LEGAL OPINION
JUDEX FACTIE Vs. JUDEX JURE / JURIS, Serupa namun
Dipaksakan Tidak Sama
Judex Jure / Juris, Alibi Sempurna untuk Berkelit bagi Hakim Agung ketika Harus Memutus Perkara
Question: Ada dipisahkan antara “judex factie” yang memeriksa fakta-fakta hukum serta alat-alat bukti dalam suatu perkara perdata maupun pidana di pengadilan negeri (peradilan umum), serta dikontraskan dengan “judex jure” atau “judex juris” untuk merujuk peradilan tingkat kasasi di Mahkamah Agung Indonesia. Disebutkan, istilah “judex jure” merujuk pada kewenangan Mahkamah Agung yang hanya memeriksa penerapan kaedah-kaedah hukumnya saja, tanpa menyentuh ataupun mempertimbangkan ulang bobot fakta-fakta hukum diseputar peristiwa hukum maupun sengketa keperdaaan tidak terkecuali dalam perkara pidana. Pertanyaannya ialah, mungkinkah seorang hakim dimungkinkan untuk memeriksa penerapan hukumnya saja, tanpa menyelidiki bukti-bukti yang terungkap di persidangan?
Brief Answer: Teorinya memang demikian (text book), namun hanya menjadi konsumsi anak perkuliahan di
Fakultas Hukum. Sudah ribuan putusan Mahkamah Agung RI yang telah pernah
dieksaminasi oleh Konsultan Shietra, dan didapati adanya satu pola bahwa alibi yang
berlindung dibalik kedok segregasi antara “judex
factie” dan “judex jure / juris”
hanyalah alasan pragmatis bagi para Hakim Agung di Mahkamah Agung RI untuk
berkelit dari permasalahan hukum yang diajukan ke hadapannya di tingkat kasasi
untuk diperiksa dan diputus. Secara akal sehat, tiada penerapan norma hukum
yang dapat dipisahkan dari kejadian konkret bernama peristiwa hukum alias fakta-fakta
hukum itu sendiri. Karenanya, norma hukum tidak mungkin berdiri sendiri
secara terpisah dari kejadian konkret.
Secara sederhana, norma hukum merupakan “teks”,
dan kejadian hukum merupakan “konteks”. Produk peradilan berupa vonis putusan
hakim, merupakan kaitan antara “teks” dan “konteks” yang saling berkelindan
satu sama lainnya. Silogisme terdiri dari “premis mayor” berupa peristiwa /
fakta hukum, dilanjutkan dengan “premis minor” berupa norma hukum berupa
perintah maupun larangan disertai ancaman sanksi hukuman, menghasilkan konklusi
kaitan atau rantai pertalian antara “premis mayor” dan “premis minor”. Adalah
mustahil menentukan seseorang bersalah atau tidaknya sesuai hukum positif yang berlaku
pada suatu negara, bila tidak merujuk pada fakta-fakta hukum diseputar
peristiwa.
Sama ekstrem-nya ketika baik Pengadilan Negeri maupun
Pengadilan Tinggi dikategorikan (dikotak-kotakkan) sebagai “judex factie”, maka menjadi pertanyaan
yang tidak dapat dihindari adalah : Apakah kedua tingkat peradilan tersebut tidak
pernah memerhatikan penerapan norma hukum dan boleh menyimpangi ketentuan hukum
yang berlaku? Secara realistik, seluruh tingkat peradilan mulai dari tingkat
peradilan awal, banding, maupun kasasi, hingga peninjauan kembali, hakim perlu
memerhatikan korelasi atau benang merah antara fakta-fakta hukum yang terungkap
di persidangan (konteks) dan norma hukum yang mengatur ataupun yang mendasarinya
(teks) sebelum membuat kesimpulan dan vonis amar putusan.
