Sertifikat Tanah BPN Bisa Dibatalkan Sepanjang
Dibuktikan Adanya Cacat Prosedur Penerbitannya, Lewat Gugatan ke PTUN,
Sekalipun Umur Sertifikat Tanah Sudah Lebih dari Lima Tahun
ULTRA PETITUM dalam Perkara PTUN, Dimungkinkankah dan Dibolehkankah?
Question: Tanah yang telah keluarga kami tempati dan kelola
secara turun-temurun, tiba-tiba diklaim sebagai milik suatu pihak yang tidak
pernah kami kenali sebelumnya juga bukan warga setempat, dengan alasan mereka
telah memiliki sertifikat tanah BPN (Badan Pertanahan Nasional) atas tanah yang
kami tempati. Kami merasa ini penyerobotan terselubung, dengan mengatas-namakan
Sertifikat BPN, BPN mana bahkan tidak pernah melakukan prosedur wajib berupa
pengukuran batas-batas bidang tanah sebelum menerbitkan sertifikat untuk pihak
yang tidak kami kenal tersebut.
Bagaimana pandangan hukumnya atas kejadian ini? Bukankah pengukuran bidang tanah merupakan jantung dari peran dan fungsi BPN agar tidak terjadi “overlaping” atau tumpang-tindih dengan hak atas tanah milik warga setempat lainnya? Kerugian kami sudah jelas, kami diancam serta terancam akan digusur secara paksa maupun lewat cara-cara politis, juga pihak keluarga kami tidak bisa mengajukan permohonan sertifikat tanah atas bidang tanah yang nyata-nyata sudah kami tempati serta kelola tanpa gangguan selama puluhan tahun ini.
Brief Answer: Merupakan modus klasik yang masih terjadi hingga
saat kini, ketika warga lain maupun suatu institusi pemerintahan menggusur
tanah milik warga yang telah bermukim dan mengelola bidang tanah secara
turun-temurun (aquisitive verjaring),
secara mendadak muncul pihak ketiga yang mengklaim memiliki sertifikat hak atas
tanah terbitan Kantor Pertanahan atas tanah milik warga pemukim tersebut, baik
sebagian maupun keseluruhannya.
Sekalipun, norma hukum agraria nasional di
Indonesia telah mewajibkan syarat formal pemohon pendaftaran hak atas tanah ke
hadapan BPN, yakni pihak pemohon telah menguasai fisik objek tanah secara “itikad
baik” selama setidaknya 20 (dua puluh) tahun tanpa terputus serta tanpa
ditelantarkan ataupun “guntai”. Solusinya ialah mengajukan gugatan ke hadapan
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) agar sertifikat hak atas tanah yang cacat
formal demikian dibatalkan karena mal-administratif prosedur penerbitannya.
Modus yang lebih sistematik lagi yang tidak
jarang SHIETRA & PARTNERS jumpai dalam praktik di lapangan ialah,
Sertifikat Tanah BPN tersebut baru dimunculkan oleh suatu pihak setelah
Sertifikat Tanah BPN dimaksud diterbitkan 5 (lima) tahun, membuat pihak yang
menempati serta mengelola secara efektif bidang tanah selama puluhan tahun mendadak
menjadi terkejut bahwa telah ternyata suatu pihak telah memohon sertifikat hak
atas tanah diatas bidang tanah, dimana mengindikasikan adanya kelalaian ataupun
kesengajaan dari pihak Kantor Pertanahan yang tidak melakukan mekanisme berupa
prosedur pengukuran batas-batas tanah maupun memastikan bahwa pihak pemohon
selama ini adalah benar secara efektif menguasai fisik dan mengelola bidang
tanah, sebelum menerbitkan sertifikat hak atas tanah. Dengan kata lain,
pengukuran pra-penerbitan sertifikat hak atas tanah di BPN, menjadi syarat
mutlak.
