Akibat Hukum Asuransi Kredit, Hak dan Kewajiban Perusahaan Penerbit Polis Asuransi Kredit, Kreditor Penerima Manfaat, dan Debitor Pembayar Polis

LEGAL OPINION

Salah Kaprah Subrogasi dalam Asuransi Kredit, Asuransi Kredit adalah Demi Kepentingan Debitor ataukah Kreditor?

Question: Saya salah satu nasabah debitor pada salah satu bank “plat merah” BUMD, saat mengajukan permohonan kredit modal kerja, ada komponen biaya premi asuransi yang harus kami bayarkan dan dipotong dari dana fasilitas kredit yang dikucurkan kreditor, dan itu tidak murah harga polisnya dan diwajibkan kreditor. Saat dikemudian hari ternyata terjadi kredit macet dari pihak saya selaku debitor, karena terjadi masalah pada usaha yang dimodali dana kredit ini, pihak kreditor tidak dapat mempertanggung-jawabkan hasil klaim asuransi kredit yang telah saya bayarkan premi asuransinya, dengan alasan dari pihak bank bahwa jika pihak asuransi yang membayarkan kredit yang macet maka perusahaan asuransi memiliki hak subrogasi untuk menagih kredit kepada pihak debitor.

Saya curiga mereka (kreditor) telah menagih klaim ke pihak asuransi, sementara itu disaat bersamaan masih juga menagih hutang kepada saya selaku debitornya. Rasanya ada yang tidak masuk diakal dan tidak beres disini, bagaimana pandangan hukum SHIETRA & PARTNERS, tentang posisi hukum saya selaku debitor, karena tampaknya pihak bank hendak memakan agunan yang saya jadikan jaminan kredit? Mengapa kesannya, pihak bank selalu mau menang sendiri? Sudah ada objek jaminan sebagai agunan, tapi masih juga harus bayar ini itu, salah satunya polis asuransi gedung dan asuransi kredit.

Akal sehat awam saya berpikir, itu perusahaan asuransi adalah anak usaha punya bank, kalau perusahaan asuransi itu masih juga menagih dari pihak debitor dengan alasan adanya subrogasi, artinya buat apa saya harus bayar mahal-mahal polis asuransi, kan itu bank maupun perusahaan asuransi, adalah satu grub usaha. Lebih baik pihak bank itu saja yang menagih kepada saya, tanpa perlu saya bayarkan polis asuransi apapun. Atau lebih baik saya pakai dan bayar polis asuransi dari perusahaan asuransi lain yang bukan anak usaha milik bank, agar klaim asuransi saya sendiri yang lakukan dan tidak aneh-aneh ada ancaman semacam subrogasi seolah-olah tidak ada artinya saya beli asuransi kredit.

Brief Answer: Asuransi, bermakna “alih resiko”. Lembaga Keuangan yang menakut-nakuti nasabah debitornya sendiri dengan argumentasi yang tidak mencerdaskan serta cenderung menyesatkan demikian, bahkan dilakoni oleh Lembaga Keuangan yang notabene milik pemerintah, sehingga seolah “negara menzolimi rakyatnya sendiri” alih-alih mengayomi, mengedukasi, serta melindungi segenap warganya. Sebagaimana katanya, “alih resiko”, bermakna resiko “kredit macet” beralih dari pihak pembeli polis (yang notabene ialah pihak debitor dari sang kreditor) kepada pihak perusahaan asuransi selaku penerbit polis asuransi kredit.

Karenanya, pihak perbankan selaku kreditor, hanya dapat menagih pelunasan piutangnya kepada pihak asuransi yang menjadi penanggung pihak debitor dari sang kreditor, bilamana dalam polis asuransi telah tercantum “banker’s clause”. Semisal penumpang maskapai pesawat terbang membeli dan membayar polis asuransi jiwa, bilamana kemudian benar-benar terjadi kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa dari pihak penumpang, maka tidak pernah ada cerita pihak asuransi memiliki “hak tagih akibat subrogasi” kepada pihak pembayar polis, sehingga logika yuridis utamanya ialah pihak asuransi menagih kepada siapakah, kepada pihak penumpang pembeli polis ataukah kepada pihak maskapai? Dalam kasus apapun, tidak pernah ada ceritanya, perusahaan penerbit polis asuransi justru menagih dengan alasan “subrogasi” kepada pihak pembeli dan pembayar polis.

