Tidak Semua Anggota Masyarakat adalah Orang Baik, Ada yang TOXIC dan Harus Dieliminir, itu Barulah Kebijakan Penalisasi yang REALISTIK
AMDAS (Analisis Mengenai Dampak Sosial) Dibalik
Konsep “Keadilan Restoratif”
Question: Apakah ada pijakan filosofis yang sahih dan tahan “uji moril”, terhadap vonis pidana penjara maupun hukuman mati, ditengah-tengah derasnya aliran atau mazhab hukum sebagian besar sarjana hukum kontemporer yang dewasa ini mulai gemar menggaungkan “restorative justice”?
Brief Answer: Ada “harga sosial” (social cost) yang harus dibayarkan dibalik tren atau kecenderungan
maraknya pendekatan yang mengusung konsep “keadilan restoratif”, yakni
terkikisnya sakralitas penegakan hukum pidana, seolah-olah “kejahatan boleh
dicoba-coba”, dimana bila pihak berwajib berhasil melacak siapakah pelakunya
dan menangkap, menahan, serta mendakwanya ke persidangan, maka cukup diatasi
dengan cara mengembalikan kerugian korban. Sebaliknya, bila pelakunya tidak
terlacak atau berhasil meloloskan diri, menyamarkan diri, menghapus seluruh
jejak kejahatan, maka tidak perlu memulihkan kerugian korban. Akibatnya,
pelanggaran hukum maupun kejahatan mulai menyerupai “iseng-iseng berhadiah”, yang
mulai diremehkan konsekuensi yuridisnya, yakni semudah mengembalikan seluruh
kerugian korban, ataupun mengembalikan uang hasil korupsi yang menimbulkan
kerugian terhadap keuangan negara.
PEMBAHASAN:
Tidak ada yang lebih keliru, daripada mencoba
menyenangkan semua orang, begitu pepatah klasik menyebutkan, dan masih relevan
sampai saat kini. Bahkan, seorang dokter yang baik akan menyarankan sang pasien
untuk melakukan amputasi, bila diperlukan, sebagaimana disinggung lewat khotbah Sang Buddha dalam “Aṅguttara Nikāya : Khotbah-Khotbah Numerikal Sang
Buddha, JILID IV”,
Judul Asli : “The Numerical Discourses of
the Buddha”, diterjemahkan dari Bahasa Pāḷi oleh Bhikkhu Bodhi, Wisdom Publications 2012,
terjemahan Bahasa Indonesia tahun 2015 oleh DhammaCitta Press, dengan kutipan
sebagai berikut:
10 (10) Sampah
Pada suatu ketika Sang Bhagavā
sedang menetap di Campā di tepi Kolam Seroja Gaggārā. Pada saat itu para
bhikkhu sedang mengecam seorang bhikkhu atas suatu pelanggaran. Ketika
sedang dikecam, bhikkhu itu menjawab dengan cara mengelak, mengalihkan
pembicaraan pada topik yang tidak berhubungan, dan memperlihatkan kemarahan,
kebencian, dan kekesalan.
Kemudian Sang Bhagavā berkata
kepada para bhikkhu: [169] “Para bhikkhu, usir orang ini! Para bhikkhu, usir orang
ini! Orang ini harus dikeluarkan. Mengapakah putra orang lain harus
menjengkelkan kalian?
[Kitab Komentar : Maknanya
tampaknya adalah bahwa si bhikkhu yang bermasalah, karena perilakunya, bukanlah
seorang siswa sejati Sang Buddha dan oleh karena itu dapat dianggap sebagai
“putra” (yaitu, siswa) dari guru lain.]
“Di sini, para bhikkhu, selama
para bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu memiliki
gaya yang sama dalam hal (1) berjalan pergi dan (2) berjalan kembali, (3)
melihat ke depan dan (4) berpaling, (5) membungkukkan badan dan (6) menegakkan
bagian-bagian tubuhnya, dan (7) mengenakan jubah dan (8) membawa jubah luar dan
mangkuknya seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka
melihat pelanggarannya, maka mereka mengenalinya sebagai kerusakan di antara
para petapa, bagaikan sekam dan sampah di antara para petapa. Kemudian mereka
mengusirnya. Karena alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu
yang baik.
