KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Falsafah Dibalik Pidana Penjara dan Vonis Hukuman Mati yang Paling Valid

Tidak Semua Anggota Masyarakat adalah Orang Baik, Ada yang TOXIC dan Harus Dieliminir, itu Barulah Kebijakan Penalisasi yang REALISTIK

AMDAS (Analisis Mengenai Dampak Sosial) Dibalik Konsep “Keadilan Restoratif”

Question: Apakah ada pijakan filosofis yang sahih dan tahan “uji moril”, terhadap vonis pidana penjara maupun hukuman mati, ditengah-tengah derasnya aliran atau mazhab hukum sebagian besar sarjana hukum kontemporer yang dewasa ini mulai gemar menggaungkan “restorative justice”?

Brief Answer: Ada “harga sosial” (social cost) yang harus dibayarkan dibalik tren atau kecenderungan maraknya pendekatan yang mengusung konsep “keadilan restoratif”, yakni terkikisnya sakralitas penegakan hukum pidana, seolah-olah “kejahatan boleh dicoba-coba”, dimana bila pihak berwajib berhasil melacak siapakah pelakunya dan menangkap, menahan, serta mendakwanya ke persidangan, maka cukup diatasi dengan cara mengembalikan kerugian korban. Sebaliknya, bila pelakunya tidak terlacak atau berhasil meloloskan diri, menyamarkan diri, menghapus seluruh jejak kejahatan, maka tidak perlu memulihkan kerugian korban. Akibatnya, pelanggaran hukum maupun kejahatan mulai menyerupai “iseng-iseng berhadiah”, yang mulai diremehkan konsekuensi yuridisnya, yakni semudah mengembalikan seluruh kerugian korban, ataupun mengembalikan uang hasil korupsi yang menimbulkan kerugian terhadap keuangan negara.

PEMBAHASAN:

Tidak ada yang lebih keliru, daripada mencoba menyenangkan semua orang, begitu pepatah klasik menyebutkan, dan masih relevan sampai saat kini. Bahkan, seorang dokter yang baik akan menyarankan sang pasien untuk melakukan amputasi, bila diperlukan, sebagaimana disinggung lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang Buddha, JILID IV”, Judul Asli : “The Numerical Discourses of the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012, terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan sebagai berikut:

10 (10) Sampah

Pada suatu ketika Sang Bhagavā sedang menetap di Campā di tepi Kolam Seroja Gaggārā. Pada saat itu para bhikkhu sedang mengecam seorang bhikkhu atas suatu pelanggaran. Ketika sedang dikecam, bhikkhu itu menjawab dengan cara mengelak, mengalihkan pembicaraan pada topik yang tidak berhubungan, dan memperlihatkan kemarahan, kebencian, dan kekesalan.

Kemudian Sang Bhagavā berkata kepada para bhikkhu: [169] “Para bhikkhu, usir orang ini! Para bhikkhu, usir orang ini! Orang ini harus dikeluarkan. Mengapakah putra orang lain harus menjengkelkan kalian?

[Kitab Komentar : Maknanya tampaknya adalah bahwa si bhikkhu yang bermasalah, karena perilakunya, bukanlah seorang siswa sejati Sang Buddha dan oleh karena itu dapat dianggap sebagai “putra” (yaitu, siswa) dari guru lain.]

“Di sini, para bhikkhu, selama para bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu memiliki gaya yang sama dalam hal (1) berjalan pergi dan (2) berjalan kembali, (3) melihat ke depan dan (4) berpaling, (5) membungkukkan badan dan (6) menegakkan bagian-bagian tubuhnya, dan (7) mengenakan jubah dan (8) membawa jubah luar dan mangkuknya seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka melihat pelanggarannya, maka mereka mengenalinya sebagai kerusakan di antara para petapa, bagaikan sekam dan sampah di antara para petapa. Kemudian mereka mengusirnya. Karena alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.

“Misalkan ketika sebuah lahan gandum sedang tumbuh, setangkai gandum yang rusak akan muncul yang hanya berupa sekam dan sampah di antara gandum-gandum lainnya. Selama buahnya belum muncul, akarnya akan tampak sama seperti [tanaman] lainnya, gandum-gandum yang baik; tangkainya akan tampak sama seperti [tanaman] lainnya, gandum-gandum yang baik; dedaunannya akan tampak sama seperti [tanaman] lainnya, gandum-gandum yang baik. Akan tetapi, ketika buahnya muncul, mereka mengenalinya sebagai gandum rusak, hanya sekam [170] dan sampah di antara gandum-gandum lainnya. Maka mereka mencabutnya di akarnya dan membuangnya keluar dari lahan gandum. Karena alasan apakah? Agar gandum rusak itu tidak merusak gandum-gandum yang baik.

“Demikian pula selama para bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu di sini memiliki gaya yang sama dalam hal berjalan pergi … dan membawa jubah luar dan mangkuknya seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka melihat pelanggarannya, mereka mengenalinya sebagai kerusakan di antara para petapa, hanya sekam dan sampah di antara para petapa. Maka mereka mengusirnya. Karena alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.

