KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Cara BALAS DENDAM oleh Korban kepada Pelaku Kejahatan, ala Buddhisme

SENI PIKIR & TULIS

Semua Orang Jahat adalah Orang yang Tidak Punya Malu dan Dungu

Hanya Sedikit Orang yang Tahu Malu, artinya hanya Ada Sedikit Orang yang (Sungguh-Sungguh) Baik dan Adil secara Otentik, Selebihnya adalah para PENIPU

Terdapat satu jenis manusia yang membuat penulis merasa “alergi”, yakni mereka yang “tidak tahu malu”—sekalipun mereka telah menyakiti, merugikan, ataupun melukai korbannya, masih saja sang pelaku tidak malu saat berjumpa dengan sang korban bahkan menampilkan sikap bak kawan baik, malaikat, baik hati, penolong, pemurah, suciwan. Hal demikian menyurupai sesosok iblis bertopeng malaikat, tersenyum dan tampak ramah serta hangat, namun dibaliknya tersembunyi seringai jahat dengan niat buruk untuk merugikan, melukai, ataupun menyakiti kita.

Mereka memiliki “aurat” dan ditutupi rapat-rapat, namun mengapa mereka sama sekali “tidak punya malu” atas sikap jahat dan niat buruk mereka, bahkan sekalipun berjumpa dengan korban-korbannya masih juga mengharap dapat kembali merugikan dan melukai korbannya—seolah korban-korbannya adalah orang-orang bodoh dan tolol yang dapat ia bodohi dan terus-menerus dimanipulasi serta dieksploitasi. Para iblis bertopeng malaikat, sejatinya adalah para penipu. Mereka secara selektif memilih memakan makanan yang mereka sebut sebagai “halal”, namun disaat bersamaan segala tipu-daya maupun ucapan mereka, penuh racun, kepalsuan, niat jahat, kebohongan, dusta, fitnah, memecah-belah, hasutan, provokatif, ujaran kebencian, permusuhan, manipulasi, eksploitasi, dan segala bentuk penipuan verbal lainnya.

Dari pengalaman pribadi penulis menghadapi orang-orang berwatak “tidak punya malu” demikian, adalah percuma menegur perilaku mereka, karena tipikal manusia semacam ini adalah jenis-jenis “manusia hewan” yang memang tidak tahu apa itu kata “malu”. Bukan lagi “sudah putus urat malu” mereka, namun sungguh-sungguh “tidak punya malu” dalam arti harfiah. Mereka akan semudah sesumbar kata “ampun” atau “tobat”, namun yakinlah mereka akan kembali melakukan kejahatan serupa saat kita lengah, dan kembali menyalahgunakan pengampunan maupun kepercayaan yang kita berikan; atau, mereka akan menambal-sulam kejahatan mereka dengan kejahatan baru lainnya dalam rangka membungkam korban yang menjerit.

Mereka berdelusi, dengan berkelit atau aksi “maling teriak maling”, dengan membuat korban-korbannya tidak mengetahui telah pernah dijahati, maka mereka tidak telah pernah berbuat dosa dan jahat. Mereka tidak mau menyadari ataupun mengakui, dengan sikap “tidak punya malu” mereka yang khas, sejatinya mereka telah melukai korbannya lebih dari satu kali jumlahnya : Pertama, menjahati korbannya. Kedua, melukai perasaan korban yang harus mengelus-dada mendapati aksi seronok sikap “tidak punya malu” yang dipertontonkan oleh sang pelaku secara vulgar. Jadilah, setidaknya lebih dari satu kejahatan telah dilakukan oleh sang pelaku terhadap korbannya. Jujur, penulis lebih memilih menyaksikan bangkai tikus yang penuh lalat dan isi perut terburai, daripada menyaksikan sikap “tidak punya malu” para manusia pendosa—semata karena yang disebut terakhir tersebut bersifat lebih berbahaya dan lebih “toxic”.

