Ambiguitas Asuransi, demi Kepentingan Siapakah?

ARTIKEL HUKUM

Asuransi artinya ALIH RESIKO, namun Siapakah yang Mengalihkan Resiko, Pembeli dan Pembayar Polis Asuransi ataukah menjadi Alibi bagi Penyedia Barang / Jasa untuk Lepas dari Tanggung Jawab?

Resiko Konsumen, Hanyalah Sebatas Membayar Harga Barang / Jasa. Menjadi Aneh, bila Alih Resiko Dibebankan kepada Pihak Konsumen, Seolah-olah Pelaku Usaha Tidak Memiliki Resiko Usaha

Pastilah diantara kita pernah memiliki pengalaman, sebagai seorang konsumen yang memesan barang atau produk pada suatu marketplace, dan ditawarkan opsi tambahan berupa “asuransi produk yang dipesan” dengan disertai tambahan biaya polis asuransi yang harus dibayarkan oleh pihak pembeli. Namun, tidak banyak diantara kita yang memahmi, bahwa praktik demikian ialah salah-kaprah sekaligus “menyesatkan”. Betapa tidak, penjual barang memiliki tanggung-jawab hukum untuk menyerahkan barang pesanan kepada pihak pembeli serta menjamin bebas dari “cacat tersembunyi”. Penyedia jasa penitipan, memiliki kewajiban untuk menjaga keutuhan serta keselamatan barang yang dititipkan. Sementara itu penyedia jasa angkutan, memiliki kewajiban hukum untuk mengirim dan mengantarkan barang kiriman ataupun penumpang hingga sampai tujuan dengan selamat dan tanpa cedera. Lantas, mengapa juga pembeli atau konsumen, yang harus membeli dan membayar asuransi? Itulah keganjilan yang seolah terus dipelihara lewat pengabaian regulator dibidang hukum asuransi di Indonesia, dari segi praktik maupun aturan main hukum asuransi.

“Resiko usaha”, ditanggung oleh pihak penyedia barang dan jasa, dan menjadi ganjil secara hukum maupun secara moril bila “resiko usaha” pelaku usaha justru dilimpahkan atau dibebankan dan dilimpahkan menjadi beban yang harus dipikul oleh pihak pembeli yang jelas-jelas “konsumen memiliki hak atas barang pembelian maupun layanan jasa yang utuh, aman, dan tanpa ‘cacat tersembunyi’ apapun” yang mana notabene menjadi kewajiban bagi pihak pelaku usaha untuk memastikannya dan menjamin hal tersebut. Kewajiban konsumen ialah sebatas membayar lunas harga barang / jasa, karenanya memiliki hak atas jasa maupun produk yang aman, utuh, serta bebas dari “cacat tersembunyi”. Disaat bersamaan, hak penyedia barang dan jasa ialah menerima tarif atau harga, yang karenanya memiliki kewajiban untuk menyerahkan barang dan jasa secara aman, utuh, dan tanpa “cacat tersembunyi”.

Karenanya, resiko bagi pihak konsumen, ialah sebatas melakukan pembayaran secara lunas, dimana bila hanya sebatas uang panjar tanpa melunasi harga jual-beli sesuai kesepakatan yang ada, akibatnya resiko yang timbul ialah hilangnya hak konsumen atas uang panjar. Sementara itu, mengirimkan dan menyerahkan barang dan jasa secara utuh, aman, serta bebas dari segala “cacat tersembunyi”, merupakan resiko usaha pihak pelaku usaha semata—yang artinya menjadi tidak pada proporsinya serta tidak pada tempatnya bila resiko usaha justru dilimpahkan menjadi beban pihak konsumen. Bila konsumen tidak membeli dan membayar fitur atau opsi tambahan seperti asuransi produk barang dan jasa, apakah artinya pihak pelaku usaha dapat menjadikan itu sebagai alasan pembenar untuk melepaskan tanggung-jawab hukumnya berupa kewajiban penyedia barang dan jasa kepada pengguna barang dan jasa?

Falsafahnya ialah sesederhana anekdot berikut : Jika saja sedari awal pihak pengguna barang / jasa akan tahu akan seperti demikian jadinya, yakni penyedia barang / jasa yang tidak bertanggung-jawab, maka apakah sang konsumen akan membeli ataupun membayar barang / jasa yang disediakan oleh sang penyedia barang / jasa? Praktik variasinya, seperti “COD” (cost on delivery), sejatinya bukanlah skema alternatif yang ideal, karena konsumen / pemesan dilarang memeriksa kondisi produk yang dipesan dan dikirimkan, saat tiba pada alamat pemesan, dimana pihak kurir mewajibkan pemesan untuk membayar terlebih dahulu sebelum produk pesanan diserahkan kepada pihak pemesan—yang artinya, sama saja “beli kucing dalam karung”.

