Sengketa Tindakan Pemerintahan Berupa “Sipil Vs TNI”, menjadi Kompetensi Absolut Pengadilan Negeri (PN) ataukah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)?
Question: Ada kesatuan militer (TNI) yang mencoba menyerobot lahan milik keluarga kami dengan secara “main hakim sendiri” mematok tanah—meski itu kewenangan BPN bilamana memang militer punya sertifikat hak atas tanah—serta mengusir warga pemilik tanah adat meski itu domain pengadilan untuk melakukan eksekusi pengosongan, disamping intimidasi verbal maupun nonverbal, bisa digugat kemana, ke PN ataukah ke PTUN? Bukankah belum ada PTUN khusus militer seperti pengadilan khusus untuk militer, mengingat Undang-Undang PTUN bilang bahwa segala terkait militer itu bukan domain PTUN?
Brief Answer: Tampaknya ketentuan yang membatasi lingkup
domain PTUN sebagaimana semula diatur dalam Undang-Undang tentang PTUN, telah
diubah oleh Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan, sehingga “perbuatan
faktual” militer / TNI dapat menjadi objek gugatan ke PTUN.
PEMBAHASAN:
SURAT EDARAN
NOMOR 1
TAHUN 2022
TENTANG
PEMBERLAKUAN
RUMUSAN HASIL RAPAT PLENO KAMAR
MAHKAMAH AGUNG
TAHUN 2022 SEBAGAI PEDOMAN PELAKSANAAN
TUGAS BAGI
PENGADILAN
RUMUSAN HUKUM
RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH
AGUNG
TAHUN 2022
E. RUMUSAN HUKUM KAMAR TATA
USAHA NEGARA
Pembakuan Amar Putusan Terkait
dengan KTUN / Tindakan Faktual yang Dinyatakan Tidak Sah Pembakuan Amar
Putusan terkait dengan KTUN / Tindakan Faktual yang diterbitkan atau
dilakukan oleh Pejabat yang tidak berwenang, sebagai berikut.
a. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya.
b. Menyatakan tidak sah KTUN / Tindakan Faktual objek sengketa.
c. Mewajibkan Tergugat untuk mencabut KTUN atau memerintahkan Tergugat
untuk melakukan / tidak melakukan Tindakan Faktual Objek sengketa.
d. Menghukum Tergugat untuk membayar biaya perkara.”
Berikut ini ialah kutipan dari
pertimbangan hukum putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 73/G/2011/PTUN.JKT
tanggal 4 Mei 2011—terbit sebelum Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan
yang baru terbit pada tahun 2014, sehingga masih memakai dasar hukum berupa Undang-Undang
tentang PTUN:
“Menimbang, bahwa dalam
Keputusan Tergugat tersebut mengenai Pemberhentian dengan tidak hormat dari
dinas keprajuritan Tentara Nasional Indonesia anggota Tentara Nasional Indonesia
(TNI);
“Menimbang, bahwa berdasarkan
Pasal 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 yang telah diubah pertama dengan Undang-Undang
No. 9 Tahun 2004 dan Perubahan Kedua dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009
disebutkan bahwa:
Tidak termasuk pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut
Undang-Undang ini:
- Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
- Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum;
- Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
- Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang- Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
- Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
- Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional
Indonesia;
- Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai
hasil pemilihan umum;
“Menimbang, bahwa menurut Ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta, obyek gugatan a quo menyangkut pemberhentian
anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang merupakan ta ta usaha TNI, oleh
karenanya termasuk ke dalam Keputusan Tata Usaha Negara Pasal 2 huruf f Undang-Undang
No. 5 Tahun 1986 sebagaimana terkahir diubah dengan Undang-Undang No. 51 Tahun
2009 walaupun Keputusan Tata Usaha Negara tetapi bukan merupakan obyek sengketa
di Pengadilan Tata Usaha Negara;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan diatas dengan demikian pokok gugatan Penggugat nyata-nyata tidak
termasuk wewenang Pengadilan Tata Usaha Negara sebagaimana ketentuan Pasal
62 ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 5 Tahun 1986 yang telah diubah terakhir
dengan Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
No.5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;
“Menimbang, bahwa oleh
karenanya, gugatan Penggugat harus dinya takan tidak diterima dan kepada Penggugat
juga diwajibkan untuk membayar biaya perkara yang timbul dalam sengketa ini,
yang besarnya akan ditentukan pada amar di bawah ini;
“MENETAPKAN :
- Menyatakan gugatan Penggugat tidak
diterima;”
Dengan demikian, Keputusan Tata
Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia (TNI) tidak
termasuk sebagai objek gugatan ke PTUN menurut Undang-Undang tentang PTUN. Akan
tetapi, pertanyaannya ialah : apakah “perbuatan faktual” atau “sengketa
tindakan pemerintahan” terkait TNI, dikecualikan oleh Undang-Undang tentang
Administrasi Pemerintahan, mengingat “perbuatan faktual” mauapun “sengketa
tindakan pemerintahan” baru pertama kalinya diatur oleh Undang-Undang tentang
Administrasi Pemerintahan pada tahun 2014?
Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan mengatur sebagai berikut, yang mengubah
berbagai ketentuan dalam Undang-Undang tentang PTUN, antara lain:
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan:
1. Administrasi Pemerintahan adalah tata laksana dalam pengambilan
keputusan dan/atau tindakan oleh badan dan/atau pejabat
pemerintahan.
3. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan
Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara
lainnya.
18. Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 4
(1) Ruang lingkup pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam
Undang-Undang ini meliputi semua aktivitas:
a. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi
Pemerintahan dalam lingkup lembaga eksekutif;
b. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi
Pemerintahan dalam lingkup lembaga yudikatif;
c. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang menyelenggarakan Fungsi
Pemerintahan dalam lingkup lembaga legislatif; dan
d. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan lainnya yang menyelenggarakan
Fungsi Pemerintahan yang disebutkan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dan/atau undang-undang.
Pasal 8
(1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan harus
ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang
berwenang.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menggunakan Wewenang wajib
berdasarkan:
a. peraturan perundang-undangan; dan
b. AUPB.
(3) Pejabat Administrasi Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Kewenangan
dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan.
Pasal 9
(1) Setiap Keputusan dan/atau Tindakan wajib
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan dan AUPB.
(2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar Kewenangan; dan
b. peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menetapkan
dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau
melakukan Keputusan dan/atau Tindakan wajib mencantumkan
atau menunjukkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar
Kewenangan dan dasar dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau
Tindakan.
(4) Ketiadaan atau ketidakjelasan peraturan perundang-undangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, tidak menghalangi Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan yang berwenang untuk menetapkan dan/atau melakukan
Keputusan dan/atau Tindakan sepanjang memberikan
kemanfaatan umum dan sesuai dengan AUPB.
Pasal 15
(1) Wewenang Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dibatasi oleh:
a. masa atau tenggang waktu Wewenang;
b. wilayah atau daerah berlakunya Wewenang; dan
c. cakupan bidang atau materi Wewenang.
Pasal 17
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan
Wewenang.
(2) Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. larangan melampaui Wewenang;
b. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
c. larangan bertindak sewenang-wenang.
Pasal 18
(1) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan melampaui Wewenang
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a apabila Keputusan dan/atau
Tindakan yang dilakukan:
a. melampaui masa jabatan atau batas waktu berlakunya Wewenang;
b. melampaui batas wilayah berlakunya Wewenang; dan/atau
c. bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan mencampuradukkan
Wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf b apabila Keputusan
dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a. di luar cakupan bidang atau materi Wewenang yang diberikan; dan/atau
b. bertentangan dengan tujuan Wewenang yang diberikan.
(3) Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dikategorikan bertindak
sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c apabila
Keputusan dan/atau Tindakan yang dilakukan:
a. tanpa dasar Kewenangan; dan/atau
b. bertentangan dengan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pasal 70
(1) Keputusan dan/atau Tindakan tidak sah apabila:
a. dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang tidak
berwenang;
b. dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang melampaui
kewenangannya; dan/atau
c. dibuat oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan yang bertindak
sewenang-wenang.