Lantas, bagaimana cara kita membalas perbuatan jahat dan “tidak punya malu” dari sang pelaku kejahatan? Devadatta, siswa yang justru mencba melukai Sang Buddha, sejatinya sedang mencelakai dirinya sendiri, karena sebagai buah atas perbuatan buruknya mencoba mencelakai seorang yang telah suci dan tercerahkan, Devadatta ditelan hidup-hidup oleh Bumi, sebelum kemudian mendekam di neraka terdalam akibat membuat “garuka kamma”, Karma terburuk karena mencoba menyakiti seorang Buddha. Semakin suci dan baik, korban yang dijahati oleh sang pelaku, semakin besar buah Karma Buruk yang akan dipetik oleh sang pelaku kejahatan—yang bila tidak berbuah pada kehidupan masa kini, maka akan berbuah pada kehidupan mendatang sang pelaku kejahatan.

Karena itulah, cara untuk membentengi diri, menjadikan diri kita sendiri sebagai “pulau pelindung”, ataupun untuk “membalas dendam” para penjahat / pelaku kejahatan, hanyalah dengan cara menjadi orang yang baik. Dengan tidak menganiaya orang lain, maka orang-orang yang menganiaya kita sejatinya sedang “menggali lubang kuburnya” sendiri. Dengan tidak menipu orang lain, maka mereka yang menipu diri kita sejatinya sedang mencelakakan dirinya sendiri. Dengan tidak melukai, menyakiti, ataupun merugikan siapapun, maka pihak lain yang mencoba melukai, menyakiti, ataupun merugikan diri kita akan memetik penderitaan sebagai konsekuensi atas perbuatan buruknya sendiri.

Sebaliknya, dengan menjadi orang yang jahat, maka ketika orang lain menjahati sang jahat, seorang pelaku kejahatan yang telah pernah menjahati sang jahat tidak akan tersiksa atas perbuatan jahatnya—semata karena sang jahat memang patut dan layak diperlakukan jahat oleh sesama orang-orang jahat lainnya. Itulah, ketika para penjahat saling menyiksa satu sama lainnya antar penjahat. Karena itulah juga, orang-orang jahat adalah orang-orang yang tidak menjadikan dirinya sebagai “pulau pelindung” dan tanpa perlindungan diri, semata karena ketika mereka menjadi korban kejahatan oleh penjahat lainnya, sang jahat tidak dapat menuntut agar pelaku kejahatan yang telah menjahati dirinya agar dimasukkan ke alam neraka setelah kematian tiba.

Mengutip dan merujuk sabda Sang Buddha, Keburukan akan (balik) menimpa si dungu yang menyakiti orang yang tak menyakiti, bersih, tak berbintil – bagaikan debu halus ditebar melawan angin.” Perlindungan oleh Hukum Karma, hanya menjadi hak prerogatif orang-orang yang tidak menyakiti, yang tidak bernoda, yang bersih pikiran, dan luhur serta mulia tindak-tanduknya. Menyadari bahwa sebagai orang jahat, ia tidak mendapatkan perlindungan oleh Hukum Karma, maka balas-dendam secara fisik menjadi opsi satu-satunya bagi mereka, kondisi dimana antar penjahat saling menikam satu sama lainnya, dalam arti harfiah. Selengkapnya, mari kita simak sabda Sang Buddha dalam:

DHAMMAPADA

122. Janganlah meremehkan kebaikan (dengan berpikir), ‘Kebaikan sedikit akan tidak berakibat.’ Belanga pun akan penuh dengan tetes demi tetes air. Demikianlah, orang bijak dipenuhi kebaikan yang ia timbun sedikit demi sedikit.

123. Ibarat saudagar beharta banyak berpengawal sedikit menghindari jalan berbahaya, juga ibarat orang berharap hidup menghindari racun, demikianlah seseorang patut menghindari keburukan.

124. Jika tiada luka di tangan, seseorang dapat membawa racun dengan tangannya karena racun tidak meresap ke tangan tak berluka. Demikian pula, keburukan tidak ada pada bukan si pelaku.

125. Keburukan akan (balik) menimpa si dungu yang menyakiti orang yang tak menyakiti, bersih, tak berbintil – bagaikan debu halus ditebar melawan angin.