Bila memang tidak ada tanggung-jawab ataupun konsekuensi hukum berupa kewajiban yang menjadi pihak penyedia barang / jasa terhadap konsumennya, maka itu sama artinya dapat dibenarkan praktik-praktik semacam wanprestasi, ingkar janji, menyerahkan dengan spesifikasi yang tidak sesuai, menyerahkan secara tidak semestinya, menyerahkan secara menyimpang dari janji, atau bahkan menyerahkan produk yang cacat, hingga bahkan tidak menyerahkan sama sekali? Sebagaimana namanya, tidak melaksanakan “prestasi” (untuk menyerahkan sesuatu, untuk melakukan sesuatu, ataupun untuk tidak melakukan sesuatu) alias telah “wanperstasi”, memiliki konsekuensi yuridis yang dapat dituntut oleh pihak pengguna baran / jasa.

Wanprestasi dari sisi konsumen, hanya dapat terjadi bilamana konsumen tidak membayar lunas, sehingga itulah semata resiko yang dipikul oleh pihak konsumen. Wanprestasi dari sisi penyedia barang dan jasa, ialah ketika sang pelaku usaha tidak memastikan barang / jasa yang disediakan olehnya adalah aman, utuh, serta bebas dari segala “cacat tersembunyi” disamping melaksanakan perikatan sebagaimana disepakati dan diperjanjikan secara penuh “itikad baik”, sehingga itulah yang menjadi resiko usaha pada pundak pihak pelaku usaha.

Menjadi lucu, ketika “alih resiko” (asuransi) justru ditawarkan untuk dibeli dan dibayar oleh pihak konsumen, mengingat resiko yang dipikul oleh pihak konsumen ialah ketika sang konsumen gagal untuk membayar lunas, bukan resiko perihal produk / jasa tidak sampai di tangan konsumen dengan kondisi baik dan utuh bebas dari “cacat tersembunyi”. Sehingga mulai pula kita pahami, bahwasannya yang sejatinya paling berkepentingan untuk membeli dan membayar asuransi (“alih resiko atas resiko usaha”), ialah pihak pelaku usaha selaku penyedia barang dan jasa atas kewajibannya menyerahkan barang / jasa secara baik, utuh, dan bebas dari segala “cacat tersembunyi”.

Pernah terjadi, penulis membeli buku asli (bukan “bajakan”) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata karya terjemahan Subekti pada Toko Buku Gunung Agung yang berlokasi di dalam Universitas Trisakti Jakarta, dengan harga yang sangat mahal karena bukan produk obral, yakni produk baru yang masih bersegelkan plastik pembungkus, telah ternyata saat sesampainya di kediaman penulis, beruntunglah penulis menyempatkan waktu memeriksa kelengkapan setiap halaman buku yang penulis beli tersebut, terdapat lebih dari sepuluh halaman yang tidak ada pada tempatnya, sehingga keesokan harinya penulis kembali ke toko buku dimaksud dengan tujuan untuk menggantinya dengan buku yang baik (utuh, aman, dan bebas dari “cacat tersembunyi”) sebagaimana hak dari konsumen yang telah melaksanakan kewajibannya berupa pembayaran utuh harga jual-beli.

Namun, pihak petugas dari Toko Buku Gunung Agung di Universitas Trisakti selaku penjual, justru berusaha berkelit dan berkilah dari kewajiban berupa tanggung-jawab pihak penjual, yang pada pokoknya berupaya melakukan intimidasi mental untuk melepaskan diri dari tanggung-jawab atas produk yang dijual pada toko buku yang dikelola olehnya, yang tidak lain tidak bukan ialah melimpahkan beban “resiko usaha” secara tidak etis serta secara tidak pada tempatnya justru ke pundak pihak konsumen. Sang penjual, hanya mau untung, sementara konsumen yang dilimpahkan potensi resiko “buntung”. Sejak saat itulah, penulis tidak pernah lagi menyentuh toko buku bersangkutan, blacklist.

Sebuah testimoni, tidak dapat dikriminalisasi. Menjadi juga pelajaran bagi kita, bahwasannya tidak semua pelaku usaha mau mengakui kewajiban hukumnya terlebih resiko usahanya, karenanya demi mengantisipasi “akrobatik logika moril” demikian, sebelum membeli kita selaku calon konsumen perlu bersikap cerdas dengan memastikan, lewat cara bertanya secara langsung, apa tanggung-jawab pihak penjual bila barang yang dibeli dan dibayar oleh konsumen ternyata mengandung “cacat tersembunyi”? Bila dijawab, silahkan ganti dengan buku lainnya, maka demi menghindari modus “buku pengganti tidak tersedia”, maka tanyakan pula, “JIka ternyata tidak ada buku pengganti, atau semua bukunya ternyata mengandung cacat, apakah konsumen diberikan uang kembali, refund?”—pertanyaan mana sejatinya tidak perlu disampaikan, karena secara hukum sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tersebut yang penulis beli, namun tetap saja adalah menyusahkan batin menghadapi pelaku usaha yang tidak bertanggung-jawab (sikap mau menang dan mau untung sendiri), karenanya mengikat komitmen sejak semula sebagai antisipasinya menjadi penting sebagai “gentlement agreement”, agar yang bersangkutan tidak hanya dapat disebut wanprestasi secara hukum bila berkelit ketika dimintakan pertanggung-jawaban, namun juga dapat kita sebut sebagai seorang “pembohong” bila melanggar kesepakatan lisan yang menjadi penegasnya.

