ARTIKEL
HUKUM
Sesukar Itukah, Hidup secara Jujur Apa Adanya dan menjadi Pribadi yang Otentik?
Para koruptor bukan hanya harus dihukum untuk membayar sejumlah denda dan uang pengganti ke kas negara, namun juga harus dihukum untuk mengganti biaya operasional berbagai lembaga penegakan hukum seperti biaya operasional Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, maupun Kejaksaan. Betapa tidak, sebagaimana kita ketahui bahwa anggaran negara yang bersumber dari dana pajak yang dibayarkan oleh rakyat, dialokasikan untuk biaya operasional lembaga-lembaga penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi, tidak murah harganya serta menyedot banyak sumber daya uang maupun personel sepanjang tahunnya dan sudah berjalan selama puluhan tahun lamanya.
Sebagai contoh lembaga KPK,
sejak semula dibentuk semata untuk membongkar ketidakjujuran para penyelenggara
negara, demi menguak kebenaran penggunaan anggaran negara maupun terjadi atau
tidaknya penyelewengan maupun penyalah-gunaan kewenangan dalam birokrasi
pemerintahan. Telah ternyata, semata demi menemukan kebenaran dibalik
ketidakjujuran, sungguh mahal pajak yang harus dibayarkan oleh rakyat secara
langsung maupun tidak langsung. Sebaliknya, betapa kita akan sangat menghemat
sumber daya anggaran maupun sumber daya manusia, sumber daya mana akan lebih
ideal bila dialokasikan untuk hal-hal yang lebih produktif, bilamana rakyat
kita senantiasa bersikap jujur.
Di dalam lembaga internal
masing-masing departemen maupun kementerian, dibentuk sublembaga khusus bernama
“inspektorat Jenderal” yang berwenang serta bertugas untuk memastikan ada atau
tidaknya ketidakjujuran setiap perangkat kerja organisasinya, serta memastikan
semuanya “on the track”. Begitupula
pengawasan dan auditor eksternal semacam BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) Pusat
maupun Daerah, dibentuk dengan misi menemukan setiap jejak ketidak-jujuran
dalam operasional masing-masing lembaga negara dan pemerintahan.
Masih belum cukup sampai
disitu, seolah anggaran keuangan negara belum banyak terkuras untuk menemukan
ada atau tidaknya ketidak-jujuran dalam nafas kegiatan pemerintahan, maka baik
pada Kepolisian, Kejaksaan, maupun KPK, lewat jejaring intelnya turut pula
mengawasi dan melakukan proses audit manajemen maupun keuangan pada
masing-masing lembaga negara, kementerian, hingga struktur terbawah seperti
kantor Kepala Desa. Begitu tebal lapis demi lapis lembaga yang khusus menangani
perihal ketidak-jujuran umat manusia, sampai-sampai lembaga yang mengawasi
semacam KPK pun seolah dirasa butuh pihak pengawas yang dapat mengawasi jujur
atau tidaknya setiap personel maupun pimpinan KPK. Di Kepolisian dikenal Propam
dan Komisi Kepolisian, dan di Kejaksaan terdapat Komisi Kejaksaan, sementara
itu antara KPK dan BPK saling mengaudit satu sama lain dalam artian KPK
mengaudit para auditor BPK dan BPK mengaudit lembaga KPK. Belum lagi kita
berbicara perihal lembaga monitoring dan supervisi lainnya terhadap
penyelenggaraan negara, semacam Ombudsman.
Tengok saja lembaga semacam
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan yang didirikan dengan memakan
biaya anggaran yang juga tidak pernah sedikit, semata untuk menemukan
kejadian-kejadian “pencucian uang” (money
laundring) yang ilegal alias aksi menyamarkan asal-usul harta kekayaan
dengan mengalih-wujudkan dana uang hasil kejahatan ke bentuk properti, dan
sebagainya. Begitupula Komisi Pengawas Persaingan Usaha didirikan untuk
membongkar sindikat kartel harga yang mempermainkan harga di pasaran dari balik
ruang temaram, dimana rakyat selaku konsumen di pasar yang harus membayar mahal
harganya.
