Ambivalensi Hukum Pidana, Tumpulnya Penegakan HUkum Vs. Ultimum Remedium

LEGAL OPINION

Semakin Mulia Status yang Diemban, Namun Kemudian Menodai Kehormatan Profesi dan Sumpah Jabatan, Dijadikan sebagai Pertimbangan yang Memperberat Vonis Sanksi Hukuman Pidana

Question: JIka penegakan hukum yang ada selama ini sudah demikian longgar, maka macam apa pula nantinya wajah praktik hukum di negara kita bila semakin dilonggarkan penegakannya? Penegakan hukum butuh komitmen dan konsistensi, kita pastinya sudah sepakat mengenai hal itu. Bukankah masalah utama hukum di Indonesia ialah lemahnya penegakan hukum, regulasi yang gemuk namun minim implementasi, masifnya pengabaian serta penelantaran aduan atau laporan warga yang menjadi korban kejahatan oleh aparatur penegak hukum yang memonopoli proses pemidanaan, tiadanya konsistensi penerapan hukum, hukum yang tidak tegak, tumpul ke atas dan tajam ke bawah, hukum yang dapat ditransaksionalkan, dan segala praktik wajah buram lainnya. Dalam pandangan ilmu sosiologi hukum, kohesi sosial cenderung melemah ketika citra serta wibawa penegakan hukum juga lemah di mata masyarakat.

Mengapa juga para dosen hukum di universitas-universitas, selalu sesumbar bahwa hukum pidana adalah “ultimum remedium” alias sebagai “the last resort”? Maraknya kejahatan terjadi di tengah masyarakat, sama masifnya dengan pengabaian dan penelantaran terhadap perlindungan maupun laporan aduan para warga yang yang selama ini menjadi korban kejahatan sehingga menjelma apatis untuk kembali melaporkan berbagai tindak kejahatan yang mereka alami dalam keseharian akibat para bandit dan preman kian besar kepala serta merajalela dikarenakan seolah-olah negara dan aparatur penegak hukumnya seolah tidak pernah hadir di tengah-tengah masyarakat, ditambah berbagai kondisi keterisian penjara yang selalu melampaui kapasitas narapidana yang menghuni, belum pula perihal “obral remisi” atau semacam pembebasan bersyarat, fakta penegakan hukum yang separuh hati dan lebih banyak mengumbar slogan, begitupula merebaknya para kriminil dan penjahat yang seolah tidak tersentuh hukum karena seolah dipelihara oleh negara dengan tidak diberi penindakan yang tegas, monopolistik pihak kepolisian dalam menindak pelaku kejahatan dan akses penghukuman pidana, mengapa juga warga sipil yang sudah begitu demikian lemah posisinya untuk melindungi diri sendiri seorang diri, masih juga disebutkan bahwa sanksi vonis pidana sebagai “ultimum remedium”? Ingin menunggu sampai akhirnya warga melakukan main hakim sendiri?

Brief Answer : Tidak perlu menghiraukan ataupun memusingkan berbagai pendapat yang dilontarkan kalangan akademisi pada fakultas hukum di Indonesia, yang selama ini memang dikenal kerap inkonsisten dalam mewacanakan berbagai teori yang saling bertolak-belakang dan kurang dapat dipertanggung-jawabkan secara logika, falsafah, maupun secara hukum. Mereka, para akademisi, selama ini hidup di atas “menara gading”, sehingga wajar bila opini hukumnya kurang “membumi”. Teori yang sehat ialah teori yang memiliki pijakan realistis sesuai realita, bukan teori “spekulatif” penuh asumsi rapuh yang justru mengingkari dan menegasikan kenyataan di tengah-tengah masyarakat.

Bila memang dipidananya seorang pelanggar hukum maupun para pelaku kejahatan, tidak menyelesaikan kejahatan di negara ini, namun pertanyaannya ialah mengapa para akademisi tersebut secara parsial tidak menyebutkan pula bahwa dengan tidak ditindaknya para pelaku kejahatan dengan peengakan hukum yang tegas serta konsisten tanpa kompromi dapat (bisa jadi) maka angka kejahatan akan jauh lebih meningkat secara dramatis menjelma “negara tanpa hukum” (stateless) alias “hukum rimba” (yang kuat memakan yang lemah, homo homini lupus). Itukah yang kita inginkan? Hendaknya para akademisi tidak berkomentar mengenai “hukum yang ideal”, bila mereka tidak mampu mempertanggung-jawabkan pendapat mereka yang menyangkut hajat hidup serta nasib orang banyak.

