KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Daya Ikat Norma Hukum Konstitusi Undang-Undang Dasar RI 1945

LEGAL OPINION

Sekolah Negeri adalah Milik Publik (Semangat Kebhinekaan sebagai Wadah Kemajemukan Latar Belakang Siswa-Siswi), Bukan Sekolah Privat Milik Lembaga Keagamaan Eksklusif Tertentu

Peran Penting Peraturan Pelaksana Peraturan Perundang-Undangan

Question: JIka memang tidak ada peraturan pelaksana yang menegaskan ketentuan dalam konstitusi negara, apa artinya sekalipun konstitusi seperti UUD Republik Indonesia 1945 disebut sebagai hukum tertinggi, tidak akan ada artinya bila belum ada peraturan pelaksananya? Apa betul, semua pasal dalam UUD Republik Indonesia 1945, sudah ada dan diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksananya? Jika ternyata ada beberapa pasal di dalam UUD Republik Indonesia 1945 ternyata belum diatur dalam peraturan pelaksananya, apa artinya ketentuan dalam konstitusi dapat dilanggar tanpa sanksi apapun dan tidak dapat diterapkan karena tidak memiliki daya pemaksa, semata karena belum diatur dalam peraturan pelaksananya? Itu sama artinya, omong kosong konstitusi ataupun undang-undang, bila norma hukumnya belum diatur lebih lanjut dalam peraturan pelaksananya?

Brief Answer: Tampaknya memang peraturan teknis lebih kuat daya ikat normatifnya ketimbang produk hukum “payung” yang sifatnya selalu digantungkan pada satu “syarat tangguh”, yakni baru dapat berlaku secara efektif ketika telah terbentuk peraturan pelaksana dari norma-norma hukum dalam Undang-Undang Dasar (konstitusi) maupun Undang-Undang. Namun tidak semuanya demikian bila konteksnya ialah Undang-Undang, dimana sebagai contohnya ketentuan hukum dalam Undang-Undang tentang Tenaga Kerja terkait pesangon, tidak diperlukan peraturan pelaksana apapun namun seketika itu juga dapat diterapkan karena memang tidak diamanatkan adanya peraturan pelaksana perihal norma hukum tersebut dalam Undang-Undang dimaksud.

Contoh yang lebih ekstrim, ialah Undang-Undang tentang Hak Tanggungan yang telah terbit sejak tahun 1996, dimana pasal mengenai “parate eksekusi” Hak Tanggungan secara tegas dan eksplisit diamanatkan oleh Undang-Undang dimaksud untuk diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah, namun hingga saat kini praktik lelang eksekusi terhadap Hak Tanggungan berlangsung pada Kantor Lelang Negara, tidak pernah terbit Peraturan Pemerintah dimaksud, yang artinya praktik selama ini ialah “ilegal” karena belum pernah terdapat satupun peraturan pelaksananya, akan tetapi kemudian “dilegalkan” lewat konvensi (kebiasaan praktik hukum) maupun preseden yang ada dalam praktik di peradilan mengukuhkannya sebagai “Peraturan Pemerintah yang tidak tertulis” semata karena selama ini telah terlaksana dan berjalan selama puluhan tahun dalam praktiknya sehingga menjelma terlembagakan dan terbakukan.

Meski demikian, khusus untuk konteks norma hukum yang dipandang masih abstrak sifatnya (meski telah demikian tegas) seperti konstitusi negara (Undang-Undang Dasar RI 1945), sebagian besar kalangan terutama akademisi hukum menilai bahwa konstitusi sifatnya adalah “abstrak” (sekalipun pasal-pasal terkait hak asasi manusia demikian tegas pengaturannya dalam Konstitusi Republik Indonesia tanpa dapat ditafsirkan lain), sehingga sekalipun dalam pasal-pasal tertentu dalam Konstitusi tidak amanatkan peraturan pelaksana dalam bentuk Undang-Undang, tampaknya memang tetap memerlukan peraturan pelaksananya agar lebih konkret dan lebih menegaskan komitmen pihak pemerintah itu sendiri selaku eksekutornya. Dalam pandangan SHIETRA & PARTNERS, dibutuhkannya eksistensi peraturan pelaksana dari setiap norma yang diatur dalam Konstitusi, ialah dalam rangka simbolisme penegasan dan komitmen penyusun kebijakan untuk menegakkannya secara tanpa kompromi, dari pusat hingga pejabat daerah paling lini bawah.

