KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

PEKERJA ROBOT ASING Vs. PEKERJA MANUSIA LOKAL, Pilih yang Mana?

Masuknya Era Gelap Ekonomi Bernama PADAT MODAL (Robotik Otomatisasi), Menggantikan Era PADAT KARYA (Tenaga Manusia Manual)

Memasuki Era Baru dimana Negara Dipaksa dan Terpaksa Harus STOP Impor Investor Asing

INVESTOR ASING Vs. TRANSFER PRICING, Pilih yang Mana?

PADAT MODAL Vs. PADAT KARYA, Pilih yang Mana?

Masuknya Era Kebijakan Proteksionsime Modal dan Investor Lokal dari Pemodal Asing sebagai Pilar Ketahanan Ekonomi Bangsa dan Negara

Question: Apakah jumlah investasi asing yang masuk ke dalam negeri, berkorelasi lurus dengan terbukanya lapangan pekerjaan baru serta kontribusi bagi perekonomian negara tempat masuk dan berkegiatan usahanya investor asing tersebut?

Brief Answer: Sebelum era otomatisasi ala robotik yang mulai menjadi tren baru satu dekade terakhir ini, masuknya investasi asing sebagai “penanam modal asing” memang memiliki relavansi dengan tingkat penyerapan tenaga kerja dalam negeri / pekerja lokal—“mindset” usang yang sudah tidak lagi relevan untuk model ekonomi kekinian. Namun, sejak tren dunia industrialisasi global dewasa ini kian menuju era “padat modal” alih-alih “padat karya”, dimana banyak fungsi pekerjaan manual oleh tenaga kerja buruh telah tergantikan oleh sistem terkomputerisasi dan digitalitasi maupun robotik, artinya tren kedepannya bukanlah peningkatan serapan tenaga kerja, justru sebaliknya, menjelma “bumerang effect” dimana pemutusan hubungan kerja massal tidak akan lagi terelakkan, akibat tergantikan fungsi pekerjaannya oleh substitusi berupa tenaga robotik yang jauh lebih produktif serta lebih efisien dari segi biaya dan perawatan—kalkulasi bisnis itulah yang selalu diperhitungkan oleh investor asing manapun.

Moral hazard” kedua yang perlu disadari, diperhatikan, dan diwaspadai oleh otoritas / penyusun kebijakan strategis negara penerima investor asing ialah praktik gelap “penyelundupan hukum ekonomi perpajakan” yang masif sifatnya bernama “transfer pricing” alias “profit shifting” yang bermakna laba / profit usaha kemudian di-patriasi ke luar negeri dengan alibi atau modus berupa komponen biaya yang harus ditanggung oleh pelaku usaha bersangkutan yang biasanya berupa pembelian / penyewaaan kepada pihak asing di luar negeri, pihak asing di luar negeri mana sejatinya adalah satu “grup usaha” atau satu afiliasi dengan korporasi asing yang beroperasi di dalam negeri di Indonesia—ibaratnya, “anak usaha” di Indonesia menyewa atau membeli dan membayar kepada “sister company” ataupun kepada perusahaan induknya (holding company) di luar negeri. Alhasil, seluruh PT. PMA di Indonesia hanyalah sekadar “shell company” (perusahaan cangkang), dimana dana yang masuk (laba usaha) sekadar “numpang lewat” (mengendap untuk sejenak) melalui PT. PMA sebelum kemudian Rupiah-Rupiah yang mereka keruk dan dapatkan sesama beroperasi di Indonesia akan mereka larikan ke luar negeri dalam rangka “dressing” pembukuan laporan keuangan seolah-olah “merugi” terutama pada neraca liabilitas.

Cara mengidentifikasinya sangatlah mudah, baca laporan keuangan mereka, akan tampak seolah-olah selalu menderita kerugian setiap tahunnya, demi menghindari pajak. Konsekuensi logisnya, investor asing lengkap dengan praktik “transfer pricing”-nya yang bagai satu-kesatuan paket ini, dimana bahkan hampir dapat dipastikan terjadi pada setiap PT. PMA di Indonesia, hanya merugikan perekonomian suatu negara tempat mereka berkegiatan usaha, tanpa kontribusi pembayaran pajak yang berarti, terutama di era “padat modal”. Dalam konteks demikian, tidak terjadi “perputaran uang” pada domestik tempat PT. PMA tersebut beroprasi, yang terjadi ialah aliran dana secara masif dari dalam negeri di Indonesia menuju ke luar negeri, alias arus dana keluar negeri, berkebalikan dari devisa yang masuk ke dalam negeri oleh para TKI kita, Tenaga Kerja Indonesia di luar negeri yang biasanya bekerja pada sektor-sektor informal sebagai pembantu rumah-tangga—yang biasanya ialah negara-negara “tax heaven” ataupun ke negara asal masing-masing investor asing bersangkutan.