Untuk menggali informasi, tidak
jarang pihak penyidik di Kepolisian menerapkan siksaan fisik terhadap seorang
saksi ataupun tersangka. Akibat ulah para pembohong, masyarakat luas yang
“terkena getahnya”, dimana pihak penyidik tidak lekas percaya terhadap setiap
keterangan maupun pengakuan yang kita berikan, dengan secara seketika
berpraduga ataupun berasumsi bahwa keterangan kita bila tidak diberikan dibawah
tekanan intimidasi maupun siksaan fisik, maka diragukan kredibilitas maupun kebenarannya.
Mengapa? Karena pengalaman
mengajarkan kepada para penyidik tersebut, bahwasannya masyarakat kita dapat
dengan enteng dan ringannya berbohong dan berkata dusta, bahkan masih pula tidak
jarang berani “maling teriak maling”, memfitnah, hingga membalas kebaikan
dengan kejahatan. Masyarakat kita kerap menyepelekan integritas serta janji
ataupun iming-iming yang mereka sendiri ucapkan, karenanya tidak heran bila
aparatur penegak hukum pun kemudian meremehkan setiap ucapan ataupun keterangan
yang diberikan tidak dibawah tekanan intimidasi maupun siksaan fisik. Jika kita
adalah warga yang benar-benar baik, lain daripada yang lain, maka kita akan
menjadi “korban keadaan” persepsi yang sudah terlanjur “miring” demikian, tetap
saja kita akan disiksa oleh penyidik sekalipun telah berkata jujur sedari sejak
awal.
Pada muaranya, hingga sekarang
ini masih kita jumpai pemberitaan warga yang tewas akibat siksaan fisik saat
dimintai keterangan oleh penyidik Kepolisian—itulah harga termahal yang harus
kita bayarkan karena “turut terkena getahnya”, dimana bila tanpa disertai
siksaan fisik maka keterangan kita terkesan kurang lengkap. Ataupun pada
praktik peradilan, bila keterangan tidak diberikan dibawah sumpah, seolah-olah
tidak berbobot dan tidak lengkap—seolah-olah bila keterangan ataupun pengakuan
diberikan tanpa disertai sumpah, maka boleh dan sah-sah saja untuk berkata lain
daripada yang sebenarnya.
Sesukar itukah, hidup secara
jujur, sekalipun setiap Aparatur Sipil Negara diangkat dan menjabat dengan
didahului sumpah jabatan untuk bersikap jujur dan berdedikasi melayani
masyarakat, yang mana bila sesama anak bangsa mampu berkomitmen kepada sumpah
jabatannya tersebut, maka berbagai lembaga yang memboroskan dan “membakari”
uang negara (baca : uang milik rakyat) semacam KPK maupun BPK dan Inspektorat
Jenderal, dapat kita hapus secara permanen. Bila para birokrat maupun para
anggota parlemen di Indonesia, hendak menghapus dan membubarkan KPK, karenanya mudah
saja untuk dilakukan dan niscaya terjadinya. Yakni semudah mulai membudayakan
masing-masing dari diri kita menjadi bangsa yang jujur, maka KPK tidak lagi
dibutuhkan eksistensinya.
Sungguh kasihan bangsa yang
membutuhkan pahlawan ataupun lembaga “ad
hoc” (khusus terspesialisasi pada urusan bidang tertentu) semacam KPK, yang
sudah berdiri selama puluhan tahun namun masih jauh pula terealiasinya visi dan
misi lembaga KPK untuk memberantas korupsi. Akan sampai kapankah, KPK hendak
kita biarkan terus berdiri dan menghabiskan anggaran yang tidak pernah sedikit
jumlahnya sepanjang tahun, sampai-sampai salah seorang pemimpin KPK pernah
melontarkan wacana agar koruptor “kelas teri” tidak perlu disidik oleh KPK
semata karena biaya operasional penyidikan di KPK tergolong tidak murah, alias
mahal?
