Insentif bagi Justice Collaborator dalam Rangka Membuat Terang Modus Operandi / Peran Pelaku yang Lebih Besar
Question: Sebenarnya apa yang menjadi dasar pertimbangan, pelaku yang terlibat dalam suatu kejahatan dengan pelaku lainnya, jika bersedia terbuka dan membantu penyidik polisi maupun jaksa penuntut, diberikan hukuman yang lebih ringan oleh hakim di pengadilan?
Brief Answer: Pada dasarnya, aparatur penegak hukum ibarat
berada di tempat yang terang sehingga dapat terlihat, sementara pelaku
kejahatan berada di tempat yang temaram / gelap sehingga tidak dapat terlihat.
Karena itulah, aparatur penegak hukum kerap “kalah satu langkah” dari kalangan
pelaku kejahatan. Begitupula aparatur penegak hukum diwajibkan menghimpun alat
bukti secara sah, barang / alat bukti yang diperoleh secara tidak prosedural
berpotensi dianulir lewat prapradilan yang diajukan oleh pihak tersangka /
terdakwa. Adapun sisa-sisa barang bukti, dapat dipastikan akan dimusnahkan oleh
pelaku, sehingga tidak menyisakan barang bukti apapun untuk dapat ditemukan
jejaknya. Belum lagi kebiasaan pelaku kejahatan “kerah putih” yang kerap
membangun konstruksi “alibi” berlapis-lapis.
Ibaratnya, aparatur penegak hukum harus bermain catur dengan patuh
terhadap aturan main catur di atas papan catur, sementara pelaku kejahatan
bebas memainkan bidak caturnya secara melanggar aturan main catur, sehingga
tidak mengherankan bila aparatur penegak hukum kerap “kalah dan terpojokkan”.
Itulah sebabnya, menetapkan seorang pelaku sebagai tersangka dan menggiringnya
ke “meja hijau” untuk disidangkan dan diadili, merupakan proses berisi
serangkaian episode yang kompleks dan berliku—terlebih mengingat fakta realita
dimana kerap kali pihak penyidik justru menyuruh pihak korban pelapor untuk
mencari sendiri alat / barang bukti sekalipun warga sipil tidak memiliki
kewenangan menyidik seperti menggeledah dan menyita yang selama ini dimonopoli
oleh penyidik kepolisian.
Keberadaan “justice collaborator”,
setidaknya menjadi “oase” di tengah kejahatan yang sistematis dan “rapat” tanpa
menyisakan sisa barang bukti untuk ditemukan oleh penyidik kepolisian. Tanpa
adanya sistem “reward and punishment”,
akan cukup sukar untuk mengendus, mencari jejak bukti, terlebih membongkar
modus-modus kejahatan yang disusun secara rapih dan tersistematis demikian,
termasuk siapa saja aktor-aktor dibaliknya. Dasar hukum yang mengatur insentif
bagi sang “justice collaborator”
dapat menjadi “pintu masuk” bagi aparatur penegak hukum dalam membujuk yang
bersangkutan agar kooperatif dan bekerjasama dalam rangka menegakkan hukum dan
membongkar modus kejahatan yang terjadi oleh pelaku utama, pelaku turut-serta
lainnya, ataupun pelaku otak intelektualnya.
PEMBAHASAN:
PERATURAN PEMERINTAH
NOMOR 24 TAHUN 2025
TENTANG
PENANGANAN SECARA KHUSUS DAN
PEMBERIAN PENGHARGAAN BAGI SAKSI PELAKU
Menimbang :
a. Bahwa untuk memberikan
kepastian hukum dan keadilan terhadap saksi pelaku dalam proses penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, serta menjamin hak saksi
pelaku yang telah berstatus sebagai narapidana, perlu mengatur mengenai
penghargaan bagi saksi pelaku;
b. bahwa pengaturan mengenai
mekanisme secara khusus dan pemberian penghargaan bagi saksi pelaku belum
diatur secara komprehensif dalam berbagai ketentuan peraturan
perundang-undangan;
c. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, serta untuk
melaksanakan ketentuan Pasal 10A Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban swbagaimana telah dengan Undang-Nomor 31 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Saksi dan
Korban, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Penanganan Secara Khusus
dan Pemberian Penghargaan Bagi Saksi Pelaku;
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini
yang dimaksud dengan:
1. Saksi Pelaku adalah
tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum
untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama.