Otoritas perpajakan di Indonesia mengetahui dan menyadari betul fenomena “PT. PMA ramai-ramai berjemaah melapor ‘merugi’ pada laporan keuangannya, namun sepanjang tahunnya selalu bercokol di Indonesia tanpa pernah mau ‘hengkang’, mengapa demikian?” Namun, otoritas perpajakan di Indonesia tampaknya “kalah suara” atau kalah dengan kepentingan penguasa di republik ini, sehingga hanya bisa mengalah, mengurut-dada, dan tanpa daya melihat negerinya sekadar menjadi penonton yang dihisap dan terhisap oleh lintah-lintah asing. Otoritas perpajakan kita tidak bisa berbuat banyak, sepanjang kebijakan pemimpin negeri kita masih demikian mengobral republiknya kepada investor asing, dan membutakan dirinya dengan tawaran / iming-iming “lapangan pekerjaan terbuka ketika investasi asing masuk”.

Pemerintah selalu mengklaim, tingkat pencapaian masuknya investasi asing selalu melampaui target, namun angka tingkat pengangguran di Indonesia tampak seolah tidak pernah menurun, dimana pemerintah tidak pernah mau mengevaluasi fenomena demikian. Sehingga, ketika peningkatan investasi berupa modal asing masuk dan membanjiri pasar lokal dalam negeri, sementara itu kekayaan ekonomi justru terserap keluar akibat praktik “transfer pricing”, sementara itu tenaga kerja tidak terserap secara optimal akibat kalah bersaing menghadapi kecanggihan yang ditawarkan oleh robotik-digitalisasi, akibatnya menjadi sangat mengerikan dan kontraproduktif bagi negara dan bangsa tempat bercokol dan beroperasinya para korporasi asing tersebut.

Karenanya, swasembada perekonomian lokal menjadi tidak dapat dielakkan sebagai pilar ekonomi suatu negara, ketika tren perekonomian dan bursa modal global tidak lagi bermain dalam tataran “padat karya”, namun menjurus “padat modal”, sehingga ketika swasembada ekonomi telah tercapai maka negara tidak lagi bergantung pada investor asing dan dapat mulai melakukan langkah “proteksionisme ekonomi” dengan membatasi masuknya investasi asing atau bahkan mulai menutup diri dari masuknya investor asing yang tidak pernah membawa kontribusi nyata selain “transfer pricing”. Tren pemutusan hubungan kerja massal oleh berbagai korporasi bermodal kuat, sudah menjadi fenomena baru di banyak negara, dan sudah menunjukkan tren kearah yang sangat mengkhawatirkan bila suatu negara masih juga kebijakan ekonominya bergantung pada investasi asing.

PEMBAHASAN:

Berbagai kejadian berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) massal yang mulai terjadi pada akhir tahun 2022 pada berbagai perusahaan di dunia, merupakan “early warning system” bagi pemerintah kita, untuk mulai mengevaluasi atau setidaknya mempersiapkan diri untuk memasuki era baru dimana menggelar “karpet merah” bagi investor asing bukanlah lagi program prioritas pemerintahan suatu negara yang berdaulat dalam berekonomi. Dalam kesempatan ini penulis akan mengurai dampak sosial-ekonomi serta bahaya dibalik masuk serta beroperasinya investor asing, serta harga mahal yang harus kita bayarkan.

Sebagai ilustrasi, di Negeri Tirai Bambu, China, sudah sejak beberapa tahun terakhir ini tidak lagi merekrut tenaga kerja manusia, dan secara berangsur-angsur menggantikannya dengan tenaga robotik, mulai dari pegawai restoran, (bahkan) peran koki, maupun fungsi pekerjaan-pekerjaan lainnya pun tidak terkecuali turut dirambah oleh alih fungsi tenaga manusia menjelma tenaga robotik. Bahkan saat kini para pengusaha di China mulai mengembangkan kurir robot yang akan menggantikan jutaan pekerjaan kurir manusia pengantar paket, yang mana mengartikan pula bahwa tren kedepannya PHK demi PHK akan terjadi secara massal dimana lapangan pekerjaan bagi tenaga manusia akan kian menyempit sementara itu “padat modal” kian mendominasi kegiatan usaha sektor niaga, dari hulu (proses produksi) hingga hilir (pemasaran pada gerai-gerai). Manusia, kini bukan lagi bersaing sengit dan ketat mehghadapi pencari kerja manusia lainnya, namun menghadapi “pekerja robotik”.

