ARTIKEL
HUKUM
Uji POLITIK Undang-Undang Cipta Kerja oleh Mahkamah Konstitusi RI, bukan Putusan terkait Uji Formil
Dinyatakan inkonstitusional, alias tidak konstitusional, namun disertai embel-embel “masih diberlakukan selama dua tahun ke depan sejak putusan dibacakan”, namun pula tidak memberi ruang bagi uji materiil pasal-pasal di dalam undang-undang tersebut, sama artinya yang dipertontonkan ialah “uji POLITIK”, bukan “uji formil”. Bagaimana mungkin, dinyatakan tidak konstitusional, namun masih diberlakukan untuk sekian tahun ke depan? Dinyatakan cacat formil proses pembentukan Undang-Undang bersangkutan, namun disaat bersamaan dalam putusan diperintahkan agar pembentuk Undang-Undang memperbaiki proses pembentukannya, sekalipun produk Undang-Undang-nya sudah eksis dan sudah terbit alias sudah jadi. Bagaimana mungkin, seseorang minta maaf terlebih dahulu, baru kemudian berbuat dosa dan kejahatan?
Undang-Undang model “omnibus law”, sebenarnya telah sejak
lama diberlakukan di Indonesia, semisal Undang-Undang tentang Pemerintahan
Daerah, Undang-Undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, dan Undang-Undang
lainnya yang menyatukan berbagai domain genus hukum kedalam satu produk
legislasi. Mengapa tiada penolakan tegas dan keras dari rakyat? Karena, bila
konteksnya ialah Undang-Undang tentang Cipta Kerja, terjadi pengalihan isu oleh
pihak pembentuk Undang-Undang, baik pemerintah maupun legislatif, dimana untuk
membungkam penolakan dan resistensi rakyat, dibuatlah Undang-Undang “Sapu Jahat”
bernama “Cipta Kerja” ini.
Bila yang diubah secara “kodifikasi
parsial terbuka”, semisal revisi atau perubahan Undang-Undang tentang
Ketenagakerjaan, maka akan mendapat perhatian serius oleh publik, rakyat umum,
dan pihak-pihak yang berkepentingan, secara fokus, tidak terbias, dan tidak
teralihkan isunya, sehingga kritik dan masukan dapat optimal dan tepat pada
sasaran. Namun, bila perubahan maupun penggantian tersebut diselubungi oleh
kemasan bernama Undang-Undang “omnibus
law” yang terdiri dari seribu halaman, siapa yang akan merepotkan diri untuk
membaca Undang-Undang yang terdiri dari seribu halaman?
Ketika regulasi menjadi
demikian “sesak”, maka tidak mengena pada publik selaku subjek dan pengemban
hukum, akibatnya tingkat kepatuhan masyarakat terhadap “hukum positif” menjadi
bias dan ambigu, mengingat minimnya minat masyarakat untuk meluangkan waktu dan
merepotkan diri membaca Undang-Undang setebal seribu halaman demikian. Ketika masyarakat
luas merasa keberatan untuk membaca Undang-Undang setebal seribu halaman, maka sikap-sikap
kritis masyarakat luas menjadi terbendung, dengan harapan pembentuk Undang-Undang
bahwa dengan demikian resistensi publik dapat ditekan hingga semininal mungkin.
Adapun modus pemerintah dalam
menyusun dan melahirkan Undang-Undang “Sapu Jagat” ini ialah, Undang-Undang setebal
seribu halaman tersebut menjadi tulang punggung (backbone) untuk menerbitkan
perbagai Peraturan Pemerintah yang substansi dan esensinya setingkat atau
setara Undang-Undang sektoral lain yang dirubah olehnya, sehingga Peraturan
Pemerintah yang cukup dirancang dan diterbitkan pemerintah tanpa keterlibatan lembaga
legislatif selaku wakil rakyat, secara terselubung dan secara politis menjadi
tampak lebih kuat daripada Undang-Undang sektoral yang diubah ketentuan
pasalnya oleh Peraturan Pemerintah yang menjadi peraturan pelaksana Undang-Undang
“Sapu Jagat”. Sekalipun kita ketahui, Peraturan Pemerintah bukan hanya sekadar
menindaklanjuti, namun juga membentuk norma-norma hukum baru yang bisa jadi
bertentangan dengan Undang-Undang sektoral lainnya. Dengan metode itulah, peran
legislatif diminimalisir, mengakibatkan terbentuk rezim “executive heavy”.
