KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Resiko Hukum Menjual Barang / Jasa kepada Pemerintah yang Jarang Diketahui Warga Sipil

Potensi Resiko Tinggi Berurusan dengan Pemerintahan / Lembaga Negara sekalipun Hubungan Hukumnya ialah “Business to Business” Keperdataan

Question: Apa ada atau apa saja resiko hukumnya, berhubungan bisnis jual-beli dengan pihak pemerintah?

Brief Answer: Pemerintahan maupun lembaga negara di Indonesia sudah dikenal “muka badak” alias “tidak punya rasa malu”, sehingga sekalipun menunggak atau bahkan merampas tanah-tanah milik warga, nyata-nyata melanggar hak asasi manusia, sikap arogansi, maupun abai terhadap kewajiban hukumnya, mengakibatkan berhubungan atau beririsan dengan lembaga negara / pemerintahan mengandung resiko tinggi dibaliknya. Menggugat korporasi yang memiliki nama besar dan reputasi, cenderung lebih mudah, bahkan potensi sengketa hukum diselesaikan dalam forum mediasi cenderung tinggi mengingat pihak korporasi dengan nama baik akan memelihara dan menjaga nama baik serta reputasinya. Bahkan Ombudsman sekalipun hanya mampu sejauh memberikan imbauan kepada Kementerian Keuangan untuk “beritikad baik” menaati dan mematuhi putusan pengadilan yang menghukum pemerintah RI untuk membayar kepada warganya yang menggugat dan dimenangkan / dikabulkan gugatan perdatanya oleh pengadilan.

Sebaliknya, dicoreng serta tercoreng apapun wajah lembaga negara ataupun pemerintahan kita, sekalipun wajahnya telah “bopeng sebelah”, tampak tidak memiliki urgensi apapun untuk memperbaiki perangai-integritasnya ketika berhadap-hadapan dengan warga sipil. Kasus-kasus dimana pihak pemerintah (state actor) ataupun penyelenggara negara yang justru “pasang badan” ketika ditagih hutang, sudah jamak terjadi, dimana tiada jaminan bagi warga sipil untuk dilunasi piutangnya—dimana “political will” pemerintah menjadi satu-satunya harapan yang tidak dapat diandalkan sepenuhnya, sehingga lebih kental nuansa politis ketimbang hukum dapat dilunasi atau tidaknya. Bagi kalangan pengusaha yang tidak ingin tergelincir masuk dalam pusaran “gelap” politik birokrasi di Indonesia yang dikenal “penuh ping-pong dan janji-janji minim realisasi”, sebaiknya cukup berfokus “business to business” dengan sesama sipil.

PEMBAHASAN:

Sekalipun sejatinya ketika pihak pemerintah / penyelenggara negara membeli barang / jasa dari penyedia barang / jasa sipil / swasta, maka yang saling berhadapan dan berhubungan hukum ialah “business to business” alias hubungan keperdataan murni. Akan tetapi secara berstandar-ganda, ketika pihak pemerintah digugat (dijadikan tergugat), pihak pemerintah kerap berlindung dibalik Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara yang memberikan banyak imunitas ketika digugat oleh warga sipilnya sendiri, sehingga tidak profesional serta terkesan “mau menang sendiri”. Negara semestinya melindungi dan mengayomi segenap rakyatnya, tanpa terkecuali, alih-alih justru mencurangi dan merampas hak-hak warganya sendiri—sesuai prinsip negara “welfare state”.

Untuk memudahkan pemahaman perihal potensi resiko yang mengintai ketika memutuskan untuk berhubungan hukum transaksi ekonomi dengan pihak pemerintah atau lembaga negara, dapat SHIETRA & PARTNERS ilustrasikan cerminan konkretnya sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa perdata hutang-piutang register Nomor 1479 K/Pdt/2010 tanggal 28 Februari 2011, perkara antara:

- YONI SALIM, sebagai Penggugat; melawan

1. PRESIDEN REPUBLIK Indonesia sebagai Tergugat I;

2. PANGLIMA TINGGI TENTARA NASIONAL Indonesia (TNI) sebagai Tergugat II;

3. KEPALA STAF TENTARA NASIONAL Indonesia ANGKATAN DARAT (TNI-AD) sebagai Tergugat III;

4. PANGLIMA KODAM ISKANDAR MUDA Banda Aceh selaku Tergugat IV.

Penggugat merupakan ahli waris ARIFIN SALIM (pemilik Toko KARYA Lhokseumawe), yang telah pernah melakukan pekerjaan pengadaan alat-alat (sparepart) serta melakukan perawatan berbagai jenis kendaraan I mobil milik Tergugat IV sesuai dengan kebutuhan dan permintaan Tergugat IV pada tahun 1964 sampai dengan tahun 1965. Dari pekerjaan tersebut, orangtua Penggugat mempunyai tagihan biaya-biaya pengadaan dan perawatan (piutang) kepada Tergugat IV, dengan uraian sebagai berikut:

- Tagihan untuk periode I tahun 1964 sebesar Rp 64.218.000,-

- Tagihan untuk periode II tahun 1964 sebesar Rp 27.400.000,-

- Tagihan untuk periode I tahun 1965 sebesar Rp 36.780.450,-

- Tagihan untuk periode II tahun 1965 sebesar Rp 26.493.000,-

Dengan demikian, jumlah tagihan / piutang ialah Rp154.891.450,-

Terhadap permasalahan piutang tersebut diatas, pada bulan April 1966 Tergugat IV telah meminta faktur-faktur barang serta tanda penerimaan / pemakaian alat-alat (sparepart) kendaraan / mobil yang dilanjutkan dengan proses verbal serta menerbitkan Surat Persetujuan Pembayaran terhadap orangtua Penggugat. Akan tetapi walaupun telah ada surat persetujuan pembayaran dari Tergugat IV dan terakhir surat dari Tergugat III (ic. Kepala Dinas Hukum Markas Besar TNI AD) tanggal 9 Juli 1982 serta berbagai usaha penagihan yang telah dilakukan oleh orangtua Penggugat sampai akhir hayatnya, telah ternyata pembayaran hutang Tergugat IV tersebut tidak pernah direalisasikan.

Mengingat adanya perubahan nilai mata uang sejak tahun 1964, maka jumlah hutang Tergugat IV tersebut diatas setelah disesuaikan dengan nilai mata uang pada saat ini berjumlah Rp 5.775.631.555,- (lima milyar tujuh ratus tujuh puluh lima juta lima ratus lima puluh lima rupiah)—perhitungan jumlah hutang tersebut didasarkan kepada yurisprudensi tetap Mahkamah Agung RI No. 74 K/SIP/1969 tanggal 14 Juni 1969 jo. Surat Edaran Mahkamah Agung RI No.MAlPEMB/479/70 tanggal 2 Maret 1970, dengan rumusan dan uraian sebagai berikut: ½ X Hutang X harga emas saat ini / Harga emas pada waktu pengambilan barang. Keterangan Harga emas:

- Harga emas pada tahun 1964 = 1.800,- dan

- Harga emas pada tahun 1965 = 6.000,-

- Harga emas Juni 2007 = 189.500 (sesuai data BPS Sumatera Utara).

Dengan demikian, perhitungan hutang Tergugat IV dengan rumus diatas, menjadi sebagai berikut:

I. Untuk tagihan periode 1964 : ½ X Rp 91.618.000 X 188.000 / 1.800 = Rp 4.784.495.555,-

II. Untuk tagihan periode 1965 : ½ X Rp 63.273.450 X 188.000 / 6.000 = Rp 991.136.000,-

Jumlah hutang pada saat ini adalah Rp 4.784.495.555,- + Rp 991.136.000,- = Rp 5.775.631.555,-.

Penggugat selaku ahli waris ARIFIN SALIM juga telah berusaha dengan berbagai cara untuk mendapatkan hak orangtua Penggugat, dengan bermohon kepada Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III serta Tergugat IV, akan tetapi sampai gugatan ini didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Banda Aceh, ternyata usaha Penggugat tidak mendapat jawaban maupun kepastian realisasi pembayaran hutang-hutang dimaksud. Oleh karena Tergugat IV tidak melakukan pembayaran hutang kepada Penggugat selaku ahli waris ARIFIN SALIM sebagaimana telah diuraikan di atas, maka telah jelas Tergugat I, Tergugat II dan Tergugat IV melakukan inkar janji / wanprestasi.

Sekalipun Penggugat telah berulangkali bermohon kepada Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III, dan Tergugat IV untuk mengadakan upaya penyelesaian secara musyawarah dan terakhir Tergugat IV telah mengirim tim untuk melakukan pemeriksaan kebenaran atas hutang-hutang dimaksud, akan tetapi tidak dicapai suatu kesepakatan apapun. Akibat perbuatan ingkar janji / wanprestasi para Tergugat, akibatnya terbit kerugian materiil yang diderita Penggugat, yakni tidak dapat memanfaatkan sejumlah uang yang merupakan hak Penggugat yaitu sebesar Rp 5.775.631.555,- ditambah dengan keuntungan yang diharapkan berupa bunga 1,2 % (satu koma dua persen) setiap bulannya sejak gugatan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri sampai dibayar lunas.