126. Sejumlah makhluk masuk rahim terlahir. Para pelaku keburukan masuk ke neraka. Para penimbun perbuatan sumber kebahagiaan masuk ke surga. Mereka yang tidak memelihara kekotoran batin mencapai kepadaman derita.

127. Tiada suatu kawasan di dunia, baik di angkasa, di tengah samudra, atau menyusup ke celah gegunungan – di mana pun berada, seseorang dapat lolos dari (akibat) perbuatan buruknya.

128. Tiada suatu kawasan di dunia, baik di atas angkasa, di tengah samudra, atau menyusup ke celah gegunungan – di mana pun berada, Sang raja kematian tak mampu mendapati si pelaku keburukan.

131. Makhluk-makhluk mendambakan kebahagiaan. Ia yang mencari kebahagiaan bagi diri dengan mencelakai makhluk lain dengan alat dera akan tidak mengenyam kebahagiaan setelah ajal tiba.

132. Makhluk-makhluk mendambakan kebahagiaan. Ia yang mencari kebahagiaan bagi diri tanpa mencelakai makhluk lain dengan alat dera akan mengenyam kebahagiaan setelah ajal tiba.

136. Di kala melakukan keburukan-keburukan, si dungu tidak menyadari. Ia yang berkebijaksanaan dangkal itu akan menderita karena perbuatan sendiri, bak terbakar api.

137. Barangsiapa dengan alat dera mencelakai mereka yang tidak mencelakai dan tidak mendera, ia akan segera menemui salah satu di antara sepuluh keadaan:

138. perasaan menyengat, keterpurukan, cacat tubuh, sakit keras, gangguan jiwa,

139. usikan raja, hasutan menyakitkan, kehilangan sanak keluarga, kemusnahan harta benda,

140. kebakaran rumah oleh api hutan, atau, setelah si dungu itu tiba ajal, masuk ke neraka.

143. Hanya ada beberapa saja di dunia, orang yang dengan rasa malu dapat menyingkirkan pemikiran buruk. Hanya ada beberapa saja, orang yang dengan mengusir nidera dapat terjaga, bagaikan kuda tangkas mengelak cambuk.

144. Bersemangatlah! Kerahkan kekuatan, seperti kuda tangkas tersabet cambuk! Dengan berlengkap keyakinan, tata susila, semangat, keteguhan batin, kemampuan menimbang, pengetahuan dan tindak tanduk sempurna, dan perhatian teguh, Kalian akan dapat melenyapkan derita nan tidak sedikit ini.

145. Petugas pengairan mengatur alur air. Pembuat anak panah mengeluk anak panah. Tukang kayu meliuk kayu. Orang yang mudah dinasihati menggeladi diri.

157. Jika menyadari bahwa diri sendiri adalah tercinta, seseorang patut merawat diri dengan baik. Orang bijak patut menjaga diri sepanjang salah satu di antara tiga kurun waktu.

158. Orang bijak patut menempatkan diri di hal patut dulu, baru lalu memberitahu orang lain. (Dengan demikian,) ia tidak bernoda.

159. Seseorang patut menindakkan diri sebagaimana menasihati orang lain. Berlatihlah sebelum melatih karena, konon, diri sendiri sulit dilatih.

160. Diri sendirilah pelindung diri. Sosok lain siapakah dapat menjadi pelindung? Dengan ini, seseorang yang berdiri terlatih baik, akan mendapat perlindungan nan sulit didapat.

161. Oleh diri sendiri keburukan dilakukan, lahir dari diri, berasal dari diri. Keburukan itu akan mencelakai si dungu, laksana berlian melukai intan.

162. Kedursilaan yang akut melilit si pelaku, layaknya ara pencekik melilit pohon sâla. Ia memperlakukan diri sendiri sebagaimana penjahat menghendaki.

163. Perbuatan buruk dan merugikan diri amat mudah dilakukan, sebaliknya perbuatan baik dan bermanfaat amat sulit dilakukan.

164. Karena pandangan nistanya, orang dungu menyangkal ajaran para suciwan nan mulia, hidup sesuai dhamma. Pandangan nistanya muncul demi membunuh diri, layaknya buah bambu muncul demi membunuh pohonnya.