Begitupula ketidak-jujuran
masyarakat di sektor lembaga swasta, mengakibatkan terjadinya sengketa hukum
berupa gugat-menggugat maupun lapor-melapor akibat penipuan, pemalsuan, janji
yang diingkari, kesaksian / keterangan palsu, penggelapan, pemerasan, dan
segala modus atau bentuk ketidakjujuran lainnya. Akibat ketidak-jujuran,
terjadilah “ekonomi biaya tinggi”, dimana suatu perusahaan perlu diaudit dari
segi keuangan maupun legalitasnya, yang tentunya membutuhkan anggaran tidak
sedikit, sebelum investor berani membuat keputusan untuk membeli dan
mengakuisisinya. Begitupula akibat ketidak-jujuran pemegang saham mayoritas
yang mengendalikan “direksi boneka”, pemegang saham minoritas sampai harus
menggugat “audit investigasi” terhadap perseroan ke hadapan
pengadilan—lagi-lagi biaya tidak sedikit harus dikeluarkan, semata demi
membongkar modus ketidak-jujuran dan menemukan kebenaran yang tersembunyi
dibaliknya.
Pernah penulis alami, bahkan
tidak jarang, seseorang tidak dikenal menghubungi nomor kontak kerja profesi
penulis, berpura-pura (menyaru) hendak mendaftar sebagai klien pengguna jasa
konsultasi yang penulis sediakan. Namun telah ternyata, yang menghubungi
penulis ialah seorang “pengacara dungu” yang tidak kompeten dibidang hukum,
sekadar hendak “mencuri ilmu” profesi penulis selaku konsultan hukum. Ketika
ponsel penulis berbunyi, penulis sedang berada di toilet, jadilah segala
kerepotan terjadi, namun ternyata hanya dipermainkan oleh seorang “pengacara
penipu” yang tega mencuri nasi dari piring kompetitornya semacam itu. Bila saja
dari sejak awal penulis mengetahui bahwa pihak yang menelepon penulis ialah
seorang penipu, maka tidak akan penulis bersedia direpotkan ataupun diganggu
semacam itu. Ketidak-jujuran, selalu merepotkan dan membawa banyak kerugian
bagi orang lain.
Pakaian dan busana serba
tertutup, namun persoalan sikap juga telah ternyata masyarakat “agamais” kita
serba tidak transparan. Untuk membongkar perselingkuhan sang suami / istri,
jasa seorang “detective” swasta pun
disewa meski tidak murah tarif jasa profesinya. “Aha, Anda tertangkap basah, suamiku!” seru sang istri, meski
suaminya saat pulang ke rumah selalu menyatakan “Istriku tercinta!” Berbagai perbankan menganggarkan dana tidak
sedikit untuk investasi infrastruktur berteknologi canggih dalam rangka “Know Your Customers”, sehingga tidak ada
seseorang warga yang mengaku-ngaku sebagai nasabah lainnya saat hendak
bertransaksi. Anggaran berbagai perusahaan untuk mengamankan jaringan teknologi
mereka dari serangan “cyber crime”,
pun terbilang tidak sedikit.
Telah ternyata, di republik ini
(atau mungkin juga di seluruh dunia), kejujuran amat mahal harganya. Kita harus
menebus kejujuran dan kebenaran dengan biaya yang tidak pernah sedikit. Tidak
terbayangkan seberapa besarkah anggaran dikeluarkan sepanjang tahunnya baik
institusi negeri maupun swasta, semata untuk membentengi diri dari ketidak-jujuran
pihak eksternal maupun pihak internal organisasinya, serta untuk menemukan
segala bentuk “fraud” yang akan atau
telah pernah terjadi. Sungguh tidak mudah mengajak masyarakat kita untuk
bersikap jujur, meski sebetulnya mereka sanggup untuk itu namun minim kemauan
dan komitmen.
