Mempertahankan Kewarasan ditengah-tengah Ketidakwarasan Dunia

HERY SHIETRA, Mempertahankan Kewarasan ditengah-tengah Ketidakwarasan Dunia

Dunia ini tidak pernah kekurangan segala jenis dan segala bentuk kegilaan umat manusia.

Terkadang, yang paling sukar bukanlah menghadapi kegilaan umat manusia maupun tidak idealnya dunia ini berjalan,

Namun mempertahankan kewarasan ditengah-tengah ketidakwarasan dunia.

Ada orang-orang yang secara irasional menyakiti dan merusak dirinya sendiri,

Namun juga terdapat banyak orang yang secara serakah merugikan dan melukai orang-orang lainnya,

Tidak kalah dengan banyaknya diantara kita yang memiliki kegemaran ataupun kebiasaan untuk menyakiti dirinya sendiri dan juga menyakiti orang-orang yang ada di dekatnya.

Manusia sungguh adalah makhluk yang irasional,

Lebih tepatnya ialah diliputi oleh kekotoran batin.

Yang membedakan antara manusia yang satu dan manusia yang lainnya ialah,

Derajat perihal tebal atau tipisnya kekotoran batin masing-masing individu.

Ada orang-orang yang tampak bersikap baik terhadap kita,

Hanya ketika mereka membutuhkan sesuatu dari kita,

Dan akan menjauhi kita ketika tidak ada lagi yang bisa mereka ambil dari kita.

Kita menyebutnya sebagai,

“Manusia benalu”.

Namun telah ternyata tidak sedikit orang-orang yang begitu pandainya bersikap seperti seorang malaikat yang baik hati,

Lengkap dengan wajah seperti seorang malaikat yang lembut dan penuh perhatian,

Dimana ketika kita lengah ataupun tidak mengawasinya,

Ia akan sejahat iblis menyakiti dan merugikan diri kita,

Secara keji dan terselubung,

Tanpa rasa bersalah sedikitpun.

Kita dapat menyebutnya sebagai,

Iblis berwajah malaikat,

Sangat sukar untuk kita waspadai,

Terus-menerus meneror kita dan akan memangsa korbannya dibalik topeng wajah malaikat yang ia kenakan,

Begitu mengerikan,

Dimana telah ternyata manusia dapat begitu jahat dan kejinya seperti seekor hewan predator yang memangsa hewan lain sesamanya untuk melanjutkan hidup atau semata demi mengejar kesenangan hidup.

Tidak sedikit kita dapat menjumpai orang-orang yang menyalahgunakan pikirannya sendiri,

Menyalahgunakan kekuasaan yang dimilikinya untuk mengambil keuntungan diatas penderitaan dan kemalangan hidup orang lain,

Menyalahgunakan tubuhnya untuk menyakiti dirinya sendiri maupun orang-orang yang ada di dekatnya,

Menyalahgunakan kepercayaan yang diberikan dengan segala modus tipu-daya,

Menyalahgunakan tanggung-jawabnya dengan bersikap tidak patut,

Menyalahgunakan kebaikan hati orang lain dengan sikap yang tidak tahu berterimakasih,

Dan berbagai penyalahgunaan lainnya yang tidak masuk diakal.

Ada orang-orang yang seperti memiliki duri tajam pada sekujur tubuhnya,

Sehingga ketika kita berada di dekatnya,

Atau ketika ia bergerak mendekati kita,

Maka kita akan terkena tusuk duri-duri pada tubuhnya dan menjadi terluka.

Kita dapat menyebutnya sebagai “manusia berduri”.

Ada juga orang-orang yang justru menjadikan orang-orang baik sebagai “mangsa empuk”.

Sungguh seorang pengecut,

Mereka yang justru menjadikan orang-orang baik sebagai “mangsa empuk”.

Orang-orang baik,

Adalah orang-orang yang langka dan hampir punah dari muka Bumi ini,

Untuk dilestarikan,

Dihargai,

Dan diapresiasi,

Bukan untuk dimangsa dan dieksploitasi,

Terlebih dimanipulasi dan diperdaya.

Ada orang-orang yang merasa perlu menjelek-jelekkan atau menghina pribadi orang lain,

Seolah-olah dapat meningkatkan martabat dan harga diri si penghina,

Terjadi akibat pelakunya miskin harga diri.

Lebih banyak lagi orang-orang yang berdelusi,

Bahwa dengan telah dilakukannya perbuatan-perbuatan jahat,

Seperti menyakiti, merugikan, ataupun melukai orang lainnya,

Maka tiada konsekuensi ataupun bahaya dibaliknya,

Seolah-olah bukanlah perbuatan dosa bila korbannya tidak menyadari telah diperlakukan secara jahat,

Seolah-olah dosa ataupun sejarah dapat dihapuskan,

Yang mereka sebut sebagai penghapusan dosa,

Suatu “too good the be true”,

Seolah-olah Tuhan lebih pro terhadap pendosa,

Si penjahat yang berdosa ini,

Daripada bersikap sebagai hakim yang adil bagi para korban dari para pendosa tersebut.

Ada juga orang-orang yang bersikap seolah-olah tidak dapat hidup tanpa mencuri ataupun menipu warga lainnya,

Akibat termakan oleh keserakahan dalam dirinya sendiri,

Yang pada gilirannya membuat dirinya tidak berbeda dengan seekor hewan,

Tidak punya rasa malu ataupun rasa takut berbuat kejahatan.

Kita menyebutnya sebagai,

“Manusia hewan”,

Atau “manusia predator”.

Ada pula orang-orang yang merasa keberatan dan menolak ketika dirugikan ataupun disakiti,

Namun dirinya sendiri dikemudian hari ternyata melakukan hal-hal serupa terhadap warga lainnya,

Menipu dan menyakiti orang-orang lainnya.