PEMBAHASAN:

Contoh paling sederhana ialah ketika Undang-Undang Dasar RI 1945 telah menegaskan secara demikian tegas tanpa lagi dapat ditafsirkan lain, bahwa kebebasan beragama dan beribadah sesuai keyakinan masing-masing yang dipeluk merupakan hak asasi manusia, begitupula instrumen hukum internasional mengenai “hak asasi manusia yang bersifat universal” (salah satunya perihal kebebasan beragama) yang telah diratifikasi oleh Republik Indonesia, pada praktiknya dapat timbul praktik-praktik yang menyimpangi konstitusi atau bahkan peraturan peraturan perundang-undangan dibawahnya yang selama ini eksis melanggar dan bertentangan dengan Konstitusi, mulai dari Peraturan Daerah, Peraturan Walikota, Peraturan Menteri, dan lain sebagainya, dimana perintah verbal secara lisan otoritas setempat dapat pula menjadi norma hukum (lisan) itu sendiri.

Dihimpun berita dari BBC Indonesia serta Okezone yang meliput insiden atau tragedi yang sudah lama terjadi, yakni “intoleransi penuh pemaksaan” sebagaimana sempat viral beberapa waktu lampau (dimana yang tidak terkuak ke media massa jauh lebih masif), dengan tajuk “Heboh Siswi Nonmuslim di Padang Dipaksa Memakai Jilbab”, dimana media sosial beredar foto dan video yang memperlihatkan arogansi aparatur pemerintahan dibidang pendidikan (yang tidak mendidik) memaksa seorang siswi nonmuslim mengenakan jilbab, dilakukan oleh salah satu Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di Padang, Sumatera Barat (Sumbar).

Orangtua dari sang siswi, Elianu Hia, memberitakan bahwa jika dirinya sedang dipanggil pihak sekolah dimana putrinya menuntut ilmu, dipanggil semata karena anaknya tidak bersedia dipaksa memakai jilbab, namun putrinya tidak bersedia memakai kerudung karena nonmuslim, dimana Sekolah Negeri adalah milik umum, bukan milik satu agama tertentu. Sang ibu dan putrinya menyatakan, tidak bersedia memakai kerudung seperti yang telah digariskan oleh peraturan sekolah.

Elianu memberitakan kejadian saat dirinya dipanggil pihak SMKN 2 Padang untuk membahas soal anaknya yang diminta memakai hijab, lewat rekaman video gadget miliknya (berkat kecanggihan teknologi, Aparatur Sipil Negara tidak dapat lagi melakukan arogansi secara tertutup, dimana publik berhak tahu dan warga berhak untuk transparansi dan akuntabilitas lewat proses bukti dokumentasi dan mempublikasikannya, dimana rekaman digital yang dihimpun warga berisi fakta empirik pengalaman real di lapangan, menjadi alat bukti terjadinya pelanggaran hak-hak warga atas hak-hak konstitusionalnya. Janganlah seperti Setya Novanto, sang “papa minta saham” namun ketika secara rahasia oleh korban direkam aksi kotornya lantas melakukan komplain dan gugatan, ibarat “lempar batu sembunyi tangan”.

Dalam video tersebut, terlihat salah seorang guru menjelaskan terkait aturan pakaian siswi di SMKN 2. Guru itu mengungkapkan bahwa seluruh siswi di sekolah tersebut wajib memakai seragam, berupa kerudung untuk bagi perempuan dan celana panjang abu-abu SMK 2 Padang. Kemudian guru itu menunjukkan poin peraturan sekolah. Namun, hal itu dibantah oleh Elianu.  Sang guru kemudian menjelaskan jika hal ini menjadi janggal bagi guru-guru karena ada siswa yang tidak ikut aturan.

Elianu kemudian menjelaskan kenapa dirinya dipanggil. Bahkan dirinya sempat menjadi aturan menggunakan hijab untuk seragam sekolah.  Praktik wajib jilbab bagi siswi di sekolah negeri, menjadi cerminan betapa pemerintah cenderung gagal terapkan kebhinekaan sebagaimana amanat Konstitusi negara kita sendiri. Yang kerap melanggar Konstitusi, bukanlah bangsa asing, namun anak bangsa kita sendiri, bahkan dipertontonkan oleh Aparatur Sipil Negara kita sendiri.

Tugas agama dan pemuka agama bukanlah untuk memasung tubuh seorang wanita menjelma “aurat berjalan yang dapat berbicara” bahkan mengkriminalisasi tubuh dan kulit seorang perempuan, namun untuk membekali moralitas kalangan pria agar tidak menjadi “pria hidung belang” yang melecehkan harkat dan martabat kaum wanita, yang mana merupakan hak kaum wanita bila mereka memang ingin tampil cantik dimana bahkan tidak ada seorang pun yang dilahirkan dalam kondisi dibalut busana.