Berhubung hingga saat ulasan ini disusun, praktik
hukum di Indonesia belum menerapkan prinsip norma preseden secara mengikat bagi
kalangan hakim (binding force of
precedent), jadilah para pengacara di Indonesia melakukan aksi spekulasi
bernama “asal gugat-menggugat” dengan paradigma berpikir “siapa tahu menang”. Akibat
ilmu hukum tidak didefinisikan sebagai “ilmu tentang prediksi”, jadilah Mahkamah
Agung RI dibombardir oleh derasnya tumpukan perkara yang membanjiri masuk
mengantri untuk diputus—yang mana sebagian besar diantaranya ialah “gugatan
sampah” yang tidak layak dimajukan, terbukti dari separuh dari total kuantitas
gugatan yang dimajukan ke persidangan, dinyatakan “ditolak” oleh hakim—dengan kuantitas
“output” putusan yang mengorbankan
kualitas putusan dengan alasan klasik jumlah Hakim Agung terbatas dan sudah “sepuh”
(uzur, sehingga tidak optimal lagi untuk diharapkan produktif) sementara itu
puluhan ribu perkara baru masuk dan menunggu untuk diputus sepanjang tahunnya.
Solusi paling pragmatif yang dapat ditempuh dan
diambil oleh kalangan Hakim Agung di Mahkamah Agung RI ialah, dengan memutus
secara “sumir” sebagian besar perkara permohonan kasasi yang masuk ke lembaga Mahkamah
Agung RI. Untuk itu, polesan yang tampak elegan sekaligus diplomatis untuk
memutus secara “sumir” ialah dengan memakai dalil atau alibi bernama “Mahkamah
Agung di tingkat kasasi merupakan peradilan ‘judex jure’ yang tidak memeriksa fakta-fakta hukum diseputar peristiwa
hukum yang diperkarakan / dipersengketakan untuk diputus”.
PEMBAHASAN:
Terdapat sebuah ilustrasi
konkret betapa Mahkamah Agung RI telah menerapkan “standar ganda”, dimana terkadang
Mahkamah Agung tingkat kasasi menempatkan dirinya sebagai “judex jure”, namun dalam kesempatan pada perkara kasasi lainnya
menjadi identik dengan “judex factie”
dengan menyinggung berbagai fakta-fakta hukum, salah satu contohnya dapat SHIETRA
& PARTNERS cerminkan lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana
register Nomor 1491 K/PID.SUS/2016 tanggal 18 Agustus 2017, Terdakwa didakwa
karena telah dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya
atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya
bukan karena kejahatan, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 372 Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Bermula ada pertengahan bulan
Desember 2012, Andri Cahyadi berkeinginan memperluas usaha dibidang batu bara
tetapi kekurangan dana sehingga membutuhkan dana tambahan, dengan cara menawarkan
REPO (Repurchase Agreement) atas
saham CNKO milik Gupta Yamin, yaitu perjanjian jual beli dengan kewajiban
membeli kembali dimana pihak penjual saham berkewajiban untuk membeli kembali
saham yang sudah dijual, dan pihak pembeli berjanji akan menjual kembali kepada
pihak penjual saham selama periode yang telah ditentukan, tidak boleh dilakukan
jual beli saham tersebut kepada orang lain di luar pihak penjual dan pembeli.
Pada saat akan melakukan
penjualan saham, sebelumnya pihak penjual saham telah dipesan bahwa jika sudah
365 hari ia akan membeli lagi dan jangan dipindahtangankan, yang kemudian
Terdakwa menyetujuinya hal tersebut dibuktikan adanya tanda tangan Terdakwa di
dalam perjanjian REPO tertanggal 26 Desember 2012. Nilai nominal REPO
Rp10.000.000.000,00. Namun pada awal Januari 2013, tidak sampai dua bulan sejak
perjanjian REPO ditanda-tangani, Gupta Yamin mendapatkan informasi bahwa
Terdakwa telah memindahkan atau menjual saham yang dijual secara REPO dan
termasuk saham yang hanya digunakan sebagai jaminan ke securitas.
Gupta Yamin menghubungi
Terdakwa guna menanyakan penjualan REPO Saham tersebut yang terjadi tanpa
sepengetahuan dari Gupta Yamin namun Terdakwa tidak pernah dapat dihubungi. Atas
perbuatan Terdakwa yang telah menjual saham CNKO tanpa sepengetahuan dari Gupta
Yamin selaku pemilik 45.977.012 lembar saham CNKO mengalami kerugian senilai
Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah) dan PT. Eksploitasi Energi
Indonesia selaku Emiten mengalami kerugian portofolio dengan harga saham CNKO
turun sebesar Rp90/lembar saham, hingga saat ini dengan total saham yang
dikeluarkan oleh CNKO sebesar 9.000.000.000 lembar saham, total kerugian PT.