Adapun bantahan pihak Tergugat ialah, Pengadilan Negeri Banda Aceh tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara ini, karena berdasarkan Pasal 40 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara bahwa Hak untuk menagih hutang beban Negara Kadaluarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, bahwa Penggugat telah mendalilkan dalam gugatanya utang Tergugat IV adalah sejak tahun 1964—1965, dan tenggang waktu tersebut hingga gugatan ini di daftarkan telah menacapai 44 Tahun, maka sesuai dengan ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, adalah telah kadaluarsa karena segala utang Badan Publik yang menggunakan Dana APBN maka penyelesaian Utang tersebut harus tunduk kepada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004.

Secara kurang etis, pihak TNI mendalilkan pula bahwa gugatan Penggugat adalah “Kurang Pihak”, karena Menteri Pertahanan Republik Indonesia dan Menteri Keuangan tidak ikut di tarik dalam Gugatan. Yang berwenang menentukan pembayaran utang Tergugat yang bersumber dari Dana APBN adalah Menteri Pertahanan RI dan yang mengalokasikan dana pembayaran utang Tergugat IV adalah Menteri Keuangan dan berdasarkan ketentuan Pasal 36 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, maka Penyelesaian Utang Negara yang tidak disepakati tidak lebih dari Rp 10.000.000.000.- (sepuluh miliar rupiah) harus berdasarkan penetapan Menteri Keuangan Republik Indonesia, maka seharusnya Menteri Pertahanan dan Menteri Keuangan RI harus ditarik dalam perkara ini—namun mengapa pihak Tergugat yang berwenang membeli, jika kewenangan membayar ialah lembaga lain? Ibarat membeli, namun menyuruh pihak penjual untuk menagihnya kepada pihak lain.

Pihak Tergugat lebih sibuk berkelit daripada bertanggung-jawab (suatu sikap yang jauh dari sifat “ksatria”, militer yang tidak berjiwa “ksatria”), dengan menyatakan bahwa surat gugatan tidak menjelaskan siapa saja ahli waris Arifin Salim (pemilik toko Karya Lhokseumawe), apakah hanya Penggugat sendiri atau ada pihak lain yang menjadi ahli waris Arifin Salim baik ahli waris karena hubungan darah maupun ahli waris berdasarkan surat wasiat atau hibah wasiat, dimana gugatan yang tidak menyebutkan dengan jelas berapa dan siapa saja yang berhak atas objek warisan, dikategorikan sebagai gugatan “kabur” atau tidak jelas (obscuur libel) karena dianggap tidak memenuhi dasar (feitelijke ground) gugatan.

Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Banda Aceh kemudian mengambil sikap sebagaimana register putusan No. 21/Pdt.G/2007/PN.BNA tanggal 2 Juli 2008, dengan amar sebagai berikut:

“MENGADILI :

Dalam Eksepsi:

- Menolak eksepsi Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV untuk seluruhnya;

Dalam Pokok Perkara:

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV yang tidak memenuhi kewajiban untuk membayar kepada Penggugat selaku ahli waris ARIFIN SALIM (Toko Karya) adalah merupakan perbuatan ingkar janji/wanprestasi;

3. Menyatakan menurut hukum bahwa jumlah hutang Tergugat IV setelah disesuaikan dengan nilai mata uang rupiah sampai dengan gugatan ini di daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Banda Aceh adalah sebesar Rp 5.775.631.555,- (lima milyar tujuh ratus tujuh puluh lima juta enam ratus tiga puluh satu ribu lima ratus lima puluh lima rupiah);

4. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV untuk membayar hutang (kerugian materiil) kepada Penggugat secara tanggung renteng sebesar Rp 5.775.631.555,- (lima milyar tujuh ratus tujuh puluh lima juta enam ratus tiga puluh satu ribu lima ratus lima puluh lima rupiah) secara tunai dan sekaligus, ditambah dengan keuntungan yang diharapkan berupa bunga 6% (enam persen) pertahun sejak gugatan ini di daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Banda Aceh sampai dibayar lunas;

5. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV dan atau pihak lain yang mendapat hak maupun wewenang hukum dari padanya untuk tunduk dan patuh terhadap isi putusan dalam perkara ini;

6. Menghukum Para Tergugat untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini secara tanggung renteng yang hingga kini ditaksir sebesar Rp 399.000,- (tiga ratus sembilan puluh sembilan ribu rupiah);

7. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;”

Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat II, III, IV, putusan Pengadilan Negeri tersebut diatas dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi di Banda Aceh, dengan putusannya No. 16/PDT/2009/PT-BNA, tanggal 29 Juni 2009, dengan amar sebagai berikut:

“MENGADILI :

- Menerima permohonan banding dari Tergugat II, III dan IV / Pembanding I, II, IIII tersebut;

- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh tanggal 2 Juli 2008, Nomor : 21/Pdt.G/2007/PN-BNA, yang dimohon banding;

Mengadili Sendiri:

Dalam eksepsi:

- Menolak Eksepsi Tergugat II, III dan IV / Pembanding I, II dan III untuk seluruhnya;

Dalam Pokok Perkara:

- Menolak gugatan Penggugat / Terbanding seluruhnya;”

Pihak Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, menyayangkan sikap lembaga negara yang justru merasa bangga dapat mencurangi dan merugikan warga sipilnya sendiri. Yang menjadi pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi sehingga membuat gugatan Penggugat dinyatakan “ditolak”, ialah kaedah hukum Yurisprudensi MA RI No.701 K/SIP/1974 dan No.1121 K/Pdt/1996 yang menyatakan bahwa bukti fotocopy surat yang tidak disertai aslinya saat diperiksa dan tidak didukung alat bukti lainnya, maka tidak bisa dijadikan alat bukti yang sah menurut hukum.

Penggugat dalam kasasinya mendalilkan, untuk dinyatakan tidak sah atas bukti fotocopy surat yang tidak disertai aslinya maka bukti fotocopy surat harus berdiri sendiri atau tidak didukung oleh bukti lain apapun, sedangkan dalam perkara a quo bukti-bukti surat yang dipertimbangkan Judex Facti ternyata tidak melulu fotocopy yang tidak disertai aslinya tetapi saling terkait dan pendukung bukti-bukti surat utama yang disertai aslinya yang mempunyai pembuktian sempurna seperti suatu akta outentik. Penggguat kemudian merujuk ketentuan Pasal 1 (b) Ordonansi Tahun 1867 No. 29 (tentang kekuatan pembuktian dari pada tulisan-tulisan di bawah tangan), yang mengatur:

“Tulisan-tulisan di bawah tangan, berasal dari orang-orang Indonesia atau orang-orang yang dipersamakan yang diakui oleh mereka terhadap siapa tulisan-tulisan itu diajukan atau sebagai telah diakui, memberikan pembuktian yang sempurna seperti suatu akta outentik."

Sementara itu Pasal 2 Ordonansi tersebut, mengatur:

“Barang siapa yang terhadapnya diajukan suatu tulisan di bawah tangan dengan kewajiban secara tegas mengakui atau menyangkal tandatangan, tetapi bagi ahli warisnya atau orang yang mendapat hak dari padanya cukuplah jika mereka menerangkan tidak mengakui tulisan atau tandatangan orang yang mereka wakili.”

Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa alasan-alasan dari Pemohon Kasasi tersebut dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri telah salah dalam menerapkan hukum pembuktian, karena Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 tidak berlaku retroaktif adalah tepat;

“Bahwa orang tua Penggugat wafat pada tahun 2003 dan sejak tahun 1966 secara terus menerus menagih hutang tersebut, tetapi tidak dipenuhi oleh para Tergugat;

“Bahwa pada tahun 1966 para Tergugat menyetujui pembayaran hutang tersebut, tetapi tidak direalisasikan;

“Bahwa Judex Facti telah salah karena telah mengesampingkan bukti-bukti surat berupa foto copy, padahal bukt-bukti tersebut saling bersesuaian antara satu dengan lainnya serta ada beberapa surat aslinya dan didukung pula pengakuan Tergugat IV yang telah mempunyai hutang kepada Penggugat yang belum dibayar yaitu sebesar Rp 154.000.000,- (seratus lima puluh empat juta rupiah) atas jasa Penggugat memenuhi kebutuhan suku cadang / sparepart serta merawat kendaraan milik Tergugat IV pada tahun 1964 dan 1965, yang jika diperhitungkan dengan nilai mata uang sekarang adalah sebagaimana yang telah dirinci dalam pertimbangan Judex facti Pengadilan Negeri, yaitu sebessar Rp 5.775.631.555,- (lima miliar tujuh ratus tujuh puluh lima juta enam ratus tiga puluh satu ribu lima ratus lima puluh lima rupiah), sedangkan para Tergugat tidak berhasil membuktikan dalil-dalil sangkalannya bahwa jasa Penggugat telah dibayar lunas oleh para Tergugat;