Bilamana yang bersangkutan menolak menggantinya, tanpa adanya ikatan komitmen lisan seperti demikian sekalipun, penulis akan bersikukuh meminta uang kembali, karena : Bila dari sejak awal tahu buku yang dijual olehnya ada “cacat tersembunyi”, maka tidak akan penulis membelinya, karenanya sang penjual tidak punya hak menerima harga jual-beli dan pembeli tidak punya kewajiban membayar produk yang cacat. Konsumen hanya membayar penuh tanpa cacat untuk produk yang utuh tanpa cacat, bukan harga penuh untuk produk yang tidak utuh. Ada hak, maka ada kewajiban secara bertimbal-balik (kontraprestasi asas resiprositas). Sebaliknya, ada kewajiban maka ada hak secara bertimbal-balik pula (kontraprestasi asas resiprokal).

Lebih lanjut lagi, kalangan penjual yang nakal, akan memakai modus “putar-balik akrobatik logika moral”, yakni menyalahkan pihak konsumen karena tidak membeli “asuransi” atas produk yang dijual olehnya bila ternyata produknya tidak aman, tidak utuh, atau bila terdapat “cacat tersembunyi”. Itulah yang penulis sebut sebagai, modus berupa alibi sempurna sebagai “alasan pembenar” untuk memutar-balikkan antara hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli.

Kalangan penjual atau penyedia barang maupun jasa yang tidak etis, salah satunya dicirikan dari sikap-sikap yang menafikan tanggung-jawab (kewajiban) dirinya, namun disaat bersamaan hanya pandai menuntut hak, dan secara curang menuntut kewajiban pihak konsumen—“jebakan” yang kerap diterapkan pelaku usaha “nakal”, ialah ketika kerapkali kalangan konsumen telah melaksanakan kewajibannya berupa pembayaran, sementara haknya belum terpenuhi atau terkandung “cacat tersembunyi”, maka pihak penjual atau penyedia jasa akan mempersulit pihak konsumen semata karena tidak mudah lagi untuk menuntut uang jual-beli agar dikembalikan dan dibatalkan saja transaksi yang mengandung muatan “cacat” demikian.

Untuk lebih memahami perihal “resiko” dan “alih resiko”, agar tidak “disesatkan” oleh modus-modus pengelabuan logika kalangan pelaku usaha, kata kuncinya ialah memahami dan memetakan hak serta kewajiban masing-masing pihak antara pengguna dan penyedia jasa, masing-masing secara bertimbal-balik resiprositas. Sebagaimana contoh-contoh kasus di atas, resiko yang dipikul kalangan pembeli / konsumen, ialah hanya berupa kewajiban untuk membayar. Karena itulah, praktik “alih resiko” bernama asuransi bagi kalangan konsumen, hanya relevan dalam konteks “asuransi kredit” dimana nasabah debitor berpotensi / beresiko mengalami “kredit macet”, karenanya wajar bila memilih opsi membeli dan membayar “polis asuransi kredit”—asalkan sanggup membayar premi polisnya.

“Resiko” serta “alih resiko” apakah yang relevan dalam konteks pelaku usaha? Tidak lain tidak bukan ialah kewajiban dari pihak pelaku usaha selaku penyedia jasa dan barang, alias apa yang menjadi hak dari pihak konsumen selaku pengguna barang dan jasa. Sebagai contoh, bukanlah klien dari suatu kantor hukum (penyedia jasa hukum) yang wajar ataupun patut membeli dan membayar produk asuransi, namun adalah kewajaran dan kepentingan pihak penyedia jasa hukum untuk meng-asuransi-kan jasa yang disediakan olehnya, alias “alih resiko” usaha dibidang jasa hukum pelaku usaha kantor hukum bilamana berpotensi digugat ganti-kerugian oleh pihak kliennya selaku pengguna jasa. Analogi serupa, dapat diterapkan kepada semua kasus bidang usaha baik penyedia barang maupun jasa, terkait “alih resiko” berupa “resiko usaha”.