Eksploitasi Energi Indonesia adalah Rp810.000.000.000,00 (delapan ratus sepuluh
miliar rupiah).
Adapun Dakwaan Kumulatif Kedua
sebagai “dakwaan berlapis”, Terdakwa didakwa karena telah mentransfer atas
harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak
pidana dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan, tersebut
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun
2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Sebagai modus “cuci uang” (money laundring), tujuan daripada
Terdakwa mentransfer dana hasil dari penjualan saham CNKO sebesar
Rp17.066.365.018,00 adalah untuk mengaburkan atau menyembunyikan
karena telah bercampur dengan dana milik Terdakwa di PT. Glory Mitra Investex
(PT. GMI) dimana Terdakwa selaku Direktur Utamanya sesuai dengan Akta Pendirian
Perseroan Terbatas dimaksud. [Note SHIETRA & PARTNERS : Sebenarnya,
peristiwa hukum yang terjadi ialah “tindak pidana korporasi, mengingat subjek
hukum pembeli yang mengikatkan diri di dalam Perjanjian REPO ialah korporasi PT.
Glory Mitra Investex dimana direkturnya pada saat itu dijabat oleh Joni Wijaya
(Terdakwa).
Terhadap tuntutan Jaksa
Penuntut Umum, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Nomor 673/Pid.B/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 21 Januari 2016, dengan amar sebagai
berikut:
“MENGADILI :
1. Menyatakan perbuatan Terdakwa Joni Wijaya sebagaimana yang didakwakan oleh
Jaksa Penuntut Umum telah terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan
tindak pidana;
2. Melepaskan Terdakwa tersebut dari segala tuntutan hukum (Onslag
vanrechtsvervolging);
3. Memulihkan hak Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta
martabatnya.”
Pihak Kejaksaan mengajukan
upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan terhadap pertimbangan hukum Pengadilan
Negeri yang langsung menyimpulkan bahwa apa yang dilakukan oleh Terdakwa
merupakan masuk dalam ruang lingkup perdata sehingga dilepaskan dari tuntutan
pidana. Di dalam perjanjian REPO antara korban (Gupta Yamin) dan Terdakwa Joni
Wijaya, disebutkan bahwa saham yang di-REPO-kan adalah bukan 45.977.012 lembar
saham CNKO, tetapi 22.988.506 lembar saham dengan nilai Rp10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah) sedangkan yang 22.988.506 lembar saham hanya sebagai
jaminan jika terjadi penurunan nilai atas harga saham CNKO dimaksud.
Penuntut Umum berpendapat bahwa
Terdakwa memiliki niat tidak baik alias niat jahat, mengingat perjanjian REPO
tersebut hanyalah sebagai modus untuk mendapatkan keuntungan karena Terdakwa
telah menjual seluruh saham baik yang di-REPO-kan maupun yang hanya sebagai
jaminan saja dengan nilai uang yang ia terima dari hasil penjualan tersebut
adalah Rp17.066.365.018, dengan demikian Terdakwa mendapat keuntungan dalam
waktu kurang dari seminggu, sehingga tidaklah cukup beralasan kalau harga saham
mengalami penurunan dan Terdakwa dirugikan.
Berhubung jangka waktu
perjanjian REPO dimakud belum habis (360 hari) sebagaimana telah disepakati dan
diatur dalam perjanjian, sehingga apa yang dilakukan oleh Terdakwa tidak dapat
dipersamakan dengan melanggar dalam konteks perbuatan melawan hukum
kontraktual-perdata, namun (juga) sudah merupakan perbuatan melawan hukum dalam
konteks pidana karena Terdakwa tidak pernah meminta izin terlebih dahulu untuk
berbuat secara menyimpang terkait dengan isi perjanjian, sehingga perbuatan
hukum demikian sudah merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana. Dimana
terhadapnya, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai
berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap
alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum tersebut Mahkamah
Agung berpendapat:
- Alasan-alasan kasasi Penuntut Umum pada pokoknya tidak sependapat Judex
Facti dalam hal menyatakan perbuatan Terdakwa Joni Wijaya sebagaimana dalam
dakwaan telah terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana.
