Gelar Akademik, Berkah ataukah Belenggu Penghambat yang Kontraproduktif bagi Sang Penyandang Title?

ARTIKEL HUKUM

Ketika Gelar Akademik menjadi Kutukan yang Menyandera, Bebaskan Diri dari Belenggu Sempit bernama Gelar Kesarjanaan untuk Membuka Peluang Tanpa Batas dan Memasuki Dunia Bisnis yang Luas Seluas Cakrawala

Dunia Tidak Selebar Daun Kelor, Hidup Tidak Sekecil Kerah Baju, dan Dunia Usaha Tidak Sesempit Gelar Akademik

Steve Jobs, menjadi legenda karena berani “melawan arus” dengan memilih untuk “Drop Out” dari kampus dan mendirikan perusahaannya sendiri bersama seorang temannya dari dalam sebuah garasi rumah, yang kemudian dikenal dengan logo-nya “apel dengan bekas gigitan” yang kini menjadi fenomenal serta produk IT paling termasyur abad ini. Ketika dipecat dari perusahaan yang didirikannya sendiri, Steve Jobs mendirikan perusahaan video animasi serta mendirikan sebuah produsen chip mikroprosesor. Mengapa peluang usaha bagi sang legenda, seolah tidak terbatas? Jawabannya ialah, Steve Jobs tidak “dikutuk” oleh belenggu mengikat bernama “gelar akademik” bidang tertentu—yang mana justru selama ini dikejar dan dibanggakan oleh mereka yang kurang percaya diri untuk mengandalkan kemampuan internal dirinya sendiri ketimbang “kemasan gelar akademik”.

Dahulu kala, lama sebelum ini, seorang teman kuliah dari penulis memilih “Drop Out” dari kampus Fakultas Hukum dan memilih untuk berbisnis, karena menurutnya ia menyukai bisnis dan berbisnis, sementara itu ia memasuki Fakultas Hukum akibat paksaan orangtuanya. Beberapa tahun kemudian, ia “tinggal landas” dan dalam waktu singkat telah sukses dalam berbisnis dalam beberapa bidang usaha sebagai seorang “entrepreneur” dengan banyak karyawan dan tempat usaha, jauh meninggalkan teman-teman kuliahnya yang tertinggal jauh dibelakang keberhasilannya karena teman-temannya telah “terbius” oleh euforia kebanggaan berlebihan terhadap gelar akademik yang telah mereka peroleh sebelum kemudian terjerumus pada “mental pegawai”. Ia melepaskan potensi mendapat gelar akademik “Sarjana Hukum”, demi memasuki dan merengkuh dunia yang lebih luas, yakni peluang usaha berupa bisnis berbagai hal yang tidak terhingga potensi dan kemungkinannya, bukan memaksakan diri terjun dalam bidang usaha jasa hukum di Tanah Air.

Betapa luar biasa malunya penulis, ketika berjumpa dengan yang bersangkutan, disaat penulis pada saat itu masih sebagai seorang lulusan baru “fresh graduate” yang tergila-gila melamar pekerjaan menjadi seorang pegawai dibidang hukum yang orientasinya ialah mencari lowongan pekerjaan bukan menciptakan lapangan pekerjaan untuk diri kita sendiri atau bahkan bagi orang lain. Sebagaimana dapat kita buktikan sendiri pada saat itu juga, kesuksesan tidak ada kaitannya dengan kebanggaan terhadap gelar akademik tertentu. Yang sukses sekalipun tanpa gelar akademik apapun, adalah sukses dan disebut sebagai “orang sukses”. Sebaliknya, menyandang gelar akademik namun tidak sukses dalam karir sesuai gelar akademiknya, adalah kegagalan dan disebut sebagai “orang gagal”. Bukanlah gelar akademik yang terpenting, namun kesuksesan itu sendirilah yang terpenting.