Justru, adalah bentuk cerminan kekerdilan disamping kegagalan agama serta pemuka agama, dalam mengerem dan mengendalikan “mata” milik para umat prianya. Bukanlah “kemolekan” tubuh kaum wanita itu yang telah mengganggu sepasang mata milik kaum lelaki, namun mata milik para lelaki “yang gagal mengkontrol matanya” itulah yang telah mengganggu tubuh milik kaum wanita, sehingga mencoba menggunakan pendekatan pragmatis tidak cerdas berupa cara-cara “jalan pintas” seperti memasung tubuh kaum wanita dan membatasinya lewat kerangkeng bernama “busana”—sebuah cara yang amat sangat tidak cerdas serta mencerminkan kedangkalan pola berpikir yang picik serta kerdil.

Di Timur Tengah, bukan lagi menjadi rahasia (namun sudah menjelma rahasia umum), tingkat kasus pemerkosaan demikian tinggi, dimana korbannya justru dikriminalisasi sehingga takut melaporkan, tidak jarang bahkan dibunuh karena dianggap menjadi aib bagi keluarga (menjadi korban pemerkosaan adalah aib bagi bangsa di Timur Tengah), sekalipun faktanya para kaum wanita di Timur Tengah mengenakan busana yang membalut sekujur tubuh mereka, telah ternyata tidak mampu menghentikan niat buruk kaum lelaki di Timur Tengah untuk “menggagahi” kaum wanita atas tubuh dan kegadisannya sendiri.

Di Timur Tengah, berdasarkan berbagai litelatur yang pernah penulis telaah, banyak kasus pemerkosaan ditutup rapat-rapat dari publik, bahkan tidak dilaporkan kepada pihak berwajib, sehingga tidak atau jarang muncul ke permukaan, terlebih mengharapkan agar pelakunya dihukum, mengingat “hak ingkar” justru diberikan oleh hukum agama di Timur Tengah kepada sang pelaku dimana karenanya pihak korban berpotensi dikriminalisasi bila sang pelaku mengingkari laporan pihak korban, dan menjadi korban untuk kedua kalinya dalam dua hal terpisah. Kita patut bersyukur, hukum agama yang sama demikian tidak diberlakukan di Indonesia, setidaknya hingga saat ulasan ini disusun, kecuali berbagai Peraturan Daerah yang intoleran pada bebagai daerah.

Sekadar mengilas balik sejarah, agama dimaksud dapat masuk dan tumbuh subur di Bumi Pertiwi berkat menikmati toleransi yang diberikan oleh umat beragama lain yang telah ada sejak nenek-moyang kita di Nusantara (abad ke-5 sampai dengan abad ke-15, Buddhisme menyuburkan budaya dan alam di Nusantara). Namun ketika agama tersebut telah menjelma mayoritas, secara serta-merta hendak memberanguskan toleransi yang sama. Praktik yang sama terjadi di berbagai negara, sang umat menuntut diberikan toleransi, namun secara ber-“standar ganda”, toleransi yang sama tidak akan kita jumpai di Timur Tengah. LSM Setara Institute menyebutkan, pemaksaan murid beragama lain mengenakan jilbab di sekolah negeri sudah berlangsung lama dan terjadi di berbagai daerah dengan alasan “tradisi” atau “kearifan lokal”. Sekalipun, dengan dalih apapun, tindakan intoleransi tidak bisa dibenarkan.

Kalau saya (memaksakan) memakai jilbab bagi anak saya, saya membohongi identitas anak saya. Di mana hak asasi agama saya? Ini kan sekolah negeri,” tanggapan Elianu Hia kepada Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMK Negeri 2 Padang, Zakri Zaini. Elianu mempertanyakan kebijakan sekolah mewajibkan seluruh siswi mengenakan jilbab. Pertemuan tersebut adalah puncak dari rangkaian pemanggilan pihak sekolah terhadap putri Elianu, Jeni Cahyani Hia, selama dua pekan. Jeni dipanggil berkali-kali oleh guru karena tak memakai jilbab saat sekolah tatap muka dimulai 11 Januari 2021.