Penulis tengarai, anggaran yang
dikeluarkan pihak institusi pemerintahan maupun lembaga swasta, untuk
mengungkap ketidak-jujuran maupun untuk membentengi diri dari ketidak-jujuran
pihak eksternal maupun pihak internal, tidak pernah lebih rendah dari anggaran
untuk kegiatan tanggung-jawab sosial (corporate
social responsibility) untuk setiap tahun buku kegiatan operasional mereka.
Bila saja seluruh anggaran untuk membiayai operasional “kepatuhan internal”
maupun biaya “audit” dialokasikan sepenuhnya untuk kegiatan sosial, maka betapa
akan makmur serta idealnya kehidupan berbangsa suatu negara, dan dapat menjadi
ketahanan sosial negeri bersangkutan itu sendiri.
Anda bahkan membayar mahal
instalasi perangkat monitoring semacam CCTV dan harus pula secara rutin
membayar biaya listrik maupun perawatannya setiap bulan, agar seorang pelaku
pencurian tidak lagi dapat berkelit ketika tertangkap. Tentu kita masih ingat “drama”
di ruang persidangan perkara pidana pembunuhan berencana dengan racun sianida
ke dalam segelas kopi di sebuah kafe, yang pelakunya ialah kawan sebaya dari
korban, proses persidangan dan pembuktian mana begitu menguras energi serta
waktu disamping menyedot perhatian publik dari satu episode ke episode berikutnya,
dimana Terdakwa berkelit telah membunuh, berbelit-belit, sekalipun berbagai bukti
forensik yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum menunjuk hidung sang Terdakwa
sebagai pelakunya. Kebohongan yang didramatisir, mengakibatkan Majelis Hakim yang
menyidangkan perkara tersebut kemudian menegur pengacara Terdakwa sebagai
seorang pengacara yang tidak memiliki kode etik—pengacara mana pernah menjabat
sebagai ketua organisasi advokat di Indonesia.
Apa daya, sebagian besar
masyarakat kita merupakan pelanggan tetap ideologi yang anti akuntabilitas dan
yang tidak pernah mengkampanyekan hidup secara penuh tanggung-jawab, transparansi,
maupun akuntabilitas, yakni dogma-dogma “korup” bernama “penghapusan /
pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—akibatnya, sebagaimana dapat kita
kalkulasi bahaya ataupun konsekuensi logis dibaliknya, yakni masyarakat kita mulai
meremehkan arti kejujuran, dan disaat bersamaan menyepelekan kerugian yang
diderita korban ataupun kerusakan yang dapat diakibatkan oleh ketidak-jujuran.
Ketidak-jujuran, istilah
lainnya ialah bersikap “tidak otentik”. Untuk menjadi otentik, maka
kita harus bersikap jujur, tidak ada cara lain. Namun, penipu mana yang
tidak memasang wajah baik, suci, dan penuh perhatian seolah-olah memang perduli
pada kita? Semua penipu sejak zaman prasejarah hingga era modern ini, pola
modusnya serupa, yakni sikap-sikapnya tiada yang “otentik”. Karenanya juga,
seluruh penipu adalah orang-orang yang disebut sebagai “tidak otentik”. Sesukar
itukah, menjadi orang atau pribadi yang otentik?
Bagaimana mungkin orang dewasa
menuntut agar anak-anak muda bersikap jujur, sementara itu para orang dewasa
justru memberi teladan berbagai ketidak-jujuran? Dalam perspektif psikologi, kejujuran
dan bersikap jujur merupakan bahasa kasih yang paling mendasar. Ketika seseorang
bahkan kerap gagal dan tidak mampu bersikap jujur kepada kita, maka adalah “omong
kosong” ketika orang tersebut bersikap seolah-olah menaruh perduli dan berkata
betapa dirinya mencintai dan mengasihi diri kita. Ketika orangtua, anak,
saudara, kerabat, sahabat, pasangan hidup, tidak mampu untuk memberikan
kejujuran dan bersikap jujur kepada kita, maka jangan harap mereka mampu
memberikan kita cinta kasih maupun welas asih yang sejati.