Per 25 November 2021, Mahkamah
Konstitusi Republik Indonesia membacakan putusan terhadap permohonan “uji formil”
dengan objek berupa Undang-Undang Nompr 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja sebagaimana
tertuang dalam register nomor 91/PUU-XVIII/2020, yang pada pokoknya menyatakan
bahwa Undang-Undang Cipta Kerja cacat secara formil alias cacat dari segi
prosedur pembentukannya. Dalam pertimbangan hukumnya, Mahkamah Konstitusi menilai
bahwa Undang-Undang Cipta Kerja tidak berpedoman pada teknik penyusunan
peraturan perundang-undangan dalam Lampiran II UU No. 12 tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Hakim Mahkamah Konstitusi,
mennyebutkan, pembentuk undang-undang tidak menaati teknik baku yang telah
diamanatkan pada Undang-Undang terkait pembentukan peraturan perundang-undangan,
sekalipun faktanya telah terdapat berbagai Undang-Undang di Indonesia yang
disusun dan dibentuk secara “omnibus”,
sehingga semestinya seluruh Undang-Undang tersebut juga “cacat formil”. Bukankah
itu menjadi sebentuk “standar baku”, ketika Undang-Undang Cipta Kerja semata
yang dimaknai tidak konstitusional?
Mahkamah Konstitusi menyebutkan
pula, pembentuk Undang-Undang Cipta Kerja tidak memberikan ruang partisipasi
kepada publik selaku stakeholders (pihak-pihak
yang berkepentingan), secara maksimal (meaningful
participation). Mengendus aspek politik, Undang-Undang “bongsor” yang “too big to fall”, mengakibatkan para
hakim Mahkamah Konstitusi surut jiwa keadilannya dan melupakan sumpah
jabatannya ketika diangkat sebagai seorang Hakim Konstitusi, menjelma semata
mengedepankan asas pragmatisme dengan alibi “jalan tengah” (kompromistis antar
kedua kepentingan yang saling tarik-menarik kepentingan), Undang-Undang Cipta
Kerja harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat. Muncul ambigu
pertama, yakni ketika dalam putusan yang sama, Mahkamah Konstitusi menyatakan
bahwa Undang-Undang Cipta Kerja masih berlaku sepanjang Pembentuk UU
melakukan perbaikan dalam tata cara pembentukan Undang-Undang Cipta
Kerja.
Perhatikan frasa yang penulis
beri penegasan di atas, Undang-Undang Cipta Kerja telah terbit dan eksis. Pertanyaannya,
bagaimana mungkin seorang “orok” (baby)
yang telah dilahirkan dan keluar dari dalam rahim induknya, diminta untuk
kembali masuk ke dalam rahim agar tidak lahir secara “prematur”? Ambiguitas
kedua, inkonstitusional, namun disaat bersamaan dinyatakan masih berlaku. Alhasil,
kedua kubu seolah “diadu domba”, dimana kalangan publik bersikukuh bahwa Undang-Undang
Cipta Kerja tidak dapat diberlakukan, karena sama artinya menegakkan apa yang
tidak konstitusional. Sementara itu pihak pemerintah bersikukuh, Undang-Undang Cipta
Kerja masih sah berlaku dan tidak dibatalkan untuk saat kini.
Mahkamah Konstitusi memberikan
waktu dua tahun bagi pembentuk Undang-Undang untuk melakukan perbaikan
tata cara pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja sejak putusan
diucapkan. Apabila tidak dilakukan perbaikan, maka Undang-Undang Cipta Kerja dapat
dinyatakan inkonstitusional secara permanen, yang bermakna Undang-Undang Cipta
Kerja ini akan dicabut (oleh siapa?) dan ketentuan lama yang diubah oleh Undang-Undang
Cipta Kerja dinyatakan berlaku kembali (namun bagaimana nasib peraturan
pelaksanannya, apakah juga otomatis gugur?).
Mahkamah Konstitusi juga
memerintahkan penangguhan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat
strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula penerbitan peraturan
pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Cipta Kerja. Putusan,
idealnya dan seyogianya menyelesaikan masalah, bukan justru menjadi babak
lembaran sengketa baru akibat melemparkan ambiguitas dan multi-interpretasi ke tengah-tengah
masyarakat, dimana rakyat terhadap pemerintah dibiarkan saling berkelahi
sendiri tanpa berkesudahan yang meletihkan dan menguras energi serta mental,
seperti membuat parameter konkret, bagaimana cara memperbaiki tata cara pembentukan
Undang-Undang ini, serta seperti apakah parameter kebijakan yang tergolong bersifat
strategis dan berdampak luas ini?