Hampir tiap hari anak saya dipanggil karena nggak pakai jilbab, jawaban anak saya karena dia non-muslim,” tuturnya BBC News Indonesia. Setelah bolak-balik dipanggil guru, Jeni diberi waktu seminggu untuk mengambil keputusan apakah masih tetap pada pendiriannya atau tidak. Jeni, kata Elianu, tetap tak mau mengenakan jilbab. Kaum agama tersebut menolak di-“...isasi”, namun secara ber-“standar ganda”, kerap melakukan “...isasi” lewat cara-cara terselubung maupun pemaksaan politis lainnya hingga ancaman dibawah kekerasan fisik.

Itu mengapa, ia dipanggil secara lisan untuk menghadap Wakil Kepala Sekolah Bidang Kesiswaan SMK Negeri 2 Padang, Zakri Zaini. “Bukan kemauan saya (datang) ke sana, saya dipanggil secara lisan lewat anak saya,” ujarnya. Pada pertemuan singkat itu, antara Elianu dan pihak sekolah tidak terjadi kesepakatan. Karenanya ia harus menandatangani surat pernyataan yang isinya 'bersedia melanjutkan masalah tersebut sembari menunggu keputusan dari pejabat yang lebih berwenang—sekalipun Konstitusi Republik Indonesia telah menyatakan secara tegas, kebebasan beragama dilindungi dan dijamin oleh negara.

“Saya tidak ada tujuan lain. Saya tulus, kalau saya paksa dia, nggak mau dia,” imbuhnya. Instruksi Wali Kota Padang No.451.442/BINSOS-iii/2005, adalah norma hukum teknis yang sudah ada sejak tahun 2005 hingga awal tahun 2021 saat tragedi di atas terkuak ke publik berkat bantuan media sosial dan jejaring dunia digital, tertulis mewajibkan jilbab bagi siswi yang menempuh pendidikan di sekolah negeri Padang. Artinya, selama lebih dari 15 tahun lamanya, praktik intoleransi tumbuh subur tidak berbendung, yang artinya pula selama 15 tahun pelanggaran terhadap Konstitusi terjadi secara vulgar di republik ini, dan seolah dibiarkan oleh negara yang mengabaikannya (atau mungkin menutup matanya), Konstitusi negara yang bahkan di-“kangkangi” oleh sekadar sebuah Instruksi Walikota. Wibawa hukum dan Konstitusi, sejatinya dikeroposi serta digerogoti oleh para otoritas pemerintahan kita sendiri, sehingga tidak heran bila masyarakat memandang rendah Konstitusi yang dinilai “tidak bergigi”.

Mantan Wali Kota Padang, Fauzi Bahar, berkata aturan itu dibuat untuk menjaga perempuan dan mengembalikan budaya Minang sehingga tak perlu dicabut. “Kalau tidak suka dengan aturan sekolah ya, tinggal cari sekolah lain saja. Toh itu semangatnya bukan paksaan buat non-muslim. Kita melindungi generasi sendiri,” imbuhnya seperti dilansir Detik[dot]com. Sekolah Negeri adalah sekolah milik publik dan umum, bukan sekolah privat milik satu golongan agama tertentu, dimana dasar hukum tertinggi yang berlaku pada Sekolah Negeri semestinya ialah Konstitusi. Sikap sang pejabat negara tersebut, sama artinya mendidik para peserta didik agar menjadi “pembangkang dan pengkhianat Konstitusi”.

Peneliti di Setara Institute, Halili Hasan, mengatakan kebijakan diskriminatif seperti yang terjadi di SMK Negeri 2 Padang merupakan potret mayoritanisme, yakni kelompok mayoritas kerap memaksakan nilai-nilanya menjadi standar bagi aturan hidup bersama. Di Semarang, Jawa Tengah, sebagai salah satu contohnya, seorang murid penghayat kepercayaan tidak diluluskan oleh sekolah lantaran tidak ada nilai mata pelajaran agama Islam. “Jadi tidak ada spesifik daerah tertentu, tapi kecenderungan sekolah negeri gagal menjadikan toleransi dan kebhinekaan diterapkan kepada siswanya. Padahal sekolah negeri harus menjadi etalase bagi Pancasila, kebijakannya harus kondusif untuk kemajuan toleransi. Tapi faktanya, tidak.”

Bila sedari kecil para peserta didik mereka ternyata telah dibudayakan untuk bersikap intoleran, maka bagaimana bila mereka beranjak dewasa nanti? Tampaknya, selama ini terjadi pembiaran oleh pihak guru dan otoritas sekolah, dimana praktik “bullying” para siswa mayoritas terhadap minoritas yang tidak berbusana “agamais” dibiarkan berlangsung, atau setidaknya berwujud “pengucilan”, alih-alih menanamkan nilai-nilai toleransi dan moralitas bagi para peserta didiknya untuk bersikap toleran dan menghargai pilihan keyakinan sesuai agama masing-masing sesama siswa dan siswi.

