ARTIKEL HUKUM
Penegakan Hukum Tanpa PENJERAAN terhadap Pelaku,
adalah Kesia-Siaan
Sudah Saatnya Negara yang Penegakan Hukumnya
Compang-Camping, Mulai Lebih Mengandalkan atau Membolehkan Aksi MAIN HAKIM
SENDIRI oleh Warganya demi Tercipta EFEK JERA bagi Pelaku Kejahatan maupun para
Calon Pelaku Lainnya
Mengapa korupsi sukar diberantas, satu demi satu setiap tahunnya bahkan setiap bulannya tertangkap tangan pejabat negara yang terlibat kasus korupsi, kolusi, maupun nepotisme? Jawabannya klise, belum adanya sanksi tegas dan keras yang dapat memberikan efek jera, baik bagi si pelaku (koruptor) maupun para calon pelaku (calon koruptor) lainnya. JIka saja hukum negara kita membolehkan warganya selaku korban aksi para koruptor tersebut yang telah mencuri uang hak milik rakyat, untuk melakukan “main hakim sendiri” terhadap sang koruptor, maka dapat dipastikan aksi korupsi di negeri ini akan tertekan hingga prevalensi terendah sepanjang sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia.
Jika saja, sekadar berandai-andai,
hukum materiil perihal pemidanaan kita membolehkan atau membenarkan warga untuk
melakukan aksi “main hakim sendiri”, maka dapat dipastikan sebagian besar
tindak kejahatan “klasik” maupun kejahatan-kejahatan yang paling primitif yang
pernah dikenal umat manusia, akan punah dari muka bumi ini—sekalipun, membuka
lembaran masalah baru mengingat watak masyarakat Indonesia yang gemar
menyelesaikan setiap masalah dengan melakukan kekerasan fisik sekalipun pihaknya
yang bersalah dan kerap pula menyalah-gunakan posisi dominan seperti berjumlah
atau bertubuh lebih besar dan lebih banyak daripada pihak lain yang menjadi
korban penganiayaan ataupun pengeroyokan mereka.
Cobalah renungkan kejadian
berikut, yang dapat kita saksikan sendiri di keseharian lingkungan pemukiman
tempat tinggal kita ataupun bahkan pernah dan acapkali kita alami sendiri
secara langsung, seorang pencuri atau bahkan seorang perampok, berhasil
ditangkap dan diringkus oleh pihak pemilik rumah selaku korban. Ketika pemilik
rumah menghubungi kantor polisi, yang didapati ialah sikap arogan petugas
polisi yang tidak ramah terhadap warga yang semestinya sudah menjadi tugas
mereka yang berkewajiban untuk melayani serta melindungi—mengingat para polisi
tersebut yang sebelumnya telah merampas hak-hak rakyat sipil untuk menggunakan
senjata api maupun “main hakim sendiri”, dan memonopolinya sebagai kewenangan
polisi.
Singkatnya, pihak polisi
menolak datang untuk mengambil sang pelaku dari kediaman warga dengan berbagai
alasan mulai dari tiadanya personil, kemacetan, dsb, atau tiada respons sama
sekali atau bahkan menjanjikan akan datang namun tidak pernah kunjung tiba
untuk menindak dan menegakkan hukum pidana. Akibatnya, pemilik rumah selaku korban
menjadi resah, sang penjahat sudah cukup merepotkan namun ditambah pula sikap
polisi yang meresahkan. Untuk membawa sang pelaku ke kantor polisi, juga
menjadi masalah tersendiri cara membawanya disamping kendala faktor jarak
ataupun sang pelaku yang berulah di tangah perjalanan.
Ketika tiba di kantor polisi,
polisi alih-alih menyambut dengan sikap responsif dan antusias melindungi
rakyat dan menegakkan hukum sebagaimana mestinya, justru mempersukar dan
memojokkan pihak warga sipil yang tidak berdaya semata karena sang Bapak Polisi
memonopolisir penggunaan alat-alat kekerasan fisik, memonopolisir akses menuju
peradilan pidana, dan menyandang senjata api—para polisi arogan tersebut tidak
akan berani terhadap tantangan rakyat sipil, ketika kita menantang mereka duel
satu lawan satu “tangan kosong” sebagai pria jantan, alias para polisi tersebut
sejatinya seorang pengecut yang bersembunyi dibalik arogansi seragam dan
senjata api mereka yang ditenteng kemana pun mereka menghadapi rakyat sipil.
