KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

KIAMAT BUMI dalam Ramalan / Penerawangan Sang Buddha, Sepanjang dan Selama apakah Terjadinya KIAMAT?

Planet Bumi TIDAKLAH ISTIMEWA, Kaum “Agamais” di Planet Bumi Seyogianya TIDAK NARSISTIK karena Hidup di Bumi

Para Dewa di Alam Dewata pun masih Menderita dan TIDAK KEKAL

Question: Mengapa dalam Buddhisme, “masuk surga” disebut sebagai bukan jalan keselamatan sejati? Mengapa dimasukkan ke surga sekalipun, menurut Buddhisme, bukanlah sebentuk pertolongan yang sesungguhnya?

Brief Answer: Sejatinya, tidak ada yang istimewa dari planet bernama Bumi ini, tidak terkecuali alam surgawi, karena keduanya masih terkondisi, sehingga tidaklah perlu diagung-agungkan sebagai “maha karya” sang pencipta, karena matahari yang tersebar di alam semesta yang luas ini, bisa jadi dahulu pada mulanya adalah planet-planet yang hidup menyerupai Planet Bumi tempat kita saat kini berpijak dan lahir serta bertumbuh. Lagipula, semua makhluk yang masih terkondisi, tanpa terkecuali dalam kehidupan-kehidupan lampaunya telah pernah mengalami dunia dalam kondisi “kiamat”.

Dewa pun di alam surgawi masih mengalami penderitaan serta kematian. Kehidupan ini, karenanya, menyerupai “never ending stories” yang tidak akan pernah berkesudahan dari serangkaian episode membosankan : planet terbentuk, hancur, terbentuk kembali, hancur kembali, terbentuk kembali, untuk kesekian kalinya yang telah tidak terhitung jumlahnya dan akan tetap demikian prosesnya berupa timbul, berlangsung, sebelum kemudian lenyap, dan untuk seterusnya terjadi pengulangan demi pengulangan yang menyerupai siklus tidak berkesudahan.

PEMBAHASAN:

Tidak ada yang lebih menjemukan daripada menyaksikan serangkaian episode drama yang tidak ada habisnya dan tidak berkesudahan. Seperti itulah, kehidupan segala sesuatunya yang masih terkondisi. Adapun yang disebut “kiamat-nya Bumi”, tidaklah sedangkal apa yang digambarkan oleh agama-agama samawi. Kiamat jauh lebih mengerikan dan lebih menyiksa dalam bentuk yang mencapai hitungan “generasi ke generasi”. Bila Anda tidak memanfaatkan kesempatan dalam kehidupan sekarang ini untuk menanam (menabung) benih-benih Karma Baik sebanyak mungkin, maka Anda akan mengalami “kesialan” berupa terlahir-kembali (reborn atau rebirth) dalam dunia yang sedang menjalani proses “kiamat”, atau terlahir sebagai “dewa kecil” berumur pendek yang kemudian meninggal dari alam dewata dan terlahir kembali ke Bumi yang sedang dalam kondisi proses berlangsungnya “kiamat”.

Semenyiksa dan sepanjang apakah proses berlangsungnya “kiamat” sebuah planet yang mengandung kehidupan di dalamnya, tidak terkecuali planet yang kita namakan sebagai “Bumi” ini? Kekeringan sepanjang kurang dari satu tahun saja, sudah cukup menyiksa. Namun bagaimana bila matahari kedua, sampai matahari ketujuh, satu per satu mendekat ke lajur rotasi dan revolusi Planet Bumi ini di Tata Surya, sebagaimana khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut: [perhatikan frasa “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama” dalam khotbah Sang Buddha di bawah ini dalam serangkaian proses berlangsungnya “kiamat” dari kemunculan matahari kedua, matahari ketiga, dan seterusnya, menyiratkan bahwa “kiamat” adalah proses penyiksaan dalam jangka waktu yang sangat lama dan panjang, bukan sebentuk kejadian yang “sekali selesai” ataupun siksaan dalam tempo waktu yang singkat]

66 (2) Tujuh Matahari

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Vesālī di Hutan Ambapāli. Di sana Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: “Para bhikkhu!”

“Yang Mulia!” para bhikkhu itu menjawab. Sang Bhagavā berkata sebagai berikut:

“Para bhikkhu, fenomena-fenomena terkondisi adalah tidak kekal; fenomena-fenomena terkondisi adalah tidak stabil; fenomena-fenomena terkondisi adalah tidak dapat diandalkan. Cukuplah itu untuk menjadi kecewa pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk menjadi bosan pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

“Para bhikkhu, Sineru, raja pegunungan, adalah 84.000 yojana panjangnya dan 84.000 yojana lebarnya; terbenam 84.000 yojana di dalam samudra raya dan menjulang 84.000 yojana di atas samudra raya.

[Kitab Komentar : Yojana adalah jarak antara tujuh sampai sembilan mil.]