Kini, di Indonesia, sebagai warga atau nasabah pun kita dapat menjumpai pada berbagai tempat mesin anjungan tunai mandiri (ATM) dimana kita dapat menarik dan menyetorkan uang tunai tanpa kehadiran petugas “teller / kasir” bank. Praktis, ke depannya, pembukaan kantor cabang baru berbagai lembaga keuangan di dunia, tidak lagi berbanding lurus dengan peningkatan serapan tenaga kerja. Perhatikan peristiwa berikut yang menjadi ilustrasi konkret “buah simalakama” investor asing dalam bentuk berbagai “PT. PMA” (penanaman modal asing) yang bercokol dan menghisap pundi-pundi kekayaan ekonomi suatu negara tempat para korporasi asing tersebut beroperasi.

PT. JobsDB Indonesia, merupakan salah satu PT. PMA di Tanah Air, yang bergerak dibidang usaha posting lowongan pekerjaan dan lamaran para pencari pekerjaan. Keuntungan bisnis atau laba usaha PT. JobsDB Indonesia setiap tahunnya mencapai belasan miliar Rupiah, namun setiap tahunnya pula melaporkan telah terjadi “kerugikan usaha” dalam laporan keuangannya. Mengapa? PT. JobsDB Indonesia telah ternyata melakukan praktik “transfer pricing” berupa “profit shifting” dengan modus sebagai berikut. JobsDB merupakan korporasi asing yang bermarkas di Hongkong, dimana JobsDB Indonesia dibuat atau dikonstruksikan seolah-olah menyewa server pada JobsDB Hongkong, dengan nilai sewa yang di-setting senilai “bombastis” diluar angka kewajaran sewa-menyewa server (modus MARK-UP biaya / cost sewa server). Tujuan dibalik aksi korporasi demikian, setiap tahun melaporkan kegiatan usahanya mencetak “defisit” alias kerugian usaha, seolah-olah liabilitas lebih besar daripada penghasilan / pemasukan usaha, meski senyatanya untuk setiap tahun buku usahanya menghasilkan profit laba senilai miliaran Rupiah, semata agar JobsDB dapat menjadikan itu sebagai alibi atau alasan sempurna untuk menghindar dari beban pajak untuk dibayarkan kepada negara di Indonesia tempat korporasi asing tersebut beroperasi dan berkegiatan usaha.

Artinya, JobsDB sama sekali tidak berkontribusi positif terhadap negara tempat ia bercokol dan menanamkan kakinya dalam-dalam sembari menghisap sumber-sumber kekayaan ekonomi suatu negara, dimana terjadi patriasi dana Rupiah besar-besaran ke luar negeri, dimana juga jumlah pegawai / pekerja Indonesia pada korporasi asing tersebut tidak tergolong banyak, namun kerugian yang ditanggung suatu bangsa adalah demikian tidak sebanding dengan kontribusi berupa “pembayaran upah pegawai / lapangan pekerjaan” dibandingkan dengan kerugian bangsa akibat praktik “transfer pricing” berwujud “profit shifting”.

Kasus JobsDB Indonesia merupakan salah satu cerminan nyata, yang benar-benar atau real terjadi terjadi di lapangan sejak bertahun-tahun lampau dan dapat penulis pastikan masih akan terjadi saat kini dan untuk kedepannya. “Sister company” dari JobsDB, yakni Jobstreet, penulis tengarai melakukan praktik dan modus serupa, disamping monopoli usaha tidak sehat mengingat memonopoli bidang usaha serta menguasai / mendominasi pangsa pasar, sementara itu “beneficial owner” dari kedua korporasi asing tersebut merupakan pihak korporasi asing yang sama. Fakta konkretnya lebih memprihatinkan dan sudah dalam tahap mengkhawatirkan, mengingat hampir seluruh PT. PMA di Tanah Air melakukan praktik tidak etis demikian, dimana sepanjang tahunnya selalu melaporkan “merugi” kegiatan usahanya, akan tetapi semakin “betah” dan kerasan untuk menanamkan kakinya di Indonesia—mengklaim “rugi”, namun terus-menerus menghisap pundi-pundi Rupiah dari negeri tempat mereka meng-inang, sehingga jauh lebih banyak mudarat daripada faedahnya ketika koporasi asing berkegiatan usaha pada negara bersangkutan.