Perilaku intoleransi lain, sambung Halili, tidak hanya mewujud dalam bentuk aturan tapi juga “ekspresi guru” seperti yang terjadi di SMA Negeri 58 Jakarta. Seorang guru mengajak murid-muridnya memilih Ketua OSIS yang seagama (pemimpin yang seagama, lihat kasus pencalonan Ahok sebagai Gubernur Jakarta, spanduk-spanduk dan ceramah-ceramah intoleran justru dipasang dan dikumandangkan oleh tempat ibadah, dimana penulis menjadi saksi matanya dan berhak menguraikan testimoni pribadi ini).

Ada semacam pemaksaan kehendak dari orang dewasa terhadap siswa terkait identigas keagamaan. Ketika Orde Baru hancur, harapan bagi keterbukaan besar, maka aspirasi yang terbuka itu menjadi makin ekspresif termasuk dalam bentuk intoleransi terutama dari kelompok mayoritas,” tutur Halili. Sayangnya, Halili menambahkan, perlakuan diskriminatif dan intoleransi yang terjadi di sekolah negeri dibiarkan (dan dilestarikan) oleh Dinas Pendidikan maupun Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan atas nama “tradisi” atau “kearifan lokal”.

Pengawasan oleh Dinas maupun Kemendikbud hanya sebatas administratif semisal penyiapan kegiatan belajar mengajar. Tapi tidak pernah sekali pun menyentuh aspek “tata kelola kebhinekaan” di sekolah. “Ya selama ini ada pembiaran. Kita tahu ada masalah karena tersebar di media sosial. Di sekolah negeri harus ditingkatkan kapasitas perspektif dan keberpihakan pada pluralism kebhinekaan karena Indonesia bukan negara agama,” imbuh Halili.

Elianu kemudian menanggapi pernyataan sang guru, sang siswi nonmuslim mengaku keberatan dengan aturan seragam tersebut. “Hemat saya itu jilbab ini lambang agama, kalau saya pakai jilbab, seakan-akan membohongi identitas agama saya. Di mana hak asasi agama saya,” kata Elianu. Dia kemudian menanyakan apakah ini imbauan atau kewajiban. Ternyata peraturan mengenakan hijab ini merupakan kewajiban, menurut pihak sekolah, karenanya dipaksakan sifatnya, setidaknya secara politis dan sosiologi terjadi intimidasi secara psikologis karenanya adanya ketimpangan antara “guru Vs. murid”, “otoritas sekolah Vs. orangtua siswa”.

Elianu akhirnya menanda-tangani surat pernyataan. Surat pernyataan ini nantinya akan ditanda-tangani kepala sekolah dan ditembuskan ke Dinas Pendidikan Provinsi. “Dengan adanya surat pernyataan ini, maka aturan yang salah ini bisa diluruskan. Nanti bapak tembuskan ke dinas, saya tembuskan ke Komnas HAM,” kata dia. Surat pernyataan tersebut kemudian difotokopi menjadi dua lembar. Nantinya, surat itu akan ditembuskan ke Dinas Pendidikan dan Komnas HAM.

Atas insiden yang (beruntung) sempat viral tersebut, sehingga isu lapangan terangkat ke mata publik, sebagai tindak lanjutnya ialah sebagaimana dilansir oleh Kompas maupun BBC, pemerintah resmi tak memperbolehkan Pemerintah Daerah (Pemda) dan sekolah negeri mewajibkan atau melarang muridnya mengenakan seragam beratribut agama—meski pertanyaannya, MENGAPA BARU SEKARANG, SEJAK UUD RI 1945 TERBIT SEJAK TAHUN 1945, YANG ARTINYA TERJADI PENGABAIAN OLEH NEGARA SELAMA HAMPIR SATU ABAD LAMANYA, SERTA DISAAT BERSAMAAN TERJADI PELANGGARAN OLEH OTORITAS NEGARA ITU SENDIRI SELAMA HAMPIR SATU ABAD LAMANYA.

Aturan tersebut tercantum dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri tentang Penggunaan Pakaian Seragam dan Atribut Bagi Peserta Didik, Pendidik dan Tenaga Kependidikan di Lingkungan Sekolah yang Diselenggarakan Pemerintah Daerah pada Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah, dimana ditanda-tangani oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Agama Qoumas.