(1) “Akan tiba waktunya, para bhikkhu, ketika hujan tidak turun selama bertahun-tahun, selama ratusan tahun, selama ribuan tahun, selama ratusan ribu tahun. Ketika hujan tidak turun, maka benih-benih kehidupan dan tumbuh-tumbuhan, tanaman obat-obatan, rerumputan, dan pepohonan besar di dalam hutan menjadi layu dan mengering dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi, begitu tidak stabilnya, begitu tidak dapat diandalkannya. Cukuplah itu untuk menjadi kecewa pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk menjadi bosan pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(2) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke dua muncul. Dengan munculnya matahari ke dua, maka sungai-sungai kecil dan danau-danau mengering dan menguap dan menjadi tidak ada [101] lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(3) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke tiga muncul. Dengan munculnya matahari ke tiga, maka sungai-sungai besar – Gangga, Yamunā, Aciravatī, Sarabhū, dan Mahī - mengering dan menguap dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(4) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke empat muncul. Dengan munculnya matahari ke empat, maka danau-danau besar dari mana sungai-sungai besar itu berasal – Anotatta, Sīhapapāta, Rathakāra, Kaṇṇamuda, Kunāla, Chaddanta, dan Mandākinī - mengering dan menguap dan menjadi tidak ada lagi. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(5) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke lima muncul. Dengan munculnya matahari ke lima, maka air di samudra raya menyurut hingga seratus yojana, dua ratus yojana … tiga ratus yojana … tujuh ratus yojana. Air yang tersisa di samudra raya sedalam tinggi tujuh pohon palem, sedalam enam pohon palem … lima pohon palem … empat pohon palem … tiga pohon palem … dua pohon palem [102] … hanya satu pohon palem. Air yang tersisa di samudra raya sedalam tujuh depa … enam depa … lima depa … empat depa … tiga depa … dua depa … satu depa … setengah depa … setinggi pinggang … setinggi lutut … semata kaki. Bagaikan di musim gugur, ketika hujan turun dengan butiran-butiran besar, maka air menggenang di jejak kaki sapi di sana-sini, demikian pula air yang tersisa di samudra raya akan menggenang di sana sini [dalam kolam-kolam] yang berukuran sebesar jejak kaki sapi. Dengan munculnya matahari ke lima, maka air di samudra raya menyurut hingga sendi-sendi jari tangan. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(6) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke enam muncul. Dengan munculnya matahari ke enam, bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, berasap, berpijar, dan menyala. Bagaikan api pengrajin tembikar, ketika dinyalakan, pertama-tama berasap, berpijar, dan menyala, demikian pula dengan munculnya matahari ke enam, bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, berasap, berpijar, dan menyala. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi … Cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

(7) “Akan tiba waktunya, setelah waktu yang lama, matahari ke tujuh muncul. [103] Dengan munculnya matahari ke tujuh, bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, meledak terbakar, menyala dengan terang, dan menjadi sebuah kumpulan api yang besar. Ketika bumi ini dan Sineru menyala dan terbakar, apinya tertiup angin, menjulang hingga ke alam brahmā. Ketika kehancuran sedang berlangsung dan dikuasai oleh kumpulan besar panas, maka gunung yang puncaknya setinggi seratus yojana menjadi hancur; gunung yang puncaknya dua ratus yojana … tiga ratus yojana … empat ratus yojana … lima ratus yojana menjadi hancur.

“Ketika bumi ini dan Sineru terbakar dan menyala, tidak ada abu atau jelaga yang terlihat. Seperti halnya, ketika ghee atau minyak terbakar dan menyala, tidak ada abu atau jelaga yang terlihat. Demikian pula ketika bumi ini dan Sineru terbakar dan menyala, tidak ada abu atau jelaga yang terlihat. Begitu tidak kekalnya fenomena-fenomena terkondisi, begitu tidak stabilnya, begitu tidak dapat diandalkannya. Cukuplah itu untuk menjadi kecewa pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk menjadi bosan pada segala fenomena terkondisi, cukuplah itu untuk terbebaskan dari segala fenomena terkondisi.

“Para bhikkhu, siapakah kecuali mereka yang telah melihat kebenaran akan berpikir atau percaya: ‘Bumi ini dan Sineru, raja pegunungan, akan terbakar, hancur, dan menjadi tidak ada lagi’?

[Kitab Komentar : “Siapakah yang akan mempercayai ini, kecuali para siswa mulia, para pemasuk-arus yang telah melihat kebenaran?” Kebenaran, atau keadaan (pāda), yang dilihat oleh “pemasuk-arus” adalah nibbāna, lenyapnya penderitaan.

“Siapakah yang mampu mendiskusikan hal ini demi untuk membangkitkan keyakinan dalam hal ini, atau siapakah yang memiliki keyakinan dalam hal ini?” (ko tassa saddhāpanatthāya mantetu samattho, ko vā tassa saddhātā).