2. Lembaga Perlindungan
Saksi dan Korban yang selanjutnya disingkat LPSK adalah lembaga yang
bertugas dan berwenang untuk memberikan perlindungan dan hak-hak lain kepada
saksi dan/atau korban sebagaimana diatur dalam Undang-Undang mengenai
perlindungan saksi dan korban.
3. Hari adalah hari
kerja.
Pasal 2
Saksi Pelaku dapat diberikan penanganan secara khusus dalam proses
pemeriksaan dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.
Pasal 3
Penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan
dalam bentuk:
a. pemisahan tempat
penahanan atau tempat menjalani pidana antara Saksi Pelaku dengan tersangka,
terdakwa, dan/atau narapidana yang diungkap tindak pidananya;
b. pemisahan pemberkasan antara
berkas Saksi Pelaku dengan berkas tersangka dan terdakwa dalam proses penyidikan
dan penuntutan atas tindak pidana yang diungkapkannya; dan/ atau
c. memberikan kesaksian di
depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap
tindak pidananya.
Pasal 4
Penghargaan atas kesaksian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan
dalam bentuk:
a. keringanan penjatuhan pidana; atau
b. pembebasan bersyarat,
remisi tambahan, dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
bagi Saksi Pelaku yang berstatus narapidana.
BAB II
TATA CARA PENANGANAN SECARA KHUSUS TERSANGKA DAN
TERDAKWA SERTA PEMBERIAN PENGHARGAAN BAGI TERDAKWA
Bagian Kesatu
Tata Cara Penanganan Secara Khusus Bagi Tersangka
dan Terdakwa
Pasal 5
Untuk mendapatkan penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3, tersangka, terdakwa, atau kuasa hukumnya dapat mengajukan
permohonan kepada:
a. penyidik yang sedang
memeriksa perkaranya;
b. penuntut umum yang sedang
memeriksa perkaranya; atau
c. pimpinan LPSK.
Pasal 6
(1) Permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
(2) Permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan secara elektronik atau nonelektronik.
Pasal 7
(1) Permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 harus memenuhi persyaratan substantif dan administratif.
(2) Persyaratan substantif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. sifat pentingnya
keterangan yang diberikan oleh tersangka atau terdakwa dalam mengungkap
suatu tindak pidana; dan
b. bukan sebagai pelaku
utama dalam tindak pidana yang diungkapkannya.
(3) Dalam hal terdapat aset
yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan, selain harus memenuhi persyaratan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tersangka atau terdakwa juga harus
bersedia mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan.
(4) Persyaratan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. identitas tersangka atau
terdakwa;
b. surat pernyataan bukan
pelaku utama;
c. surat pernyataan mengakui
perbuatannya;
d. surat pernyataan bersedia bekerja
sama dengan penyidik atau penuntut umum;
e. surat pernyataan bersedia
mengungkap tindak pidana yang dilakukan dalam setiap tahap pemeriksaan; dan
f. surat pernyataan tidak
melarikan diri.
(5) Dalam hal permohonan
diajukan kepada pimpinan LPSK, selain melampirkan persyaratan sebagaimana
dimaksud pada ayat (4), tersangka, terdakwa, atau kuasa hukumnya juga harus
melampirkan salinan berita acara pemeriksaan atau berita acara persidangan.
(6) Dalam hal terdapat aset
yang diperoleh dari tindak pidana yang dilakukan, selain melampirkan
persyaratan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4), tersangka,
terdakwa, atau kuasa hukumnya juga harus melampirkan surat pernyataan kesediaan
mengembalikan aset yang diperoleh dari tindak pidana.
Pasal 8
Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7, penyidik,
penuntut umum, atau pimpinan LPSK melakukan pemeriksaan administratif dan
substantif.