Bila calon pasangan hidup Anda bertanya,
hadiah pernikahan apakah yang Anda kehendaki, maka jawablah secara tegas, “Kejujuran dan komitmen bersikap jujur satu
sama lainnya, selama kita berumah-tangga.” Kejujuran, merupakan fondasi
paling dasar dari relasi dan jalinan welas asih antar manusia—dimana bila
seseorang bahkan gagal dan tidak mampu bersikap jujur, maka jangan menaruh
harapan berlebihan terhadap diri yang bersangkutan. Bagaimana mungkin,
seseorang akan benar-benar tulus dan jujur berbaik hati kepada kita, bilamana
fondasi kejujurannya rapuh atau goyah?
Banyak diantara masyarakat
perumah-tangga kita, yang sudah lama atau baru menikahi pasangannya, bermuara
pada perceraian, baik secara baik-baik maupun lewat aksi gugat-menggugat,
semata karena salah satu atau kedua pasangan merasa bahwa pasangannya telah bersikap
tidak jujur dengan diri suami atau istrinya, sebelum atau setelah pernikahan
berlangsung. Sungguh pemborosan waktu dan umur, terutama bagi kaum wanita,
ketika mendapati suaminya telah ternyata sejatinya merupakan seseorang dengan
pribadi yang lain daripada “persona”
(topeng) yang selama ini ditampilkan dan dikenal.
Orang-orang yang tidak jujur,
bahkan tidak mampu bersikap jujur terhadap diri mereka sendiri, sehingga
janganlah kita berdelusi bahwa mereka akan bersikap jujur terhadap diri kita. Mereka
tidak menghargai diri mereka sendiri dengan kerap dan terbiasa membohongi diri mereka
sendiri, maka terlebih diharapkan mampu menghargai orang lain. Disebutkan bahwa
Tuhan mewahyukan berbagai larangan kepada umat manusia. Namun sejatinya dunia
ini hanya butuh satu buah larangan, yakni “dilarang berkata lain daripada yang benar”.
Katakanlah seseorang telah membunuh, lalu ia menyerahkan diri ke pihak
berwajib, dan mengakui perbuatannya di depan persidangan. Yang selalu menjadi
masalah, sumber masalahnya selalu saja ketidakjujuran, dalam hal apapun itu,
semisal kasus-kasus semacam perselingkuhan, pencurian, ingkar janji, penipuan,
pemalsuan, dan lain sebagainya, baru menjadi masalah ketika absennya
ketidak-jujuran oleh pelakunya.
Ketidakjujuran, selalu bermuara
dengan respons sebagai berikut : “JIka
saja dari sedari awal saya tahu kamu ternyata adalah seorang ... , maka saya
tidak akan pernah memberi kamu kepercayaan, atau lebih memilih untuk tidak
pernah mengenal kamu!” Sekalipun masih lebih mujur, bilamana pada akhirnya
kita mengetahui juga kejadian yang sebenarnya, namun segalanya kerapkali telah
terlanjur basah dan terlambat, dan ada konsekuensi kehilangan maupun kerugian
yang harus kita tanggung akibat ketidak-jujuran pihak lain. Si “tidak jujur”,
sesumbar akan bertanggung-jawab kepada korbannya, namun telah ternyata hanya
sekadar “gimmick”, alias “omong
kosong” yang tidak kunjung direalisasi sekalipun berulang-kali ditagih—Anda lihat,
yang selalu menjadi masalah ialah selalu seputar ketidak-jujuran atau
kurangnya kejujuran sebagai pangkal masalah maupun muaranya.
Sungguh tidak dapat penulis
secara pribadi pahami, bahkan hingga detik ulasan ini disusun, bahwa “sesukar
itukah, menjadi manusia yang otentik dengan hidup secara jujur?” Orang-orang yang
tidak mampu bersikap jujur, adalah tipikal orang yang “kekanakan”, tubuh
fisiknya dewasa dan rambutnya memutih namun kematangan mentalnya “nihil”.