“Misalkan ketika sebuah tumpukan besar padi sedang ditampi, padi-padi yang utuh dan berbiji membentuk suatu tumpukan di satu sisi, dan angin meniup padi-padi yang rusak dan sekam ke sisi lainnya. Kemudian si pemilik mengambil sapu dan menyapunya lebih jauh lagi. Karena alasan apakah? Agar padi-padi rusak dan sekam itu tidak merusak padi-padi yang baik.

“Demikian pula selama para bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu di sini memiliki gaya yang sama dalam hal berjalan maju … dan membawa jubah luar dan mangkuknya seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka melihat pelanggarannya, mereka mengenalinya sebagai [171] kerusakan di antara para petapa, hanya sekam dan sampah di antara para petapa. Maka mereka mengusirnya. Karena alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.

“Misalkan seseorang memerlukan sebuah saluran untuk sumur. Ia akan membawa kapak tajam dan pergi ke hutan. Ia akan memukul sejumlah pohon dengan bilah kapaknya. Ketika dipukul, pohon yang kokoh dan padat akan memberikan suara yang padat, tetapi pohon yang lapuk, rusak, dan membusuk di dalam akan memberikan suara yang kosong. Orang itu akan memotong pohon itu pada akarnya, memotong pucuknya, dan membersihkannya dengan seksama, dan menggunakannya sebagai saluran pada sumurnya.

“Demikian pula selama para bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu di sini memiliki gaya yang sama dalam hal berjalan maju … dan membawa jubah luar dan mangkuknya seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka melihat pelanggarannya, mereka mengenalinya sebagai kerusakan di antara para petapa, hanya sekam dan sampah di antara para petapa. Maka mereka mengusirnya. Karena alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.” [172]

Dengan hidup bersama dengannya, mengenalinya sebagai seorang pemarah yang berkeinginan jahat;

seorang pencemar, keras kepala, dan kurang-ajar, iri, kikir, dan menipu.

Ia berbicara kepada orang-orang bagaikan seorang petapa,

[berkata kepada mereka] dengan suara tenang,

tetapi diam-diam ia melakukan perbuatan jahat,

Menganut pandangan sesat, dan tanpa hormat.

Walaupun ia penuh tipu daya, pengucap kebohongan;

kalian harus mengenalinya sebagaimana adanya ia sesungguhnya;

kemudian kalian seluruhnya harus berkumpul dalam kerukunan

dan dengan tegas mengusirnya.

Tinggalkanlah sampah!

Lenyapkan teman-teman yang rusak!

Sapulah sekam, bukan-petapa yang menganggap diri mereka sendiri adalah para petapa!

Setelah mengusir mereka yang berkeinginan jahat,

yang berperilaku dan memiliki tempat kunjungan yang buruk,

berdiam dalam kerukunan, senantiasa penuh perhatian,

yang murni dengan yang murni;

maka, dalam kerukunan, awas,

kalian akan mengakhiri penderitaan.

Namun demikian, kejahatan adalah sebentuk gejala. Untuk mengatasi kejahatan sampai ke akar-akarnya, maka sumber kejahatannya yang perlu dieradikasi, yakni “Agama DOSA yang bersumber dari Kitab DOSA” (disebut demikian, karena justru mempromosikan “PENGHAPUSAN DOSA bagi KORUPTOR DOSA” alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari dosa maupun maksiat. Babi, disebut “haram”. Akan tetapi, mengapa terhadap ideologi KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA” (abolition of sins), disebut “halal” serta dijadikan maskot “halal lifestyle”?—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:

- No. 4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan ampunan sebesar itu pula.

- No. 4857 : “Barang siapa membaca Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus kali dalam sehari, maka dosanya akan dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.

- No. 4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a; Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku rizki).”

- No. 4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku, selamatkanlah aku,”

- Aku mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya, ‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih Bukhari 6933]

- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata : Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi. Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan sepenuh bumi pula. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No. 3540]

Seorang pencuri, dihukum “potong tangan”, oleh sang nabi rasul Allah, junjungan para “agamais”. Namun mengapa, seorang “KORUPTOR DOSA” justru mengklaim sebagai rasul Tuhan, terjamin masuk surga, serta dijadikan junjungan serta “standar moral” para “agamais”? PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup suci, luhur, adil, jujur, mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa ksatria, dan bersih? Itu ibarat ORANG BUTA, yang hendak menuntun para BUTAWAN lainnya, berbondong-bondong mereka melaju deras menuju lembah-jurang nista, dimana neraka pun dipandang sebagai surga.

Siapakah yang paling mengharap dihapus dosa-dosanya? Tentunya para PENDOSA. Semakin BERDOSA, semakin sang PENDOSA tergila-gila mencandu dan mabuk “PENGHAPUSAN DOSA”. Mabuk “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN” dan disaat bersamaan juga kecanduan “PENGHAPUSAN DOSA” (keduanya bersifat “bundling” alias satu paket), lewat teladan mabuk serta kecanduan sang nabi junjungan yang pengakuan dalam doa-doanya justru membuktikan bahwa dirinya bukanlah “orang baik-baik” yang bahkan tidak layak menyandang sebutan diri sebagai “manusia”—juga masih dikutip dari Hadis Muslim:

- No. 4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’

- No. 4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukkan sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku lakukan.’”

- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku,  serta ampunilah kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya daripada aku,”

- Aisyah bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR Bukhari Muslim]