KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Ambiguitas Percobaan Pencurian, menyerupai Aksi Spekulasi Untung-Untungan

LEGAL OPINION

Pidana Pencurian, Delik Formil ataukah Materiil?

Tidak Satu Pandangan para Aparatur Penegak Hukum perihal Kualifikasi Delik Percobaan Pencurian, membawa Potensi Korban-Korban Terus Berjatuhan Dimasa Mendatang

Question: Sebenarnya pelaku kejahatan yang jelas-jelas mengancam dan meresahkan masyarakat seperti pencuri yang mencoba mencuri, namun tidak berhasil melancarkan aksinya karena sistem keamaan rumah yang berlapis-lapis seperti setiap jendela rumah yang dilengkapi teralis sehingga pencuri yang sekalipun berhasil membobol gembok pagar rumah dan masuk ke dalam halaman, namun tidak berhasil mencuri karena terhalangi oleh teralis jendela, apakah tidak bisa ditindak secara pidana? Polisi yang kami berikan laporan, bahkan kami lengkapi bukti hasil rekaman video CCTV yang berhasil merekam aksi si pencuri (pelaku), polisi menolak memproses laporan dengan alasan si pencuri tidak berhasil mencuri apapun dari rumah warga (pelapor).

Brief Answer: Banyak penyidik kepolisian di Indonesia, yang sebenarnya tahu hukumnya, namun berpura-pura tidak tahu dalam rangka tidak ingin direpotkan untuk menyidik dan memproses secara hukum para kriminil yang dibiarkan berkeliaran di tengah-tengah masyarakat—sehingga memang seolah-olah tampak dilestarikan oleh aparatur penegak hukum itu sendiri yang mengabaikan tanggung jawab profesinya maupun menyalah-gunakan kewenangan monopolistik penegakan hukum pidana untuk menangkap, menyita, menahan, menyidik, menggunakan cara-cara kekerasan seperti meringkus dan menembak, serta mengakses peradilan pidana.

Delik pencurian, merupakan DELIK FORMIL, bukan Delik Materiil, dalam artian perbuatan pelakunya cukup memenuhi rumusan kualifikasi pasal-pasal pidana terkait pencurian, yang mana perbuatan lahiriahnya (actus reus) dapat disimpulkan memang terdapat “niat batin” (mens rea) untuk mencuri, dimana berhasil atau tidaknya mencuri, atau ada atau tidaknya benda yang berhasil dicuri oleh sang pelaku, tidaklah relevan, sehingga pelakunya tetap wajib ditindak dan diproses secara hukum serta aparatur penegak hukum memiliki kewajiban profesi yang bersumber dari kewenangan monopolistiknya tersebut, untuk menindak pelaku dengan memproses pengaduan warga yang menjadi korban percobaan pencurian.

PEMBAHASAN:

Dasar falsafahnya sangatlah mendasar, yakni terdapat “moral hazard” bila pelaku aksi “percobaan pencurian” tidak diganjar sanksi hukuman pemidanaan oleh otoritas dibidang penegakan hukum, mengingat menjadi edukasi yang buruk bagi masyarakat luas, bahwasannya seolah-olah aksi jahat semacam mencuri menyerupai spekulasi “iseng-iseng berhadiah”. Bila permainan untung-untungan seperti aksi “perjud!an” diganjar pemidanaan baik pelaku maupun pihak bandar, maka mengapa pelaku aksi “percobaan pencurian” tidak diganjar oleh sanksi hukuman pidana dalam rangka menciptakan “efek jera” demi melindungi segenap rakyat?

Namun dibutuhkan kriteria yang jelas, kapan seseorang disebut mencoba melakukan aksi pencurian atau tidaknya, agar tidak terjadi kriminalisasi maupun politisasi yang tidak pada proporsinya. Jangankan penyidik kepolisian, Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI tidak jarang memutus secara menyimpangi ketentuan hukum yang ada, seolah-olah tidak paham hukum, atau akibat kualitas putusan yang merosot sebagai harga yang harus dibayarkan demi kuantitas (jumlah) putusan yang dicetak setiap tahunnya.

Untuk memudahkan pemahaman sekaligus menjadi bukti konkretnya, dimana yang terjadi ialah berkebalikan, kepolisian yang proaktif menyidik namun terjegal oleh peradilan, tepat kiranya SHIETRA & PARTNERS mengilustrasikan lewat putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana “percobaan pencurian” register Nomor 482 K/PID/2017 tanggal 20 Juli 2017, dimana Terdakwa didakwakan karena telah mengambil barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri, dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan, oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, dan niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 365 Ayat (2) ke-1,2 jo. Pasal 53 Ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Bermula ketika Terdakwa I dengan membawa pedang (sebagaimana aksi “begal”), membonceng Terdakwa II yang mengendarai sepeda motor, bersama rekan-rekannya yang lain masing-masing mengendarai sepeda motornya sendiri. Mereka melintas di jalan umum untuk mencari sasaran. Sesampai di suatu ruas jalan, Terdakwa dan teman-temannya melihat seorang laki-laki pengendara sepeda motor berboncengan dengan istri dan anaknya yang masih kecil, lalu mereka Terdakwa dan kawan-kawannya mengikuti pengendara tersebut dengan maksud akan menjadikannya sebagai sasaran mereka tetapi perbuatan mereka tersebut terpantau oleh tiga orang anggota Polri yang saat itu sedang berpatroli, sehingga mereka Terdakwa dan kawan-kawannya langsung dikejar dan akhirnya Terdakwa I dan Terdakwa II tertangkap. Ketika anggota kepolisian tersebut, berkedudukan juga selaku saksi mata disamping sebagai aparatur penegak hukum yang meringkus.