Banyak masyarakat kita yang demikian pemilih dalam urusan busana serba tertutup
dan makanan “halal lifestyle”, namun
telah ternyata dari segi ucapan maupun perilaku, penuh dengan ketidak-jujuran, ucapan
mereka bukan “jaminan mutu”. Penulis menjadi teringat kembali sabda Sang
Buddha, yang mengingatkan kita dengan pesan sebagai berikut : “Bukan makanan yang masuk ke dalam mulut kita
yang paling terpenting, namun apa yang kita keluarkan dari mulut kita yang
lebih penting (yakni ucapan, alias kejujuran itu sendiri).”
Mencari logam mulia, semudah
kita mengunjungi pasar modern maupun pasar tradisional yang banyak menggelar toko
jual-beli emas. Namun mencari orang yang jujur untuk dapat kita serahkan
kepercayaan, lebih sukar daripada mencari logam mulia yang paling langka
sekalipun. Dengan kekuatan uang, Anda dan siapapun dapat membeli segalanya,
namun tidak terhadap barang langka bernama kejujuran dan orang-orang jujur.
Apapun itu, dari pengalaman pribadi penulis yang telah pernah bersikap tidak jujur
dikala masih bocah kecil dan muda, pengalamam pahit mana mengajarkan penulis
satu prinsip berikut : Kejujuran adalah mahal harganya, namun bersikap
tidak jujur ternyata lebih mahal lagi harga yang harus kita bayarkan.
Karena itulah, selalu pilih “kejujuran”
sebagai opsi terbaik dan paling rasional yang tidak dapat kita tawar-tawar,
bahkan terhadap diri kita sendiri. Tidak ada yang dapat kita curangi dalam
hidup ini—jika kita merasa ada yang dapat kita curangi, maka itu adalah
“delusi”. Namun apa daya, sekalipun kitab berisi dogma-dogma dan wahyu-wahyu Tuhan
sedemikian tebal, sekalipun puluhan nabi telah diutus, telah ternyata maksiat
paling primitif dalam sejarah umat manusia, yakni berkata dusta dan
ketidak-jujuran, masih juga lestari dan tidak kunjung punah—alih-alih berhasil
diminimalisir, kian hari justru kian “menggurita” bagaikan kultur sosial yang
lazim, dimana bersikap jujur justru akan tampak “aneh sendiri”.
Ironisnya, disaat bersamaan, “agama
samawi” bersangkutan yang berisi jargon “larangan ini dan larangan itu”, telah ternyata
melanggar dan menegasikan sendiri ayat-ayat larangan di dalamnya, dengan
menggelar “karpet merah” bagi para pendosa dan pelanggarnya lewat iming-iming “korup”
ideologi penuh kecurangan bernama “penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan
dosa”. Bahkan digambarkan pula seolah-olah Tuhan memberi insentif alih-alih dis-insentif
kepada para pendusta yang tidak otentik tersebut, dengan lebih PRO kepada para
pendosa lewat menghapus dosa-dosa para pembual dan para pendusta tersebut. Lantas,
bagaimana nasib para korban kasus-kasus penipuan, ingkar janji, dan korban-korban
ketidak-jujuran lainnya?
Terhadap kaum yang berlainan
keyakinan, demikian intoleran—namun terhadap maksiat dan dosa semacam berkata
dusta dan bersikap tidak jujur, demikian kompromistik. Bukankah itu merupakan
tragedi dibalik “kabar baik” yang dibawa oleh “agama samawi”? Kabar baik bagi
para pendusta dan pembual, disaat bersamaan menjadi kabar buruk bagi para
korban kasus-kasus penipuan, ingkar janji, iming-iming palsu, umbar janji yang
tidak akan ditepati, fitnah, maupun segala bentuk ketidak-jujuran lainnya. Sesukar
itukah, hidup secara jujur dan apa adanya, dengan menjadi manusia yang “otentik”?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.