PEMBAHASAN:
Sertifikat tanah yang
diterbitkan oleh BPN, bersifat kuat sifat pembuktiannya, namun tidak sempurna
dan tidak mutlak. Masih dibuka peluang untuk membatalkannya, bila nyata-nyata
terdapat mal-administratif proses / prosedur penerbitannya. Pasal 32 Peraturan Pemerintah
Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran tanah, memiliki pengaturan berikut:
(1) Sertifikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat
pembuktian yang kuat mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di
dalamnya, sepanjang data fisik dan data yuridis tersebut sesuai dengan data yang
ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang bersangkutan.
(2) Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertifikat secara
sah atas nama orang atau badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan
itikad baik dan secara nyata menguasainya, maka pihak lain yang
merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi menuntut pelaksanaan hak
tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya sertipikat itu
tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertifikat dan Kepala
Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke
Pengadilan mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertifikat tersebut.”
Pasal 19 Ayat (2) Huruf (c)
UUPA mengatur hal senada, yaitu sertifikat sebagai alat pembuktian yang kuat,
yaitu data fisik dan data yuridis yang dimuat dalam sertifikat dianggap benar sepanjang
tidak dapat di buktikan sebaliknya oleh alat bukti yang lain yang dapat berupa
sertifikat atau selain sertifikat, yakni alas hak lainnya semisal “aquisitive verjaring” ataupun bilamana dapat dibuktikan
bahwa tanah tersebut telah ditelantarkan selama sekian puluh tahun. Yang kerap
terjadi dalam praktik ialah, sebuah sertifikat hak atas tanah diterbitkan untuk
bidang hamparan tanah yang demikian luas, sementara itu penguasaan fisik objek
tanah hanya sebagian kecilnya saja, sementara itu sebagian bidang tanah yang
dimasukkan ke dalam sertifikat tanah BPN telah “mencaplok” bidang-bidang tanah
warga sekitar yang dikuasai fisiknya oleh warga setempat.
Ketentuan pasal 32 Ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah merupakan
penjabaran dari ketentuan pasal 19 Ayat (2) huruf c Pasal 23 ayat (2), Pasal 32
ayat (2) dan Pasal 38 ayat (2) UUPA, yang berisikan bahwa pendaftaran tanah
menghasilkan surat tanda yang berlaku sebagai pembuktian yang kuat, maksudnya
bahwa keterangan-keterangan yang tercantum di dalamnya mempunyai kekuatan hukum
dan harus diterima sebagai keterangan yang benar, selama dan sepanjang tidak
ada alat pembuktian lain yang membuktikan sebaliknya. (Adrian Sutedi, 2009,
Peraihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 80).
Ketentuan Pasal 32 ayat (1)
Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tersebut mengisyaratkan sifat
pendaftaran tanah yang dianut hukum agraria di Indonesia adalah “sistem
publikasi negatif”, yang bermakna : sertifikat hanya merupakan surat
tanda bukti yang bersifat kuat dan bukan merupakan hak tanda bukti yang
bersifat mutlak. (Hartanto Andy, 2009, Problematika Hukum Jual Beli Tanah
Belum Bersertifikat, Cet I, Laksbang Mediatma, Yogyakarta, hlm. 34). Sejarah /
historis penguasaan fisik menjadi penting, memastikan bahwa orang yang
bersangkutan benar-benar menguasai secara fisik seluruh bidang tanah
tersebut dan menghindari terjadi dua penguasaan hak yang berbeda yaitu hak atas
(fisik) dan hak bawah (surat). Hal ini penting di dalam proses pembebasan
tanah, khususnya dalam pelepasan hak atau ganti rugi, dan untuk memastikan
bahwa si pemegang surat (sertifikat) tersebut tidak menelantarkan tanah
tersebut karena adanya fungsi sosial tanah dan asas larangan “guntai”.
Apa yang kemudian menjadi
pendirian praktik peradilan di PTUN, terhadap kasus-kasus semacam demikian? Salah
satu ilustrasi konkretnya, dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan dalam putusan
Mahkamah Agung RI sengketa tata usaha negara terkait sertifikat hak atas tanah,
register Nomor 179 PK/TUN/2017 tanggal 21 November 2017, perkara antara:
- Kepala Kantor Pertanahan Kota
Administrasi Jakarta Barat, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali, semula selaku Tergugat;
melawan
- 6 (enam) orang warga, selaku Para
Termohon Peninjauan Kembali, semula sebagai Para Penggugat.