Penuntut Umum berpendapat Terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah
melakukan tindak pidana melanggar Pasal 372 KUHPidana dan Pasal 3 Undang-Undang
Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU);
- Alasan keberatan Penuntut Umum pada pokoknya keberatan dengan alasan pertimbangan
Judex Facti dalam melepaskan Terdakwa dari segala tuntutan dengan menyatakan
bahwa hubungan hukum Terdakwa Joni Wijaya selaku Direktur PT. GIory Mitra
Investex (selaku pembeli) dengan saksi korban Gupta Yamin selaku penjual atas
saham Exploitasi Energy Indonesia, Tbk. adalah hubungan hukum perdata yaitu
perjanjian jual beli saham secara REPO (Repurchase Agreement tertanggal 26 Des.
2016). Keberatan ini tidak dapat dibenarkan dengan alasan perbuatan yang
dilakukan Terdakwa adalah perbuatan pidana sehingga dapat dibebani tanggung
jawab pidana dan perdata;
- Berdasarkan Peraturan Nomor VIII.G.13 Lampiran Keputusan Ketua Papepam
- LK Nomor Kep-132/BL/2006 tentang Perlakuan akuntasi Repurchase Agreement
(REPO) dengan menggunakan Master Repurchase Agreement (MRA) didefinisikan bahwa
REPO Saham adalah transaksi jual efek dengan perjanjian untuk membeli
kembali pada waktu dan harga yang telah ditetapkan. Dengan kata lain dapat
diartikan sebagai transaksi pembiayaan dengan jaminan saham dimana penjual
mendapatkan pinjaman dari pembeli dengan jaminan saham;
- Yang dimaksud dengan REPO Saham adalah suatu perjanjian gadai saham sebagai
jaminan oleh pemilik saham kepada penerima gadai dengan keuntungan tertentu dan
dengan ketentuan / syarat bahwa saham yang di REPO atau yang digadaikan
dapat ditebus kembali oleh pemberi gadai dalam waktu tertentu dengan harga yang
telah disepakati;
- Bahwa prinsip hukum yang terkandung dalam transaksi REPO Saham
adalah adanya hak prioritas yang diberikan kepada pemilik REPO Saham untuk membeli
kembali sahamnya yang telah di REPO dari tangan penerima gadai / pembeli REPO
Saham. Ini berarti bahwa penerima gadai saham atau jual beli saham
dengan hak membeli kembali dalam hal ini Terdakwa tidak dapat mengalihkan,
memindahtangankan, menjual atau mengadaikan kembali saham tersebut tanpa
sepengetahuan, persetujuan izin dari saksi korban PT. Eksploitasi Energy
Indonesia Tbk.;
- Berdasarkan fakta hukum persidangan, bahwa hubungan hukum antara
Terdakwa dengan saksi korban awalnya adalah hubungan hukum keperdataan
yaitu perjanjian jual beli saham dengan hak membeli kembali (transaksi REPO
Saham), namun dari sejak awal hingga pada tahap pelaksanaannya kemudian
berubah menjadi perbuatan pidana dalam kaitan implementasi atau pelaksanaan
perjanjian “REPO Saham”, atau perjanjian gadai saham antara Terdakwa selaku
Direktur PT . Glory Mitra lnvestex dengan pihak korban PT. Eksploitasi Energy
Indonesia Tbk.;
- Bahwa hubungan hukum perjanjian antara Terdakwa sebagai pihak dari PT.