“Pemerintah daerah ataupun sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama,” tegas Nadiem sebagaimana dikutip dari Tribunnews. PGPI Sumbar sebut persoalan wajib jilbab hanya kesalahpahaman, bukan intoleransi—salah-paham selama hampir satu abad lamanya, sekalipun Konstitusi telah begitu tegas dan pastinya telah dibaca oleh para guru-guru yang disebut “cerdik pandai” intelek tersebut? Bila Konstitusi yang sudah demikian eksplisit pun, ternyata diabaikan dan dilanggar secara terang-terangan (bukan karena faktor lalai, namun pastilah karena disengaja, mengingat pasal-pasal dalam Konstitusi hanya terdiri dari beberapa pasal), maka patut kita ragukan moralitas para guru maupun otoritas sekolah bersangkutan.

Dalam SKB tersebut pemerintah memperbolehkan siswa dan guru untuk memilih jenis seragamnya. Artinya, para guru dan siswa dibebaskan untuk memilih mengenakan pakaian dan atribut yang memiliki kekhususan agama atau tidak. Nadiem mengatakan SKB 3 Menteri ini memberikan kebebasan para guru dan siswa untuk menentukan seragam yang hendak mereka kenakan, sesuai ketentuan yang berlaku. Adapun untuk siswa, orang tua diperbolehkan memberikan keputusan terhadap jenis seragam yang dikenakan anaknya.

Nadiem mengatakan SKB 3 Menteri ini hanya berlaku bagi sekolah negeri, sehingga tidak mengatur ketentuan berpakaian di sekolah swasta. “Sekolah negeri adalah sekolah yang diselenggarakan oleh pemerintah untuk semua masyarakat Indonesia, dengan agama apapun, dengan etnisitas apapun, dengan diversifitas apapun. Berarti semua yang mencakup SKB 3 menteri ini mengatur sekolah negeri,” tutur Nadiem. Pernyataan sang Menteri Pendidikan, menjadi konkretisasi norma hukum dalam Konstitusi, simbolisasi penegas dan ketegasan agar segenap jajaran dibawahnya secara serius menjiwai Konstitusi. Bila aturan teknis semacam ini baru terbit selama ini, artinya terjadi “kevakukan aturan teknis” selama hampir satu abad lamanya, dimana Konstitusi dibiarkan hanya menjadi pasal-pasal “mati” diatas kertas dan di-injak-injak oleh aparaturnya sendiri.

Adapun sebelum muncul SKB 3 Menteri, seorang sisiwi nonmuslim di SMKN 2 Padang, Sumatera Barat dipaksa mengenakan jilbab oleh pihak sekolah. Pihak sekolah menyatakan hal tersebut merupakan ketentuan sekolah yang telah ditetapkan sejak lama. Kasus itu diketahui setelah video debat antara orang tua siswi tersebut dengan pihak sekolah viral di media sosial. Tak lama setelah video tersebut viral, pihak sekolah meminta maaf—berkat kecanggihan dan kemajuan teknologi yang memungkinkan “share” pengalaman dan fakta (BUKTI) kepada publik luas, sehingga “borok busuk” para penyelenggara kita tidak dapat ditutupi lagi seperti zaman analog beberapa dekade lampau yang menyuburkan praktik “menginjak-injak dan mengencingi Konstitusi”.

Pihak sekolah yang diwakili oleh Kepala SMKN 2 Padang Rusmadi menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan dalam penerapan kebijakan seragam sekolah (kesalahan yang terjadi selama hampir satu abad lamanya?). Kemudian, siswi yang dipanggil karena tidak memakai jilbab di sekolah dapat bersekolah seperti biasa. “Ananda kita dapat sekolah seperti biasa kembali,” tuturnya. Yang artinya, tekanan psikologis serta intimidasi politis-sosiologis telah membuat sang murid terdiskriminasi dan terdiskreditkan, yang artinya pula sempat di-skors atau ada tekanan batin sehingga “mogok sekolah”, disamping potensi tekanan sinisme para guru dan pihak sekolah dalam hal “nilai hasil belajar dan kelulusan”. Siswa dan orangtuanya tersebut, patut kita berikan gelar sebagai “pahlawan revolusi pendidikan”, berkat keberaniannya menghadapi diktatoriat serta arogansi kesewenangan-wenangan pihak sekolah.

