ARTIKEL HUKUM
Pemerintah Indonesia Memaksa Rakyatnya Hidup Berdampingan dengan Mesin Pembunuh bernama WABAH Menular Mematikan antar Manusia, cara Berdamai yang Dipaksakan
Kebijakan YANG PENTING BUKAN LOCKDOWN, Satu Orang Warga Meninggal karena Wabah, adalah Tragedi. Satu Juta Warga Tewas akibat Tertular Pandemik, adalah STATISTIK
Tidak ada orang yang cukup waras untuk bersedia hidup berdampingan dengan mesin pembunuh berantai yang tidak kenal kompromi semacam wabah menular mematikan antar manusia, terlebih pemimpin negara yang masih cukup perduli atas keselamatan rakyatnya. Kita tidak pernah tahu, kapan sang virus penyebab pandemik akan bermutasi menjadi monster yang lebih mematikan dan lebih ganas disamping lebih menular dikemudian hari bila peperangan melawan wabah dibiarkan berlarut-larut tanpa “sepenuh hati”, namun senantiasa “separuh hati” akibat embel-embel tedeng aling-aling “ekonomi rakyat” terancam kolaps.
Tidak ada pula bangsa yang masih cukup beradab membiarkan kondisi hidup bertetangga dengan mesim pembunuh berantai sebagai sesuatu hal yang lumarh, biasa, serta “the new NORMAL”. Bisa jadi Indonesia akan dikenal sebagai negara yang produktif mengekspor virus varian baru yang lebih nakal dan lebih usil, menjadi ancaman baru bagi dunia yang sudah cukup luluh-lantak diamuk sang wabah.
Mereka yang tewas, atau terancam mengalami gejala berat hingga kematian akibat tertular wabah yang menular antar manusia ini, adalah seseorang, yakni kolega dan kerabat dari seseorang di luar sana, atau bahkan sahabat dan sanak-saudara kita, karenanya “protokol ketakutan” memang perlu kita terapkan bila masyarakat kita meremehkan dan menyepelekan “protokol kesehatan”—setidaknya “protokol ketakutan” terhadap dosa bila kita ternyata mengidap dan menularkan kepada orang lain yang bisa jadi orang yang kita tularkan kemudian akan menularkan keluarganya dan berdampak fatal hingga berujung kematian.
Baru-baru ini saat ulasan ini disusun, terdengar tajuk berita semacam “Singapura Kembali Lockdown, Upaya Hidup Berdampingan COVID-19 Gagal” (23 Juli 2021). Sempat membuat wacana akan berdamai serta membiarkan warganya hidup berdampingan bersama COVID-19 (Corona Virus Disease 2019), pemerintah Singapura kembali menetapkan lockdown, lantaran lonjakan COVID-19 di Singapura yang semakin tinggi, sehingga gagasan untuk hidup berdampingan bersama COVID-19, dianggap bukan solusi yang tepat, karenanya lockdown kembali dilakukan. Upaya untuk hidup berdampingan, yang telah berjalan selama beberapa minggu ternyata kemudian dibatalkan otoritas Singapura yang memilih kembali memberlakukan kebijakan lockdown.
Berbeda dengan Singapura yang berulang kali mencetak sukses mengendalikan wabah dengan cara lockdown, Kepala Pemerintahan di Indonesia dalam siaran press-nya mendeklarasikan, meski konteksnya ialah kasus positif aktif warga terjangkit wabah ialah telah mencapai puluhan ribu kasus baru dan sekalipun varian virus yang lebih menular telah dikonfirmasi hadir di republik ini, “Pemerintah Indonesia memutuskan untuk TIDAK akan pernah lockdown, karena mekanisme pengendalian yang selama ini berjalan lebih efektif daripada lockdown,” demikian penuturan Presiden Joko Widodo, berkebalikan dari realita yang ada, kebijakan pemerintah yang berlarut-larut sangat tidak efektif pengendalikan wabah.
Tentu, jika tidak lebih sibuk klaim keberhasilan yang bertentangan dengan kenyataan, tentu bukanlah Kepala Negara Indonesia namanya, sang “the King of LIP SERVICE”. Sekalipun wabah mencapai kasus positif baru ratusan hingga jutaan kasus per hari, tetap saja sang Bapak Presiden memilih menerapkan kebijakan “hidup berdampingan dengan wabah” alias anti lockdown. Yang penting bukan lockdown, itulah kebijakan pemerintah Indonesia dan para rakyatnya yang arogan alias memiliki kesombongan atas kesehatannya yang seolah “kebal dosa” (tidak takut dosa bila tertular karena secara sengaja tidak menerapkan protokol kesehatan sebelum kemudian menularkan wabah kepada orang lain secara disengaja pula karena tidak menerapkan protokol ketakutan) dan kebal wabah.