Pasal 9
Pemeriksaan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak tanggal permohonan
diterima secara lengkap oleh penyidik, penuntut umum, atau pimpinan LPSK.
Pasal 10
(1) Dalam hal berkas permohonan
dinyatakan tidak lengkap berdasarkan hasil pemeriksaan administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9, penyidik, penuntut umum, atau pimpinan LPSK
memberitahukan secara elektronik atau nonelektronik kepada tersangka, terdakwa,
atau kuasa hukumnya untuk melengkapi persyaratan administratif.
(2) Tersangka, terdakwa, atau
kuasa hukumnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melengkapi persyaratan
administratif dalam jangka waktu paling lama 7 (tujuh) Hari terhitung sejak
tanggal pemberitahuan disampaikan.
(3) Apabila dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tersangka, terdakwa, atau kuasa hukumnya
tidak melengkapi persyaratan administratif, permohonan dinyatakan ditolak.
(4) Terhadap permohonan yarrg
dinyatakan ditolak sebagaimana dimaksud pada ayat (3), tersangka, terdakwa,
atau kuasa hukumnya dapat mengajukan permohonan kembali sebelum tersangka
atau terdakwa diperiksa sebagai saksi dalam persidangan.
Pasal 11
(1) Dalam hal berkas permohonan dinyatakan lengkap berdasarkan hasil
pemeriksaan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, penyidik, penuntut
umum, atau pimpinan LPSK melakukan pemeriksaan substantif.
(2) Dalam melakukan pemeriksaan substantif terhadap permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), penyidik, penuntut umum, dan pimpinan LPSK melakukan
koordinasi sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(3) Penyidik, penuntut umum, dan pimpinan LPSK dalam melakukan pemeriksaan
substantif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat berkoordinasi dengan kementerian
/ lembaga terkait.
Pasal 12
(1) Pemeriksaan substantif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) Hari terhitung sejak tanggal permohohan diterima.
(2) Apabila dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemeriksaan substantif belum selesai dilakukan,
penyidik, penuntut umum, atau pimpinan LPSK dapat melakukan perpanjangan waktu pemeriksaan
substantif untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari.
Pasal 13
Dalam hal permohonan dinyatakan diterima berdasarkan hasil pemeriksaan substantif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11:
a. pada tahap penyidikan, Saksi
Pelaku berhak mendapatkan penanganan secara khusus berupa:
1. pemisahan tempat penahanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a; dan
2. pemisahan pemberkasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b;
b. pada tahap penuntutan, Saksi
Pelaku berhak mendapatkan penanganan secara khusus berupa:
1. pemisahan tempat penahanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 huruf a;
2. pemisahan pemberkasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b; dan
3. memberikan kesaksian di
depan persidangan tanpa langsung dengan terdakwa yang diungkap tindak pidananya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c; atau
c. pada tahap pemeriksaan di
sidang pengadilan, Saksi Pelaku berhak mendapatkan penanganan secara khusus berupa:
1. pemisahan tempat penahanan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a; dan
2. memberikan kesaksian di
depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa yang diungkap
tindak pidananya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c.
Pasal 14
(1) Dalam hal permohonan
dinyatakan tidak diterima berdasarkan hasil pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11, penyidik, penuntut umum, atau pimpinan LPSK memberitahukan
kepada tersangka, terdakrra, atau kuasa hukumnya dengan disertai alasan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada tersangka, terdakwa, atau kuasa hukumnya
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak tanggal
pemeriksaan substantif selesai dilaksanakan.
Pasal 15
(1) Selain berdasarkan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5, penanganan secara khusus dapat diberikan
berdasarkan penilaian penyidik, penuntut umum, atau majelis hakim yang sedang
memeriksa perkaranya.
(2) Dalam hal penanganan secara
khusus diberikan berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyidik atau penuntut umum memberitahukan kepada pimpinan LPSK.
Pasal 16
Penanganan secara khusus berupa pemisahan tempat menjalani pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a diberikan setelah adanya putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang menyatakan sebagai
Saksi Pelaku.