Bila sang warga mengingat sang
pelaku dan menahannya di rumah, pula dapat terancam kriminalisasi merampas
kemerdekaan orang lain, disamping penyulit seperti watak bangsa ini dimana “yang
salah lebih galak daripada korban”. Rakyat sipil, cenderung dalam posisi “serba
salah” dan tanpa daya. Bila saja polisi tidak memonopoli hak menegakkan hukum,
maka kita dapat seketika pula untuk “main hakim sendiri” tanpa harus membuang
waktu terlebih merepotkan diri untuk seolah-olah dipaksa dan terpaksa mengemis-ngemis
kepada aparatur penegak hukum agar mau menunaikan kewajibannya menegakkan hukum
sebagaimana mestinya serta sebagaimana tugas maupun kewajiban mereka yang
terikat sumpah jabatan untuk melayani dan melindungi masyarakat sipil—itulah sebabnya,
para polisi tersebut, sejatinya lebih jahat daripada “preman jalanan” maupun “preman
pasar”, semata karena para preman pasar maupun preman jalanan tidak terikat
sumpah jabatan maupun kode etik profesi untuk melindungi masyarakat sebagaimana
polisi.
Bila negara absen, lawan kata dari presensi,
tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat untuk melindungi
maupun untuk menegakkan hukum sebagaimana mestinya, bukankah sudah saatnya
serta sudah semestinya bila hak itu dikembalikan ke tangan supremasi rakyat
untuk menegakkannya sendiri secara berdaya dan mandiri, untuk “main hakim
sendiri” secara berdikari tanpa harus mengemis-ngemis (merendahkan martabat
sendiri) ketika berhadapan dengan aparatur penegak hukum yang tidak jarang “lebih
premanis dan aroganis daripada preman pasar”?
Ketika negara lewat aparatur
penegak hukumnya tidak pernah benar-benar hadir di tengah-tengah masyarakat,
akibatnya para premanis dan para aroganis seolah-olah dipelihara oleh negara,
dimana mereka tumbuh bak cendawan di musim penghujan dan berkeliaran di
sepanjang jalan hingga ke sudut-sudut ruas jalan pemukiman penduduk untuk
membuat resah dan menjadi “penguasa jalanan” yang menguasai “hukum rimba” berupa
aksi anarkhi dan kekerasan fisik untuk memancangkan atau mendominasi cengkeraman
kekuasaannya atas suatu wilayah. Postulat kriminologinya sederhana, dimana
negara absen, disitulah preman presensi.
Ketika seorang warga menjadi
korban aksi kejahatan para kriminil tersebut, dan sang korban melontarkan
ancaman, “Akan saya panggil polisi agar
kalian ditangkap, diadili, dan dipenjara!”, maka inilah tanggapan ataupun
jawaban dari sang penjahat yang justru menantang sembari tersenyum mengejek, “Ayo, panggil polisi itu. Saya tunggu!”
Apa yang kemudian terjadi, ialah kontraproduktif bagi posisi politis-sosiologis
korban : korban menjadi trauma, trauma terhadap sang penjahat (kriminil),
serta dibuat traumatis lebih hebat lagi oleh fakta betapa rakyat sipil selama
ini ternyata hidup sebatang kara harus mampu melindungi dirinya sendiri tanpa
memiliki figur semacam aparatur penegak hukum yang tidak pernah hadir untuk
melindungi warga.
Dituntut untuk mampu melindungi
kita sendiri selaku warga sipil, namun disaat bersamaan dilarang untuk “main
hakim sendiri”, dilarang menggunakan senjata tajam maupun senjata api, maka
bagaimana caranya dan bagaimana logikanya bila penegakan hukum dan menghakimi sementara
ini masih dimonopolisir oleh polisi, jaksa, dan hakim pengadilan? Jadilah,
rakyat sipil kita di Indonesia selama ini benar-benar tanpa perlindungan, “masyarakat
sipil yang telanjang” (naked citizen)
oleh negara, bahkan juga tidak dapat melindungi dirinya sendiri karena dilarang
untuk “main hakim sendiri” serta dilarang untuk melengkapi diri dengan senjata
tajam maupun senjata api, untuk menangkap dan meringkus, menahan, maupun untuk
mengeksekusinya.