Yang menjadi Obyek Gugatan
ialah Surat Keputusan BPN tentang Penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB)
Nomor 04142 surat ukur tanggal 21 November 2013, Nomor 00122/2013, Luas 1.172
m² di Kelurahan Kapuk Kecamatan Cengkareng,Kota Administrasi Jakarta Barat,
diterbitkan pada tanggal 1 September 2014 atas nama pemegang serfitikat, yakni
terdiri dari nama-nama : Harry Karauwan, Wiesye Marlein Prasetyo, Robert
Richard Karauwan, dan Adrian Abram Karauwan. Atas penerbitan Sertifikat Hak
Guna Bangunan oleh Tergugat, telah menimbulkan akibat hukum berupa Penggugat tidak
bisa memohonkan Hak atas bidang tanah yang telah mereka tempati dari tahun 1978,
dan Para penggugat kehilangan haknya untuk memperoleh tempat tinggal.
Berdasarkan ketentuan Pasal 53
ayat (1) Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, mengatur : “Seseorang atau badan hukum perdata yang
merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara dapat
mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan
agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau
tidak sah, dengan atau tanpa diserta ganti rugi dan/atau rehabilitasi.”
Pada tanggal 20 Agustus 1978,
ayah dari Penggugat yaitu M. Akui telah membeli sebidang tanah, seluas Kurang
Lebih 600 m2 (enam ratus meter persegi), dengan kwitansi pembelian tertanggal
20 Agustus 1978. Karena kendala terbatasnya pengetahuan akan Hukum, maka bukti
terjadinya jual-beli tersebut hanya didasarkan pada kwitansi jual beli. [Note SHIETRA
& PARTNERS : Kuitansi bukanlah akta otentik PPAT juga bukanlah “alas
hak”, terlebih dibenakan sebagai cara untuk mengalihkan hak atas tanah. Namun
“alas hak” pihak Penggugat, ialah “aquisitive
verjaring”, yakni telah menempati dan menggarap bidang tanah secara “itikad
baik” selama kurun waktu 20—30 tahun lamanya, sehingga secara hukum telah
dikategorikan sebagai pemilik “akibat lewatnya waktu”.]
M. Akui sebagai ayah atau orang
tua kandung dari Penggugat dari tahun 1978 sampai dia meninggal, telah
membangun lima buah bangunan diatas tanah sengketa Tersebut, dan tidak pernah
melakukan peralihan atas tanah sengketa tersebut. Penggugat selalu melakukan
kewajibannya untuk membayar Pajak Bumi Bangunan dari tahun 1978 sampai tahun
2014 yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT), atas tanah
Sengketa dimaksud seluas 643 m2.
Tanggal 09 September 2014,
Penggugat mendapatkan somasi yang memerintahkan Penggugat untuk segera
mengosongkan tanah oleh Robert R. Karauwan CS. yang merupakan anak dari Alex
Karauwan, dengan dalih Tanah Sengketa Tersebut adalah milik Robert R. Karauwan CS.
Penggugat merasa dirugikan, karena Tanah Sengketa yang dikuasai oleh Penggugat
dari tahun 1978, tidak pernah di jual Belikan Kepada siapapun. Sejak saat
itulah Penggugat selalu diintimidasi oleh Robert R. Karauwan, dengan dalih ia
mempunyai Sertifikat Hak Guna Bangunan atas Tanah Sengketa yang diterbitkan
oleh Tergugat.