Fakta empirik realitanya, praktik hukum di Indonesia memang betul tidak pernah benar-benar ditegakkan secara tegak, sehingga sudah saatnya dan sudah semestinya ditegakkan secara lebih tegak dan lebih tegas tanpa “pandang bulu”. Yang “kendur”, perlu di-“erat”-kan. Oleh karena itulah, masalah paling utama para praktik hukum di Republik Indonesia, bukanlah perihal tiadanya “ultimum remedium”, justru sebaliknya, begitu banyaknya kejahatan, modus, serta aksi tindak pidana terjadi di tengah-tengah masyarakat, dan berimbang dengan banyaknya pengabaian aparatur penegak hukum untuk benar-benar hadir di tengah masyarakat dalam rangka melindungi dan mengayomi disamping menegakkan hukum secara penuh komitmen—alias terlampau banyaknya “pengabaian” dan “penelantaran” oleh hukum yang sama sekali tidak “tegak” serta tidak “tegas”.

Sebelum kita berbicara atau menyebutkan perihal konsep “ultimum remedium”, terminologi dalam hukum pidana yang tampaknya kerap populer digaungkan ke tengah masyarakat tersebut memiliki makna sebagai, pengabaian serta penyimpangan terhadap penegakan hukum, sehingga menjadi “penyakit” yang merongrong dan menggerogoti wibawa wajah praktik hukum, yang oleh karenanya mustahil dapat menciptakan “efek jera” karena terkesan “tebang pilih”, apapun alasannya—dan disaat bersamaan menjadi “kabar baik” bagi kalangan yang berlatar-belakang kriminil, sekaligus menjadi “kabar dan mimpi buruk” bagi para kaum korban yang selama ini seolah hidup seorang diri tanpa perlindungan yang memadai dan berarti dari otoritas negara, dimana hak sipil untuk menyandang senjata api hingga hak untuk “main hakim sendiri” pun dirampas dan dimonopoli oleh negara lewat diterbitkannya ketentuan peraturan perundang-undangan yang melarang warga sipil untuk menyandang senjata api, senjata tajam, senjata tumpul, sekalipun dalam rangka untuk melindungi diri sendiri (bela diri), dengan ancaman akan ditindak sebagai “main hakim sendiri”, suatu posisi yang “serba salah”.

PEMBAHASAN:

Ultimum remedium”, sudah sejak lama menjadi istilah yang kerap dijadikan dalil untuk berkelit dari jerat hukum oleh kalangan para pelaku kejahatan saat dihadapkan ke persidangan, yang seyogianya tidak diberikan keistimewaan atau ruang negosiasi apapun dalam praktik hukum yang ideal, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS cerminkan lewat ilustrasi putusan Mahkamah Agung RI perkara pidana register Nomor 1590 K/PID/2010 tanggal 24 Agustus 2011, dimana Terdakwa didakwa karena telah dengan maksud hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hak, baik dengan memakai nama palsu atau keadaan palsu, baik dengan akal dan tipu muslihat maupun karangan perkataan-perkataan bohong, membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang, membuat utang atau menghapuskan piutang, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Bermula saat Terdakwa membeli sebuah kendaraan minibus dari korban dengan kesepakatan harga sebesar Rp36.000.000,00 disertai pembayaran uang cash sebesar Rp18.000.000,00; sementara sisanya dibayar dengan menggunakan sebidang tanah. Saat itu, guna meyakinkan korban, Terdakwa mengatakan bahwa tanah yang dijadikan alat pembayaran pembelian kendaraan tersebut adalah milik Terdakwa dan sebagai buktinya Terdakwa menunjukkan surat perjanjian mengenai pemindahan hak tanah tersebut dari Sdr. Kaka kepada Terdakwa. Selain itu Terdakwa juga menunjukkan batas-batas tanah tersebut kepada korban, dan Terdakwa mengatakan akan mengurus penguasaan tanah tersebut secara fisik agar menjadi milik korban, sehingga korban percaya dan tergerak hatinya bersedia menyerahkan kendaraan miliknya kepada Terdakwa.

