KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Hoax Terbesar Industri AI : AI hanyalah Alat Bantu. Faktanya, AI Diciptakan (Kodratnya) untuk Menggantikan Peran Pekerja Manusia

AI merupakan “Tenaga Kerja Robot”, Diciptakan untuk Menggantikan Seluruh Fungsi “Tenaga Kerja Manusia”

Sudah dapat diprediksi segelintir kecil pihak yang benar-benar mendalami bahaya dibalik teknologi AI (software) yang dikomplomenter-kan dengan teknologi robotik (hardware), bahwa umat manusia bukan punah akibat perang “Umat Manusia Vs. Robot” sebagaimana kisah fiksi Terminator yang ledendaris, namun SELURUH PERAN DAN FUNGSI “TENAGA KERJA MANUSIA” DIGANTIKAN SEPENUHNYA OLEH “TENAGA KERJA ROBOTIK BERBASIS KECERDASAN BUATAN / AI”. Kita akan mencatat sejarah baru, adalah hoax terbesar sejarah umat manusia, bahwa AI hanyalah alat bantu untuk memudahkan pekerjaan umat manusia. Tidak, itu sepenuhnya tidak benar. Realita yang kini terlihat jelas, AI diciptakan untuk MENGGANTIKAN “PEKERJA MANUSIA”.

Mengerikan, sungguh mengerikan, kini di negara-negara maju, telah terlihat fenomena kendaraan bermotor tanpa supir, pramusaji robot, bartender robot, akuntan robot, desainer robot, produser film dan musik robot, hingga koki robot. Kelak, robot-robot tersebut akan merambah juga industri konvensional seperti pertanian, peternakan, dan sebagainya. Di bidang pertanian sekalipun, yang dinilai konvensional, telah ternyata tidak luput dari dampak AI. Sebagian besar fungsi “pekerja manusia” telah digantikan oleh Drone yang mampu menggarap berhektar-hektar lahan tani untuk menyemai benih, menebar air, menebar pupuk, sehingga luas tanah tidak lagi berbanding lurus dengan serapan tenaga kerja manusia di pedesaan.

Di pabrik-pabrik pembuatan kendaraan bermotor yang dinilai “padat modal”, telah ternyata juga tidak berbanding lurus dengan serapan “tenaga kerja manusia”. Kini, pada berbagai pabrik mobil maupun motor, tidak lagi akan kita jumpai “pekerja manusia”, kesemua proses produksi sepenuhnya menggunakan sistem robotik ter-otomatisasi, sehingga yang ada hanyalah petugas kebersihan yang itupun dalam waktu dekat akan digantikan oleh “tenaga kerja robotik”. Fenomena serupa dapat kita jumpai di Indonesia, terutama pada berbagai kawasan industri, tampak seperti “kota mati”, sementara proses produksi berlangsung secara masif 24 jam dalam sehari dan 7 hari dalam seminggu alias NON STOP.

Tidak terkecuali industri yang terkesan “klasik” seperti jamu yang terkesan “tradisional”. Pada berbagai pabrik industri jamu modern, proses produksi telah ter-otomatisasi, sehingga sekalipun produknya membanjiri pasar dari Sabang hingga Merauke, bahkan dapat ditemukan juga di negara lain berkat keberhasilannya mengekspor produk jamu yang mereka produksi, telah ternyata “pekerja manusia” pada pabrik tersebut hanya HITUNGAN JARI. Kini, investor yang hendak menanamkan modalnya di suatu negara, sekalipun modalnya besar, bukan berarti mereka akan menyerap “tenaga kerja manusia”. Prinsip dagang dalam suatu industri “padat modal”, berbeda persepsi dengan pelaku usaha berbasis “padat karya” yang (secara kejam) akan gugur dan tereliminir secara alamiahnya akibat harus menanggung biaya produksi yang tinggi—tidak seefisien industri “padat modal” (survival of the fittest).