165. Oleh diri sendiri keburukan dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi kotor. Oleh diri sendiri keburukan tak dilakukan, oleh diri sendiri pula seseorang menjadi suci. Suci tidak suci adalah perihal pribadi. Tiada sosok lain dapat menyucikan lainnya.

167. Tak sepantasnya seseorang bergelut dengan hal rendahan, tak sepatutnya bergumul dengan kelengahan, tak semestinya berpegang pada pandangan keliru, tak seyogianya menjadi pengeruh dunia.

172. Ia yang dulunya lengah menjadi tidak lengah di kemudian waktu dapat menerangi dunia ini, laksana bulan terbebas dari awan.

173. Ia yang membendung perbuatan buruk yang dilakukan dengan kebaikan dapat menerangi dunia ini, laksana bulan terbebas dari awan.

174. Makhluk dunia ini buta. Di dunia ini sedikit makhluk melihat jelas. Ibarat burung dapat lolos dari jaring pengurung, sedikit makhluk tiba ke alam bahagia.

186. Kesenangan inderawi tidak pernah bisa kenyang oleh hujan kepingan emas. Kesenangan inderawi mengandung sekelumit suka, mendatangkan duka. Setelah memahami demikian,

187. orang bijak tidak mengejar kesenangan inderawi walau yang bersifat surgawi. Siswa Sammâsambuddha bersenang dalam kemusnahan kekotoran batin.

188. Banyak manusia, karena dicekam ketakutan, menjadikan gunung-gunung, hutan-hutan, padepokan, pepohonan, dan kepunden sebagai objek perlindungan.

189. Perlindungan itu bukanlah perlindungan aman. Perlindungan itu bukan perlindungan utama. Dengan berpegang pada perlindungan itu, orang takkan bebas dari segala derita.

190. Sedangkan, barangsiapa menjadikan Buddha, dhamma, dan sanggha sebagai objek perlindungan, ia, melalui kebijaksanaan yang benar, akan melihat empat kebenaran ariya,

191. yakni: duka, sebab kemunculan duka, kepadaman duka, dan jalan ariya berunsur delapan menuju kepadaman duka.

192. Perlindungan itulah perlindungan aman. Perlindungan itu adalah perlindungan utama. Dengan berpegang pada perlindungan itu, orang terbebas dari segala derita.

193. Manusia unggul jarang ditemukan. Ia tidak terlahir di sebarang tempat. Di keluarga mana manusia unggul terlahir, keluarga itu mengenyam kebahagiaan.

206. Adalah hal baik, bertemu dengan para suciwan. Berdiam bersama mereka mendatangkan kebahagiaan sepanjang masa. Seseorang tentu senantiasa berbahagia tidak bertemu dengan para dungu.

207. Sebab, berdiam bersama orang-orang dungu mendatangkan kesedihan dalam lama waktu. Berkumpul dengan mereka senantiasa membawa derita, tak ubahnya berkumpul dengan seteru. Sebaliknya, bijaksanawan memiliki kediaman bersama yang menyenangkan, layaknya himpunan sanak keluarga.

208. Karenanya, bergaullah dengan orang demikian itu, yang cendekia, bijaksana, berpengetahuan luas, mengemban kewajiban, bertata tertib, berbatin bersih, budiman, arif, laksana candra berada pada orbit purnamanya!

227. Wahai Atula, celaan dan pujian itu adalah perihal lama. Itu bukan laksana hanya ada di hari ini. Mereka mencela ia yang diam, mencela ia yang banyak bicara, mencela ia yang bicara secukupnya. Tiada siapa pun di dunia bebas dari celaan.

228. Belum pernah ada, akan tidak ada, dan tidak ada di saat ini, seseorang yang melulu mendapat celaan atau melulu mendapat pujian.

229. Jika para bijaksanawan, setelah menimbang matang, memuji ia yang bertindak penuh kewaspadaan, cendekia, teguh dalam kebijaksanaan dan kesusilaan,

230. siapakah pantas mencelanya yang bagaikan emas jambonada. Para dewa pun memujinya, demikian pula brahmâ.

