Perbuatan Aktif maupun Pasif Pemerintah (Sengaja ataupun Abai), merupakan Objek Gugatan Warga ke PTUN
Question: Bukanlah lucu, militer digaji dan diberi anggaran oleh negara yang bersumber dari pajak yang dibayar oleh masyarakat sipil, dengan tugas utama untuk melindungi rakyat sipil, namun justru bersikap arogan terhadap rakyat sipil dengan melakukan segala bentuk intimidasi dengan maksud menyerobot tanah milik kami secara “main hakim sendiri” (eigenrichting). Preman-preman berseragam loreng yang diberi kewenangan menggunakan tank dan peralatan tempur demikian, apa bisa kami gugat selaku warga yang telah sangat dirugikan (hak-hak sipil maupun keperdataannya) oleh perbuatan militer kita yang sudah meresahkan warga? Semestinya militer kita merasa malu, hanya beraninya mengintimidasi rakyat sipil, namun akan ciut nyalinya menghadapi militer negara asing, seolah-olah mereka memang hanya dilatih untuk beraninya terhadap sipil yang tidak bersenjata dan berdiri seorang diri, masih pula mereka mengintimidasi dengan menurunkan sejumlah personil tentara alih-alih “satu lawan satu”.
Brief Answer: Dahulu kala, sebelum Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan diterbitkan oleh negara, objek gugatan
ke Pengadilan Tata Usaha Negara hanya terbatas pada “surat keputusan” (beschikking), termasuk berupa “keputusan
fiktif negatif” amuapun “keputusan fiktif positif” yang sampai saat kini masih
tarik-menarik model pemberlakuannya. Namun, sejak Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tindakan lahiriah (fisik) seperti “berbuat”
atau “tidak berbuat”-nya aparatur penyelenggara negara dapat menjadi objek
gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), sepanjang terkandung unsur “perbuatan
melawan hukum oleh pemerintah” (onrechtmatige
overheidsdaad).
Alhasil, terbentuklah tonggak sejarah baru dimana
“action” ataupun “abainya” penyelenggara
negara yang jelas-jelas merugikan atau melanggar hak-hak warga sipil, dapat
digugat ke pengadilan khusus sengketa tata usaha negara. Peraturan lebih
teknisnya dapat kita jumpai dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang
Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan Dan Kewenangan Mengadili
Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan.
Adapun rumusan pokok tuntutan (petitum) dalam surat gugatan warga untuk
dikabulkan oleh hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara, dimungkinkan bagi
hakim untuk mewajibkan kepada Pejabat Administrasi Pemerintahan untuk : melakukan
Tindakan Pemerintahan; tidak melakukan Tindakan Pemerintahan; dan/atau
menghentikan Tindakan Pemerintahan—kewajiban mana dapat disertai pula
tuntutan tambahan berupa pembebanan rehabilitasi dan/atau ganti rugi (rehabilitasi
merupakan pemulihan hak Penggugat dalam keadaan semula seperti sebelum Tindakan
Pemerintahan dilakukan), sehingga memiliki nuansa gugatan keperdataan.
PEMBAHASAN:
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2019
TENTANG
PEDOMAN
PENYELESAIAN SENGKETA TINDAKAN PEMERINTAHAN DAN KEWENANGAN MENGADILI PERBUATAN
MELANGGAR HUKUM OLEH BADAN DAN/ATAU PEJABAT PEMERINTAHAN (ONRECHTMATIGE OVERHEIDSDAAD)
Menimbang :
a. bahwa Penjelasan Umum alinea ke 5 (lima) Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, menyebutkan warga
Masyarakat dapat mengajukan gugatan terhadap Keputusan dan/atau Tindakan
Badan dan/atau Pejabat Administrasi Pemerintahan;
b. bahwa perbuatan melawan hukum oleh badan dan/atau
pejabat pemerintahan (onrechtmatige
overheidsdaad) merupakan tindakan pemerintahan sehingga menjadi
kewenangan peradilan tata usaha negara berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tentang Administrasi Pemerintahan;
c. bahwa ketentuan peralihan Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2014 tidak menyebutkan kewenangan mengadili perkara onrechtmatige overheidsdaad, dan ketentuan hukum acara penyelesaian
sengketa Tindakan Pemerintahan juga belum diatur, maka diperlukan pedoman
penyelesaian sengketa tindakan pemerintahan dan kewenangan mengadili perkara
perbuatan melanggar hukum oleh badan dan/atau pejabat pemerintahan (onrechtmatige overheidsdaad);
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung
tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan dan Kewenangan
Mengadili Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad);
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini yang dimaksud dengan:
1. Tindakan
Pemerintahan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara
negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan
konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
2. Pejabat
Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan baik di
lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.
3. Sengketa
Tindakan Pemerintahan adalah sengketa yang timbul dalam bidang administrasi
pemerintahan antara Warga Masyarakat dengan Pejabat Pemerintahan atau
penyelenggara negara lainnya sebagai akibat dilakukannya Tindakan Pemerintahan.
4. Sengketa
Perbuatan Melanggar Hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) adalah
sengketa yang di dalamnya mengandung tuntutan untuk menyatakan tidak sah
dan/atau batal tindakan Pejabat Pemerintahan, atau tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat beserta ganti-rugi sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
5. Warga Masyarakat
adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Tindakan
Pemerintahan.
6. Penggugat
adalah Warga Masyarakat yang kepentingannya dirugikan sebagai akibat
dilakukannya Tindakan Pemerintahan.