Rupa-rupanya banyak sekali “PR” (pekerjaan rumah) terkait praktik hukum asuransi di Indonesia, yang jarang mendapat sentuhan pembenahan dari segi hukum sekalipun telah berjalan sejak zaman Hindia Belanda, kemelut mana seolah “tabu” untuk disentuh dan diulas, sekalipun menyinggung relevansi dalam kehidupan masyarakat sehari-harinya, dan cenderung sangat memojokkan pihak konsumen tanpa mereka sadari telah dieksploitasi kalangan pelaku usaha yang hendak memainkan modus “mengalihkan resiko namun kesemuanya menjadi beban yang ditanggung pihak konsumen”. Sebagai contoh, penumpang yang membayar harga tiket maspakai penerbangan pesawat udara, tanpa dapat memilih perusahaan asuransi jiwa yang disertakan dalam komponen biaya atau tarif angkutan udara ini, maka sifatnya ialah “bundling” antara biaya pengangkutan dan biaya produs asuransi.

Artinya, mau tidak mau dan suka tidak suka, para penumpang maskapai penerbangan menjadi pembeli dan pembayar produk asuransi sebagai pemegang polis asuransi jiwa dalam “bundling” harga tiket yang dijual pihak maskapai. Timbul pertanyaan dalam praktik, beruntung bila polis asuransi menjamin dan memberikan pertanggungan dengan nilai yang memadai bilamana terjadi kecelakaan pesawat yang menimbulkan korban jiwa dari sisi penumpang. Bagaimana jika skenarionya kita temukan kasus dengan ragam yang sedikit berbeda, yakni bilamana maskapai menggunakan produk asuransi yang hanya kecil dan minimal nilai pertanggungannya, sehingga menjadi kerugian bagi pihak ahli waris dari penumpang yang meninggal dunia dalam kecelakaan pesawat?

Khusus untuk konteks kecelakaan pesawat yang berakibat timbulnya kerugian bagi pihak penumpang selaku korban, maka berlaku prinsip “strict liability” alias “tanggung jawab mutlak” pihak maskapai—dengan kata lain tidak perlu dibuktikan ada atau tidaknya unsur kesalahan pihak penyelenggara transportasi udara, seketika itu juga dinyatakan oleh hukum terjadi “event of default” dari pihak maskapai, yang karenanya menjadi tanggung-jawab pihak maskapai untuk bertanggung-jawab terhadap korban yang terluka maupun ahli warisnya bila timbul korban jiwasekaligus menjadi “resiko usaha” pihak penyedia jasa.

Apabila penumpang telah diasuransikan, sebagaimana menjadi komponen biaya dalam tiket, apakah artinya pihak maskapai penerbangan dibenarkan untuk lepas tangan dan lepas tanggung-jawab, dengan alasan resiko telah dialihkan kepada pihak perusahaan asuransi? Itulah yang penulis sebut sebagai “moral hazard” dibalik praktik asuransi. Betul bahwa asuransi, secara hukum dimaknai sebagai “alih resiko”.

Namun pertanyaan utamanya ialah, siapakah yang membayar polis asuransi tersebut? Jika yang membayar harga atau biaya polis asuransi, ialah para penumpang selaku konsumen dari jasa pengangkutan udara yang ditawarkan pihak maskapai, maka itu artinya sama sekali belum ada bentuk pertanggung-jawaban dari pihak maskapai, karena yang membayarkan kompensasi kerugian jiwa ialah oleh pihak perusahaan asuransi yang dibayar oleh pihak “penerima manfaat” itu sendiri, yakni konsumen.

Bila begitu adanya, dimana praktik asuransi justru menjadi ajang bagi para penyedia barang ataupun jasa untuk berkelit dan lepas tanggung-jawab, dimana bahkan pembayar tarif polis asuransi ialah sang konsumen pengguna barang dan/atau jasa, maka sama artinya lebih baik tidak perlu adanya asuransi sama sekali yang dibeli dan dibayarkan oleh pihak konsumen, semata agar konsumen yang dirugikan dapat sewaktu-waktu menuntut kerugian dan tanggung-jawab langsung kepada pihak penyedia barang dan/atau jasa, dimana pihak yang wajib bertanggung-jawab tersebut tidak dapat lagi berkelit bahwa seolah-olah tanggung-jawabnya telah beralih kepada pihak perusahaan asuransi selaku penerbit polis dan silahkan pihak konsumen menuntut ganti-kerugian kepada pihak asuransi tersebut.

Polemik lanjutannya, bila ternyata nilai pertanggungan yang diberikan oleh perusahaan asuransi sebagai kompensasi terhadap korban, ialah sangat minimal atau rendah, dimana pihak penumpang selaku korban tidak dapat memilih produk asuransi lain, maka apakah artinya itu bukan menjadi instrumen sempurna bagi pihak penyedia jasa pengangkutan udara untuk berkelit dari tanggung-jawab hukum untuk bertanggung-jawab dan memberikan kompensasi seperti sebentuk nominal ganti-kerugian bagi korban maupun ahli warisnya? Mengapa juga pihak penyedia jasa yang justru seolah-olah brehak menentukan batasan limit nilai tanggung-jawab hukumnya sendiri?