“Singapura Lockdown Lagi Imbas Lonjakan Kasus, Batal Damai dengan Corona?”, “Ingin Damai dengan Covid-19, Kasus Melonjak, Singapura Lockdown Lagi”, “Singapura Tak Jadi Hidup Berdampingan Dengan Covid-19, Kembali Lockdown Parsial”, demikian tajuk berita lain mewartakan berita serupa, dan berikut inilah komentar para netizen:
hedeuuh.. negara dgn penduduk gak seberapa bisa-bisanya mau bersahabat dengan corona, jangan deh nanti kekurangan penduduk tambah bingung.. Kalau negara wkwkland sih beda lagi, karen jumlah penduduk berjubel gak karuan.
Di negara kita virusnya aja malah di hirup. Banyak yang gak percaya ada wabah penyakit menular, katanya itu konspirasi pemerintah. Tapi begitu sakit dan rumah sakit semua penuh, pada panik dah.
Hahaha... Katanya mau bersahabat dan berdampingan.
Oky wk...wk....wk... betul.... yang saya bingung... konspirasi pemerintah.... Konspirasi sama siapa? Apa untungnya..? Apa mereka gak tahu...pemerintah sudah teler karena ekonomi macet....
Singapura yang warga negaranya super tertib aja bisa kebobolan. Apalagi di sini banyak yg kupingnya kaya pangsit, kepalanya isi karet, lihat banget dah.
Corona kok diajak damai?? Aneh. Bagi corona semasih ada kesempatan buat nyari inang sebanyak banyaknya, itu virus akan terus berkembang biak. Semakin banyak orang yang tidak percaya, cuek & meremehkannya, si Corona makin happy, karena semakin mudah mencari inang baru buat berkembang biak
Kayak di sini, ada yang dengan senang hati memberi tempat hidup yang nyaman untuk korona, dengan cara hirup napas pasien korona..... ironis.
Virus dikenal mampu berevolusi secara cepat melalui mutasi dengan munculnya varian baru. Terkadang, varian yang muncul akan jauh lebih berbahaya daripada versi aslinya. Virus Corona Tipe-2 yang saat kini merajai dunia, merupakan mutasi dari SARS, MERS, dan sebagainya, dimana kesemua itu adalah mutasi dari Virus Corona yang dapat kita temukan pada satwa seperti kelelawar. Kita tidak pernah akan tahu apakah mutasi menyebabkan mereka semakin jinak dikemudian hari, ataukan akan lebih berbahaya karena lebih menular dan lebih mematikan.
“Selalu ada ilusi bahwa ada ‘peluru ajaib’ (bernama vaksin) yang akan menyelesaikan semua masalah kita. Virus Corona memberi kita banyak pelajaran,” tutur Nadav Davidovitch, direktur dari sekolah kesehatan masyarakat Universitas Ben Gurion di Israel. Namun yang jelas, bila Singapura dan negara-negara lain di dunia ini hendak belajar dan studi banding tentang hidup berdampingan dengan wabah ini, maka mereka dapat belajar ke Indonesia, karena selama ini pemerintah Indonesia memaksa rakyatnya hidup berdampingan dengan mesin pembunuh ini, lewat kebijakan anti lockdown, alias “yang penting bukan lockdown”—dimana sebagian rakyatnya ternyata turut senang atas pendirian sang Bapak Presiden, memancing di air keruh dengan membiarkan wabah ini berlarut-larut dalam status “ganas” tanpa pernah satu kali pun berhasil dijinakkan “NOL kasus dalam sehari”.
Dengan demikian, bukanlah berita atau barang baru wacana semacam “hidup berdampingan dan berdamai dengan wabah”, karena akhir tahun 2020, Presiden Joko Widodo sempat membuat siaran pers, dengan kalimat sebagai berikut : “Kita kini bersiap-siap berdamai dan hidup berdampingan dengan wabah Virus Corona.” Terbukti sudah, dari sejak awal wabah melanda dan hampir genap dua tahun pandemik melanda Indonesia, tidak pernah sekalipun Indonesia menerapkan lockdown terlebih mencetak prestasi keberhasilan mengendalikan wabah selain kebijakan tidak jujur semacam “turunkan jumlah testing dalam rangka memanipulasi angka kuantitas kasus positif baru”. Setidaknya, janji Pak Presiden perihal “anti lockdown” benar-benar direalisasikan, sementara janji-janji lainnya “mangkrak”.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.