Tindakan Tergugat yang menerbitkan
sertifikat atas tanah seluas kurang lebih 1.172 m2, telah merugikan Penggugat, mengingat
tanah Penggugat ikut masuk kedalam sertifikat Hak Guna Bangunan tersebut,
sehingga kini diklaim sebagai milik pihak pemegang sertifikat tanah BPN. Tergugat
telah lalai menjalankan tugasnya berupa melakukan Pengukuran batas–batas atas
Tanah Sengketa, terbukti Surat Ukur dalam sertifikat Hak Guna Bangunan dimaksud
menyatakan bahwa objek Tanah Sengketa adalah sebidang tanah kosong, padahal
pada kenyataannya di dalam Tanah Sengketa tersebut telah berdiri 5 (lima) bangunan,
sejak tahun 1978.
Tindakan Tergugat menerbitkan
sertifikat atas tanah sengketa dengan sertifikat Hak Guna Bangunan dengan “gambar
situasi” yang menyertainya, merupakan tindakan yang bertentangan dengan peraturan
perundangan yang berlaku maupun asas-asas umum pemerintahan yang baik, maka surat
keputusan BPN yang menjadi dasar penerbitan sertifikat tersebut harus dibatalkan.
Para Penggugat baru mengetahui
adanya Sertifikat Tanah BPN dimaksud, pada saat Para Penggugat diperiksa di
Kepolisian Resort Jakarta Barat atas dugaan tindak pidana penggelapan dan
memasuki pekarangan orang lain tanpa izin Pasal 385 KUHP dan 167 KUHP. Atas
dasar peristiwa tersebut, Penggugat mohon kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
Jakarta agar memberikan putusan sebagai berikut:
- Menyatakan batal atau tidak
sah Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 04142 surat ukur tanggal 21 November
2013, Nomor 00122/2013, Luas 1.172m² di Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng,
Kota Administrasi Jakarta Barat di terbitkan pada tanggal 1 September 2014 atas
nama pemegang Hak Harry Karauwan, Wiesye Marlein Prasetyo, Robert Richard Karauwan,
Adrian Abram Karauwan;
- Memerintahkan kepada Tergugat
Untuk Mencabut Sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 04142 surat ukur tanggal 21
November 2013, nomor 00122/2013, Luas 1.172 m² di Kelurahan Kapuk, Kecamatan
Cengkareng, Kota Administrasi Jakarta Barat di terbitkan pada tanggal 1
September 2014 atas nama pemegang Hak Harry Karauwan, Wiesye Marlein Prasetyo, Robert
Richard Karauwan, Adrian Abram Karauwan;
Terhadap gugatan Penggugat,
Tergugat mengajukan tanggapan dengan pokok bantahan bahwa gugatan Penggugat pada
intinya menyatakan M Akui membeli sebidang tanah, namun dalil demikian belum
pernah diuji kebenarannya secara perdata. Dengan kata lain, ada “sengketa
kepemilikan”, dimana untuk menguji apakah jual-beli tersebut sah atau tidaknya
merupakan kewenangan Pengadilan Perdata, sehingga gugatan Penggugat ke
Pengadilan Tata Usaha Negara bersifat “prematur”.
Terhadap gugatan Penggugat
maupun bantahan Tergugat, yang kemudian menjadi amar Putusan Pengadilan Tata
Usaha Negara Jakarta Nomor 247/G/2014/PTUN.JKT, tanggal 30 April 2015, dengan
amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
I. DALAM EKSEPSI:
- Menyatakan Eksepsi Tergugat
Tidak Dapat Diterima (niet onvantkelijk verklaard);
II. DALAM POKOK SENGKETA:
1. Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan batal Keputusan Tergugat berupa; Sertifikat Hak Guna
Bangunan Nomor 04142 surat ukur tanggal 21 November 2013, Nomor 00122/2013,
Luas 1.172m² di Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Kota Administrasi
Jakarta Barat di terbitkan pada tanggal 1 September 2014 atas nama pemegang Hak
Harry Karauwan, Wiesye Marlein Prasetyo, Robert Richard Karauwan, Adrian Abram