Yang bersangkutan, yang prestasi akademiknya biasa-biasa saja saat berkuliah dan tidak menonjol dari segi Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) saat memaksakan diri duduk di bangku Fakultas Hukum, ternyata mampu lebih sukses dari segi bisnis dibandingkan dengan penulis pada saat itu yang terbelenggu oleh mental “pegawai / pekerja”, sebatas upah dengan waktu yang diikat dengan “jam kerja” kantoran, dimana akan menyerupai “kiamat” bila menjumpai hal semacam pemutusan hubungan kerja (PHK). Sementara yang bersangkutan, memiliki kekebasan dari segi finansial maupun kebebasan waktu sebagai seorang wirausahawan, kebebasan untuk menentukan dan memasuki peluang usaha apapun, bahkan kebanggaan bahwa memiliki anak buah yang bekerja untuknya dan mampu membayar gaji atau upah mereka, alias sebagai pemberi upah bukan sebagai penerima upah—dua dunia yang saling bertolak-belakang.

Tidak penting kucing warna hitam ataukah kucing warna putih, yang penting dapat menangkap tikus, demikian seorang tokoh asal Tiongkok pernah menyatakan—yang dapat penulis analogikan seruan serupa, sebagai : Tidak penting punya atau tidak punya gelar akademik dibidang hukum atau bidang apapun, tidak penting berkarir dalam bidang hukum maupun bidang non-hukum, yang terpenting ialah mampu meraih kesuksesan berupa perolehan “kebebasan”, baik dari segi finansial, waktu, “self esteem”, dan lain sebagainya. Apalah gunanya, terobsesi pada gelar akademik dibidang hukum terlebih profesi hukum yang sempit dunia serta potensi peluang usahanya, sementara itu kompetisi terhadap kompetitor sesama Sarjana Hukum telah demikian “jenuh” di lapangan?

Gelar akademik memang diperlukan, namun sebatas untuk hal-hal tertentu yang memang dipersyaratkan oleh prosedural yang ada, semisal untuk mengajukan diri menjadi seorang dosen pada Perguruan Tinggi ataupun Universitas di Tanah Air, maka sang pelamar minimal telah mengantungi gelar atau “title” berupa Magister alias “Strata Dua”. Kita tampaknya memang tidak dapat membentur “sistem kaku beku” yang ada, meski demikian kita pun tidak perlu bersikap apatis dan fatalistis dalam menyikapi peluang usaha, berkarir, ataupun berkiprah dalam dunia profesi.

Namun, mengapa juga kita memaksakan diri untuk memperoleh “deretan” gelar demikian, sekalipun kita mungkin memang memiliki keterampilan pedagogi yang mumpuni, kita tetap bisa melirik peluang usaha lain seperti menjadi “trainer” dalam sesi “training” yang kita adakan, atau menjadi guru privat atau semacam membuka kelas kursus pendidikan non-formal. Sepanjang kita memang memiliki keahlian serta keterampilan yang diakui oleh masyarakat, maka ada atau tidak adanya gelar akademik, bukanlah menjadi penghalang bagi kita untuk berkarir, sebatas memiliki gelar “Sarjana” (Strata Satu) sudah lebih cukup untuk berkarya secara penuh percaya diri.

Terdapat sebuah “jebakan mental” ketika kita telah bersusah-payah melewati proses perkuliahan dalam rangka memperoleh gelar akademik, yakni dunia kita mulai terbatas dan semakin sempit. Ketika seseorang telah memperoleh gelar Sarjana Hukum, sebagai contoh, dirinya terpaku dan terpenjara dalam kotak-kotak sempit bernama embel-embel dalam gelar kesarjanaan yang dimiliki olehnya, seolah-olah sang Sarjana Hukum menjadi hanya boleh dan hanya bisa berkarir dibidang hukum—bagai menjelma “vonis” seumur hidup yang memasung dan sekaligus “mengerdilkan”, bagai “katak dalam tempurung”. Mulailah, peluang usaha dan potensi karir yang demikian tidak terbatas adanya diluar sana, menjadi tampak sesempit nama embel-embel dalam gelar kesarjanaan yang kita miliki. Itulah, yang penulis sebut sebagai “jebakan mental fase pertama”, yang sudah cukup mengerikan adanya, sebelum kita membahas lebih jauh kedalam apa yang kita namakan “jebakan mental tahap kedua” yang lebih mematikan adanya, dan sangat jarang disadari oleh sang penyandang gelar akademik.