231. Seseorang patut menjaga luapan (nafsu) jasmani, mengendalikan jasmani. Setelah menjauhi laku buruk melalui jasmani, ia patut berlaku baik melalui jasmani.

232. Seseorang patut menjaga luapan ucapan, mengendalikan ucapan. Setelah menjauhi laku buruk melalui ucapan, ia patut berlaku baik melalui ucapan.

233. Seseorang patut menjaga luapan batin, mengendalikan batin. Setelah menjauhi laku buruk melalui batin, ia patut berlaku baik melalui batin.

234. Para cendekia adalah mereka yang telah mengendalikan jasmani, juga adalah mereka yang telah mengendalikan ucapan. Para cendekia adalah mereka yang telah mengendalikan batin. Mereka sungguh adalah orang yang telah berpengendalian secara menyeluruh dengan baik.

244. Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran.

245. Sebaliknya, hidup adalah sulit bagi ia yang tahu malu, senantiasa berupaya pada laku suci, tidak melekat, terkendali, berpenghidupan bersih, dan menyadari (hakekat penghidupan bersih).

246. Barangsiapa di dunia ini membunuh kehidupan makhluk lain, bertutur kata bohong, mengambil barang yang tidak diberikan, dan menggauli istri orang lain,

247. juga barangsiapa biasa minum arak dan barang ragian, ia disebut sedang mencabut akar tunggang sendiri di dunia ini.

252. Noda orang lain mudah dilihat. Noda sendiri, sebaliknya, sulit dilihat. Karena itu, orang menebar noda orang lain seperti menampi dedak, sebaliknya menutupi noda sendiri bagaikan pemburu burung menyelinap di balik semak.

256. Bukan karena bergegas menuntaskan perkara seseorang disebut yang tegak dalam Dhamma, melainkan bijaksanawan yang dapat menimbang kedua hal, yaitu yang menjadi perkara dan bukan perkara.

257. Ia yang memeriksa orang-orang dengan tidak terburu, berlandaskan dhamma, sesuai kaidah, penjaga dhamma, dan cendekia itulah disebut ‘yang tegak dalam Dhamma’.

258. Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut bijaksanawan, melainkan ia yang tenteram, tidak bermusuh, dan tidak berpenakut itulah disebut ‘bijaksanawan’.

259. Bukan sekadar karena bicara banyak seseorang disebut penyandang dhamma, melainkan ia yang, meskipun sedikit pengetahuan, dapat melihat dhamma secara batiniah dan tidak melalaikannya itulah sesungguhnya disebut ‘penyandang dhamma’.

260. Bukan karena berkepala beruban seseorang disebut sesepuh. Ia yang berusia lanjut itu disebut ‘si tua hampa’.

261. Sebaliknya, ia yang menembus kebenaran, meraih dhamma, tidak menyakiti, berpengendalian, terlatih, telah melunturkan noda, dan cendekia itulah disebut ‘sesepuh’.

262. Bukan sekadar karena bertutur teratur atau berperawakan rupawan seseorang yang masih memiliki keirihatian, kekikiran, dan kecongkakan disebut budiman,

263. melainkan ia yang telah menumbangkan keirihatian, kekikiran, kecongkakan, mencabut akarnya – melunturkan kebencian, dan cendekia itulah disebut ‘budiman’.

264. Bukan sekadar karena berkepala gundul, seseorang yang tidak berdisiplin, bertutur dusta Aku sebut ‘petapa’. Mana mungkin orang yang berlumur ambisi dan loba sebagai petapa.

265. Akan tetapi, ia yang meredam total keburukan kecil dan besar itulah Aku sebut ‘cerah’ karena keberadaannya sebagai peredam keburukan.

269. menjauhi keburukan-keburukan itulah disebut ‘petapa bijaksana’. Disebabkan hal itulah ia disebut ‘petapa bijaksana’. Seseorang disebut petapa bijaksana karena mengetahui kedua dunia.

270. Bukan karena mencelakai makhluk-makhluk lain seseorang disebut ariya, sebaliknya disebut ‘ariya’ karena tidak mencelakai segala jenis makhluk.