Karauwan, sepanjang bidang tanah milik Para Penggugat yang terletak dijalan
Kapuk Peternakan I Nomor 34 A – B, RT. 003, RW. 007, Cengkareng, Kota Jakarta
Barat Seluas Kurang Lebih 600 m² (enam ratus meter persegi);
3. Memerintahkan kepada Tergugat untuk mencabut keputusan berupa: Sertifikat
Hak Guna Bangunan Nomor 04142 surat ukur tanggal 21 November 2013, Nomor
00122/2013, Luas 1.172m² di Kelurahan Kapuk, Kecamatan Cengkareng, Kota
Administrasi Jakarta Barat di terbitkan pada tanggal 1 September 2014 atas nama
pemegang Hak Harry Karauwan, Wiesye Marlein Prasetyo, Robert Richard Karauwan, Adrian
Abram Karauwan, dengan mengeluarkan bidang tanah milik Para Penggugat yang
terletak dijalan Kapuk Peternakan I Nomor 34 A – B, RT. 003, RW. 007,
Cengkareng, Kota Jakarta Barat Seluas Kurang Lebih 600 m² (enam ratus meter
persegi) sesuai dengan ketentuan perundang–undangan yang berlaku;
4. Mewajibkan kepada Tergugat untuk menerbitkan kembali Surat Hak Guna
Bangunan (SHGB) atas nama pemegang hak Harry Karauwan, Wiesye Marlein Prasetyo,
Robert Richard Karauwan, Adrian Abram Karauwan, setelah dikurangi dan
dikeluarkan bidang tanah milik Para Penggugat yang terletak di Jalan Peternakan
I Nomor 34 A – B, RT. 003, RW. 007, Cengkareng, Kota Jakarta Barat seluas
Kurang Lebih 600 m² (enam ratus meter persegi) sesuai dengan ketentuan
perundang–undangan yang berlaku;”
Dalam tingkat banding, yang
menjadi amar Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Jakarta Nomor
200/B/2015/PT.TUN.JKT, tanggal 1 Oktober 2015, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
- Menerima permohonan banding dari Tergugat / Pembanding;
- Menguatkan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta Nomor 247/G/2014/PTUN-JKT
tanggal 30 April 2015 yang dimohonkan banding;”
Berlanjut dalam tingkat kasasi,
yang kemudian menjadi amar Putusan Mahkamah Agung Nomor 162K/TUN/2016, tanggal
16 Mei 2016, dengan amar sebagai berikut:
“MENGADILI :
- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi: KEPALA KANTOR PERTANAHAN
KOTA ADMINISTRASI JAKARTA BARAT tersebut;”
Pihak BPN mengajukan upaya
hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali, dengan pokok keberatan bahwa dalam hukum
acara perdata berlaku asas : hakim bersifat pasif atau hakim bersifat menunggu.
Dalam persidangan hakim tidak diperbolehkan untuk berinisiatif melakukan
perubahan atau pengurangan pokok tuntutan dalam surat gugatan pihak Penggugat,
sekalipun beralasan demi rasa keadilan. Putusan hakim pada dasarnya ditentukan
oleh para pihak yang berperkara. Hakim hanya menimbang hal-hal yang diajukan
para pihak dan tuntutan hukum yang didasarkan kepadanya (iudex non ultra petita atau ultra
petita non cognoscitur). Hakim hanya menentukan, adakah hal-hal yang diajukan
dan dibuktikan para pemohon atau penggugat.
Hakim masih diperkenankan menambah
pokok sengketa dan atau memberikan putusan melebihi dari apa yang digugat oleh
pihak Penggugat sebagaimana dalam surat gugatannya, namun memiliki batas alias
bersifat limitatif, yakni kompentensi atau wewenang PTUN itu sendiri dalam
memeriksa, memutus dan menyelesaikan Sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana
yang telah diberi rambu-rambu oleh Undang-Undang, yaitu hanya berupa
pernyataan sah atau tidak sah suatu keputusan tata usaha negara (KTUN)—jika
tidak sah maka dibatalkan. Ketentuan ini adalah sekaligus menjadi batasan
sampai sejauh mana putusan yang dapat diberikan oleh Hakim PTUN terhadap
sengketa yang diperiksanya.