Investor pengusung “padat modal”, bermodal besar bukan untuk meng-hire (mempekerjakan) dan membayar gaji “tenaga kerja manusia”, namun membawa serta masuk “pekerja-pekerja robotik berbasis AI” mereka. Secara langsung dan tidak langsung, investor “padat modal” demikian yang masuk ke dalam negeri sebagai Penanam Modal Asing (PMA), menjadi predator yang meng-kanibalisasi pelaku usaha lokal, serta menyingkirkan “tenaga kerja manusia” lokal yang terdegradasi karena bursa kerja justru menipis sementara produk yang membanjiri pasar mulai didominasi oleh produk-produk yang diproduksi oleh “tenaga kerja robotik”. Dengan bodohnya, pemerintah kita tidak menyadari bahwa investor PMA demikian tidak datang dan masuk dalam rangka menyerap “tenaga kerja manusia”, justru mengambil-alih bursa kerja dari “tenaga kerja manusia” lewat “modal produksi” berupa “mesin-mesin robotik” (baca : “tenaga kerja robotik”).

Efek dominonya tidak berhenti sampai disitu. Investor asing yang justru memproduksi dan/atau mendistribusikan “mesin-mesin robotik cerdas”, menawarkan serta menjual robot-robot produksi mereka kepada para pelaku usaha lokal yang masih konvensional, sehingga pelaku usaha lokal secara perlahan-lahan mulai mengalihkan “pekerja manusia” untuk digantikan oleh “tenaga kerja robotik”. Fenomenanya padat kita lihat sendiri paling mudahnya pada mesin ATM (anjungan tunai mandiri), dimana menarik dan menyetor uang tunai dapat dilakukan tanpa petugas teller manusia. Robot AI, bisa dirancang jauh lebih “sophisticated”, mereka betul-betul ahli dibidangnya atau bahkan “general AI” yang mampu melakukan fungsi-fungsi pekerjaan mulai dari A hingga Z.

Yang membuat kian ironis, Wakil Presiden RI justru mengagung-agungkan serta mendewa-dewakan AI. Sejatinya, adalah bodoh pemberi kerja yang mempekerjakan pekerja yang memakai AI, mengingat sang pemberi kerja dapat memakai sendiri aplikasi AI tanpa mempekerjakan “pekerja pemakai AI”. Orang awam pastilah akan salah meng-kalkulasi, seolah investasi “mesin-mesin robotik yang di-‘powered by AI’” adalah mahal. Tidak, sama sekali tidak semahal biaya / cost untuk menanggung biaya berupa upah bagi “tenaga kerja manusia”. Sering penulis menyampaikan dalam kesempatan-kesempatan sebelumnya, bahwa di mata kalangan investor, faktor produksi seperti “mesin-mesin robotik” merupakan investasi sebagaimana membeli mesin produksi pada umumnya yang dapat dihitung dengan mudah biaya penyusutannya (amortasi) selama sekian tahun masa proses produksi. Berbeda dengan biaya upah buruh / pekerja, yang dinilai sebagai “cost produksi”.

Kini, mari kita mencermati psikologi seorang pengusaha yang selalu dapat dipastikan berorientasi pragmatis, alih-alih idealis, sepanjang yang mereka kejar ialah murni profit belaka. Setiap pelaku usaha yang mem-pekerjakan “pekerja manusia”, selalu dihantui potensi resiko usaha berupa : tuntutan upah yang selalu naik UMR-nya setiap tahun, resiko kecelakaan kerja, resiko mogok kerja, serikat kerja yang merong-rong manajemen, biaya tunjangan kesehatan dan pensiun, masalah fraud seperti penggelapan barang di gudang maupun dana pembukuan, hingga polemik gugatan hubungan industrial terkait pesangon, dan lain sebagainya. Anda bahkan harus meng-hire pekerja yang dimasuskkan ke dalam divisi HRD, semata untuk meng-handel masalah hubungan industrial demikian. Maka, “cost rasio”-nya tampak tidak sebanding dengan produksi yang mereka hasilkan.

Bandingkan dengan “tenaga kerja robotik”, yang dapat beroperasi NON STOP, tanpa perlu biaya tambahan seperti divisi HRD ataupun litigasi sengketa hubungan industrial, tidak ada tuntutan gaji, tunjangan, ataupun pesangon. Robot-robot tersebut bekerja begitu “powerfull”, begitu masif, begitu produktif, dan begitu efisien, serta begitu cerdas namun “tidak rewel”. Ketika masa pakai robot-robot tersebut telah kadaluarsa akibat amortasi, pihak produsen cukup semudah melakukan investasi dengan membeli robot-robot baru yang lebih canggih dan lebih cerdas. Karenanya, tidak ada istilah “cost rasio” dalam suatu industri “padat modal”, karena semuanya dikategorikan sebagai investasi.