Bagian Kedua
Tata Cara Pemberian Penghargaan Bagi Terdakwa
Pasal 17
(1) Pimpinan LPSK berkoordinasi
dengan penuntut umum dalam menyampaikan rekomendasi penghargaan berupa keringanan
penjatuhan pidana.
(2) Rekomendasl sslagaimana
dimaksud pada ayat (1) dimuat dalam surat tuntutan penuntut umum kepada Hakim.
(3) Penuntut umum memuat
rekomendasi dalam surat tuntutan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasarkan
kriteria:
a. kualitas keterangan yang
disampaikan Saksi Pelaku;
b. konsistensi keterangan
yang disampaikan Saksi Pelaku pada setiap tahapan pemeriksaan; dan/atau
c. sikap kooperatif Saksi
Pelaku dengan penyidik, penuntut umum, dan LPSK.
(4) Penyampaian rekomendasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sebelum tuntutan penuntut umum dibacakan.
BAB III
TATA CARA PENANGANAN SECARA KHUSUS DAN PEMBERIAN PENGHARGAAN
BAGI TERPIDANA
Bagian Kesatu
Tata Cara Penanganan Secara Khusus Bagi Terpidana
Pasal 18
Untuk mendapatkan penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 huruf a dan huruf c, terpidana atau kuasa hukumnya dapat mengajukan permohonan
kepada:
a. penyidik yang sedang
memeriksa perkara tersangka untuk kasus yang sama dengan terpidana;
b. penuntut umum yang sedang
memeriksa perkara terdakwa untuk kasus yang sama dengan terpidana; atau
c. pimpinan LPSK.
Pasal 19
(1) Permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia.
(2) Permohonan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diajukan secara elektronik atau nonelektronik.
Pasal 20
(l) Permohonan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 18 harus memenuhi persyaratan substantif dan administratif.
(2) Persyaratan substantif
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. sifat pentingnya
keterangan yang diberikan oleh terpidana dalam mengungkap suatu tindak pidana;
dan
b. bukan sebagai pelaku
utama dalam tindak pidana yang diungkapkannya.
(3) Persyaratan
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. identitas terpidana;
b. surat pernyataan bukan
pelaku utama;
c. surat pernyataan bersedia
bekerja sama dengan penyidik atau penuntut umum;
d. surat pernyataan bersedia
mengungkap tindak pidana pada setiap tahap pemeriksaan; dan
e. surat pernyataan tidak
melarikan diri.
(4) Dalam hal permohonan
diajukan kepada pimpinan LPSK, selain melampirkan persyaratan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), terpidana juga harus melampirkan salinan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pasal 21
Terhadap permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20, penyidik,
penuntut umum, atau pimpinan LPSK melakukan pemeriksaan administratif dan
substantif.
Pasal 22
Pemeriksaan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan
dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak tanggal permohonan
diterima secara lengkap oleh penyidik, penuntut umum, atau pimpinan LPSK.
Pasal 23
(l) Dalam hal berkas permohonan
dinyatakan tidak lengkap, berdasarkan hasil pemeriksaan administratif sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22, penytdik, penuntut' umum, atau pimpinan LPSK
memberitahukan secara elektronik atau nonelektronik kepada terpidana atau kuasa
hukumnya untuk melengkapi dokumen persyaratan.
(2) Terpidana atau kuasa hukumnya
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus melengkapi dokumen persyaratan dalam
jangka waktu paling lana 7 (tujuh) Hari terhitung sejak tanggal pemberitahuan disampaikan.
(3) Apabila dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terpidana atau kuasa hukumnya tidak melengkapi
dokumen persyaratan permohonan dinyatakan ditolak.
Pasal 24
(1) Dalam hal berdasarkan hasil
pemeriksaan administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 berkas permohonan
dinyatakan lengkap, penyidik, penuntut umum, atau pimpinan LPSK melakukan
pemeriksaan substantif.