Glory Mitra lnvestex dengan pihak korban PT. Eksploitasi Energy Indonesia Tbk.
namun ternyata dalam pelaksanaan perjanjian terjadi perbuatan pidana yang
dilakukan oleh Terdakwa yaitu mengalihkan atau menjual saham REPO kepada pihak
lain tanpa seizin atau sepengetahuan pemilik saham saksi korban Gupta
Yamin. Padahal seharusnya Terdakwa menyerahkan kembali saham REPO
tersebut untuk ditebus oleh pihak korban PT. Eksploitasi Energi Indonesia
(EEI);
- Bahwa ada klausula dalam perjanjian REPO Saham menegaskan pada pokoknya
bahwa pihak pemegang gadai saham (Terdakwa) dalam hal ini wajib menyerahkan
kembali kepada pemberi gadai PT. Eksploitasi Energi Indonesia (EEI) untuk menebus
kembali saham REPO tersebut;
- Bahwa tidak dibenarkan Terdakwa mengalihkan REPO Saham kepada pihak lain
sebelum jatuh tempo dengan syarat Terdakwa menyerahkan kepada PT. Eksploitasi
Energi Indonesia (EEI) untuk ditebus kembali;
- Perbuatan Terdakwa baru dapat dikatakan sebagai perbuatan perdata wanprestasi
dan penyelesaiannya masuk dalam ranah perdata apabila kerugian yang diderita
oleh saksi korban Gupta Yamin murni perdata dalam keadaan “resiko / dampak
ekonomi, krisis ekonomi” sehingga membuat dampak kerugian bagi korban;
- Bahwa tidak ada alasan untuk menyatakan perbuatan Terdakwa wanprestasi dalam
pelaksanaan perjanjian REPO Saham Terdakwa mempunyai niat jahat dan
perbuatan melawan hak atau melawan hukum dilakukan dengan cara mengalihkan,
memindah-tangankan atau menjual saham milik saksi korban Gupta Yamin dari PT.
Eksploitasi Energi Indonesia (EEI) tanpa persetujuan atau izin dari Gupta Yamin;
- Terdakwa mempunyai kesalahan dengan sengaja sebagai niat
untuk menjual saham milik saksi korban yang telah di REPO Saham kepada Terdakwa
guna kepentingan atau keuntungan Terdakwa dengan merugikan saksi korban
Gupta Yamin dari PT. Eksploitasi Energi Indonesia (EEI);
- Hubungan hukum antara Terdakwa dengan PT. Eksploitasi Energi Indonesia (EEI)
adalah hubungan hukum “REPO Saham”, atau gadai saham, bukan hubungan hukum
jual beli saham. Terdapat perbedaan antara “REPO Saham” dengan jual beli saham.
Bahwa dalam REPO Saham PT. Eksploitasi Energi Indonesia (EEI) dapat menebus
kembali saham yang digadaikan kepada Terdakwa setelah jatuh tempo berakhir dan
harga tertentu yang telah disepakati, artinya Terdakwa tidak boleh berkehendak
bebas atas saham yang diterima secara gadai. Sedangkan dalam murni jual beli
saham Terdakwa berhak secara bebas untuk melakukan perbuatan hukum apapun terhadap
saham yang dibelinya;
- Perbuatan Terdakwa mengalihkan / memindah tangankan saham yang diterima
secara gadai (REPO Saham) dari PT. Eksploitasi Energi Indonesia (EEI) bukanlah
merupakan perbuatan perdata murni, melainkan perbuatan pidana atau perbuatan
kriminal karena ada larangan pidana untuk mengalihkan sebagian atau
seluruhnya milik orang lain dalam hal ini PT. Eksploitasi Energi
Indonesia (EEI). Perbuatan Terdakwa mengalihkan / memindah tangankan saham
yang diterima secara gadai dari PT. Eksploitasi Energi Indonesia (EEI) baik
sebagian atau seluruhnya kepada orang lain adalah perbuatan menggelapkan saham
milik PT. Eksploitasi Energi Indonesia (EEI);
- Perjanjian REPO Saham tidak mengakibatkan hak kepemilikan PT.