Sekali lagi, pembayar dan pembeli polis asuransi, ialah pihak penumpang selaku pengguna jasa. Artinya, yang mengalihkan resiko ialah pihak penumpang, bukan resiko pihak penyedia jasa yang dialihkan kepada pihak perusahaan asuransi—dimana antara “penerima manfaat” dan “tertanggung” ialah pihak yang sama, yakni pihak penumpang selaku pengguna jasa. Konteksnya akan berbeda, bilamana yang membeli dan membayarkan polis asuransi ialah pihak maskapai penerbangan selaku penyedia jasa angkutan udara, maka yang menjadi pihak “tertanggung” ialah pihak maskapai dan “penerima manfaatnya” ialah pihak penumpang, sehingga resiko usaha pihak maskapai dialihkan dan beralih menjadi resiko pihak perusahaan asuransi penerbit polis asuransi untuk menanggungnya.

Sebagai contoh lainnya, jasa kurir pengiriman barang via perusahaan ekspedisi ataupun kargo, domestik maupun mancanegara, terutama pengiriman lintas negara baik secara laut maupun udara, seringkali terdapat opsional berupa asuransi, yang mana anehnya, dibebankan kepada pihak pengirim paket barang. Bila paket barang tidak diasuransikan kepada perusahaan asuransi, apakah itu artinya bila terjadi kerusakan terhadap barang saat proses pengiriman, maka pihak pengguna jasa pengiriman tidak dapat menuntut ganti-kerugian kepada pihak penyadia jasa? Bukankah secara hukum, terdapat kewajiban bagi pihak penyedia jasa untuk mempertanggung-jawabkan kepercayaan yang diberikan oleh pihak pengguna jasa?

Apapun isu hukumnya, kita perlu kembali kepada fakta hukum sebagai pedoman utamanya. Fakta hukumnya ialah, diasuransi ataupun tidaknya suatu layanan jasa maupun produk barang yang ditransaksikan, penyedia barang dan jasa memiliki hak dan kewajiban, begitupula pihak pengguna jasa, memilih hak dan kewajiban. Pengangkutan orang maupun barang, dapat dipersamakan atau dianalogikan sebagai jasa penitipan dan pengangkutan. Karenanya, penyedia jasa seperti kargo, kurir, maupun maskapai, maupun segala moda transportasi lainnya seperti bus maupun kapal laut dan kereta api, bertanggung-jawab atas keselamatan penumpang dan keutuhan barang yang diangkut olehnya.

Karenanya, secara hukum, sekalipun tanpa asuransi, penyedia barang dan jasa tetap memiliki tanggung-jawab terhadap konsumen, sebagaimana Undang-Undang Perlindungan Konsumen telah menegaskan dan mengaturnya, terutama hak bagi konsumen untuk mendapatkan konpensasi ganti-kerugian yang diakibatkan oleh penyedia barang dan/atau jasa. Barulah menjadi ambigu, ketika pihak pelaku usaha menyertakan opsional produk asuransi, terlebih di-“bundling” sehingga mau tidak mau pihak konsumen harus memabayar komponen biaya polis asuransi, apakah artinya itu menjadi alibi dan instrumen sempurna untuk menyimpangi dan berkelit dari tanggung jawab hukum terhadap konsumennya bila dikemudian hari terjadi kecelakaan ataupun kerugian hingga korban jiwa dari pihak konsumen?

Lebih kompleks, ketika sang penumpang telah memiliki polis asuransi jiwa pribadi diluar produk asuransi yang disertakan dalam tiket yang dibeli oleh sang penumpang maskapai udara, maka apakah pihak maskapai dapat berkelit dari tanggung-jawab serta menjadi alibi sempurna “alasan pemaaf”, bahwasannya penumpang yang mengalami kecelakaan dan menjadi korban jiwa, tidak lagi memiliki kerugian apapun oleh sebab telah dipulihkan kerugiannya oleh nilai pertanggungan yang diperoleh ahli waris penumpang saat melakukan klaim asuransi?

Apakah juga komponen biaya asuransi dalam tiket pesawat tersebut, juga turut menjadi sia-sia dan mubazir, dimana pihak asuransi rekanan pihak maskapai akan berkelit dengan cara serupa, yakni pihak penumpang telah diasuransikan pada asuransi lainnya secara pribadi dan swadaya sebelum menjadi penumpang dan telah dilakukan proses klaim pertanggungan saat terjadi bencana. Mengapa, seolah-olah telah di-asuransi-jiwa-kan secara mandiri dan swadaya pihak penumpang, justru seolah-olah menjadi “alasan pemaaf” bagi pihak-pihak lainnya untuk lepas tanggung-jawab secara perdata? Pihak maskapai selaku penyedia jasa maupun pihak asuransi sebagaimana premi dalam tiket maskapai, akan berkilah dengan mengatas-namakan bahwa pertanggungan tidak dapat diklaim secara berganda.