306. Ia yang biasa menuduhkan hal tidak benar akan masuk neraka. Begitu pula, ia yang setelah berbuat berkata, ‘Aku tidak berbuat.’ Keduanya adalah manusia pelaku perbuatan rendah yang, sepeninggalnya menuju ke alam lain, akan bernasib sama.

307. Banyak mereka yang berlingkar jubah di leher memiliki hal-hal buruk dan tidak berpengendalian. Mereka yang buruk itu akan masuk ke neraka oleh perbuatan buruknya.

308. Menelan bongkah besi panas laksana berlidah api adalah lebih baik. Apatah mulianya ia yang dursila, tidak berpengendalian, memakan gumpalan nasi penduduk.

314. Perbuatan buruk, tidak dilakukan adalah lebih baik karena perbuatan buruk akan menggarang (si pelaku) di kemudian waktu. Sebaliknya, perbuatan baik, dilakukan adalah lebih baik yang, setelah dilakukan, tidak mendatangkan sesal.

315. Jagalah diri di dalam dan di luarnya, laksana orang menjaga wilayah perbatasan! Janganlah membiarkan waktu berlalu karena mereka yang membiarkannya berlalu mendapati kesedihan, berdesak sesak di neraka!

316. Barangsiapa malu terhadap hal tak memalukan, tidak malu terhadap hal memalukan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

317. Juga, barangsiapa takut terhadap hal tak menakutkan, tidak takut terhadap hal menakutkan; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

318. Barangsiapa menganggap tercela terhadap hal tak tercela, menganggap tak tercela terhadap hal tercela; mereka yang memegang pandangan keliru itu akan menuju ke alam sengsara.

319. Sebaliknya, barangsiapa menyadari hal tercela sebagai yang tercela, menyadari hal tak tercela sebagai yang tak tercela; mereka yang memegang pandangan benar itu akan menuju ke alam bahagia.

327. Bergembiralah dalam ketidaklengahan! Jagalah kesadaran Kalian masing-masing! Entaskan diri dari kubangan, bak gajah yang terjerembab di lelumpuran dapat mengentas diri!

328. Andaikata seseorang mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan berjalan, ia layak mengatasi segala rintangan; dapat berlega hati dan menegakkan perhatian – berjalan dengannya.

329. Andaikata seseorang tidak mendapatkan orang yang cermat, bercara hidup baik, dan cendekia sebagai kawan berjalan, ia layak berjalan sendirian, laksana seorang raja pergi meninggalkan wilayah taklukkan, laksana gajah besar Mâtanga berjalan sendirian di hutan.

330. Berjalan sendirian adalah lebih baik karena nilai persahabatan tidak ada pada si dungu. Ia patut berjalan sendirian, seperti gajah besar Mâtaõga yang bersahaja berjalan di hutan, dan tak semestinya berbuat buruk.

331. Ketika timbul suatu pengharapan, para sahabat mendatangkan kebahagiaan. Mendatangkan kebahagiaan, berpuas dengan seadanya. Ketika ajal tiba, kebajikan mendatangkan kebahagiaan. Mendatangkan kebahagiaan, pelenyapan segala derita.

407. Nafsu ragawi, kebencian, pembandingan diri, dan pelecehan orang telah seseorang tanggalkan, laksana biji sawi yang jatuh dari ujung jarum. Aku menyebutnya ‘brâhmana’.

408. Ia yang bertutur kata tidak kasar, jelas, benar, dan tidak mengundang kemarahan siapa pun itu Aku sebut ‘brâhmana’.

409. Ia yang di dunia ini tidak mengambil barang yang tidak diberikan, baik yang panjang ataupun pendek, yang kecil ataupun besar, yang indah ataupun jelek itu Aku sebut ‘brâhmana’.