Mereka (Terdakwa) mengakui telah 6 kali melakukannya dan setiap kali berhasil mendapatkan sepeda motor, mereka membongkar onderdilnya (mempreteli) lalu menjualnya dan hasilnya dibagi untuk kepentingan mereka sendiri. Jaksa Penuntut Umum menuntut 5 tahun penjara terhadap Terdakwa, dimana terhadapnya kemudian terbit putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur Nomor 333/PID.B/2013/PN.Jkt.Tim., tanggal 14 Agustus 2013, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa I. NUR HARDIANSYAH alias KIKI alias KICAY dan Terdakwa II. SAUFI ALFARABIH alias ROBI alias ACING tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana  didakwa dalam Dakwaan Kesatu dan Kedua;

2. Membebaskan Para Terdakwa oleh karena itu dari segala dakwaan;

3. Memerintahkan Para Terdakwa segera dikeluarkan dari tahanan;

4. Memulihkan hak Para Terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya.”

Pihak Kejaksaan mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur tidak mempertimbangkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur (Pengadilan Negeri yang sama) atas nama Amir Faisal (saksi dalam perkara ini / Terdakwa dalam berkas perkara terpisah), yang telah menyatakan Amir Faisal secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana bersama-sama dengan Nurhardiansyah dan Saufi Al Farabih sebagaimana didakwakan oleh Penuntut Umum dalam Surat Dakwaan yang telah dibacakan dalam persidangan.

Hal demikian mengakibatkan terjadinya ketimpangan hukum karena para pelaku yang melakukan perbuatan secara bersama-sama, menjalani proses hukum dalam waktu bersamaan, saksi yang didengar di persidangan juga sama, tetapi mendapatkan putusan yang berbeda. Saat ini Amir Faisal menjalani hukuman selama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan sesuai amar putusan Hakim Pengadilan Negeri. [Note SHIETRA & PARTNERS : Dilematika surat tuntutan yang disusun secara terpisah antar Terdakwa (splitsing).]

Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang memeriksa dan mengadili perkara ini, telah keliru dalam menilai barang bukti. Dalam persidangan ini, barang bukti yang diajukan adalah sebilah pedang tajam dari besi panjang lebih dari 1 meter, barang bukti mana telah disita secara sah. Majelis Hakim menilai barang bukti tersebut tidak sesuai dengan keterangan saksi Saerul yang menerangkan senjata tajam yang digunakan untuk mengancamnya adalah sebilah golok pendek. [Note SHIETRA & PARTNERS : Apapun itu, baik pedang maupun parang atau celurit ataupun golok, esensinya ialah “senjata tajam” yang dapat digunakan untuk melukai, mengancam, atuapun membunuh korban perampokan, dan secara sendirinya sudah dibuktikan oleh keterangan saksi demikian.]

Majelis Hakim seharusnya mempertimbangkan locus dan tempus kedua barang bukti tersebut saat digunakan, yang jelas berbeda, dan dikaitkan dengan keterangan saksi Ferry dan saksi Rita Susanti yang juga memberikan keterangan tentang barang bukti lain, menjadi petunjuk bahwa senjata tajam yang digunakan oleh para Terdakwa dalam melakukan perbuatannya tersebut berbeda-beda di tiap perbuatan dalam waktu yang berbeda-beda dan tempat yang berbeda pula, sehingga keberadaan senjata tajam membuktikan para Terdakwa menggunakan senjata tajam untuk memperlancar perbuatannya. Dengan demikian kekeliruan Majelis Hakim telah terbukti;

Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan secara sumir saja, menjelma antiklimaks, sebagai berikut:

“bahwa terhadap alasan-alasan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum tersebut Mahkamah Agung berpendapat sebagai berikut:

“Bahwa alasan kasasi Penuntut Umum dalam memori kasasinya tanggal 06 September 2013 tidak dapat dibenarkan oleh karena putusan Judex Facti termaksud tidak salah menerapkan hukum, lagi pula alasan kasasi Penuntut Umum tidak dapat membuktikan bahwa putusan Judex Facti bukanlah putusan bebas murni;

“Bahwa Judex Facti tidak salah mengadili perkara a quo, dan sudah dipertimbangkan secara tepat dan benar sehingga Judex Facti tidak salah mengadili perkara a quo karena sesuai alat bukti yang diajukan tidak terdapat cukup bukti untuk menyatakan kesalahan Terdakwa;

“Bahwa para Terdakwa dicurigai oleh Petugas dalam perjalanannya karena mengiringi sepeda motor lain yaitu seorang suami isteri dan seorang anaknya secara berboncengan, belum adanya perbuatan awal yang mengarah pada sebuah tindak pidana (percobaan) dan para Terdakwa telah membubarkan diri ketika mengetahui ada Polisi; [Note SHIETRA & PARTNERS : Bila tidak dipergoki oleh anggota kepolisian, mungkin ceritanya akan berdeba, jatuh-lah korban jiwa atau setidaknya korban harta benda sebagaimana modus “begal” serupa yang sudah-sudah.]

“Bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka putusan Judex Facti yang membebaskan Terdakwa telah tepat dan benar serta tidak salah menerapkan hukum;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, lagipula ternyata putusan Judex Facti dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum tersebut harus ditolak;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi / Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Timur tersebut.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.