Putusan peradilan administrasi memiliki
karakteristik khusus apabila dibandingkan dengan putusan pada lingkup peradilan
yang lain, sebab putusan PTUN tidak memberikan ruang diskresi yang luas dengan
segala disparitas keadilannya. Pasal 53 ayat (1) UU PTUN membatasi hakim untuk
memilih antara menyatakan tidak sah atau batalnya obyek sengketa (KTUN) yang
digugat, atau menyatakan keabsahan objek sengketa tersebut dalam bentuk menolak
gugatan. Hal ini jelas berbeda dengan putusan peradilan pidana maupun perdata,
yang memberikan ruang yang begitu besar bagi majelis hakim untuk memutus suatu
perkara dengan tingkat disparitas yang besar pula (Yos Johan Utama,
2009.Membangun Peradilan Tata Usaha Negara Yang Berwibawa, Pidato Pengukuhan
Guru Besar Fakultas Hukum Undip, Semarang, Badan Penerbit Undip, hlm.10.).
Ketentuan dimaksud ialah Pasal
53 ayat (1) juncto Pasal 97 ayat (7),
(8), (9), (10), Pasal 110 dan Pasal 116 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986, dalam
hal gugatan dikabulkan, maka opsi hakim TUN dalam memutus hanya dapat berkisar pada
koridor rumusan amar sebagai berikut:
1) Mengabulkan gugatan
Penggugat (untuk seluruhnya atau sebagian);
2) Membatalkan atau menyatakan
tidak sah Keputusan objek sengketa (dicantumkan secara lengkap tanggal, nomor,
perihal, atau ciri-ciri atau identitas Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan);
3) Mewajibkan Tergugat untuk
mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan; atau
4) Mewajibkan Tergugat untuk
mencabut Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan dan menerbitkan
Keputusan Tata Usaha Negara yang baru; atau
5) Mewajibkan Tergugat untuk
menerbitkan Keputusan Tata Usaha Negara (dalam hal objek sengketanya adalah
keputusan fiktif negatif);
6) Mewajibkan Tergugat yang
tidak bersedia melaksanakan putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dikenakan upaya paksa berupa pembayaran sejumlah uang paksa dan/atau
sanksi administratif, serta diumumkan pada media massa cetak setempat
(digunakan terhadap amar Pasal 97 ayat (9) huruf b dan c);
7) Menguhukum Tergugat untuk
membayar biaya perkara.
Para Penggugat tidak mampu
membuktikan perolehan hak atas tanah tersebut menurut ketentuan hukum yang
berlaku. Dengan kalimat lain, putusan Majelis Hakim mengakui klaim hak atas pihak
Penggugat, hanya berdasarkan bukti berupa kuitansi—kuitansi mana juga patut
dipertanyakan relevansinya dengan bukti pelunasan, bahkan juga perlu
dipertanyakan keasliannya sebagai bukti pelunasan mengingat Para Penggugat tidak
pernah melakukan jual beli baik dengan Nico Albert Frederick Mamesah maupun
dengan Alex Karauwan, apalagi jual belinya dibuat secara sah dan otentik lewat
akta PPAT sebagaimana diwajibkan oleh PP 24 Tahun 1997.
Dimana terhadapnya, Mahkamah
Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan peninjauan kembali tersebut, Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa alasan tersebut tidak
dapat dibenarkan, dengan pertimbangan sebagai berikut:
- Bahwa putusan Judex Juris sudah tepat dan benar, karena tidak terdapat kekhilafan
Hakim atau kekeliruan yang nyata sebagaimana dimaksud Pasal 67 huruf (f)
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009;
- Bahwa kekhilafan yang dimaksud Pemohon Peninjauan Kembali hanya
berisi perbedaan pendapat;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan tersebut di atas, maka permohonan Peninjauan Kembali yang diajukan
oleh: KEPALA KANTOR PERTANAHAN KOTA ADMINISTRASI JAKARTA BARAT tersebut tidak beralasan
sehingga harus ditolak;
“M E N G A D I L I :
- Menolak permohonan peninjauan kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali:
KEPALA KANTOR PERTANAHAN KOTA ADMINISTRASI Jakarta BARAT tersebut;”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.