Pada tahap berikutnya, yakni fase kedua, seseorang menempuh kembali program paska sarjana, yakni Strata Dua yakni gelar Magister, hingga bahkan menjebloskan diri sendiri ke dalam lembah sempit bernama “lingkaran setan” Strata Tiga untuk dapat menyandang gelar Doktoral, Phd, dan istilah lainnya. Sekali sang mahasiswa masuk kedalam “jebakan gelap yang dalam” ini, maka dirinya akan selamanya terjebak dan terperangkap tanpa dapat lagi keluar dari “cangkang” gelarnya yang sempit “menyempitkan diri” lengkap dengan dunia profesinya yang mulai menjadi sempit.

Penjelasan psiko-sosiologisnya amatlah sederhana, akan kita uraikan satu per satu latar-belakang persepsi yang kemudian terjadi dan terbentuk pada benak para mahasiswa Strata Dua hingga Strata Tiga. Sebagaimana kita ketahui, tidaklah murah biaya dan segala pengorbanan waktu, keringat, tenaga, kesehatan, hingga air mata dan cucuran darah untuk dapat memperoleh berbagai gelar akademik demikian, sehingga ketika telah memperoleh gelar-gelar akademik demikian, tidak ada jalan lain selain menempuh ruas jalan berupa satu lajur sempit bernama bidang usaha yang sesuai nama embel-embel pada gelar akademiknya, semisal Magister Hukum, Magister Kenotariatan, maupun Doktor Hukum.

Perhatikan ilustrasi berikut, yang dapat dipastikan pernah kita jumpai sendiri ataupun berdasarkan pengalaman hidup orang lain. Seorang mahasiswa menempuh dan berhasil meluluskan program studi Strata Tiga dan kini menyandang gelar “Doktor Hukum”. Akibatnya, adalah “jebakan mental fase ketiga” yang kini bermain dan mengambil alih “alam bawah sadar” yang penyandang gelar, yakni apa yang kita sebut sebagai “gengsi” bila harus menempuh karir ataupun profesi dibidang pertanian, sebagai contoh, bisa jadi akan ditertawakan oleh petani lainnya yang berladang tanpa menyandang gelar akademik apapun selain menyandang cangkul, topi tani dari anyaman bambu, kerbau untuk membajak sawah, dan sawah yang berlumpur.

Masih juga belum lepas dari jeratan serta terbelenggu “jebakan mental fase kedua”, sang penyandang gelar akan berpikir pragmatis-kalkulatis, yakni berusaha untuk “mengembalikan modal” biaya serta segala pengorbanan yang telah dikeluarkan ketika menempuh gelar akademik yang berbiaya tinggi. Karenanya, mau tidak mau dan tidak bisa tidak, sang penyandang gelar harus (memaksakan diri) sukses dibidang hukum—dan disaat bersamaan melepaskan obsesi ataupun impian pencapaian bidang diluar hukum. Akibatnya, dunia bisnisnya benar-benar mengerucut menjadi demikian sempit dan tipis, jauh lebih tersandera ketimbang orang-orang yang bahkan tidak memiliki gelar kesarjaan apapun sama sekali.

Dunia gelar akademik dibidang hukum di Indonesia saat kini, menjelma irasional, ratusan ribu Sarjana Hukum baru dicetak setiap tahunnya sementara itu lapangan pekerjaan dibidang hukum tidak sampai dan tidak mencapai satu per mil dari total angkata kerja dibidang hukum. Betapa tidak, profesi hukum seperti pegawai hukum (legal staff atau legal officer), pengacara, kurator, notaris, arbiter, telah sangat amat “jenuh” akibat “over supply”, dimana bahkan peluang karirnya demikian tipis, mengingat sebuah perusahaan dengan ribuan pegawai sekalipun biasanya hanya membutuhkan satu orang pegawai dibidang hukum, dimana pada perusahaan di luar kota besar bahkan sama sekali tidak membuka lowongan pekerjaan untuk posisi “pekerja hukum”, sehingga akibatnya ketika seorang Sarjana Hukum terjebak dalam berbagai “jebakan mental” fase mana pun, terlebih telah memasuki tahap fatalistis yakni fase ketiga, akibatnya ialah sikap apatis “lebih baik menganggur dan kelaparan tanpa pekerjaan daripada banting setir pindah haluan kompetensi kerja maupun alih profesi menjadi bidang non-hukum”.