(2) Dalam melakukan pemeriksaan
substantif terhadap permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), penyidik,
penuntut umum, dan pimpinan LPSK melakukan koordinasi sesuai dengan kewenangan masing-masing,
(3) Penyidik, penuntut umum,
dan pimpinan LPSK dalam melakukan pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dapat berkoordinasi dengan kementerian / lembaga terkait.
Pasal 25
(1) Pemeriksaan substantif
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dilakukan dalam jangka waktu paling lama 30
(tiga puluh) Hari terhitung sejak tanggal permohonan diterima.
(2) Apabila dalam jangka waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemeriksaan substantif belum selesai dilakukan,
penuntut umum, atau pimpinan LPSK dapat melakukan perpanjangan waktu pemeriksaan
substantif untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) Hari.
Pasal 26
Dalam hal berdasarkan hasil pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24 permohonan dinyatakan diterima maka terpidana berhak mendapatkan
penanganan secara khusus berupa:
a. pemisahan tempat
menjalani pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a; dan
b. pemberian kesaksian di
depan persidangan tanpa berhadapan langsung dengan terdakwa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 huruf c.
Pasal 27
(1) Dalam hal permohonan
dinyatakan tidak diterima berdasarkan hasil pemeriksaan substantif sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 24, penyidik, penuntut umum, atau pimpinan LPSK memberitahukan
kepada terpidana atau kuasa hukumnya disertai dengan alasan.
(2) Pemberitahuan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada terpidana atau kuasa hukumnya dalam
jangka waktu paling lama 5 (lima) Hari terhitung sejak tanggal pemeriksaan substantif
selesai dilaksanakan.
Pasal 28
(1) Selain berdasarkan
permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, penanganan secara khusus
dapat diberikan berdasarkan penilaian penyidik, penuntut umum, atau majelis
hakim yang sedang memeriksa perkara tersangka atau terdakwa untuk kasus yang sama
dengan terpidana.
(2) Dalam hal penanganan secara
khusus diberikan berdasarkan penilaian sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
penyidik atau penuntut umum memberitahukan kepada pimpinan LPSK.
Bagian Kedua
Tata Cara Pemberian Penghargaan Bagi Terpidana
Pasal 29
(1) Terhadap terpidana yang
telah mendapatkan penanganan secara khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26
dapat diberikan rekomendasi penghargaan berupa pembebasan bersyarat, remisi tambahan,
dan hak narapidana lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
setelah didengarkan kesaksiannya di persidangan.
(2) Rekomendasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diberikan oleh LPSK setelah berkoordinasi dengan penuntut
umum.
(3) Dalam melakukan koordinasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penuntut umum memperhatikan kriteria:
a. kualitas keterangan yang
Saksi Pelaku;
b. konsistensi keterangan
yang disampaikan Saksi Pelaku pada setiap tahapan pemeriksaan; dan/ atau
c. sikap kooperatif Saksi
Pelaku dengan penyidik, penuntut umum, dan LPSK.
Pasal 30
LPSK menyampaikan rekomendasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 kepada menteri
yang menyelenggarakan sub-urusan pemerintahan di bidang imigrasi dan
pemasyarakatan yang merupakan lingkup urusan pemerintahan di bidang hukum untuk
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
EVALUASI
Pasal 31
(1) Penyidik, penuntut umum,
atau pimpinan LPSK dapat melakukan evaluasi terhadap pemberian penanganan secara
khusus kepada Saksi Pelaku.
(2) Penyidik, penuntut umum,
dan pimpinan LPSK berkoordinasi dalam melakukan evaluasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) sesuai dengan kewenangan masing-masing.
(3) Dalam melakukan evaluasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) penyidik, penuntut umum, dan pimpinan LPSK dapat
berkoordinasi dengan pimpinan kementerian / lembaga terkait.
(4) Evaluasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan kriteria:
a. kualitas keterangan yang
disampaikan Saksi Pelaku;
b. konsistensi keterangan
yang disampaikan Saksi Pelaku pada setiap tahapan pemeriksaan; dan/atau
c. sikap kooperatif Saksi
Pelaku dengan penyidik, penuntut umum, dan pimpinan LPSK.