Di berbagai negara maju, mulai marak toko-toko konvensional di-“powered by AI robot”. Semisal kafe, pihak bartendernya ialah robot. Di rumah-rumah makan atau restoran yang tergolong tidak besar ukurannya, pihak pramusaji hingga koki-nya adalah robot. Pihak konsumen, ketika diwawancara oleh media pers, menyebutkan bahwa rasa hidangan / masakannya tidak berbeda dengan masakan “koki manusia”, bahkan ada konsumen yang mengaku “lebih enak”. Di “dapur”, “tenaga kerja manusia” yang tersisa hanyalah petugas kebersihan, yang perlahan namun pasti pun akan mulai digantikan serta tergantikan oleh “robot-robot AI”. Di Balai Lelang Christie, lukisan-lukisan yang dilelang ialah lukisan hasil karya AI, membuat para seniman menggelar aksi proses massal.

Kini, harga jual teknologi “robot yang di-‘powered by AI’” mungkin masih belum menyentuh angka ke-ekonomisan. Namun, perlahan namun pasti, seiring produksi yang kian masif dan massal, membeli robot-robot demikian tidak akan lebih mahal daripada menyewa Asisten Rumah Tangga ataupun babysitter. Terutama untuk fungsi-fungsi pekerjaan yang bersifat repetisi proses produksinya, semisal memasak, menyortir, mengepak, dan sebagainya, secara kalkulatif paling mudah digantikan fungsinya oleh “robot-robot AI” demikian. Di gudang perusahaan logistik, para pemilik gudang logistik menemukan bahwa “pekerja manusia” kalah efisien terhadap “tenaga kerja robotik” dalam mengelola gudang yang berisi jutaan paket-paket yang setiap detik dan setiap menitnya keluar-masuk.

Kelak, sebagaimana dapat kita prediksi sejak kini, fungsi pekerjaan atau profesi seperti dokter, pilot, programmer, yang membutuhkan keterampilan presisi, akan kalah bersaing menghadapi “tenaga kerja robotik” yang lebih cerdas, lebih canggih “otak”-nya, yang lebih komprehensif pengetahuan dan keterampilannya, serta lebih presisi tentunya sehingga tingkat akurasi dan prestasi kerjanya jauh melampaui “pekerja manusia”, semata karena AI mampu belajar segala hal dalam waktu singkat, alias lebih jenius daripada Einstein. Dahulu kala, masyarakat kita berkeyakinan bahwa fungsi pekerjaan terkait seni tidak tergantikan, karena terkait rasa dan elaborasi citarasa. Faktanya, AI terbukti menjungkir-balikkan asumsi klasik demikian. Profesi-profesi-profesi yang selama ini dikuasai kalangan seniman, yang terlebih dahulu terancam tergantikan sepenuhnya. Membuat musik dan video, kini AI telah mampu membuatnya secara epik dan kian semspurna secara eksponensial.

Ada yang mengatakan, bahwa pekerjaan yang tersisa ialah pekerjaan bertani dan beternak. Janganlah seyakin itu. Efek bola salju-nya akan sangat mengerikan. Kita tahu, investor “padat modal” sangat serakah. Mereka juga akan pada gilirannya merambah sektor-sektor klasik-rural seperti pertanian dan peternakan di pedesaaan, tidak terkecuali perikanan dan perkebunan. Fungsi kerjanya sangat mudah dipetakan ke dalam sebuah pola-pola—sesuatu yang sangat mudah dikonversi ke dalam algoritma sebelum kemudian disusun modul AI-nya. Buruh-buruh tani, perternakan, perikanan, perkebunan, kesemua itu dapat dipastikan akan tergantikan oleh “tenaga kerja robotik”. Tidak perlu menunggu satu abad itu terjadi, cukup hitungan satu atau dua dekade sejak saat artikel ini dipublikasikan.