Bagaimana mungkin, membiarkan “title” Magister hingga Doktor Hukum, mubazir sia-sia dan menguap begitu saja segala biaya pendidikan yang telah ditempuh olehnya? Bagaimana mungkin pula, telah mengantungi gelar “Doktor” namun hanya melamar pekerjaan untuk bidang “Legal Staff”? Lapangan pekerjaan untuk “Top Management” dibidang hukum, seperti “Legal Head Department”, lebih tipis lagi kesempatan menemukan lowongan yang ada. Akibatnya, “gengsi” yang bersumber dari gelar akademik “Doktor”, menjelma “kutukan” yang menyerupai “mimpi buruk” ditengah siang hari, dan masih pula bermimpi nasib baik akan mendatangi dirinya setelah memperoleh sederetan gelar-gelar tersebut—yang kita sebut sebagai “delusi dibalik gelar akademik”. Dunia telah banyak berubah dari satu abad yang lampau, ketika penyandang gelar Sarjana masih sangat minim. Kini, dunia tidak pernah kekurangan Sarjana, namun kekurangan tenaga terampil.

Menumpuknya angkatan kerja dibidang hukum yang tidak tertampung oleh lapangan pekerjaan dibidang hukum yang ada, mengakibatkan “over supply” Sarjana Hukum, yang mana efek berantainya ialah bursa kerja kita selalu kebanjiran “pengangguran hukum” yang mencari sisa-sisa remah lowongan pekerjaan dibidang hukum yang dikerubungi “semut-semut” pekerja hukum. Akibatnya, daya tawar para pekerja hukum demikian tipis dan lemah, bukan lagi sekedar “banting harga” namun juga “jual harga diri” dengan rela diberi upah hampir setara dengan gaji seorang “Office Boy” namun dengan bobot serta tanggung-jawab kerja yang “high risk”, sehingga “jauh panggang dari api” dari gambaran kehidupan kalangan pengacara yang terkesan glamor dan mewah gaya hidupnya dengan setelan jas mengilat serta jam tangan maupun kendaraan berkelas yang mewah ditemani oleh asistennya yang cantik, canggih, dan modern. Lihatlah antrian pelamar pada ritual tahunan Calon Pegawai Negeri Sipil, pelamar dibidang hukum selalu menempati posisi nomor satu dari jumlah pelamar, sementara total lowongan tergolong paling tipis, yang karenanya pertarungan antar kontestan demikian sengit dan akan selalu terjadi “tragedi” kekalahan banyak Sarjana Hukum yang gagal memperoleh remah-remah tersisa dan menjadi kaum tersisihkan.

Sifat tidak etis yang paling utama Perguruan Tinggi maupun berbagai Universitas yang tersebar pada berbagai kota dan daerah di Indonesia ialah, selalu mereproduksi citra atau kesan bahwa seolah dengan bermimpi menjadi seorang pengacara, maka hidup akan terjamin penuh kemakmuran dan harga diri disamping banjir kekayaan materi dengan memonopoli akses menuju ruang-ruang peradilan. Begitu pula selalu didengungkannya kehidupan para notaris yang serba modis dan bergelimang harta-kekayaan dengan tarif jasa dan pendapatan yang tinggi untuk setiap akta yang dibuatnya, yang sekadar meng-copy-paste, namun harus dibayar demikian mahal oleh pengguna jasa yang terpaksa menggunakan jasa kalangan Notaris / PPAT yang memonopoli akses menuju lembaga pertanahan ataupun jaminan kebendaan, sehingga anak-anak muda tergiur oleh iming-iming semu untuk memperoleh gelar Magister Kenotariatan, tanpa diberikan informasi yang lebih tranparan perihal kondisi profesi pengacara dan notaris kita di Indonesia, telah demikian menjelma “over supply” sehingga lagu lama “pengacara dan notaris adalah terjamin kaya raya” sudah tidak lagi relevan didendangkan.