(2) Akibat hukum Keputusan dan/atau Tindakan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menjadi:
a. tidak mengikat sejak Keputusan dan/atau Tindakan tersebut ditetapkan;
dan
b. segala akibat hukum yang ditimbulkan dianggap tidak pernah ada.
Pasal 87
Dengan berlakunya Undang-Undang ini, Keputusan Tata Usaha
Negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor
9 Tahun 2004 dan Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 harus dimaknai sebagai:
a. penetapan
tertulis yang juga mencakup tindakan faktual;
b. Keputusan
Badan dan/atau Pejabat Tata Usaha Negara di lingkungan eksekutif,
legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya;
c. berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan AUPB;
d. bersifat final dalam arti lebih luas;
e. Keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum;
dan/atau
f. Keputusan yang berlaku bagi Warga Masyarakat.
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 30 TAHUN 2014
TENTANG
ADMINISTRASI PEMERINTAHAN
I. UMUM
Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan mengaktualisasikan secara khusus norma konstitusi hubungan antara
negara dan Warga Masyarakat. Pengaturan Administrasi Pemerintahan dalam
Undang-Undang ini merupakan instrumen penting dari negara hukum yang
demokratis, dimana Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau
dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara
lainnya yang meliputi lembaga-lembaga di luar eksekutif, yudikatif, dan
legislatif yang menyelenggarakan fungsi pemerintahan yang memungkinkan untuk
diuji melalui Pengadilan. Hal inilah yang merupakan nilai-nilai ideal dari
sebuah negara hukum. Penyelenggaraan kekuasaan negara harus berpihak kepada
warganya dan bukan sebaliknya.”
Selanjutnya, mengingat kebaruan
sifat pengaturan “tindakan / perbuatan faktual” badan / pejabat pemerintahan
sebagaimana baru pertama kalinya diatur oleh Undang-Undang tentang Administrasi
Pemerintahan pada tahun 2014, maka untuk memahami dan implementasinya perlu dikaitkan
dengan aturan teknis “sengketa tindakan pemerintahan” berupa:
PERATURAN
MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK
INDONESIA
NOMOR 2
TAHUN 2019
TENTANG
PEDOMAN
PENYELESAIAN SENGKETA TINDAKAN PEMERINTAHAN DAN KEWENANGAN MENGADILI PERBUATAN
MELANGGAR HUKUM OLEH BADAN DAN/ATAU PEJABAT PEMERINTAHAN (ONRECHTMATIGE
OVERHEIDSDAAD)
c. bahwa ketentuan peralihan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tidak
menyebutkan kewenangan mengadili perkara onrechtmatige overheidsdaad, dan
ketentuan hukum acara penyelesaian sengketa Tindakan Pemerintahan juga belum
diatur;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a
sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang
Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan Mengadili
Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan
(Onrechtmatige Overheidsdaad);
Pasal 1
Dalam Peraturan Mahkamah Agung
ini yang dimaksud dengan:
1. Tindakan Pemerintahan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan
atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan
perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
2. Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi
Pemerintahan baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.
3. Sengketa Tindakan Pemerintahan adalah sengketa yang timbul
dalam bidang administrasi pemerintahan antara Warga Masyarakat dengan Pejabat
Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya sebagai akibat dilakukannya
Tindakan Pemerintahan.
4. Sengketa Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) adalah sengketa yang di dalamnya
mengandung tuntutan untuk menyatakan tidak sah dan/atau batal tindakan Pejabat
Pemerintahan, atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat beserta ganti-rugi
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
8. Gugatan terhadap Tindakan Pemerintahan adalah permohonan berisi
tuntutan terhadap Tindakan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada angka 1 yang
diajukan ke pengadilan untuk mendapatkan putusan.