“Sekarang Aku beritahukan kepada kalian, Sineru, raja pegunungan, akan runtuh dan hancur. Siapakah yang dapat mempercayai hal ini, kecuali mereka yang telah melihat kebenaran? Sekarang Aku beritahukan kepada kalian, air di samudra raya akan mengering dan menguap. Siapakah yang dapat mempercayai hal ini, kecuali mereka yang telah melihat kebenaran? Sekarang Aku beritahukan kepada kalian, bumi ini akan terbakar seluruhnya dan hancur oleh api. Siapakah yang dapat mempercayai hal ini, kecuali mereka yang telah melihat kebenaran?”

“Di masa lampau, para bhikkhu, terdapat seorang guru bernama Sunetta, pendiri suatu sekte spiritual, seorang yang tanpa nafsu pada kenikmatan-kenikmatan indria. Guru Sunetta [104] memiliki ratusan murid yang kepada mereka ia mengajarkan Dhamma untuk berkumpul dengan alam brahmā. Ketika ia sedang mengajar, mereka yang sepenuhnya memahami ajarannya, dengan hancurnya jasmani, setelah kematian, terlahir kembali di alam tujuan yang baik, di alam brahmā. Tetapi mereka yang tidak sepenuhnya memahami ajarannya, beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva yang menguasai ciptaan para deva lain; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva yang bersenang dalam penciptaan; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva Tusita; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva Yāma; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva Tāvatisa; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para deva [yang dipimpin] oleh empat raja dewa. Beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para khattiya makmur; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para brahmana makmur; beberapa di antaranya terlahir kembali dalam kumpulan para perumah tangga makmur.

[Kitab Komentar : Dari sini dimulai enam alam surga indriawi, dari yang tertinggi hingga yang terendah.]

“Kemudian, para bhikkhu, Guru Sunetta berpikir: ‘Tidaklah selayaknya jika aku mencapai alam tujuan masa depan yang persis sama dengan para muridku. Biarlah aku mengembangkan cinta kasih lebih jauh lagi. Kemudian selama tujuh tahun Guru Sunetta mengembangkan pikiran cinta kasih. Sebagai konsekuensinya, selama tujuh kappa penghancuran dan pengembangan dunia ia tidak kembali ke alam ini. Ketika dunia sedang hancur, [105] ia mengembara di [alam] cahaya gemerlap. Ketika dunia sedang mengembang, ia terlahir kembali di dalam sebuah istana Brahmā yang kosong.

[Kitab Komentar : Sang Buddha menghubungkan hal ini dengan sosok dirinya sendiri dengan merujuk pada kehidupan lampaunya.]

“Di sana ia adalah Brahmā, Brahmā Agung, penakluk, yang tidak tertaklukkan, maha melihat, maha kuasa. Ia menjadi Sakka, penguasa para deva, sebanyak tiga puluh enam kali. Ratusan kali ia menjadi raja pemutar-roda, seorang raja yang baik yang memerintah sesuai Dhamma, seorang penakluk yang kekuasaannya merentang hingga empat penjuru, seorang yang telah mencapai stabilitas dalam negerinya, yang memiliki tujuh pusaka. Ia memiliki lebih dari seribu putra yang merupakan pahlawan-pahlawan, yang perkasa, mampu menggilas bala tentara musuh-musuh mereka. Ia menguasai setelah menaklukkan bumi ini hingga sejauh batas samudra, bukan dengan kekuatan dan senjata melainkan dengan Dhamma.

“Para bhikkhu, walaupun ia memiliki umur yang sedemikian panjang dan berlanjut selama waktu yang lama, Guru Sunetta masih belum terbebas dari kelahiran, dari usia tua dan kematian, dari dukacita, ratapan, kesakitan, kesedihan, dan siksaan. Ia tidak terbebas dari penderitaan, Aku katakan. Karena alasan apakah? Karena ia tidak memahami empat hal. Apakah empat ini? Perilaku bermoral yang mulia, konsentrasi yang mulia, kebijaksanaan yang mulia, dan kebebasan yang mulia.

“Perilaku bermoral yang mulia, para bhikkhu, telah dipahami dan ditembus. Konsentrasi yang mulia telah dipahami dan ditembus. Kebijaksanaan yang mulia telah dipahami dan ditembus. Kebebasan yang mulia telah dipahami dan ditembus. Ketagihan pada penjelmaan telah dipotong; saluran penjelmaan telah dihancurkan; sekarang tidak ada lagi penjelmaan baru.” [106]

Ini adalah apa yang dikatakan oleh Sang Bhagavā. Setelah mengatakan ini, Yang Berbahagia, Sang Guru, lebih lanjut mengatakan sebagai berikut:

“Perilaku bermoral, konsentrasi, kebijaksanaan,

dan kebebasan yang tidak terlampaui:

hal-hal ini Sang Gotama yang termasyhur

telah dipahami oleh diriNya sendiri.

“Setelah secara langsung mengetahui hal-hal ini,

Sang Buddha mengajarkan Dhamma kepada para bhikkhu.

Sang Guru, pembuat-akhir penderitaan,

Seorang dengan penglihatan, telah mencapai nibbāna.”