Sama halnya dengan profesi Kurator, yang disebut-sebut sebagai bergelimang tarif jasa yang demikian meroket tinggi secara irasional, dan legal merampok debitor maupun para kreditor dari sang debitor yang jatuh pailit, maka berbondong-bondong-lah para Sarjana Hukum kita membayar mahal sertifikasi Kurator. Faktanya, jumlah Kurator kita telah mencapai ribuan orang tersebar di Indonesia, dan ratusan Kurator baru lainnya dicetak setiap tahunnya, sementara itu perkara kepailitan hanya dapat kita hitung berjumlah hitungan jari sepanjang tahunnya, yang mana artinya persentase peluang lulusan sertifikasi Kurator yang benar-benar mendapat kesempatan untuk memegang dan mencicipi manisnya dunia kepailitan, ialah tidak sampai satu banding per mil dari jumlah angkatan kerja Kurator yang ada. Tidak perlu kita bicara sertifikasi Mediator maupun Arbiter, terlebih ironis dan “berdarah-darah” lagi, sehingga praktis hanya menguntungkan lembaga yang menyelenggarakan sertifikasi.

Begitu pula cerita lama yang telah usang perihal kesejahteraan kalangan Pengacara, kini tidak jarang kita jumpai pengacara yang jatuh “melarat”, bahkan dikejar-kejar “debt collector” dimana kendaraannya ditarik oleh lembaga pembiayaan karena menunggak cicilan pelunasan hutang, semata terjadi akibat “over supply” kalangan profesi Pengacara di Tanah Air, ditambah keruhnya praktik “banting harga” pengacara “murahan”, hingga aksi merusak citra dunia Advokat oleh para Advokat itu sendiri di mata masyarakat yang kian apatis terhadap kalangan profesi Advokat di Tanah Air, belum lagi kita berbicara “lonceng kematian profesi Advokat” yang bernama “eCourt” atau “eLitigation” dimana kini ruang akses menuju pengadilan tidak lagi dapat dimonopolisir oleh kalangan Advokat, sehingga publik dan masyarakat luas dapat bersidang secara efektif dan efisien tanpa didampingi kuasa hukum apapun, disamping kian terbukanya informasi hukum seperti peraturan perundang-undangan hingga draf surat gugatan yang dapat diakses tanpa batasan apapun oleh siapapun dan dimanapun.

Bayangkan, seorang Sarjana Hukum yang disaat bersamaan juga memiliki sederet “koleksi” gelar Magister Hukum, Magister Kenotariatan, Doktor Hukum, Lawyer atau Notaris, Kurator, Arbiter, Mediator, kemudian ditemukan oleh warga telah “banting setir” akibat desakan perut yang lapar minta diberikan makan, menjelma seorang penjual “nasi goreng”—gengsi, biaya kuliah dan sertifikasi yang mubazir, belum lagi menghadapi dilema “point of no return” yang dibebani oleh setumpuk gelar akademik dibidang hukum demikian, sementara itu satu-satunya bidang lain yang ia tekuni dan kuasai ialah memasak, sementara itu untuk melamar sebagai “Chef” atau “Koki” di restoran justru akan mengundang “tanda tanya besar” oleh pihak manajemen yang mendapati bahwa sang pelamar memiliki sederet gelar akademik dibidang hukum dalam “Curriculum Vitae” yang bersangkutan tengah melamar dibidang “masak-memasak”? Jadilah, dirinya menyembunyikan jati-diri identitas gelar hukum-nya, dan menjelma tukang masak “nasi goreng” tanpa nama di sudut jalan yang temaram dan pengap, yang harus menyembunyikan wajah ketika teman-teman kuliahnya kebetulan lewat dan bahkan hendak membeli sebungkus “nasi goreng”.