“Misalkan ketika sebuah lahan
gandum sedang tumbuh, setangkai gandum yang rusak akan muncul yang hanya berupa
sekam dan sampah di antara gandum-gandum lainnya. Selama buahnya belum
muncul, akarnya akan tampak sama seperti [tanaman] lainnya, gandum-gandum yang
baik; tangkainya akan tampak sama seperti [tanaman] lainnya, gandum-gandum yang
baik; dedaunannya akan tampak sama seperti [tanaman] lainnya, gandum-gandum
yang baik. Akan tetapi, ketika buahnya muncul, mereka mengenalinya
sebagai gandum rusak, hanya sekam [170] dan sampah di antara gandum-gandum
lainnya. Maka mereka mencabutnya di akarnya dan membuangnya keluar dari lahan
gandum. Karena alasan apakah? Agar gandum rusak itu tidak merusak gandum-gandum
yang baik.
“Demikian pula selama para
bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu di sini memiliki gaya
yang sama dalam hal berjalan pergi … dan membawa jubah luar dan mangkuknya
seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka melihat
pelanggarannya, mereka mengenalinya sebagai kerusakan di antara para petapa,
hanya sekam dan sampah di antara para petapa. Maka mereka mengusirnya. Karena
alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.
“Misalkan ketika sebuah
tumpukan besar padi sedang ditampi, padi-padi yang utuh dan berbiji membentuk
suatu tumpukan di satu sisi, dan angin meniup padi-padi yang rusak dan sekam ke
sisi lainnya. Kemudian si pemilik mengambil sapu dan menyapunya lebih jauh
lagi. Karena alasan apakah? Agar padi-padi rusak dan sekam itu tidak merusak
padi-padi yang baik.
“Demikian pula selama para
bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu di sini memiliki
gaya yang sama dalam hal berjalan maju … dan membawa jubah luar dan mangkuknya
seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka melihat
pelanggarannya, mereka mengenalinya sebagai [171] kerusakan di antara para
petapa, hanya sekam dan sampah di antara para petapa. Maka mereka mengusirnya.
Karena alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.
“Misalkan seseorang memerlukan
sebuah saluran untuk sumur. Ia akan membawa kapak tajam dan pergi ke hutan. Ia
akan memukul sejumlah pohon dengan bilah kapaknya. Ketika dipukul, pohon
yang kokoh dan padat akan memberikan suara yang padat, tetapi pohon yang lapuk,
rusak, dan membusuk di dalam akan memberikan suara yang kosong. Orang itu
akan memotong pohon itu pada akarnya, memotong pucuknya, dan membersihkannya dengan
seksama, dan menggunakannya sebagai saluran pada sumurnya.
“Demikian pula selama para
bhikkhu tidak melihat pelanggarannya, seseorang tertentu di sini memiliki gaya
yang sama dalam hal berjalan maju … dan membawa jubah luar dan mangkuknya
seperti para bhikkhu baik lainnya. Akan tetapi, ketika mereka melihat
pelanggarannya, mereka mengenalinya sebagai kerusakan di antara para petapa,
hanya sekam dan sampah di antara para petapa. Maka mereka mengusirnya. Karena
alasan apakah? Agar ia tidak merusak para bhikkhu yang baik.” [172]
Dengan hidup bersama dengannya,
mengenalinya sebagai seorang pemarah yang berkeinginan jahat;
seorang pencemar, keras kepala,
dan kurang-ajar, iri, kikir, dan menipu.
Ia berbicara kepada orang-orang
bagaikan seorang petapa,
[berkata kepada mereka] dengan
suara tenang,
tetapi diam-diam ia melakukan perbuatan jahat,
Menganut pandangan sesat, dan
tanpa hormat.