Namun dikemudian hari barulah diketahui bahwa tanah yang dijadikan alat pembayaran pembelian kendaraan tersebut, ternyata bukan milik Terdakwa, tetapi masih milik Sdr. Kaka dan saat ini status tanah telah dijual kepada pihak lain. Adapun BPKB (Buku Pemilik Kendaraan Bermotor) objek kendaraan yang saat itu masih dipegang oleh korban, dipinjam oleh Terdakwa dengan maksud untuk digunakan pembayaran pajak tahunan sehingga korban percaya dan menyerahkan BPKB kendaraan. Namun juga ternyata BPKB milik korban digunakan oleh Terdakwa untuk memindah-namakan kendaraan tersebut menjadi atas nama Terdakwa. Akibat perbuatan Terdakwa, korban mengalami kerugian kurang lebih sebesar Rp18.000.000,00.

Dalam Dakwaan Alternatif Kedua, Terdakwa didakwa karena dengan sengaja memiliki dengan melawan hak sesuatu barang yang sama sekali atau sebagiannya termasuk kepunyaan orang lain dan barang itu ada dalam tangannya bukan karena kejahatan, alias “penggelapan”, sebagaimana diatur dan diancam dalam Pasal 372 KUHP.

Terhadap tuntutan Jaksa Penuntut Umum, yang kemudian menjadi putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung Nomor 1194/Pid.B/2009/PN.BB tanggal 16 Februari 2010, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

1. Menyatakan Terdakwa ADE SUPARMAN, S.Pd., Bin MUHAMAD SAI SUGANDA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘PENIPUAN’;

2. Menjatuhkan pidana terhadap ia Terdakwa oleh karena itu dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan;

3. Menetapkan lamanya pidana tersebut tidak perlu dilaksanakan kecuali dikemudian hari ada putusan Hakim yang menentukan lain karena Terdakwa melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum sebelum lewat masa percobaan selama 1 (satu) bulan.”

Melihat putusan di atas, berupa vonis “masa percobaan” yang sudah sejak lama dikenal dalam praktik peradilan perkara pidana, adalah wajah dari praktik “ultimum remedium” itu sendiri. Yang menarik, dalam tingkat banding yang menjadi putusan Pengadilan Tinggi Jawa Barat di Bandung Nomor 111/PID/2010/PT.BDG tanggal 29 April 2010, terjadi koreksi atas putusan Pengadilan Negeri berupa penghapusan vonis “masa percobaan”, dengan amar sebagai berikut:

MENGADILI :

- Menerima permintaan banding dari Jaksa / Penuntut Umum/ Pembanding tersebut;

- Memperbaiki putusan Pengadilan Negeri Bale Bandung tanggal 16 Pebruari 2010 Nomor 1194/Pid.B/2009/PN.BB., sekedar mengenai pidana yang dijatuhkan kepada Terdakwa, sehingga amar selengkapnya berbunyi sebagai berikut:

1. Menyatakan Terdakwa ADE SUPARMAN, S.Pd., Bin MUHAMAD SAI SUGANDA terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana’Penipuan’;

2. Menjauhkan pidana terhadap Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 6 (enam) bulan.”

Baik pihak Kejaksaan maupun pihak Terdakwa, sama-sama mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan pihak Terdakwa ialah bahwa apa yang telah didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum sesungguhnya merupakan sengketa keperdataan berupa hubungan hukum jual-beli mobil antara tanpa adanya unsur-unsur penipuan di dalamnya, sehingga murni persoalan perdata semata yang perlu dibuktikan dan diperjelas terlebih dahulu secara gugatan perdata untuk menentukan kebenaran formil jual-beli mobil antara Terdakwa dan korban pelapor.