7. Tergugat
adalah Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya yang melakukan
Tindakan Pemerintahan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang
dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh Warga Masyarakat.
8. Gugatan
terhadap Tindakan Pemerintahan adalah permohonan berisi tuntutan terhadap
Tindakan Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada angka 1 yang diajukan ke
pengadilan untuk mendapatkan putusan.
9. Pengadilan
adalah Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara.
10. Hari adalah
hari kerja.
BAB II
KEWENANGAN
Pasal 2
(1) Perkara perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige
Overheidsdaad) merupakan kewenangan peradilan tata usaha negara.
(2) Pengadilan Tata Usaha Negara berwenang mengadili
Sengketa Tindakan Pemerintahan setelah menempuh upaya administratif sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi
Pemerintahan dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018 tentang Pedoman
Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah Menempuh Upaya
Administratif.
(3) Dalam hal peraturan perundang-undangan mengatur
secara khusus upaya administratif maka yang berwenang mengadili Sengketa
Tindakan Pemerintahan adalah Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai Pengadilan
tingkat pertama.
BAB III
TATA CARA PENGAJUAN GUGATAN DAN PUTUSAN
Bagian Kesatu
Tata Cara
Pasal 3
Warga Masyarakat dapat mengajukan Gugatan Tindakan
Pemerintahan secara tertulis kepada Pengadilan yang berwenang dengan
menyebutkan alasan:
a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
dan
b. bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan
yang baik.
Pasal 4
(1) Gugatan
diajukan paling lama 90 (sembilan puluh) Hari sejak Tindakan Pemerintahan
dilakukan oleh Badan dan/atau Pejabat Adrninistrasi Pemerintahan.
(2) Selama Warga Masyarakat menempuh upaya
administratif, tenggang waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terbantar
sampai keputusan upaya administratif terakhir diterima.
Bagian Kedua
Putusan
Pasal 5
(1) Putusan Pengadilan dapat berupa:
a. Gugatan ditolak;
b. Gugatan dikabulkan;
c. Gugatan tidak diterima; dan
d. Gugatan gugur.
(2) Dalam hal Gugatan dikabulkan, Pengadilan dapat mewajibkan kepada Pejabat
Administrasi Pemerintahan untuk:
a. melakukan
Tindakan Pemerintahan;
b. tidak melakukan
Tindakan Pemerintahan; dan
c. menghentikan
Tindakan Pemerintahan.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat
disertai pembebanan rehabilitasi dan/atau ganti rugi.
(4) Rehabilitasi
merupakan pemulihan hak Penggugat dalam keadaan semula seperti sebelum Tindakan
Pemerintahan dilakukan.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Putusan
Pasal 6
(1) Salinan
putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dikirimkan
kepada para pihak dengan surat tercatat oleh Panitera Pengadilan setempat atas perintah
Ketua Pengadilan yang mengadilinya dalam tingkat pertama paling lambat 14
(empat belas) Hari.
(2) Dalam hal Tergugat ditetapkan harus melaksanakan
kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2), dan kemudian setelah 90
(sembilan puluh) Hari ternyata kewajiban tersebut tidak dilaksanakan, Penggugat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), agar Pengadilan memerintahkan Tergugat melaksanakan putusan Pengadilan
tersebut.
BAB IV
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 7
Ketentuan Hukum Acara yang diatur di dalam BAB IV
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara, tetap berlaku, kecuali ditentukan lain
dalam Peraturan Mahkamah Agung ini.
Pasal 8
Setiap frasa "Keputusan Tata Usaha Negara" dan
frasa "Sengketa Tata Usaha Negara" yang tercantum dalam BAB IV
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang Nomor 51
Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
tentang Peradilan Tata Usaha Negara haruslah dimaknai juga sebagai
"Tindakan Pemerintahan" dalam rangka penyelesaian Sengketa Tindakan
Pemerintahan menurut Peraturan Mahkamah Agung ini.
Pasal 9
Ketentuan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 6 Tahun 2018
tentang Pedoman Penyelesaian Sengketa Administrasi Pemerintahan Setelah
Menempuh Upaya Administratif dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak
bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Agung ini.
BAB V
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 10
Pada saat Peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku,
Perkara perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) yang
diajukan ke Pengadilan Negeri tetapi belum diperiksa, dilimpahkan kepada
Pengadilan Tata Usaha Negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 11
Perkara perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige
Overheidsdaad) yang sedang diperiksa oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan
Negeri harus menyatakan tidak berwenang mengadili.
Pasal 12
Perkara perbuatan melanggar hukum oleh Badan dan/atau
Pejabat Pemerintahan (Onrechmatige
Overheidsdaad) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 yang upaya
administratifnya telah diatur secara khusus pada saat Peraturan Mahkamah Agung
ini diundangkan, telah dilimpahkan oleh Pengadilan Negeri ke Pengadilan Tata
Usaha Negara dan belum diperiksa oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, berkas
perkara dilimpahkan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berwenang
disertai sisa panjar biaya perkaranya.
Pasal 13
Dalam hal Sengketa Tindakan Pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12 telah diperiksa oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, tetap
dilanjutkan pemeriksaannya dan diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara.
Pasal 14
Pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berwenang.
Pasal 15
Peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Peraturan Mahkamah Agung ini dengan penempatannya dalam Berita
Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 9 Agustus 2019
KETUA MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
MUHAMMAD HATTA ALI
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 20 Agustus 2019
DIREKTUR JENDERAL
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
WIDODO EKATJAHJANA
BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2019 NOMOR 940
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan
hidup JUJUR dengan menghargai Jirih
Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.