Ketika semua umat manusia berbondong-bondong beralih menjadi petani, peternak, nelayan, maka siapa yang akan membeli produk-produk hasil produksi Anda? Adalah kebodohan terbesar banyak pemakai AI, bahwa “AI hanyalah alat bantu”. Faktanya, telah ada persis di depan mata kita, bahwa AI menggantikan “tenaga kerja manusia”. Mereka yang memakai “AI untuk membantu pekerjaannya”, cepat atau lambat akan digantikan oleh AI, karena mereka tidak secerdas AI mengingat selama ini mereka mengandalkan serta bergantung pada AI untuk membantu pekerjaannya. Itulah kodrat para pemakai AI. Mereka, memandang sedang memperalat AI. Yang terjadi, ialah sebaliknya, AI telah memperalat mereka. Hanya orang-orang dungu, yang tidak mau bangun dari kebodohannya, dan perlahan-lahan membiarkan umat manusia tenggelam oleh AI yang mereka ciptakan sendiri.

Tidak perlu menunggu terjadinya momen perang semesta antara “Umat Manusia Vs. Robot” ala Terminator. Sebelum itu terjadi, umat manusia sudah punah akibat tidak ada lapangan pekerjaan yang tersisa bagi mereka. Otak manusia, tidak dapat menyaingi ataupun mengejar kecerdasan AI yang begitu bertenaga (jutaan atau miliaran “otak” prosessor serta chim memori RAM sekian terabyte menumpuk-numpuk pada pusat data industri AI). Ketika umat manusia menciptakan “sesuatu” yang berkali-kali lipat lebih cerdas dari umat manusia, tidak butuh gelar profesor untuk memprediksi apa yang kemudian akan terjadi pada nasib umat manusia. Kita semua, tanpa terkecuali, hanya bisa menjadi penonton di Tanah Air kita sendiri, serta turut tersisih.

Penjajah itu bukan lagi bernama bangsa asing, namun telah bertransformasi berupa wujud “pekerja-pekerja robotik”. Karena pihak pelaku usaha hanya mempekerjakan “tenaga kerja robotik”, maka tidak ada peredaran uang berupa pembayaran upah / gaji bagi “pekerja manusia”, maka yang kemudian terjadi ialah pemusatan kekayaan bagi pemodal kapitalis, dimana yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Kesenjangan ekonomi akan kian lebar, seiring kian majunya teknologi AI dibalik “tenaga kerja robotik”. Cobalah untuk bertanya kepada diri Anda sendiri, cukup sedikit meluangkan waktu untuk merenungkan : apa yang dapat kita lakukan dan apa yang tersisa dari diri kita, ketika fungsi pekerjaan kita telah benar-benar mulai digantikan dan tergantikan sepenuhnya oleh AI?

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.

Iklan Official hukum-hukum.com : MATHEMATICS SPECIALIST. Tutor by Mr. Wendy Agustian (Since 1998)

Teaching Mathematics is to teach the students Mathematical concepts, not memorization!

Menyediakan Jasa Kursus Privat & Group Pelajaran Matematika SD, SMP, SMU bagi Siswa di Jakarta, Tangerang, dan Sekitarnya. Kurikulum Lokal maupun Internasional.

Untuk Pendaftaran Murid, Portofolio Kompetensi Mengajar, maupun Kerja Sama, Hubungi: E-Mail : mathematics.specialist.id@gmail.com WA : (+62) 08788-7835-223.

Mathematics Specialist was established in 1998 by Mr. Wendy when he was 15. This is a private tuition that runs by Mr. Wendy himself as sole teacher. He has deep understanding about Mathematics for Primary up to Junior College and Foundation Studies (Grade 1 up to 12), mastering multiples curriculums of Mathematics.

Mathematics for Commerce (Math-C) and Science (Math-S) within UNSW Foundation Studies (UFS) in Indonesia. "Most of the students I handle are not aware of this at all. So for the students who are intended to take UNSW Foundation Studies in Indonesia, if you have questions, do not hesitate to ask. It will be best to prepare yourself way earlier before you really start the program, because it is nearly impossible to form or fix the basics when it has been started."

[NOTE : Pelafalan huruf vokal "e" pada nama Bapak W(e)ndy Agustian, diucapkan sebagaimana pelajafan "e" dalam kata "kepada", bukan "e" pada kata "sen".]

Iklan Resmi di atas telah diverifikasi otentikasinya oleh SHIETRA & PARTNERS.