Semua kemelut dan ambiguitas di atas, dapat terjadi akibat selama ini praktik hukum asuransi di Indonesia memungkinkan antara “penerima manfaat” adalah pihak yang berbeda atau berlainan dengan pihak “tertanggung”. Secara pribadi, penulis menilai adanya kemendesakan untuk melakukan perombakan total dan radikal dalam mereformasi aturan main hukum perihal praktik per-asuransi-an di Indonesia, dimana pihak “penerima manfaat” haruslah pihak yang sama dengan pihak “tertanggung”—yang konsekuensinya ialah tidak dibenarkan lagi praktik semacam “banker’s clause” dalam konteks “asuransi kredit” ataupun “asuransi (terhadap) objek agunan”, yang dapat disikapi dengan dibuatnya Surat Kuasa Mutlak dari Debitor kepada pihak Kreditor-nya untuk melakukan klaim asuransi dan menerima pencairan dana pertanggungan dari pihak asuransi.

Ketika aturan main praktik asuransi diwajibkan oleh hukum untuk menjadikan pihak “penerima manfaat” adalah pihak yang sama dengan pihak “tertanggung”, maka kita tidak akan lagi menemukan blunder-blunder pertanyaan penuh ambiguitas seperti praktik perasuransian selama ini di Indonesia, sebagaimana telah kita bahas secara lugas di atas sebagian diantaranya. Perhatikan skenario-skenario alternatif di bawah ini, ketika hukum asuransi mewajibkan antara pihak “penerima manfaat” adalah pihak yang sama dengan pihak “tertanggung”.

Pihak maskapai penerbangan yang ketika hendak mengalihkan resiko usahanya (mengantarkan penumpang sampai tujuan dengan aman, utuh, dan selamat, bukanlah resiko pihak penumpang selaku pengguna jasa, itu hak konsumen, yang menjadi kewajiban pihak penyedia jasa), membeli dan membayar polis asuransi dengan nilai pertanggungan yang mana yang menjadi pihak “tertanggung” serta pihak “penerima manfaat” ialah pihak yang sama, yakni pihak maspakai. Ketika resiko benar-benar terjadi, terjadi kecelakaan yang menimbulkan korban jiwa pada pihak penumpang, maka perusahaan asuransi membayarkan sejumlah nilai pertanggungan kepada pihak maskapai yang menjadi “penerima manfaat”. Setelah itu, pihak maspakai membayarkannya kepada pihak ahli waris dari penumpang yang menjadi korban tewas. Kita tidak akan menemukan “benang kusut” dalam tata cara yang lebih sederhana dan “bersisi satu” demikian hubungan hukumnya.

Bilamana nilai kompensasi yang diberikan pihak maskapai kepada ahli waris penumpangnya, dinilai sangat rendah oleh para ahli waris dari penumpang yang menjadi korban tewas, maka para ahli waris berhak menolaknya dan mengajukan gugatan ganti-kerugian kepada pengadilan berdasarkan asas “strict liability”, sebagaimana menjadi hak dari penumpang dan ahli warisnya, dimana juga hak tersebut menjadi kewajiban pihak penyedia jasa penerbangan udara maupun penyedia jasa lainnya dalam konteks serupa.

Karenanya serta idealnya, ketika antara pihak “tertanggung” dan pihak “penerima manfaat” adalah pihak yang sama, maka tidaklah penting dan bukanlah urusan pihak konsumen selaku pengguna barang dan jasa untuk memusingkan apakah nilai pertanggungan yang diberikan pihak asuransi adalah sedikit atau banyaknya kepada pihak penyedia jasa, bahkan ketika pihak penyedia barang dan jasa sama sekali tidak membeli ataupun membayar produk asuransi—dimana “resiko usaha” tetap menjadi beban yang dipikul pihak penyedia barang dan jasa, terlepas apakah yang bersangkutan hendak mengalihkan “resiko usaha”-nya ataukah tidak kepada pihak asuransi, dimana bila nilai pertanggungan sangat minim maka dapat kita maknai sebagai hanya sekedar mengalihkan sebagian kecil dari “resiko usaha” pihak penyedia barang dan jasa.