Jadilah, para kriminil dan
premanis kian “besar kepala”, “di atas angin”, tidak tersentuh hukum (para “untouchable foe”, musuh yang tidak
tersentuh), seolah-olah “kebal hukum”, menakutkan dan ditakutkan, merongong, berkuasa
atas “hukum rimba” yang menjadi hukum tidak tertulis yang berlaku di setiap
ruas jalan kediaman warga, meraja-lela, tidak lagi terbendung, dan menjadi raja
jalanan—satu-satunya yang mampu menghentikan langkah dan ulah mereka, hanyalah
Hukum Karma, dimana buah dari perbuatan buruk para pelakunya akan membawa derita
bagi pelakunya itu sendiri (menjadi bumerang), sehingga dengan sendirinya tidak
akan lolos dari “seleksi alam” dalam artian yang sebenarnya, “by nature” berupa supremasi Hukum Karma
itu sendiri yang menjadikan “all living
creature as a subject of Karmic Law”.
Satu-satunya andalan terakhir
warga, atas desakan sosiologis serta asas pragmatisme (tiada jalan lain, teori “tiada
opsi lain”) warga yang selama ini dikecewakan oleh kerap dan selalu absennya
negara di tengah-tengah rakyat untuk mengayomi dan melindungi, ialah dengan
melakukan aksi “main hakim sendiri” terhadap sang atau para pelaku kejahatan. Dengan
cara begitulah, bila dilakukan secara masif oleh segenap rakyat penduduk, serta
diberikan alasan pembenar oleh otoritas negara, maka seluruh penjahat akan
bernasib malang jika perlu sampai tewas ditempat oleh keroyokan warga yang akan
menyibukkan diri beramai-ramai untuk “main hakim sendiri”.
Ketika warga dan rakyat sipil
diberikan hak untuk “main hakim sendiri”, maka yang kemudian terjadi ialah
suatu efek “pembalikan mentalitas” atau “pembalikkan posisi” (positioning shifting), yakni yang
menjadi patut untuk merasa trauma akibat berbuat buruk ialah para pelaku
perbuatan jahat, bukan lagi korban yang diposisikan senantiasa hidup penuh
ketakutan menjadi korban kejahatan. Ketika kalangan penjahat merasa trauma dan “merugi”
karena telah melakukan kejahatan, mendapat dis-insentif alih-alih menguntungkan,
maka para calon penjahat lainnya akan “pikir-pikir” ribuan kali sebelum memutuskan
untuk melancarkan niat jahatnya, sekalipun negara lewat aparatur penegak hukumnya
tidak pernah hadir di tengah-tengah masyarakat untuk menegakkan hukum ataupun
melindungi rakyatnya.
Meski demikian, sebagaimana telah
penulis singgung di muka, terkandung bahaya laten bilamana “main hakim sendiri”
dijadikan praktik baku di tengah masyarakat, mengingat salah satu kebiasaan
yang gemar dipertontonkan oleh masyarakat di Indonesia ialah, “lebih galak
daripada korban” hingga “menyelesaikan segala sesuatu dengan cara-cara kekerasan
fisik”—ketika keduanya berpadu dalam satu individu pribadi, maka peradaban umat
manusia alih-alih kian beradab, akan menjelma kembali menjadi bangsa yang
prasejarah, alias “biadab” (manusia-hewanis alih-alih humanis).
Sebagai sintesa, menurut opini
pribadi penulis, setidaknya warga sipil diberi hak untuk melawan (serangan
balik ataupun memberikan “punishment”
sebagai dis-insentif bagi pelakunya) dan membela diri, atas ancaman maupun tindak
kejahatan yang dilakukan oleh suatu pihak, bahkan dalam derajat tertentu
diberikan “alasan pembenar” untuk dilancarkan “penghakiman” sepanjang negara
tidak pernah benar-benar hadir di tengah masyarakat, sehingga warga selaku
rakyat sipil diberi hak untuk melindungi dirinya sendiri serta hak untuk
MEMBERIKAN EFEK JERA BAGI PELAKU KEJAHATAN semisal “main hakim sendiri” itu sendiri
oleh korban, bukan aksi “main hakim sendiri” berupa pengeroyokan oleh publik yang bukan
korban langsung aksi kejahatan sang pelaku kejahatan.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.