Eksploitasi Energi Indonesia (EEI) atas saham beralih kepada Terdakwa, oleh
karena itu Terdakwa tidak dapat dibenarkan untuk menjual, mengalihkan atau
memindah tangankan kepada orang lain;
- Terdakwa sebagai pihak yang terkait dalam perjanjian REPO Saham wajib bertanggung-jawab
atas kejadian pengalihan saham kepada pihak lain meskipun sekiranya yang
melakukan penjual saham REPO atau pengalihan atau pemindah-tanganan saham REPO
bukan Terdakwa yang melakukannya tetapi orang yang bekerjasama dengan Terdakwa,
maka secara hukum Terdakwa tetap wajib bertanggung-jawab atas kejadian
tersebut;
- Perbuatan Terdakwa menjual saham REPO milik PT. Eksploitasi Energi Indonesia
(EEI) tentu merugikan pihak PT. Eksploitasi Energi Indonesia (EEI) kurang lebih
sebesar Rp810.000.000.000,00 (delapan ratus sepuluh miliar rupiah);
- Perbuatan Terdakwa tidak dapat dikatakan wanprestasi karena ternyata
dalam pelaksanaan perjanjian REPO Saham Terdakwa mempunyai itikat buruk,
berniat jahat untuk menggelapkan saham milik PT. Eksploitasi Energi Indonesia
(EEI) tidak hanya yang di REPO Saham tetapi juga saham yang dijadikan jaminan
utang saksi korban Gupta Yamin. Terdakwa dipersalahkan pula melakukan
tindak pidana melanggar Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang
(TPPU) karena dana yang hasil penjualan saham REPO telah digunakan,
dialihkan, ditempatkan, dibelanjakan Terdakwa dengan tujuan untuk menyembunyikan
atau menyamarkan asal usul harta kekayaan tersebut;
- Pidana penjara yang akan dijatuhkan dalam perkara ini disesuaikan
dengan keadaan atau hal memberatkan dan meringankan hukuman berdasarkan rasa
keadilan dengan mempertimbangkan akibat dari perbuatan merugikan saksi korban
sebesar Rp810.000.000.000,00 (delapan ratus sepuluh miliar rupiah) dan tingkat
kesalahan Terdakwa yang dilakukan dengan maksud dan tujuan untuk menguntungkan
diri sendiri atau orang lain. Sehingga tingkat kesalahan Terdakwa dianggap
cukup besar;
- Mengenai kerugian harta benda yang diderita oleh saksi korban Gupta
Yamin dari pihak PT. Eksploitasi Energi Indonesia (EEI) dari mengajukan gugatan
ganti kerugian atau memohon restitusi kepada pihak Terdakwa dan/atau PT. Glory
Mitra lnvestex sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Mahkamah Agung berpendapat bahwa
Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum dalam dakwaan Kesatu Pasal 372
KUHP dan dakwaan Kedua Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, oleh karena
itu Terdakwa tersebut haruslah dijatuhi pidana;
“Menimbang, bahwa berdasarkan
pertimbangan di atas, terdapat cukup alasan untuk mengabulkan permohonan kasasi
dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum dan membatalkan putusan Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan Nomor 673/Pid.B/2015/PN.Jkt.Sel, tanggal 21 Januari 2016,
untuk kemudian Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara ini dengan amar putusan
sebagaimana yang akan disebutkan di bawah ini;
“Menimbang, bahwa sebelum
menjatuhkan pidana, Mahkamah Agung akan mempertimbangkan hal-hal yang
memberatkan dan yang meringankan Terdakwa;
Hal-hal yang memberatkan:
- Perbuatan Terdakwa telah menimbulkan kerugian finansial yang cukup
besar terhadap saksi korban Gupta Yamin;
Hal-hal yang meringankan:
- Terdakwa belum pernah dihukum;
“M E N G A D I L I :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / PENUNTUT UMUM pada
KEJAKSAAN NEGERI JAKARTA SELATAN tersebut;
- Membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor
673/Pid.B/2015/PN.Jkt.Sel., tanggal 21 Januari 2016 tersebut;
“MENGADILI SENDIRI
1. Menyatakan Terdakwa Joni Wijaya telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “Penggelapan” dan tindak pidana
“Pencucian Uang”;
2. Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara
selama 8 (delapan) tahun dan pidana denda sebesar Rp50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dengan ketentuan apabila pidana denda tersebut tidak dibayar, maka
diganti dengan pidana kurungan selama 3 (tiga) bulan;
3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani oleh Terdakwa dikurangkan
seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.