SENI PIKIR & TULIS
Mengapa Tidak Semua Orang Mau menjadi Orang Baik
sekalipun Mereka Mampu?
Karena menjadi Orang Baik adalah Menakutkan, Penuh Jalan Terjal, Minoritas, serta Senantiasa Dijadikan MANGSA EMPUK SASARAN KEBUASAN MANUSIA PERDATOR
Sebagaimana telah kita ketahui bersama, bukanlah perkara mudah menjadi orang lemah yang tertindas dan tidak berdaya. Namun bukan berarti bagi yang memiliki kekuatan dan kekuasaan, patut bersenang hati, karena semua orang adalah lemah di hadapan kekuatan alam seperti bencana alam maupun penyakit serta kematian yang tidak dapat selamanya kita hindari, sekalipun selama ini Anda mampu “membeli” orang-orang lewat pengaruh uang. Akan tetapi, terdapat satu jenis tipe kepribadian yang jauh lebih sukar untuk dilakoni, yakni menjadi orang baik. Jika menjadi orang baik adalah semudah itu, mengapa sungguh langka dapat kita jumpai orang yang baik dan jujur di luar sana ataupun di dalam kediaman kita sendiri?
Mencari logam mulia, dapat kita
jumpai pada berbagai toko emas yang tersebar luas bahkan di pasar tradisional
dekat kediaman kita. Harganya pun masih dapat kita jangkau sebagai perhiasan
yang banyak dikenakan oleh kalangan wanita sebagai “pemanis”. Kini, perhiasan imitasi
bahkan lebih variatif bentuk pola dan ragam pilihannya, meski sangat terjangkau
namun tidak kalah manisnya untuk dikenakan, ibarat modus para penipu yang
selalu tampil bak orang baik yang hangat dan penuh perhatian. Namun menemukan
orang baik dan jujur, yang benar-benar tulus baik dan jujur antara ucapan dan
isi hati maupun perilakunya, lebih langka daripada logam mulia apapun seperti
halnya kita dapat memiliki ratusan atau hingga ribuan teman, namun bisa jadi
hanya ada satu orang sahabat sejati yang tulus menghargai kita.
Semua anak, pada mulanya di bangku
Sekolah Dasar selalu bermimpi dan bercita-cita menjadi orang baik, seperti
menjadi dokter, suster, pilot, atau polisi agar dapat menolong banyak orang, jika
perlu menjadi superhero agar dapat menumpas penjahat, menolong yang lemah dan
menegakkan keadilan. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka tumbuh dewasa,
mereka mendapati betapa pahit dan sukarnya menjadi orang baik-baik. Selamat
datang pada realita, dimana “truth always
bitter”. Perlahan, secara pragmatis, mereka berubah akibat terbentuk
paradigma berpikir “menjadi orang baik,
tidak enak”, menjelma menjadi “the
bad boy and bad guy”. Bisa jadi, Adolf Hitler sendiri semasa kanak-kanak,
bercita-cita menjadi orang baik, namun saat dewasa menjelma diktator.
Dari perspektif ilmu
viktimologi, orang baik dan orang lemah merupakan “MANGSA EMPUK”
untuk dimanipulasi, dieksploitasi, serta diperdaya, jika perlu untuk
dikorbankan dan ditumbalkan. Ibarat pohon yang tumbuh lurus ke atas, akan
lebih menjadi buruan para pencari kayu untuk ditebang dan dirampas hak hidupnya,
ketimbang pohon sejenis yang tumbuh secara tidak tegak lurus ke atas. Secara
dorongan naluri otak hewani yang bersumber dari otak reptil yang bersarang di
kepala kita, umat manusia cenderung terdorong untuk memangsa sesamanya dan
disaat bersamaan bersikap pengecut.
Mereka, para penjahat, selalu
menargetkan orang-orang baik, terlebih “orang-orang baik yang lemah” tidak
terkecuali “orang lemah yang baik hati”—sudah lemah, baik pula orangnya, sehingga
hanya mengedepankan “ahimsa” (respons
tanpa kekerasan) sekalipun diperlakukan secara buruk dan tidak patut.
Perhatikanlah fenomena sosial yang unik berikut, tiada preman yang berani
tampil memeras seseorang warga, tanpa didampingi oleh teman sesama preman serta
mempersenjatai diri dengan senjata tajam sekalipun korbannya hanya seorang diri
dan tidak bersenjata. Tiada preman, termasuk John Kei yang dikenal haus
darah dan memiliki sasana ring tinju untuk bertanding tinju, yang memilih
secara jantan dan jentelmen menantang korbannya untuk bertanding adu jotos di
atas ring tinju lengkap dengan aturan main dunia pertandingan tinju, satu lawan
satu secara tangan kosong.