SKB Tiga Menteri melarang pemaksaan terhadap pelajar untuk mengenakan atribut keagamaan. Semua kepala daerah dalam satu bulan ke depan diwajibkan mencabut peraturan yang mereka buat tentang pemakaian seragam dan atribut khas agama tertentu di sekolah—yang artinya pula, selama hampir satu abad lamanya Konstitusi Republik Indonesia mengatur, terjadi pelanggaran secara masif dan pembiaran disamping memelihara praktik intoleransi yang inkonstitusional, yang disaat bersamaan menandakan selama hampir satu abad pula Konstitusi negara dilecehkan dan dicampakkan.

Namun, ironisnya sebagaimana dilansir BBC, ketentuan yang wajib dicabut itu tidak termasuk peraturan daerah (perda) yang disusun gubernur, bupati, atau wali kota bersama DPRD. Masyarakat diminta menggugat ke Mahkamah Agung jika merasa dirugikan oleh perda yang bernuansa intoleran. Bagaimanapun, pegiat pendidikan menilai SKB tiga menteri soal seragam ini tidak cukup untuk menghentikan praktik intoleran di sekolah. Kebijakan yang komprehensif disebut penting untuk menjamin keberagaman di institusi pendidikan.

BBC bahkan membuat tajuk yang sangat elaboratif : Enam dari sepuluh guru Muslim, “intoleran”, kemajemukan harus masuk penilaian akreditasi.     Mayoritas siswa SMA negeri “toleran tapi ada potensi radikal”. Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Bahtiar, mengklaim sudah tidak ada lagi peraturan setingkat Peraturan Daerah (Perda) yang mewajibkan pelajar memakai atribut agama tertentu. Kalaupun ada, kata Bahtiar, hanya Mahkamah Agung yang dapat membatalkan perda semacam itu. “Mahkamah Konstitusi menyatakan itu hanya bisa diuji di Mahkamah Agung, jadi kalau ada yang merasa dirugikan atau tidak setuju, silakan bawa ke sana," ujarnya. Terimakasih kepada Mahkamah Konstitusi RI, yang telah menyunat norma-norma dalam Konstitusi sebagai “norma beku” yang “mati”, dimana pemerintah pusat tidak dapat lagi secara seketika membatalkan berbagai Perda yang intoleran.

Merujuk catatan Kementerian Hukum dan HAM, ada delapan perda soal pakaian muslim / muslimah untuk masyarakat, termasuk pelajar. Lima di antaranya dibuat kabupaten / kota di Sumatra Barat, yaitu Agam, Lima Puluh Kota, Sawahlunto, Pasaman, dan Solok. Dalam hierarki peraturan perundang undangan, ketentuan soal seragam yang disasar SKB Tiga Menteri berada di bawah perda (apakah semata karena para Kepala Daerah juga dipilih langsung oleh rakyat, tidak kalah dengan Kepala Negara???). Mengacu poin keempat surat keputusan itu, yang wajib dicabut adalah yang dibuat kepala daerah dan kepala sekolah, baik yang wujudnya peraturan, keputusan, instruksi, kebijakan, maupun imbauan tertulis. Sementara tiga perda lainnya ada di Batam, Maros, dan Bulukumba.

Tahun 2016, Kementerian Dalam Negeri membatalkan 3.143 perda yang mereka anggap bermasalah. Delapan perda soal pakaian muslim/muslimah tadi tidak termasuk di antaranya. Namun, sejak Juni 2017, sejak terbitnya putusan Mahkamah Konstitusi RI, kini pemerintah pusat dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi RI sebagai tidak lagi berwenang mencabut Perda yang diproduksi oleh kepala daerah bersama DPRD. Sejak awal tahun 2000-an muncul peraturan daerah yang mengatur tentang cara berpakaian menurut ajaran agama tertentu. Berbagai Perda “intoleran” pun, tumbuh subur di berbagai wilayah tanpa dapat dikendalikan, sementara kapasitas Mahkamah Agung untuk menguji materiil dan membatalkannya, sangat terbatas—berkat “kecelakaan fatal” yang dibuat oleh Mahkamah Konstitusi RI.

Kami sedang mengkaji SKB itu. Mungkin nanti akan ada penyesuaian dengan kearifan lokal yang ada di Sumatra Barat,” kata Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat, Adib Alfikri, seolah-olah menemukan kata ajaib untuk menjadi alasan pembenar untuk menjadi semacam “escape clause”—sekalipun Konstitusi Republik Indonesia berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia, seolah bangsa Indonesia terpecah menyerupai negara-negara federalis dimana masing-masing daerah dapat membuat aturan sendiri yang bertentangan dan melanggar Konstitusi negaranya sendiri, semata dengan mengatas-namakan “kearifan lokal”. Adapun faktanya, “kearifan lokal” warisan nenek-moyang kita ialah TOLERANSI itu sendiri, sehingga agama bersangkutan dapat masuk dan tumbuh subur di Bumi Pertiwi.