Walaupun ia penuh tipu daya,
pengucap kebohongan;
kalian harus mengenalinya sebagaimana adanya ia
sesungguhnya;
kemudian kalian seluruhnya
harus berkumpul dalam kerukunan
dan dengan tegas mengusirnya.
Tinggalkanlah sampah!
Lenyapkan teman-teman yang rusak!
Sapulah sekam, bukan-petapa yang
menganggap diri mereka sendiri adalah para petapa!
Setelah mengusir mereka yang
berkeinginan jahat,
yang berperilaku dan memiliki
tempat kunjungan yang buruk,
berdiam dalam kerukunan,
senantiasa penuh perhatian,
yang murni dengan yang murni;
maka, dalam kerukunan, awas,
kalian akan mengakhiri
penderitaan.
Namun demikian, kejahatan
adalah sebentuk gejala. Untuk mengatasi kejahatan sampai ke akar-akarnya, maka
sumber kejahatannya yang perlu dieradikasi, yakni “Agama DOSA yang bersumber
dari Kitab DOSA” (disebut demikian, karena justru mempromosikan “PENGHAPUSAN
DOSA bagi KORUPTOR DOSA” alih-alih mengkampanyekan gaya hidup higienis dari
dosa maupun maksiat. Babi, disebut “haram”. Akan tetapi, mengapa terhadap
ideologi KORUP semacam “PENGHAPUSAN DOSA” (abolition
of sins), disebut “halal” serta dijadikan maskot “halal lifestyle”?—kesemuanya dikutip dari Hadis Sahih Muslim:
- No.
4852 : “Dan barangsiapa yang bertemu dengan-Ku dengan membawa kesalahan sebesar isi
bumi tanpa menyekutukan-Ku dengan yang lainnya, maka Aku akan menemuinya dengan
ampunan sebesar itu pula.”
- No.
4857 : “Barang siapa membaca
Subhaanallaah wa bi hamdihi (Maha Suci Allah dan segala puji bagi-Nya) seratus
kali dalam sehari, maka dosanya akan
dihapus, meskipun sebanyak buih lautan.”
- No.
4863 : “Rasulullah shallallahu 'alaihi
wasallam mengajarkan kepada orang yang baru masuk Islam dengan do'a;
Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
tunjukkanlah aku, dan anugerahkanlah aku rizki).”
- No.
4864 : “Apabila ada seseorang yang masuk
Islam, Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengajarinya tentang shalat kemudian
disuruh untuk membaca do'a: Allaahummaghfir lii warhamnii wahdinii wa'aafini
warzuqnii'. (Ya Allah, ampunilah aku,
kasihanilah aku, tunjukkanlah aku, sehatkanlah aku dan anugerahkanlah aku
rizki).”
- No.
4865 : “Ya Rasulullah, apa yang sebaiknya
saya ucapkan ketika saya memohon kepada Allah Yang Maha Mulia dan Maha
Agung?" Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjawab: 'Ketika kamu
memohon kepada Allah, maka ucapkanlah doa sebagai berikut; 'Ya Allah, ampunilah aku, kasihanilah aku,
selamatkanlah aku,”
- Aku
mendengar Abu Dzar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
“Jibril menemuiku dan memberiku kabar gembira, bahwasanya siapa saja yang
meninggal dengan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun, maka dia masuk surga.” Maka saya bertanya,
‘Meskipun dia mencuri dan berzina? ‘ Nabi menjawab: ‘Meskipun dia mencuri dan juga berzina’.” [Shahih
Bukhari 6933]
- Dari Anas radhiallahu ‘anhu, ia berkata :
Saya telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : Allah
ta’ala telah berfirman : “Wahai anak Adam, selagi engkau meminta dan berharap
kepada-Ku, maka Aku akan mengampuni dosamu dan Aku tidak pedulikan lagi.