Entah ironi, ataukah dagelan, namun bukan mustahil terjadi, karena penulis mengetahui beberapa orang diantaranya yang memiliki nasib serupa terjebak dalam kisah di atas, banting setir dari “pengacara menuju tukang becak besi” (from hero to zero, from lawyer to nothing). Jika sang “tukang becak besi” merasa sayang untuk menanggalkan dan membuang jauh-jauh ke “tong sampah” sertifikasi Pengacara yang selama ini dikantungi dan dibangga-banggakan olehnya karena diperoleh dengan pengorbanan air mata dan tumpah-darah, maka bisa jadi sang “tukang becak besi” akan memberikan informasi kepada sang penumpang, “Saya adalah pengacara, betapa beruntungnya Anda.” Sang penumpang menyahut, dalam hati tentunya, “Betapa bodohnya Anda.” Tetap saja, kalangan akademisi yang menjelama industri bisnis paling “seksi”, dengan motif terselubung mempertahankan citra yang sudah lama tidak lagi relevan, bahwa Pengacara dan Notaris adalah sumber kekayaan, pohon uang, mesin pencetak emas, pabrik penghasilan besar, terjamin makmur, prestise, dan lain sebagainya.

Kini, saat ulasan kelam ini disusun, kalangan profesi akutansi telah berada “di ujung tanduk”. Betapa tidak, program robot “AI” (artificial intelligence) secara perlahan namun pasti telah menggantikan peran para Akuntan pada berbagai perusahaan dan korporasi. Tidak terkecuali, terhadap profesi Konsultan Hukum, selalu terbuka kemungkinan profesi penulis yang berkecimpung dalam spesialiasi penyedia jasa Konsultasi seputar Hukum, dimana penulis perlu membuka mata lebar-lebar dan mengakui realita empirik, setakut apapun dan secemas apapun para kalangan Konsultan Hukum di Indonesia, bahwa pada masa mendatang harus bersaing ketat berhadapan dengan robot “AI”.

Ketika itu terjadi, daripada “babak-belur” menghadapi “AI” yang kian hari kian canggih dan benar-benar “cerdas”, maka alangkah lebih bijak bila penulis mencurahkan fokus energi dan perhatian kepada bidang usaha lain diluar jasa dibidang hukum, seperti bidang niaga, sebagai opsi yang tetap terbuka peluangnya bagi diri pribadi penulis untuk berkarir, dengan tetap membuka diri pada peluang usaha apapun yang tidak terkait hukum, sekalipun harus menanggalkan gelar akademik apapun dibidang hukum. Kesuksesan lebih penting daripada gengsi, mengingat kesuksesan menuntut kebebasan sebagai syarat utamanya, termasuk terbebas dari sandera bernama penjara “title” kesarjanaan dibidang tertentu yang sempit karena ter-spesifik. Lebih baik sukses sebagai pedagang produk dan barang, daripada bersikukuh menuruti “gengsi” menjual jasa dibidang hukum yang kian tipis sisa ruang untuk masuk dan berkecimpung didalamnya.

Sejauh ini, hanya ulasan dari penulis sajalah yang secara transparan dan terbuka memperlihatkan realita tanpa selubung apapun yang dapat menghalangi penglihatan kita secara “apa adanya”, tentang masa depan “suram” profesi Sarjana Hukum. Buang jauh-jauh citra klise profesi Pengacara yang pada beberapa dekade lampau diidentikkan dengan kejayaan dan kemakmuran ekonomi, itulah nasehat terbaik yang dapat penulis sampaikan, dan dapat kita buktikan sendiri. Jika peluang usaha diluar bidang jasa hukum masih terbuka lebar menunggu kita untuk datang dan menjamah mereka, untuk apa juga bersikap “keras kepala” membuta pada bidang jasa hukum? Terkecuali, Anda telah memasuki “jebakan fase ketiga” yang menyerupai penyakit stadium akut, maka bila tidak, putar haluan sekarang juga, atau setidaknya persiapkan diri kita dengan “tidak menaruh telur dalam satu keranjang”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.