Sejauh pengetahuan penulis,
putusan Mahkamah Konstitusi RI tidak dapat dimaknai berlaku secara surut (asas
non-retroaktif) sebagaimana ditegaskan secara eksplisit dalam Undang-Undang tentang
Mahkamah Konstitusi maupun berbagai preseden yang terbit dari putusan-putusan Mahkamah
Konstitusi RI itu sendiri yang dikenal tidak konsisten antar putusan. Artinya,
berbagai peraturan pelaksana Undang-Undang Cipta Kerja yang telah diterbitkan sebelum
terbit putusan Mahkamah Konstitusi, akan tetap sah dan dapat diberlakukan
sekalipun jelas-jelas bersifat strategis dan berskala makro nasional seperti
Peraturan Pemerintah terkait Pengupahan yang dibentuk paska terbitnya Undang-Undang
Cipta Kerja.
Masih dalam putusannya, Mahkamah
Konstitusi mengamanatkan agar pihak pemerintah selaku pengusung draf naskah
akademik Undang-Undang Cipta Kerja, untuk terlebih dahulu membentuk kaidah
serta tata cara penyusunan regulasi ber-genus “omnibus” kedalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan. Ketentuan demikian harus dilakukan sebagai langkah
pendahuluan, sebelum Pemerintah bersama dengan Legislatif menyusun ulang Undang-Undang
Cipta Kerja berdasarkan tata cara yang telah ditetapkan. Jika disusun ulang,
namun dengan materi pasal-pasal yang sama, bukankah itu artinya semata
seremonial yang tidak substansif dan tidak esensial alias sekadar mengganti
jubah belaka? Bagaimana mungkin, diperintahkan untuk menyusun ulang, namun pasal-pasalnya
tetap eksis dan masih diberlakukan secara efektif? Logika orang awam hukum
sekalipun, tidak akan “connect”
dengan cara berpikir para Hakim Konstitusi.
Sebenarnya yang dibutuhkan oleh
publik, ialah ketegasan dan sikap tegas Mahkamah Konstitusi, apakah Undang-Undang
Cipta Kerja ini adalah sah atau tidak sah, sehingga menjadi jelas tanpa
keraguan, apakah pasal-pasal dalam Undang-Undang Cipta Kerja diberlakukan atau
dilarang pemberlakuannya ke tengah-tengah publik? Kita sudah jenuh dan letih
akibat resesi ekonomi serta ketidakpastian ditengah-tengah wabah pandemik, karena
itu faktor-faktor pemersatu bangsa perlu dikedepankan, dengan menyisihkan ego
sektoral. Kini, republik kita ibarat berjalan sendiri-sendiri dan ke arah masing-masing
yang saling bertolak-belakang. Ketahanan bangsa menjadi rentan dan rapuh, alih-alih
mengundang investor asing untuk menanamkan modalnya dan membuka lapangan kerja
baru.
Apapun itu, selama sifatnya
tegas, publik dan pemerintah akan membentuk jalannya sendiri. Namun ketika putusan
bersifat rancu, sumir, ambigu, multitafsir, alhasil negara ini akan kian
terpecah-belah dan mudah diadu-domba. Kohesi sosial, kepercayaan publik terhadap
pemerintahnya, adanya kepentingan dalam perahu yang sama, merupakan pilar
pemersatu bangsa. Sengketa berlarut-larut ini hanya dapat diselesaikan, lewat
putusan yang tegas, entah berbunyi “membatalkan” ataupun “mengukuhkan” Undang-Undang
Cipta Kerja, tanpa disertai embel-embel maupun kalimat bersayap “inkonstitusional
bersyarat”.
Apakah belum cukup banyak,
carut-marut regulasi dan putusan di Indonesia? Entah kabar baik ataukah kabar
buruk, profesi hukum kini perlu diberi tarif jasa yang lebih besar, akibat
betapa besarnya ketidakpastian praktik hukum di Indonesia akibat regulasi serta
diperkeruh putusan-putusan yang ambigu, tidak tegas, serta tidak konsisten. Mengutip
kalimat Ajahn Brahm, “Good, bad, who
knows?” Bukanlah lembaga semacam Mahkamah Konstitusi sebagai penentunya,
namun “waktu” yang akan menjawabnya. Mari, kita cermati saja, entah sebagai
pemain maupun sebagai pentonton, political
will pemerintah.
Ketika tiada itikad baik itu,
maka untuk kedua kalinya rakyat dikangkangi dan dilecehkan. Yang jelas, distrust di benak investor asing terhadap
Indonesia meningkat, akibat konflik dan sengketa internal negeri yang tidak
berkesudahan, yang dipercikkan sendiri benih-benihnya oleh pihak pemerintah
sebagai “sebab”-nya. Aksi-aksi publik, ialah sekadar “akibat” sebagai respons-nya.
Ketidakpastian hukum, itulah yang paling ditakutkan oleh investor manapun.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.