Dahulu menjadi korban kejahatan,

Kini menjadi bagian dari pelaku kejahatan,

Fenomena “Sindrom Stockholm”.

Tidak ada orang yang suka dibohongi, janji yang diingkari, ataupun ditipu,

Namun mengapa juga masih banyak orang-orang yang suka,

Bahkan terbiasa,

Membohongi, mengingkari, dan menipu individu-individu lainnya?

Ada orang-orang yang mengaku cerdas dan pandai,

Namun menggunakan kepandaiannya untuk menggali lubang kubur untuk dirinya sendiri,

Menggali semakin dalam dan semakin dalam lagi,

Dengan melakukan banyak kejahatan ataupun perbuatan tercela.

Pertanyaannya ialah,

Sifat dan sikap demikian,

Adalah jenius ataukah dungu?

Kita dapat menyebutnya sebagai,

“Pintar namun dungu”.

Tidak ada satupun dari para manusia irasional tersebut,

Yang menyadari bahwa,

Adalah penjahat yang paling mujur,

Ia yang selalu gagal melaksanakan niat jahatnya ketika beraksi.

Sebaliknya,

Adalah penjahat yang paling malang,

Ia yang selalu berhasil mewujudkan niat dan rencana jahatnya tanpa hambatan yang berarti.

Kita dapat menyebutnya sebagai,

Kelirutahu, tahu namun keliru.

Mereka,

Menyebut bahwa hidup adalah perihal pilihan,

Ketika masih bocah bercita-cita menjadi pahlawan dan penyelamat seperti tokoh jagoan superhero mereka,

Namun mengapa mereka justru memilih untuk menjadi pelaku kejahatan,

Seolah-olah merupakan seseorang tanpa pilihan bebas,

Dan bersikap seolah-olah menjadi “korban keadaan”,

Seolah-olah tanpa daya,

Seolah-olah tanpa pilihan lain.

Faktanya ialah,

Mereka terlampau pengecut untuk menghadapi dan mengakui realita,

Sehingga merasa hanya bisa hidup dengan merampas hak-hak ataupun kebahagiaan hidup milik orang lain.

Ada yang ketika masih bocah,

Bermimpi menjadi seorang polisi,

Untuk menegakkan hukum.

Namun ketika ia tumbuh dewasa dan menjadi seorang polisi,

Ia justru menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan kejahatan ataupun pengabaian terhadap rakyat yang semestinya ia lindungi.

Ada pula orang-orang yang berpikiran sempit, picik, dan kercil,

Dengan sikapnya yang kekanak-kanakan,

Seolah hanya dirinya seorang seorang diri yang merasakan duka dan derita kehidupan,

Lantas menjadikannya sebagai alasan untuk merampas kebahagiaan hidup milik orang-orang lain yang ada di dekatnya.

Sekalipun faktanya,

Semua orang merasakan duka dan derita kehidupan,

Namun tidak semua dari mereka yang bersikap begitu manja dan pecundang terhadap kehidupan yang dijalani olehnya,

Dan tetap masih bisa tersenyum,

Memberi welas asih kepada dirinya sendiri,

Menjadikan dirinya sebagai sumber inspirasi dan kebahagiaan bagi dirinya maupun bagi orang-orang di sekitarnya,

Meski kehidupannya begitu jauh dari kata ideal.

Kita dapat menyebutnya sebagai,

Matahari yang memancarkan kehangatan Vs. lubang hitam yang menghisap segala apapun yang ada di dekatnya.

Tidak sedikit pula dapat kita jumpai orang-orang yang akibat keserakahan,

Tanpa rasa malu masih juga berani merampas hak-hak orang yang jauh lebih malang dan lebih tidak berpunya dari diri mereka.

Kita menyebutnya sebagai,

Tidak punya urat malu,

Atau punya, namun sudah putus urat malunya tersebut.

Ada sebagian masyarakat yang mendanakan sebagian pendapatannya untuk didanakan ke tempat ibadah atau ke lembaga sosial,

Namun ada juga mereka yang justru mengambil keuntungan pribadi dari kegiatan sosial maupun dari tempat ibadah,

Membisniskan agama,

Mengkomersialkan kegiatan sosial.

Mereka patut disebut sebagai,

“Sampah masyarakat”.

Mereka mencoba menipu diri mereka sendiri,

Berdelusi ria,

Bahwa jika orang lain tidak mengetahui perbuatan-perbuatan buruk mereka,

Maka sama artinya mereka tidak pernah berbuat kejahatan ataupun dosa apapun.

Mereka bahkan mungkin akan mencoba menipu Tuhan bila ada kesempatan untuk itu.

Mereka memperlakukan diri mereka sendiri sebagai,

Manusia dungu.

Sebagaimana dapat kita lihat sendiri dalam keseharian,

Mereka bahkan terbiasa menipu diri mereka sendiri,

Maka mereka tidak akan separuh hati ketika hendak menipu Anda.

Ini adalah dunia manusia,

Bukan dunia alam dewata dimana para penghuninya ialah para dewata yang suci dan berhati bersih,

Dimana kita dapat berbaik sangka kepada mereka.

Kita harus menjaga betul-betul kondisi batin dan jiwa kita,

Agar tetap bersih dan murni,

Ditengah-tengah kekotoran masyarakat maupun komunitas kita melangsungkan kehidupan.

Bagaikan kuncup bunga teratai,

Meski tumbuh dari dalam kolam berlumpur,

Namun bunga teratai itu sendiri tidak ternoda,

Bahkan tetap mekar secara sempurna,

Apapun keadaannya,

Apapun kondisinya,

Mekarlah secara sempurna,

Dan jangan biarkan diri kita layu sebelum waktunya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.