Manusia, disebut sebagai
beradab ketika mampu secara terampil serta terlatih untuk mengendalikan dan
menaklukkan otak reptil dalam dirinya yang bersifat laten, namun bukan berarti tidak
dapat diminimalisir impulsnya sehingga kita tidak menjadi korban dari otak
reptil yang membajak pikiran kita dari dalam kepala kita sendiri. Karenanya, semua
dorongan dan tendensi ataupun keinginan yang timbul dari dalam diri, bukan
berarti harus langsung kita ikuti dan penuhi, sebagaimana anekdot “yang
manis jangan langsung ditelan, yang pahit jangan langsung dibuang”. Manusia
disebut beradab, karena kemampuannya untuk memberdayakan olah pikir dan olah
budi, bukan membiarkan otak reptil menguasai dan mengontrol dan mengambil-alih
hidup yang bersangkutan.
Yang kuat, memakan yang lemah.
Yang jahat, memakan yang baik. Yang kuat dan jahat, memangsa bukan saja orang-orang
lemah namun juga orang-orang baik tidak terkecuali orang baik yang lemah.
Lihatlah koruptor atau para mafia tanah dan mafia-mafia lainnya yang mana
setiap sendi kehidupan warga di Indonesia praktis telah dikuasai oleh cengkeraman
berbagai mafia yang tidak tersentuh oleh hukum dimana negara tidak pernah
benar-benar hadir di tengah masyarakat, mereka bahkan masih juga merampas
hak dan nasi dari atas piring milik orang-orang yang lebih miskin daripada
mereka.
Jadilah, orang-orang jahat
tersebut tidak ubahnya “manusia hewan”, yang tidak memiliki rasa malu
ataupun rasa takut berbuat jahat dengan merugikan, melukai, ataupun menyakiti
warga lainnya—sekalipun mereka menutupi sekujur tubuh mereka dengan busana.
Berbuat dosa dipandang bukan “aurat”, dimana tanpa rasa malu ataupun takut
mengoleksinya. Mereka pun lebih mementingkan apa yang masuk ke dalam mulut
mereka (makanan tertentu) ketimbang memerhatikan apa yang keluar dari dalam
mulut mereka (perbuatan berupa ucapan). Mengikuti dorongan hati yang
bersumber dari otak reptil, jadilah kita menjelma “manusia hewan”.
Sang Buddha membagi manusia kedalam tiga kategori, yakni
“manusia hewan”, “manusia manusia”, dan “manusia dewa”. Mengapa seorang
“manusia dewa”, tidaklah bijak bila promosi diri di tengah-tengah masyarakat
Indonesia? Jawabannya ialah semata karena mereka dapat dilahap hidup-hidup
tanpa menyisakan sejengkal tulang sekalipun. Seseorang yang mengaku-ngaku
sebagai orang baik namun melakukan “iklan diri”, dapat dipastikan seorang
penipu (modus penipuan).
Lihatlah, tiada Sinterklas yang
eksis hidup di Indonesia, mereka sudah punah, atau setidaknya bersembunyi dalam
kamuflase baju lain agar tidak menjadi “mangsa empuk”. Sang Buddha dan Ajahn
Brahm bahkan memberikan pula wejangan tambahan, yakni : “Seorang suciwan sekalipun sesekali perlu
menunjukkan taringnya, semata agar tidak dijadikan objek bullying warga lain”.
Ini dunia manusia yang penuh predator, kawan, bukan surga dimana semua
penduduknya ialah orang-orang baik yang mana menghargai orang-orang baik
lainnya. Karenanya, tips paling penting yang dapat kita petik ialah, tidak
perlu buktikan kepada dunia ini bahwa Anda adalah orang baik, cukup buktikan
pada diri Anda sendiri (Be a good
person, but don’t waste time to prove it!). Jadilah seorang dermawan
secara anonim, jika perlu sebarkan berita kontra-narasi bahwa seolah-olah Anda
adalah orang yang sangat kikir agar dijauhi oleh para “manusia benalu”.