Terdakwa mendalilkan pula, kalaupun benar (quod non) Terdakwa dianggap telah melakukan perbuatan pidana, namun cara pandang dan mengadili Majelis Hakim masih menganggap pemidanaan sebagai suatu pembalasan, dimana para pelaku kejahatan yang telah menimbulkan kerugian harus dibalas setimpal dengan perbuatannya. Semakin berat kejahatan yang dilakukan, semakin berat pidana yang dijatuhkan, tanpa pernah memikirkan apa tujuan dari dijatuhkannya pidana, dimana pidana hanya bertujuan untuk membalas, sebagai suatu pembalasan, bagi dan untuk pembalasan itu sendiri, dimana sanksi pidana hanya diproyeksikan pada masa lampau dan tidak pernah mempunyai tujuan ke masa depan.

Terdakwa kembali meng-“kuliahi” hakim tentang bagaimana mengadili dan memutus suatu perkara pidana yang baik dan benar, tanpa menyadari status sang Terdakwa itu sendiri yang notabene ialah seorang Terdakwa yang didakwa sebagai pelaku yang telah melakukan kejahatan, bahwa sejarah pemidanaan justru menunjukkan bahwa seberat apapun pidana yang dijatuhkan kepada si pelaku kejahatan, tidak akan melenyapkan kejahatan itu sendiri di muka bumi ini. Sanksi pidana hanyalah “ULTIMUM REMEDIUM”, yang hanya difungsikan bila upaya lain sudah tidak membuahkan hasil—Note SHIETRA & PARTNERS : Suatu dalil yang tidak semestinya dilontarkan dan diwacanakan oleh seorang pelaku kejahatan, dimana sang pelaku seolah hendak menggurui hakim dan pihak korban kejahatannya. Tentu saja, seluruh kriminil akan sangat senang terbebas dari ancaman sanksi hukuman perampasan kemerdekaan secara fisik (penjara), bebas untuk berbuat kejahatan tanpa ancaman sanksi pidana, bernama “ultimum remedium”.

Majelis Hakim telah memasukkan hal-hal yang bersifat non-yuridis sebagai salah satu pertimbangan hukumnya, dimana Terdakwa yang notabene “kebetulan” seorang guru, harus diberi “pelajaran” oleh hakim berupa penjatuhan vonis hukuman yang lebih berat daripada para pelaku kejahatan lainnya yang bukan berlatar-belakang profesi seorang guru—Note SHIETRA & PARTNERS : Guru yang baik bukan hanya mengajarkan lewat ucapan yang penuh idealisme, namun lewat perbuatan nyata bernama “teladan”. Menjadi kontradiktif ketika antara perbuatan dan ucapan, ternyata tidak saling senada, alias “lain di mulut lain pula di hati”.

Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung RI membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:

“Menimbang, bahwa atas alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:

“Bahwa alasan Kasasi Terdakwa tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti (Pengadilan Tinggi) tidak salah dalam menerapkan hukum, dengan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut:

“Bahwa dalam pertimbangan Hukumnya juga Judex Facti tidak salah dalam pertimbangannya, karena sisa pembayaran 1 (satu) unit kendaraan merk ... milik saksi pelapor M. Ahmad Furqon yang dibayar via transfer Rp18.000.000,00 dengan janji sisanya dibayar dengan tanah seluas 3 tumbak, ternyata tanah in Casu belum menjadi milik Terdakwa, tetapi masih merupakan milik Kaka Kartiwa, yang kemudian menjualnya kepada orang lain, sehingga Terdakwa tidak dapat memenuhi kewajibannya adalah memenuhi unsur melawan hukum secara pidana, karenanya permohonan kasasi Terdakwa tidak beralasan menurut hukum;

“Bahwa ... , lagi pula Judex Facti (Pengadilan Tinggi) dapat mengambil-alih pertimbangan Judex Facti (Pengadilan Negeri) sepanjang pertimbangannya sudah dianggap cukup dan tepat, sehingga mengenai pemidanaannya Judex Facti (Pengadilan Tinggi) juga dapat mengubah dengan alasan pertimbangan yang tepat pula;

“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti (Pengadilan Tinggi) dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/ atau undang-undang, maka permohonan kasasi dari Jaksa/ Penuntut Umum dan Terdakwa tersebut harus ditolak;

M E N G A D I L I :

- Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/ Terdakwa ADE SUPARMAN, S.Pd., Bin MUHAMAD SAI SUGANDA tersebut.”

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.