Wahai anak Adam, walaupun dosamu sampai
setinggi langit, bila engkau mohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku memberi
ampun kepadamu. Wahai anak Adam, jika engkau menemui Aku dengan membawa dosa sebanyak isi bumi, tetapi engkau tiada menyekutukan
sesuatu dengan Aku, niscaya Aku datang kepadamu dengan (memberi) ampunan
sepenuh bumi pula”. (HR. Tirmidzi, Hadits hasan shahih) [Tirmidzi No.
3540]
Seorang
pencuri, dihukum “potong tangan”, oleh sang nabi rasul Allah, junjungan para
“agamais”. Namun mengapa, seorang “KORUPTOR DOSA” justru mengklaim sebagai
rasul Tuhan, terjamin masuk surga, serta dijadikan junjungan serta “standar
moral” para “agamais”? PENDOSA, namun hendak berceramah perihal akhlak, hidup
suci, luhur, adil, jujur, mulia, agung, lurus, bertanggung-jawab, berjiwa
ksatria, dan bersih? Itu ibarat ORANG BUTA, yang hendak menuntun para BUTAWAN
lainnya, berbondong-bondong mereka melaju deras menuju lembah-jurang nista,
dimana neraka pun dipandang sebagai surga.
Siapakah
yang paling mengharap dihapus dosa-dosanya? Tentunya para PENDOSA. Semakin
BERDOSA, semakin sang PENDOSA tergila-gila mencandu dan mabuk “PENGHAPUSAN
DOSA”. Mabuk “DOSA-DOSA UNTUK DIHAPUSKAN” dan disaat bersamaan juga kecanduan
“PENGHAPUSAN DOSA” (keduanya bersifat “bundling” alias satu paket), lewat
teladan mabuk serta kecanduan sang nabi junjungan yang pengakuan dalam
doa-doanya justru membuktikan bahwa dirinya bukanlah “orang baik-baik” yang
bahkan tidak layak menyandang sebutan diri sebagai “manusia”—juga masih dikutip
dari Hadis Muslim:
- No.
4891. “Saya pernah bertanya kepada Aisyah
tentang doa yang pernah diucapkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam
memohon kepada Allah Azza wa Jalla. Maka Aisyah
menjawab; 'Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam pernah berdoa
sebagai berikut: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan
yang telah aku lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4892. “Aku bertanya kepada Aisyah tentang
do'a yang biasa dibaca oleh Nabi shallallahu 'alaihi wasallam, maka dia
menjawab; Beliau membaca: ‘Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari keburukan perbuatan yang telah aku
lakukan dan yang belum aku lakukan.’”
- No.
4893. “dari 'Aisyah bahwa Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam di dalam do'anya membaca: ‘Ya Allah, aku
berlindung kepada-Mu dari keburukkan
sesuatu yang telah aku lakukan, dan dari keburukkan sesuatu yang belum aku
lakukan.’”
- No. 4896. “dari Nabi shallallahu 'alaihi
wasallam bahwasanya beliau pemah berdoa sebagai berikut: ‘Ya Allah, ampunilah kesalahan, kebodohan, dan
perbuatanku yang terlalu berlebihan dalam urusanku, serta ampunilah
kesalahanku yang Engkau lebih mengetahui daripadaku. Ya Allah, ampunilah aku dalam kesungguhanku, kemalasanku, dan ketidaksengajaanku serta kesengajaanku yang semua itu ada pada
diriku. Ya Allah, ampunilah aku atas
dosa yang telah berlalu, dosa yang mendatang, dosa yang aku samarkan, dosa yang
aku perbuat dengan terang-terangan dan dosa yang Engkau lebih mengetahuinya
daripada aku,”
- Aisyah
bertanya kepada Rasulullah SAW, mengapa suaminya shalat malam hingga kakinya
bengkak. Bukankah Allah SWT telah mengampuni dosa Rasulullah baik yang dulu
maupun yang akan datang? Rasulullah menjawab, “Tidak bolehkah aku menjadi
seorang hamba yang banyak bersyukur?” [HR
Bukhari Muslim]