PEMBAHASAN:

Perihal subrogasi “hak tagih” terkait praktik asuransi, memang benar adanya sebagaimana diatur oleh peraturan perundang-undangan, namun telah disampaikan secara sebaliknya dari yang sebenarnya oleh pihak perbankan, alias menyimpang dari fakta hukum yang sebenarnya oleh pihak Lembaga Keuangan bersangkutan. Untuk menjelaskan dan memudahkan pemahaman, SHIETRA & PARTNERS untuk itu perlu terlebih dahulu memetakan para pihak yang saling terjalin “bersegi tiga” dalam konteks “asuransi kredit”, yakni:

- Kreditor, selaku pemberi fasilitas dana kredit kepada debitornya, sebagai “penerima manfaat” dari produk asuransi (polis asuransi kredit) yang dibeli oleh pihak debitornya;

- Debitor, selaku penerima fasilitas dana kredit oleh kreditornya, sebagai “pembeli polis asuransi” dari perusahaan asuransi (penerbit polis asuransi kredit) demi kepentingan serta manfaat pelunasan piutang pihak Kreditor, debitor mana yang mengalihkan resikonya kepada pihak penerbit polis asuransi;

- Perusahaan Asuransi, selaku penerbit polis asuransi yang menjual produk asuransi kredit sebagaimana dibeli oleh pihak Debitor demi manfaat serta kepentingan pihak Kreditor dari pembeli polis, dimana pihak Perusahaan Asuransi menjadi penanggung resiko sebagaimana “alih resiko” dari pihak Debitor selaku pembeli polis, terhadap pihak penerima manfaat demi kepentingan tertanggung.

Sehingga, berbekal pemahaman konstruksi status hukum para pihak di atas, maka kemungkinan yang terjadi ialah dua kejadian hukum sebagai berikut, yang perlu dicermati konteks spesifiknya untuk memahami bahwa tidak semua konteks asuransi melahirkan hak subrogasi bagi pihak Perusahaan Asuransi selaku penerbit polis:

- Debitor membeli dan membayar polis asuransi kredit yang diterbitkan oleh pihak Perusahaan Asuransi demi kepentingan Kreditornya selaku penerima manfaat, sebagaimana konstruksi di atas, tidak melahirkan hak subrogasi bagi pihak Perusahaan Asuransi untuk menagih nilai pertanggungan yang dibayarkan bagi pihak penerima manfaat (Kreditor), kepada pihak Debitor yang berkedudukan sebagai pembeli dan pembayar polis asuransi kredit.

- Namun, ketika yang membeli dan membayar polis asuransi kredit ialah pihak Kreditor, alih-alih pihak Debitor, maka pihak Perusahaan Asuransi selaku penerbit polis asuransi kredit memiliki hak subrogasi, yakni beralihnya hak tagih berupa piutang dari pihak Kreditor kepada pihak Perusahaan Asuransi, sehingga perusahaan asuransi memiliki hak untuk menagih dana pertanggungan yang telah dibayarkannya demi kepentingan pihak penerima manfaat tersebut, kepada pihak Debitor. Hanya dalam konteks inilah, subrogasi akibat asuransi terjadi, yakni dimana pembeli dan pembayar polis ialah pihak yang sama dengan pihak penerima manfaat dan sekaligus pihak yang sama dengan pihak tertanggung.

Argumentasi demikian sejalan dengan realita serupa lewat analoginya berupa asuransi jiwa. Sebagai contoh, seseorang warga membeli (dan membayarnya, tentunya) polis asuransi jiwa, dimana penerima manfaat atau tertanggungnya ialah pihak pembeli polis asuransi jiwa itu sendiri. Beberapa waktu kemudian, terjadi tindak kejahatan berupa penganiayaan yang mengakibatkan kematian atau terjadi kecelakaan lalu-lintas dimana sang pembeli polis asuransi jiwa jatuh sebagai korban jiwa. Maka, pihak Perusahaan Asuransi selaku penerbit polis, menjadi penanggung yang memberikan dana pertanggungan demi kepentingan penerima manfaat, yakni para ahli waris dari pihak tertanggung, dalam hal ini ahli waris sang pembeli polis itu sendiri. Sehingga, lahirlah hak subrogasi bagi pihak Perusahaan Asuransi untuk menggugat ganti-kerugian terhadap pihak pelaku yang telah mengakibatkan kematian terhadap pihak pembeli polis asuransi jiwa—dalam contoh sebelumnya perihal asuransi penumpang pesawat, perusahaan asuransi memiliki hak tagih berdasarkan subrogasi kepada pihak maskapai yang menyebabkan tragedi kecelakaan pesawat disertai korban jiwa, sekalipun tidak dimaknai sang ahli waris dari penumpang yang tewas menjadi lepas haknya untuk menuntut ganti-kerugian melebihi nilai pertanggungan yang diterimanya dari pihak asuransi, karena faktanya belum adanya tanggung-jawab ataupun ganti-kerugian sebagai kompensasi dari pihak maskapai dimana pembeli dan pembayar polis ialah pihak penumpang (berdasarkan asas “stict liability”).