Kondisi sosial di Indonesia
sangatlah tidak kondusif bagi Anda yang tergolong sebagai “manusia manusia” terlebih
bagi yang tergolong “manusia dewa”. Lantas, mengapa masyarakat di Indonesia
demikian tampak senang bergaul dan bersahabat satu sama lainnya? Sang Buddha
juga telah menjelaskan fenomena demikian, sebagai adalah wajar, sesama serigala
saling akur dan rukun. Namun, jangan-jangan coba-coba seekor kelinci masuk
kandang serigala itu. Anda harus menjadi seorang bajingan bila ingin diterima
oleh komunitas pergaulan para bajingan. Seseorang yang kompromistis terhadap
penjahat, artinya mereka ialah sesama penjahat, dimana berlaku aturan tidak
tertulis berikut : “sesama penjahat
jangan saling kritik”.
Tabiat dan mentalitas karakter
bangsa ini yang sudah “bobrok” dan rapuh tanpaa fondasi moralitas (takut dan
malu berbuat jahat), diperkeruh oleh masuknya ideologi “korup” berkedok
keyakinan keagamaan yang justru mempromosikan dan mengkampanyekan dosa dan
maksiat, lewat semboyannya yang penuh iming-iming janji-janji surgawi bernama “penghapusan
/ pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”—ingat, hanya seorang
pendosa yang membutuhkan hal-hal kotor, busuk, tercela jorok, dan korup semacam
“penghapusan / pengampunan dosa” maupun “penebusan dosa”. Bagaimana mungkin,
seorang pendosa hendak berceramah perihal hidup yang baik, lurus, serta benar?
Dalam berberapa kesempatan,
kerap pula penulis sebutkan bahwa “manusia merupakan makhluk KEKANAKAN”.
Cobalah perhatikan, anak-anak kampung kerap mencuri buah-buahan yang tumbuh di
pekarangan rumah warga, atau memetik apapun yang dapat mereka jumpai di
sepanjang perjalanan seperti bunga liar, satwa liar, dan sebagainya. Seolah-olah,
adalah dosa bila membiarkan kesemua itu tumbuh sebagaimana adanya tanpa
dipetik, tanpa diganggu, tanpa dicuri, dan tanpa dirusak. Sama halnya,
orang-orang baik (maupun orang yang lemah) tampak lebih “empuk”, lebih
menggiurkan, serta lebih menggoda untuk disakiti, dimana seolah-olah adalah
dosa bila orang-orang baik dibiarkan hidup damai dan tenang tanpa diganggu,
tanpa diusik, dan tanpa disakiti ataupun dirampas hak-haknya.
Adalah sebentuk ke-tegar-an,
keteguhan mental, kekuatan batin, daya pikir yang berdaya, keberanian jiwa,
daya juang yang hebat, “positive thinking”,
serta keunggulan karakter itu sendiri, ketika seseorang masih juga eksis hidup
sebagai orang-orang baik hingga dewasa dan tutup usia, di tengah-tengah
komunitas warga yang tidak ramah terhadap orang-orang baik (tidak “friendly” terhadap orang baik, mengingat
eksistensi orang baik menimbulkan “psikologi kontras” yang timbul akibat
perbandingan, sehingga karena ada orang baik maka ada orang-orang jahat, dimana
orang baik perlu disingkirkan atau bila perlu dimusnahkan).
Selebihnya, anak-anak kecil
yang penuh cita-cita mulia menjelma manusia pragmatis, yang kian luntur
idealismenya dan berubah secara perlahan dan secara gradual, seiring dengan
derasnya arus “mainstream” menerpa langkah
dan perjalan hidupnya, sehingga mendorong diri bersangkutan untuk memilih semudah
mengikuti arus—dimana kita ketahui, air pada dasariah dan alamiahnya bergerak
ke arah bawah, bukan ke arah atas. Untuk dapat bergerak ke arah atas, artinya Anda
harus berjuang melawan arus, lengkap dengan segala kesukarannya, serta tanpa
jaminan Anda akan selamat sampai di atas.
Mereka memilih untuk “memakan”
daripada “dimakan”. Mereka merasa akan tidak dapat “survive” bila tidak “memakan” hak-hak ataupun hidup orang lain. Karenanya,
orang-orang baik merupakan orang-orang paling “berpikiran positif” yang dapat
kita jumpai di muka bumi ini, sekaligus sebagai orang-orang yang paling tegar,
tangguh, tidak terkecuali paling pemberani. Lestarikanlah orang-orang baik,
jangan biarkan mereka punah untuk selama-lamanya dari muka bumi ini. Sebagai
penutup, meski bukan yang paling akhir, penulis memiliki postulat sebagai
berikut : Bila menjadi orang jahat sekalipun, juga tidak menjamin hidup Anda akan
bahagia ataupun selamat, maka mengapa tidak memilih untuk menjadi dan tetap
sebagai orang baik?
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.