“Bahwa apabila hubungan keperdataan ini tidak terselesaikan, akan merupakan pengalaman buruk yang dapat mencoreng citra TNI-AD di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (ex aequo et bono), seharusnya aparat Pemerintah Daerah harus memberikan contoh yang baik agar terselenggara ketenangan berkehidupan masyarakat di Daerah Aceh;

“Bahwa oleh karena pertimbangan dan putusan Pengadilan Negeri dianggap telah tepat dan benar, maka diambil alih sebagai pertimbangan Mahkamah Agung;

“Bahwa namun demikian, Hakim Agung Dr.H. Mohammad Saleh, SH., MH. mengajukan pendapat yang berbeda (dissenting opinion) dengan pertimbangan sebagai berikut:

“Bahwa Judex Facti / Pengadilan Tinggi tidak salah menerapkan hukum, karena bukti P.5, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 16, 20, 21, 23, 24 berupa foto copy tanpa pernah diperlihatkan dan dicocokkan dengan aslilnya;

“Bahwa dalil gugatan bahwa hutang terjadi pada tahun 1964/1965, sedangkan gugatan diajukan pada tanggal 28 Juni 2007, jadi sudah 43 tahun, maka hutang pada Negara kadaluarsa setelah 5 tahun sejak jatuh tempo sesuai dengan ketentuan Pasal 60 Stbl No. 448 Tahun 1925 (Indonesiche comptabiliteits wet, jo. Pasal 40 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004, Pasal 40 tentang Perbendaharaan Negara;

“Bahwa atas dasar pertimbangan tersebut Hakim Agung Dr.H. Mohammad Saleh, SH., MH. berpendapat Permohonan kasasi harus ditolak, karena Pemohon Kasasi tidak dapat membuktikan dalil-dalil gugatannya;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, menurut pendapat Mahkamah Agung terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : YONI SALIM, dan membatalkan putusan Pengadilan Tinggi di Banda Aceh, No. 16/PDT/2009/PT-BNA, tanggal 29 Juni 2009, yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No. 21/Pdt.G/2007/PN.BNA, tanggal 2 Juli 2008, serta Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;

M E N G A D I L I :

- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : YONI SALIM tersebut;

- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi di Banda Aceh, No. 16/PDT/2009/PT-BNA, tanggal 29 Juni 2009, yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh No. 21/Pdt.G/2007/PN.BNA, tanggal 2 Juli 2008;

MENGADILI SENDIRI :

Dalam Eksepsi :

- Menolak eksepsi Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV untuk seluruhnya;

Dalam Pokok Perkara :

1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;

2. Menyatakan menurut hukum bahwa perbuatan Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV yang tidak memenuhi kewajiban untuk membayar kepada Penggugat selaku ahli waris ARIFIN SALIM (Toko Karya) adalah merupakan perbuatan ingkar janji / wanprestasi;

3. Menyatakan menurut hukum bahwa jumlah hutang Tergugat IV setelah disesuaikan dengan nilai mata uang rupiah sampai dengan gugatan ini di daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Banda Aceh adalah sebesar Rp 5.775.631.555,- (lima milyar tujuh ratus tujuh puluh lima juta enam ratus tiga puluh satu ribu lima ratus lima puluh lima rupiah);

4. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV untuk membayar hutang (kerugian materiil) kepada Penggugat secara tanggung renteng sebesar Rp 5.775.631.555,- (lima milyar tujuh ratus tujuh puluh lima juta enam ratus tiga puluh satu ribu lima ratus lima puluh lima rupiah) secara tunai dan sekaligus, ditambah dengan keuntungan yang diharapkan berupa bunga 6% (enam persen) pertahun sejak gugatan ini di daftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Banda Aceh sampai dibayar lunas;

5. Menghukum Tergugat I, Tergugat II, Tergugat III dan Tergugat IV dan atau pihak lain yang mendapat hak maupun wewenang hukum dari padanya untuk tunduk dan patuh terhadap isi putusan dalam perkara ini;

6. Menolak gugatan Penggugat untuk selain dan selebihnya;”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.