Bandingkan dengan praktik selama ini, kembali pada contoh kasus maskapai penerbangan udara, dimana pihak “tertanggung” ialah pihak maskapai sementara itu yang menjadi pihak “penerima manfaat” ialah pihak penumpang selaku pengguna jasa, alhasil pihak maspakai akan semudah lepas tanggung-jawab dan mengalihkan para ahli waris dari penumpang agar mengajukan tuntutan kepada pihak asuransi agar dibayarkan kompensasinya. Yang terlebih ganjil ialah, bagaimana mungkin pihak penyedia jasa yang menentukan secara sepihak harga nyawa dari penumpangnya yakni sebatas nilai pertanggungan yang ditanggung pihak asuransi? Mengapa juga pengguna jasa selaku konsumen tidak dapat menentukan pihak asuransinya sendiri? Jika ternyata pihak asuransi memberikan kompensasi, namun minimal karena nilai pertanggungan asuransinya hanyalah rendah nilainya sebagaimana yang menjadi pilihan pihak maspakai, maka apakah itu menjadi alibi sempurna “alasan pemaaf” bagi pihak maskapai untuk lepas tanggung-jawab dengan menyatakan bahwa “kompensasinya” telah dibayarkan oleh pihak asuransi? Cara yang sangat “murah” dan “murahan” untuk berkelit dari tanggung-jawab.

Ketika antara pihak “tertanggung” dan pihak “penerima manfaat” adalah pihak yang sama, maka sekalipun pihak penumpang maskapai udara telah memiliki asuransi jiwa pribadi miliknya, tetap saja pihak maskapai dapat dituntut pertanggung-jawaban sebagaimana “hak konsumen yang  / adalah menjadi kewajiban pihak penyedia jasa”—dimana perihal apakah pihak maspakai juga memakai asuransi untuk “alih resiko” usahanya ataukah tidaknya, itu bukanlah urusan pihak konsumen selaku pengguna jasa, karena fakta hukumnya ialah pihak penyedia jasa memiliki kewajiban yang mana kewaibannya tersebut menjadi hak bagi pihak konsumen selaku pengguna jasa, juga bukanlah urusan konsumen untuk memusingkan apakah nilai pertanggungan dari asuransi yang dibeli dan dibayarkan oleh pihak maspakai selaku penyedia jasa adalah tinggi ataukah rendah, bahkan pihak penyedia jasa yang tidak membeli ataupun membayar produk asuransi apapun tetap saja memiliki resiko usaha yang hanya saja tidak dialihkan kepada pihak penerbit polis asuransi.

Dengan mulai dipahaminya bahwa idealnya antara “penerima manfaat” dan pihak “tertanggung” dalam praktik hukum asuransi yang baik dan benar, ialah satu pihak yang sama bukan dua pihak yang berbeda dan berlainan, maka pihak konsumen selaku pengguna barang dan jasa dapat seketika itu juga melakukan perlawanan sengit, ketika entah itu penjual barang maupun penjual jasa, yang menawarkan opsi atau fitur tambahan berupa asuransi produk barang maupun jasa yang ditawarkan olehnya, terlebih bila yang harus membeli dan membayar polis asuransi tersebut ialah pihak konsumen.

Pihak konsumen dapat seketika menjawab dan membantah, bahwa kesemua itu adalah “resiko usaha” pihak penyedia barang dan jasa, kepentingan pelaku usaha, sementara itu resiko yang berada di pundak konsumen selaku pengguna barang dan jasa ialah hanya sebatas membayar lunas, dimana artinya pula bila sekalipun tiada asuransi apapun yang dibeli dan dibayarkan oleh pihak konsumen, tetap saja pihak penyedia barang dan jasa memiliki kewajiban untuk bertanggung-jawab dan dimintakan pertanggung-jawaban yang mana menjadi hak dari konsumen sebagaimana “resiko usaha” yang dipikul oleh pihak penyedia barang dan jasa.

Bila tidak ingin menanggung dan memikul “resiko usaha”, maka jangalah berusaha terlebih meminta dan menerima hak berupa harga atau tarif barang dan jasa. Bila penjual tidak mau memusingkan bagaimana konsumen mampu membayar, maka konsumen pun tidak perlu memusingkan perihal “resiko usaha” milik penjual. No pain, no gain. Tanpa “resiko usaha”, tanpa potensi laba usaha. Sikap profesional artinya, ketika konsumen selaku pengguna barang dan jasa telah melaksanakan kewajibannya, maka pihak penyedia barang dan jasa pun harus melaksanakan kewajibannya secara bertimbal-balik, kewajiban pelaku usaha mana merupakan hak bagi pihak konsumen, yang karenanya pula urusan pihak konsumen hanyalah meminta pertanggung-jawaban dari pihak penyedia barang dan jasa, sementara itu urusan nilai pertanggungan menjadi urusan internal semata antara pelaku usaha dan pihak penyedia produk asuransi yang bukan urusan pihak konsumen.