Tapi apakah SKB Tiga Menteri ini cukup untuk mencegah intoleransi di sekolah? Menurut Muhammad Mukhlisin, pegiat pendidikan di Yayasan Cahaya Guru, perlu solusi yang komprehensif untuk menekan kejadian intoleran di sekolah. Salah satu strategi yang disebut Mukhlisin adalah memasukkan implementasi prinsip penyelenggaraan pendidikan yang diatur Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional sebagai salah satu faktor dalam akreditasi sekolah. Prinsip itu menyatakan bahwa pendidikan di Indonesia harus diselenggarakan secara demokratis, tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, kultural, dan kemajemukan bangsa.

Ki Hajar Dewantara pernah berakta bahwa harus ada yang berubah dalam pendidikan, tapi ada juga yang harus dipertahankan. Dan menurut saya, yang harus dipertahankan adalah nilai demokratis dan keadilan yang menjungjung tinggi kemajemukan,” ujarnya. Tidak lain tidak bukan, ialah warisan budaya TOLERANSI sebagaimana dipraktikkan oleh para nenek-moyang bangsa Melayu di Nusantara. Selain itu, Mukhlisin juga mendorong pemerintah membuat kurikulum khusus agar para calon guru dapat memahami dan mengelola keberagaman.

Toleransi tidak cukup diajarkan dengan memberi pemahaman, ajak calon guru bertemu komunitas yang berbeda agama dengan mereka. Kasus intoleransi di sekolah terjadi karena guru tidak terbiasa dengan keragaman. Guru adalah ujung tombak pendidikan. Sejauh apapun peraturan intoleran ditertibkan, belum tentu berdampak jika guru tidak menyadari makna dari peraturan itu,” kata Mukhlisin.

CATATAN PENUTUP SHIETRA & PARTNERS:

Berbagai peraturan perundang-undangan dibawah Konstitusi yang menegaskan norma hukum dalam Konstitusi, merupakan bentuk keseriusan dan konsistensi disamping komitmen nyata pemerintah pusat serta jajaran instansi dan aparatur dibawahnya untuk patuh dan tunduk menghormati sebagaimana ketentuan yang telah digariskan oleh Konstitusi (meski kemudian dilanggar sendiri oleh Mahkamah Konstitusi RI, yang mengaku lembaganya sebagai “the Guardian of Constitution”). Sempat terjadi perdebatan di parlemen, salah satu anggota parlemen menyatakan tidak membutuhkan instrumen hukum penegas hak asasi manusia semacam kebebasan beragama dan beribadah tidak terkecuali busana, karena sudah tegas pengaturannya dalam Konstitusi.

Masalahnya, sang anggota parlemen seolah hendak menutup mata terhadap realita lapangan, praktik yang ada selama ini di Republik Indonesia ialah penuh pelanggaran terhadap Konstitusi tanpa penindakan yang berarti, masifnya pembiaran dan penelantara, pengabaian, disamping pelestarian praktik ataupun benih-benih paham intoleransi—karenanya simbolisme kesetiaan setiap penyelenggara negara dan masing-masing warga masyarakat tanpa terkecuali terhadap garis-garis besar haluan ideologi dan hukum tertinggi negara sebagai tertuang dalam Konstitusi sebagai mercusuarnya, tetap diperlukan pengaturan lebih lanjut yang menambah tegas sifat ketegasan yang memang sudah diatur dalam Konstitusi.

Bila peraturan teknis telah terbit, yang mana fungsi utamanya ialah dalam rangka kembali menegaskan norma hukum dalam Konstitusi, maka setiap warganegara dapat menjadikan peraturan teknis tersebut sebagai BUKTI berupa “dasar hukum” untuk menjaga, melindungi, melakukan pembelaan diri, dan melindungi disamping memperjuangkan serta menjunjung hak-hak konstitusionalnya.

Berbagai birokrat kita di Indonesia, akan lebih patuh dan tunduk terhadap peraturan teknis yang ada, ketimbang patuh dan menghormati perintah dalam Konstitusi negaranya sendiri—disaat bersamaan menjadi cerminan betapa penghayatan warga dan Aparatur Sipil Negara kita terhadap Konstitusi, masih sangat memprihatinkan, bahkan untuk ukuran guru dan sekolah yang semestinya “intelek” dan berpendidikan ataupun “beradab”, ternyata paling perlu diberikan “didikan” serta “pelajaran”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.