~“Apapun yang ia tanam, ia sendiri yang akan menuai hasilnya.”~

Akibat buruk dan kesengsaraan pelaku kejahatan akan sangat menarik untuk diamati, daripada hal yang mendorong mereka melakukan perbuatan buruk. Seorang pelaku kejahatan pasti akan mendapat ganjaran hukuman. Bila kamma buruknya belum masak pada kehidupan ini, maka ia akan merasakannya pada kehidupan berikutnya. Akan sangat menarik membaca kisah dari seorang yang pada kehidupan lampaunya berbuat jahat, dan konsekuensi pada kehidupan berikutnya, dikarenakan kamma buruk yang dilakukannya berbuah. Sebagaimana dituturkan oleh Sang Buddha, kerapkali buah Karma Buruk baru akan berbuah dan dipetik oleh para penjahat tersebut dikehidupan berikutnya, dan perbuatan baik orang baik tidak jarang baru akan dinikmati buahnya sebagai bekal hidup di kehidupan selanjutnya.

Semata karena belum berbuah di kehidupan masa kini si pelaku kejahatan, karena itulah si dungu merasa berbangga diri dengan semua perbuatan jahatnya, merasa senang, serta menikmati perbuatan jahatnya seolah tiada bahaya dan konsekuensi dibaliknya, sehingga tiada takut maupun malu, menjadi lengah atas perbuatannya sendiri dan terlena karenanya, sebagaimana disabdakan oleh Sang Buddha : “Hidup adalah mudah bagi ia yang tidak tahu malu, berani laksana gagak, biasa ingkar budi orang, suka mencari muka, lepas kendali, dan penuh kekotoran.” Sifat gagak ialah suka berkoak, penuh kata-kata namun penuh tipu daya.

Bila pada kehidupan masa kini, para pelaku kejahatan tersebut belum memetik buah dari perbuatan buruknya, maka buah Karma Buruknya akan matang pada kehidupan mereka berikutnya. Biarkanlah para pelaku kejahatan tersebut bersikap bangga dengan “tidak punya malu” serta berani atas perbuatan jahatnya, hanya seorang dungu yang dengan gembira dan senang “menggali lebih dalam lubang kubur” bagi dirinya sendiri.

Selama para pelaku kejahatan tersebut masih menampilkan wajah atau sikap “tidak punya malu”, maka selama itu pula mereka akan menjadi pecandu perbuatan-perbuatan buruk dan jahat. Hanya saat seseorang memiliki sikap malu—malu berbuat jahat dan malu terhadap korban—pada saat itulah sang pelaku baru akan benar-benar berhenti melakukan kejahatan dan tidak akan berani melukai, merugikan, ataupun menyakiti makhluk hidup lainnya. Berani berbuat, maka berani bertanggung-jawab, alih-alih berani berbuat dosa namun kemudian melarikan diri ke dalam lembah nista bernama “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, seorang pengecut kehidupan.

Yang hidup dari pedang, (maka) akan mati karena pedang. Yang hidup dari pengampunan / penghapusan dosa, akan mati di tangan para pendosa lainnya.

 Bila Anda adalah seorang penjahat, maka jadilah “penjahat yang cerdas”—dalam artian hanya menjadikan orang-orang jahat (sesama penjahat) sebagai “sasaran empuk” niat Anda, alih-alih menjadikan orang-orang baik sebagai “mangsa empuk” (hanya seorang pengecut, yang menjadikan orang baik sebagai korban). Buah Karma Buruk akibat menjahati orang jahat, adalah sangat minim. Sebaliknya, buah Karma Buruk akibat menjahati orang baik terlebih orang suci, ialah sepahit dan sepanas api neraka. Sama halnya, memberi makan seekor anjing masih lebih berbobot benih Karma Baik yang kita tanam ketimbang memberi makan orang-orang yang tercela moralitasnya (para “manusia hewan”).

Sama juga halnya, bagi mereka yang selama ini menjadi pelanggan tetap ideologi “cuci tangan” dan “cuci dosa” semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, maka akan menjadi korban dari sesama pecandu ideologi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa” lainnya. Seorang penganut ideologi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”, layak disebut sebagai si “dungu” ketika mencoba menyakiti, merugikan, ataupun melukai seorang suciwan ataupun para ksatria yang tidak pernah mengonsumsi ideologi “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”. Adalah delusi, ketika seseorang berpikir bahwa kejahatan ialah “enak di pelaku, rugi di korban” berkat iming-iming “cuci dosa” semacam “pengampunan / penghapusan dosa” maupun “penebusan dosa”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.