Barulah menjadi relevan ketika kita kaitkan dengan konsep subrogasi yang timbul dari asuransi. Ketika penumpang maskapai penerbangan udara selaku pengguna jasa transportasi udara, ternyata memiliki polis asuransi jiwa pribadi, maka ahli waris dari penumpang yang menjadi korban jiwa kecelakaan maskapai dapat meminta dan mencairkan klaim asuransi, untuk selanjutnya perusahaan asuransi (dari pihak konsumen, tanpa ikut campur pihak eksternal) memiliki hak tagih berdasarkan subrogasi dari pihak konsumen, sehingga menggantikan pihak konsumen untuk meminta kompensasi ganti-kerugian kepada pihak maskapai, terlepas apakah sang maskapai mengalih-resiko-kan “resiko usaha”-nya ataukah tidak kepada perusahaan asuransi lain miliknya (dari pihak penyedia jasa).

Karenanya, hubungan hukum yang ada bukanlah bersegi tiga, namun tetap linear bersegi dua, dengan konstruksi sebagai berikut bilamana konteksnya pihak maskapai membeli dan membayar produk polis asuransi “resiko usaha” : Ketika skenario terburuk terjadi, penumpang tewas akibat kecelakaan pesawat, maka pihak maskapai melakukan klaim nilai pertanggungan kepada perusahaan asuransi penerbit polis asuransi “resiko usaha”. Sementara itu, urusan konsumen hanyalah berurusan kepada pihak maskapai, bukan kepada pihak asuransi yang polisnya dibeli dan dibayarkan oleh pihak maskapai, dimana yang menagih nilai pertanggungan ialah pihak maskapai kepada pihak asuransi, dan selanjutnya yang membayarkan kompensasi kerugian ialah pihak maskapai langsung kepada pihak ahli waris dari penumpang. Tiada potensi “benang kusut” bila hubungan hukumnya jelas dan linear dalam satu garis lurus.

Itulah yang penulis maksudkan sebagai ada atau tidaknya polis asuransi yang dibeli dan dipakai oleh pihak penyedia jasa dan barang, itu bukanlah urusan konsumen selaku pengguna jasa dan barang. Sama halnya, ketika pihak penyedia barang dan jasa maupun pihak pengguna barang dan jasa, sama-sama memakai produk asuransi, yang satu “alih resiko usaha” pada pihak pelaku usaha dan pihak konsumen pengguna jasa transportasi ialah “alih resiko jiwa”, tetap saja hubungan hukum yang ada berupa linear antara pihak penyedia barang dan jasa dan pihak pengguna barang dan jasa, dimana urusan dengan pihak asuransi ialah urusan internal “dapur” masing-masing pihak secara profesional.

Menjadi juga dapat mulai kita pahami, subrogasi yang terbit akibat terjadinya klaim asuransi, tidak selamanya terjadi. Sebagai contoh, terjadi bencana alam banjir tsunami, mengakibatkan korban jiwa dari konsumen produk asuransi, maka apakah logis bila pihak perusahaan asuransi menuntut hak tagih berdasarkan subrogasi kepada pihak ahli warisnya selaku “tertanggung” yang sekaligus menjadi pihak “penerima manfaat”? Sama juga dalam kasus di atas dalam konteks pelaku usaha maskapai penerbangan udara yang meng-alih-resiko-kan “resiko usaha”-nya kepada pihak asuransi, jika terjadi kecelakaan yang mengakibatkan korban jiwa pada penumpang, maka subrogasi semacam apakah yang menjadi hak tagih pihak asuransi?

Mengingat relasinya ialah linear semata pengguna dan penyedia jasa, maka pihak asuransi tidak pada tempatnya untuk membayar nilai pertanggungan kepada pihak ahli waris penumpang, mengingat pihak “tertanggung” dan “penerima manfaat” ialah pihak yang sama yakni pihak maskapai, sehingga menjadi aneh bila pihak asuransi mengklaim memiliki hak tagih atas dasar subrogasi untuk menagih kepada pihak “tertanggung” sekaligus “penerima manfaat”.

Sesederhana itu saja konsep ideal yang dapat penulis tawarkan dalam rangka reformasi hukum perasuransian di Indonesia, yang semakin hari semakin terjadi “salah kaprah”, seolah-olah resiko hanya ada di pundak konsumen selaku pengguna barang dan jasa, sekaligus menjadi alibi sempurna untuk berkelit dan menjadi “alasan pembenar” kalangan pelaku usaha untuk menafikan “resiko usaha”-nya sendiri. Dengan mengupas unsurnya satu per satu, maka kita akan mulai memahami apa yang menjadi hak dan kewajiban kita masing-masing. Telah begitu banyak kalangan profesi maupun akademisi hukum bergelar doktor hingga profesor, namun untuk urusan yang paling sederhana seperti aspek norma hukum asuransi, ternyata selama puluhan hingga ratusan tahun praktik asuransi berjalan tanpa pembenahan berarti di Indonesia.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.