Kini kita masuk pada dilematika yang lebih dilematis, perhatikan konstruksi peristiwa berikut, terkait kebijakan pengadaan barang dan jasa pemerintahan dewasa ini di Indonesia. Pemerintah pusat maupun pemerintah daerah pada dewasa ini, lebih memprioritaskan produk-produk dalam negeri dengan label “Made in Indonesia”—seolah-olah itu lebih identik dengan nasionalistik maupun meluaskan lapangan pekerjaan, meski sejatinya sama sekali tidak saling berkorelasi akibat cara berpikir penyusun kebijakan yang terlampau dangkal. Bahkan, ketika terdapat produk yang telah tersedia “Made in Indonesia”, maka produk-produk asing seketika di-banned dari eKatalog pengadaan barang, tidak dapat dipesan ataupun dibeli.

Faktanya, berbagai produk “Made in Indonesia” yang membanjiri pasar lokal kita tidak jarang merupakan produk-produk korporasi asing (PT. PMA) yang beroperasi dengan mendirikan pabrik di Indonesia, namun dengan kecanggihan teknologi secara berangsur-angsur beralih dari “padat karya” menuju era “padat modal” dengan lebih banyak mengalokasikan / mem-budget modalnya pada kecanggihan teknologi robotik, sehingga jumlah tenaga kerja Indonesia yang terserap dan dipekerjakan justru amat tergolong minim, dimana bahkan mesin-mesin pabrik adalah mesin-mesin importasi buatan luar negeri—alias “pekerja robot”-nya asing. Tetap saja, meski komponen lokalnya minim, yakni hanya segelintir tenaga kerja Indonesia, sementara itu modal bersumber dari asing, teknisi dan tenaga ahli dari pihak asing, mesin dari importasi, tetap saja produk-produk yang dihasilkannya berlabel “Made in Indonesia” plus embel-embel semacam “cintai produk dalam negeri”.

Belum cukup sampai di situ, sang produsen yang notabene asing tersebut melakukan pula praktik “transfer pricing”, sehingga tiada pajak yang dibayarkan oleh korporasinya di Tanah Air, karena sepanjang tahunnya selalu melaporkan mencetak angka kerugian, yang karenanya kontribusi nyata sang PT. PMA hanya sebatas upah beberapa karyawan warga Indonesia yang bekerja pada pabriknya—bukankah ironis, robot-robot (pekerja mesin) yang dipekerjakan oleh sang korporasi, adalah robot-robot yang notabene hasil importasi, dengan kata lain “robot asing”. Alhasil, kekayaan ekonomi Indonesia terhisap dan dieksploitasi, sebelum kemudian dibawa lari ke luar negeri, sungguh jauh lebih banyak mudarat ketimbang manfaat ataupun kontribusinya bagi negara lokal.

Bukankah menurut perasaan para pembaca, kecanggihan tekonologi yang dibangun umat manusia telah sedemikian canggihnya, sehingga (justru) kian mengancam eksistensi umat manusia itu sendiri karena kalah bersaing dan tergantikan? Selama ini umat manusia dilenakan dan dimanjakan oleh kecanggihan teknologi, sebelum kemudian berbagai peran “pekerja manusia” pun secara bertahap tergantikan oleh kecanggihan teknologi, termasuk “pekerja robot asing”. Kecanggihan teknologi, bisa menjadi berkah, namun juga bisa menjadi petaka bagi kelangsungan hidup umat manusia. Pemerintah selaku regulator, belum berpikir sejauh itu, yakni mengatur perihal “pekerja robot asing” yang mengalahkan “pekerja manusia lokal”.

Yang tertinggal oleh kemajuan teknologi, hanya bisa menjadi penonton di republik sendiri, terjajah bukan lagi oleh sekadar investor asing, pekerja asing, namun juga oleh robot-robot asing—tetap saja, kesemua itu dikemas dengan label “Made in Indonesia”, meski muara hulu ialah modal asing dan mesin asing (robot asing), sebelum kemudian pundi-pundi Rupiah hasil laba usaha dibawa lari ke luar negeri tanpa kontribusi pajak ataupun perekonomian Indonesia selain sekadar upah beberapa orang pegawai berbahasa Indonesia. Bangsa yang hebat bukanlah bangsa yang mengimpor investor asing ataupun robot-robot asing, namun yang mampu mengekspor investor ke luar negeri dan swasembada investasi dalam negeri.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.