(5) Dalam hal berdasarkan
hasil evaluasi, Saksi Pelaku tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud pada
ayat (4), penanganan secara khusus dihentikan.
Pasal 32
Hasil evaluasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 disampaikan secara tertulis
oleh penyidik, penuntut umum, atau pimpinan LPSK kepada:
a. Saksi Pelaku; dan/atau
b. kuasa hukum Saksi Pelaku.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 33
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggid 8 Mei 2025
PRESIDEN REPUBUK INDONESIA,
Diundangkan di Jakarta
pada tangsal 8 Mei 2025
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2025 NOMOR 90
PENJELASAN
ATAS
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 24 TAHUN 2025
TENTANG
PENANGANAN SECARA KHUSUS DAN
PEMBERIAN PENGHARGAAN BAGI SAKSI PELAKU
I. UMUM
Saksi Pelaku memiliki peran penting dalam pengungkapan secara menyeluruh
suatu tindak pidana. Hak mengenai Saksi Pelaku telah diatur dalam Pasal 10A
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang mengatur mengenai syarat
pelindungan, penanganan secara khusus, penghargaan dan pelindungan hukum bagi
Saksi Pelaku dalam proses peradilan pidana.
Pemenuhan hak bagi Saksi Pelaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban belum terlaksana dengan baik,
dan belum adanya kesamaan persepsi dalam penanganan secara khusus dan pemberian
penghargaan bagi Saksi Pelaku di antara lembaga terkait sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang dilaksanakan penyidik, penuntut umum, maupun
LPSK, serta kementerian yang menyelenggarakan sub-urusan pemerintahan di bidang
imigrasi dan pemasyarakatan dan yang merupakan lingkup urusan pemerintahan di
bidang hukum.
Bertitik tolak dari hal tersebut serta untuk memberikan kepastian hukum
dan keadilan terhadap Saksi Pelaku dalam proses peradilan, diperlukan pengaturan
lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal 10A tersebut dalam Peraturan Pemerintah
tentang Penanganan Secara Khusus dan Pemberian Penghargaan Bagi Saksi Pelaku.
Dalam Peraturan Pemerintah ini, terdapat pengaturan mengenai:
a. bentuk atas hak penanganan
secara khusus yang diberikan kepada Saksi Pelaku;
b. bentuk penghargaan atas
kesaksian yang diberikan oleh Saksi Pelaku;
c. tata cara permohonan dari
tersangka, terdakwa, maupun terpidana untuk mendapatkan penanganan secara
khusus dan penghargaan;
d. mekanisme koordinasi antara
penyidik, penuntut umum, dan LPSK;
e. teknis pelaksanaan
penanganan secara khusus dan teknis pemberian penghargaan bagi Saksi Pelaku
dalam tahapan penyidikan, penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, dan/atau
pemidanaan; dan
f. mekanisme evaluasi terhadap
pelaksanaan penanganan secara khusus sejak tahap penyidikan, penuntutan,
pemeriksaan di sidang pengadilan, dan/atau pemidanaan sesuai dengan kriteria yang
tertuang dalam Peraturan Pemerintah ini.
II. PASAL DEMI PASA
Pasal 4
Huruf a
Yang dimaksud dengan “keringanan penjatuhan
pidana” mencakup pidana percobaan, pidana pengawasan, pidana kerja sosial,
pidana bersyarat khusus, atau penjatuhan pidana yang paling ringan di antara
terdakwa lainnya.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “remisi tambahan”
dalam ketentuan ini adalah tambahan remisi yang diberikan oleh menteri
yang menyelenggarakan sub-urusan pemerintahan di bidang imigrasi dan
pemasyarakatan yang merupakan lingkup urusan pemerintahan di bidang hukum
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 15
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “berdasarkan penilaian”
antara lain, kondisi atau keadaan yang berpotensi membahayakan keselamatan jiwa
Saksi Pelaku.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan “terpidana” adalah
narapidana dan anak binaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang pemasyarakatan.
Pasal 28
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 15 ayat (1).
Pasal 29
Ayat (l)
Lihat penjelasan Pasal 4 huruf b.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 7111
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.