9. Pengadilan adalah Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan
Tinggi Tata Usaha Negara di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
Pasal 2
(1) Perkara perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat
Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) merupakan kewenangan peradilan tata
usaha negara.
(2) Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang mengadili Sengketa Tindakan
Pemerintahan setelah menempuh upaya administratif sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan dan
Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelesaian
Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya Administratif.
Pasal 3
Warga Masyarakat dapat
mengajukan Gugatan Tindakan Pemerintahan secara tertulis kepada
Pengadilan yang berwenang dengan menyebutkan alasan:
a. bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan; dan
b. bertentangan dengan
asas-asas umum pemerintahan yang baik.
Pasal 4
(1) Gugatan diajukan paling lama 90 (sembilan puluh) Hari sejak
Tindakan Pemerintahan dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Adrninistrasi
Pemerintahan.
(2) Selama Warga Masyarakat menempuh upaya administratif, tenggang waktu
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbantar sampai keputusan upaya
administratif terakhir diterima.
Pasal 5
(1) Putusan Pengadilan dapat berupa:
a. Gugatan ditolak;
b. Gugatan dikabulkan;
c. Gugatan tidak diterima; dan
d. Gugatan gugur.
(2) Dalam hal Gugatan dikabulkan, Pengadilan dapat mewajibkan kepada
Pejabat Administrasi Pemerintahan untuk:
a. melakukan Tindakan Pemerintahan;
b. tidak melakukan Tindakan Pemerintahan; dan
c. menghentikan Tindakan Pemerintahan.
Pasal 7
Ketentuan Hukum Acara yang
diatur di dalam BAB IV Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata
Usaha Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tetap berlaku, kecuali
ditentukan lain dalam Peraturan Mahkamah Agung ini.
Pasal 8
Setiap frasa "Keputusan
Tata Usaha Negara" dan frasa "Sengketa Tata Usaha Negara" yang
tercantum dalam BAB IV Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan
Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara haruslah dimaknai
juga sebagai "Tindakan Pemerintahan" dalam rangka penyelesaian
Sengketa Tindakan Pemerintahan menurut Peraturan Mahkamah Agung ini.
PERMA diatas menegaskan, yang
juga harus dimaknai juga sebagai “Tindakan Pemerintahan” terhadap frasa “Keputusan
Tata Usaha Negara”, maupun “Sengketa Tindakan Pemerintahan” terhadap frasa “Sengketa
Tata Usaha Negara”, hanya terhadap apa yang tercantum dalam BAB IV Undang-Undang
tetangna PTUN. Kini mari kita merujuk langsung pada Undang-Undang Undang-Undang
Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang
Peradilan Tata Usaha Negara, yakni:
BAB I
KETENTUAN
UMUM
Pasal 2
Tidak termasuk dalam pengertian
Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang ini:
a. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
b. Keputusan Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat
umum;
c. Keputusan Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
d. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau
peraturan perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
e. Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan
badan peradilan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku;
f. Keputusan Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
g. Keputusan Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai
hasil pemilihan umum.
BAB IV
HUKUM ACARA
Pasal 53
(1) Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya
dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan
tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata
Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan
atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/atau rehabilitasi.
(2) ... .”
Penutup oleh SHIETRA & PARTNERS:
Kini menjadi jelas, sebagai
kesimpulannya, “tindakan pemerintahan (TNI)” maupun “sengketa tindakan pemerintah
(TNI)” dapat diajukan ke hadapan PTUN, mengingat “tindakan pemerintahan” baru
pertama kalinya diatur dalam Undang-Undang tentang Administrasi Pemerintahan,
bukan oleh Undang-Undang tentang PTUN, dimana Undang-Undang tentang
Administrasi Pemerintahan tidak mengecualikan “tindakan / perbuatan
melawan hukum TNI” sebagai objek gugatan ke hadapan PTUN—dimana juga Undang-Undang
tentang Administrasi Pemerintahan memiliki fungsi sebagai perubahan terhadap Undang-Undang
tentang PTUN berdasarkan asas “lex
posterior derogat legi priori”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.