artinya tiada konsekuensi yang mampu membuat “efek jera” sehingga membuat takut para kalangan istri maupun anak ataupun orangtua dari sang kepala keluarga, sama artinya membuka peluang dimana sang kepala keluarga dijadikan “alat” serta “tumbal” untuk dikorbankan oleh anggota keluarga lainnya yang bisa jadi “berpikiran sempit dan picik-egoistik”, sekalipun Undang-Undang terkait Tindak Pidana Korupsi telah menegaskan, setiap pihak yang turut menikmati uang hasil kejahatan korupsi, turut serta dipidana dan dihukum, tanpa terkecuali anggota keluarga dari sang pelaku korupsi.

Tiadanya resiko bagi anggota keluarga sang pelaku tindak pidana korupsi untuk turut dikriminalisasi atas perbuatan korup kepala keluarganya, sekalipun turut menikmati hasil kejahatan sang koruptor, sama artinya negara menawarkan “motivasi” alih-alih “de-motivasi” bagi para anggota keluarga masing-masing pelaku aksi korupsi, untuk terus-menerus dan kian menjadi-jadi mendorong hingga mendesak-desak kepala keluarganya untuk terjerumus dan terjebak aksi korupsi—menjadikan kepala keluarganya sebagai “bumper” yang memasang badan dari ancaman hukuman ketika aksi korupsi terungkap dikemudian hari.

Ketika kebijakan penalisasi diubah “aturan mainnya”, dimana sang anak, istri, maupun orangtua sang koruptor turut diancam hukuman pidana penjara maupun dihukum mati, maka setiap dan masing-masing anggota keluarga akan berpikir ribuan kali sebelum memaksakan keadaan dan mendesak sang kepala keluarga untuk mencari jalan pintas dan jalan instan untuk memperoleh kekayaan dalam waktu singkat. Dalam sudut pandang sang koruptor, dirinya akan mendapat pula “de-motivasi” untuk melakukan aksi korupsi, agar sang istri, anak, dan orangtua tercinta tidak mendekam dalam penjara.

Inilah yang penulis sebut sebagai intrik dan politik tingkat tinggi dalam lingkup domestik paling privat dan personal, bernama rumah-tangga dan keluarga, dimana sang kepala keluarga didesak melakukan aksi korupsi dan terdesak sebagai akibatnya, namun resiko konsekuensinya ketika aksi korupsi terungkap oleh aparatur penegak hukum, akibatnya hanya sebatas ancaman hukuman bagi sang kepala keluarga, tidak membawa konsekuensi yuridis bagi anak maupun istri dan orangtua dari sang pelaku tindak pidana korupsi, mengakibatkan kian menjadi-jadi dan kian mendesak-desaknya para anggota keluarga untuk menjerumuskan dan “menumbalkan” sang kepala keluarga jatuh ke dalam jurang gelap “seorang diri”.

Telah ternyata pula, rumah-tangga merupakan organisasi politik paling primair yang dapat kita jumpai langsung di keseharian. Ketika bandul regulasi terkait penindakan korupsi, bergeser dari kriminalisasi terhadap pelaku korupsi menjadi kriminalisasi terhadap seluruh anggota keluarga dari terdakwa koruptor, sejatinya “politik hukum” telah melindungi sang calon koruptor dari potensi resiko ditekan, didesak, serta didorongnya sang kepala keluarga secara “politis-sosiologis” oleh anggota keluarganya untuk mencari sumber-sumber penghasilan secara instan sekalipun ilegal dan melawan hukum. Kita tidak dapat mengandalkan himbauan, bahwa dengan menjadi seorang istri, anak, serta orangtua yang hidup secara bersahaja sama artinya meminimalkan keterdesakan bagi kepala keluarganya untuk terjemurus aksi-aksi semacam korupsi maupun praktik pencurian lainnya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.