Sama halnya, ketika pelaku usaha ekspedisi muatan kapal mengasuransikan muatan kapal laut tersebut kepada pihak perusahaan asuransi, namun kemudian terjadi hal tidak terduga yang mengakibatkan kerusakan pada muatan kapal, maka pihak pembeli polis selaku tertanggung mendapatkan manfaat pertanggungan dari asuransi yang diselenggarakan oleh pihak Perusahaan Asuransi, dimana pada detik itu pulalah telah terjadi subrogasi hak gugat dan hak tagih tanggung-jawab atas ganti-kerugian muatan kapal kepada pihak pengelola kapal laut.

Dalam peristiwa yang pertama, dimana pihak Debitor selaku pembeli polis asuransi kredit mengalami “kredit macet”, maka berdasarkan “banker’s clause” yang disertakan dalam perjanjian polis asuransi, sebagaimana dimintakan dan biasanya dijadikan syarat oleh pihak Kreditor sebelum menyalurkan kredit kepada debitornya, dari yang sebenarnya ialah pihak Debitor yang berposisi hukum sebagai “penerima manfaat”, maka pihak perbankan yang menjadi berwenang untuk mengambil dan menerima manfaat sebagai pengganti kedudukan “penerima manfaat” atas nilai pertanggungan, sekalipun polis asuransi tersebut dibeli dan dibayarkan oleh pihak Debitor.

Akan tetapi, bila konteksnya secara lebih kontras dan bertolak-belakang ialah, bukanlah sang Debitor yang sebelumnya telah membeli dan membayar polis asuransi kredit yang diterbitkan Perusahaan Asuransi, namun yang membeli dan membayarkan polis asuransi kredit tersebut ialah pihak Kreditor, maka ketika sang debitor kemudian “kredit macet” dan gagal bayar, maka seluruh nilai pertanggungan akan diberikan oleh pihak Perusahaan Asuransi selaku Penanggung kepada pihak Debitor selaku tentanggung, dalam hal ini ialah pihak Debitor, hanya saja berkat keberlakuan “banker’s clause”, maka seketika itu juga pihak Kreditor yang berhak menagih dan mengambil dana pertanggungan dari Perusahaan Asuransi selaku Penanggung, sementara itu disaat bersamaan melahirkan peralihan hak tagih akibat subrogasi dari pihak Kreditor kepada pihak Perusahaan Asuransi.

Tanpa disertakannya klausa “banker’s clause” dalam suatu polis asuransi (biasanya itu menjadi syarat yang diminta pihak Kreditor agar sang Debitor dikabulkan permohonan fasilitas kreditnya), maka pihak Perusahaan Asuransi hanya akan membayarkan nilai pertanggungan kepada pihak Debitor selaku penerima manfaat sekaligus tertanggung, bukan kepada pihak lain. Akan tetapi, mengingat dalam polis asuransi disertakan “banker’s clause”, mengakibatkan penerima manfaat beralih menjadi pihak Kreditor, sekalipun tetap saja tertanggungnya ialah pihak Debitor.

Sama halnya ketika suatu objek agunan dijadikan pula sebagai objek asuransi (biasanya menjadi syarat fasilitas kredit pula, terutama bila objek agunan berupa bangunan gedung ataupun pabrik) semisal asuransi “all risk” akibat bencana alam ataupun kebakaran, gempa bumi, longsor, banjir, huru-hara, dsb, maka bila polis asuransi dibeli dan dibayarkan oleh pihak Debitor, maka yang menjadi tertanggung serta penerima manfaatnya ialah pihak Debitor, dimana pengecualian berlaku dalam kasus fasilitas kredit dimana dipersyaratkan “banker’s clause” serupa, sehingga penerima manfaat nilai pertanggungan beralih menjadi untuk dan demi kepentingan pihak Kreditor.

Meski demikian, dalam contoh-contoh di atas, pihak perusahaan asuransi selaku penerbit polis asuransi, tidak pada proporsinya untuk mengklaim memiliki hak subrogasi untuk menagih kepada pihak Debitor, mengingat sang Debitor notabene dalam hal ini ialah pembeli dan pembayar polis asuransi, terkecuali yang membeli dan membayar polis asuransi ialah pihak Kreditor yang karenanya pula tidak diperlukan pencantuman semacam “banker’s clause” apapun dalam polis asuransi—tiada kalangan Kreditor yang hendak merugi menanggung biaya polis asuransi, sekalipun pada praktik di lapangan terjadi praktik monopoli usaha berupa “bundling”, dimana perusahaan penerbit polis asuransi ialah anak usaha atau setidaknya “sister company” terhadap perusahaan milik Kreditor, tidak diperkenankan menggunakan perusahaan asuransi lain oleh pihak Kreditor—suatu praktik tidak sehat dan monopoli usaha yang seolah dilegalkan negara dan bahkan dipraktikkan oleh berbagai perbankan milik pemerintah secara masif, dimana perlindungan terhadap kalangan Debitor berupa transparansi dan akuntabilitas sangat minim atau bahkan sama sekali tidak mendapat sentuhan perhatian oleh regulator.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.