KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Apa Kabar VAKSIN IMAN Indonesia? Mengapa Berpaling pada VAKSIN MADE IN China?

ARTIKEL HUKUM

Negara Indonesia yang selama ini merasa patut berbangga diri sebagai kiblat “Negara ‘halal lifetyle’” yang konon menjadi negara “percontohan” bagi negara-negara “HALAL” lainnya, dimana semuanya serba dipertentangkan antara “HARAM VS. HALAL”, dimana hanya monopoli kaum yang mengkonsumsi produk “HALAL” yang menjadi sumber jaminan “tiket masuk” pintu surga, maka yang semestinya yang paling sesuai dengan sifat “agamais” dalam mengatasi wabah yang diakibatkan oleh semacam pandemik virus menular mematikan antar manusia, ialah sebatas “Vaksin Iman” semata. Diluar itu, sama artinya “menduakan” Tuhan, alias “HARAM” hukumnya.

Dengan demikian, Bangsa Indonesia telah menerapkan prinsip “standar ber-ganda”—alias “kanan-kiri okay”. Sebagai contoh, website ini adalah “HARAM” karena didirikan dan diasuh oleh seorang warga yang notabene “NON”—sehingga, para pembaca berwarga Indonesia yang menikmati suguhan berbagai artikel hingga kajian hukum pada website ini sejatinya sedang mengkonsumsi “produk HARAM”.

Sudah semestinya website ini di-“boikot”, bukan justru tetap membacanya (membaca sama artinya “mengkonsumsi”), atau bahkan menjelma menjadi “pembaca setia”. Bila ada diantara pembaca yang ber-“halal lifestyle”, maka wajib “STOP” membaca artikel ini sekarang juga. DISCLAIMER : Melanjutkan membaca, artinya resiko Anda tanggung sendiri. Artikel ini selengkapnya hanya bagi “kalangan terbatas”, yakni kalangan “HARAM”. Anda tidak memiliki “hak komplain” bila telah terdapat “disclaimer” di atas, namun memilih sendiri untuk tetap melanjutkan membacanya.

Patut menjadi pertanyaan penting yang sangat serius (karena terkait iman terhadap “Tuhan”, yang menentukan pintu masuk menuju surga ataukah neraka), bila sudah ada “vaksin iman” yang bersumber dari dogma-dogma agama, maka untuk apa lagi “vaksin bukan iman”? Dalam bahasa yang lebih sederhana, bila Bangsa Indonesia yang selama ini mengaku “agamais” serta mengaku “ber-Tuhan”, sudah memiliki agama serta “vaksin iman” disamping jaminan dari “janji-janji Tuhan”, untuk apa lagi berpaling dan “desersi” dari Tuhan serta berpindah-hati kepada “vaksin (yang) bukan iman”?

Atau bila kita balik pertanyaannya, bila Bangsa Indonesia ternyata kini memiliki “pacar baru” berupa “vaksin MADE IN CHINA”, lantas dikemanakan “pacar lama” bernama “vaksin IMAN”? Menjadi patut pula untuk menjadi pertanyaan besar, sebenarnya masyarakat “bangsa agamais” bernama Indonesia ini demikian bergelora untuk memakai “vaksin MADE IN CHINA”, apakah untuk membuat “iman” Bangsa Indonesia kian berjarak dari “Tuhan”, berjaga diri dari “Tuhan”, mulai mengambil dan menjaga jarak dari “Tuhan”, menentang kehendak “Tuhan”, antisipasi rencana besar “Tuhan”? Tuhan Maha Pengasih, untuk apa lagi berlindung pada yang diluar Tuhan seperti “vaksin MADE IN CHINA”?

Bila kita benar-benar meyakini bahwa segala musibah adalah merupakan atas dasar kuasa, kehendak, rencana, cobaan / azab, serta izin dari “Tuhan”, maka keberadaan serta memihaknya umat manusia di Indonesia kepada “vaksin MADE IN CHINA” dengan berpaling dari sebelumnya memeluk “vaksin IMAN”, maka terjadi beberapa hal yang sekaligus berlangsung sifatnya, dengan pola sebagai berikut:

- Bangsa Indonesia tampak seolah mencoba berupaya untuk menentang kuasa dari Tuhan dengan membentengi diri berupa “vaksin MADE IN CHINA”, alih-alih “vaksin IMAN”;

- Bangsa Indonesia mulai berupaya untuk menantang kehendak dari Tuhan dengan menyuntikkan dirinya dengan “vaksin MADE IN CHINA”, alih-alih menyuntikkan diri dengan “vaksin IMAN”;

- Bangsa Indonesia kian berupaya mengintervensi rencana dari Tuhan dengan manipulasi diri lewat “vaksin MADE IN CHINA”, alih-alih semata meyakini rencana besar yang agung dibalik “vaksin IMAN”;

- Bangsa Indonesia tampaknya berontak terhadap cobaan / azab dari Tuhan dengan melakukan perlawanan-balik melalui medium “vaksin MADE IN CHINA”, alih-alih berpulang menerima cobaan / azab dengan tangan terbuka dengan semata memeluk semata “vaksin IMAN”; dan/atau

- Bangsa Indonesia dengan lancang memboikot hingga menginterupsi dan mem-veto hingga mengajukan “mosi tidak percaya” terhadap izin dari Tuhan dengan berbondong-bondong “pindah agama” menjadi penyembah berhala bernama “vaksin MADE IN CHINA”, alih-alih berpasrah diri kepada kebesaran dan kekuasaan “vaksin IMAN”.

Wacana perihal “vaksin MADE IN CHINA” menjadi wacana viral yang menghebohkan masyarakat Indonesia dimana pemerintah Indonesia seketika berencana membeli vaksin asal produsen China untuk rakyat Indonesia secara “pemaksaan” dengan ancaman akan dipidana bila menolak diberi vaksin “kebal Corona Virus” ini, sekalipun uji klinis tahap ketiga belum tuntas dan belum dapat disebut sebagai vaksin yang sesungguhnya karena belum teruji tuntas efektivitasnya—sehingga baru dapat disebut sebagai “CALON / BAKAL vaksin”, bukan “vaksin”.

Sebelum wacana perihal “vaksin MADE IN CHINA” menjadi “blunder” di Indonesia, salah seorang klien dari penulis pernah menuturkan kalimat berikut terkait wabah Corona Virus Tipe-2 yang menjangkiti negara-negara di dunia : “Berkah jadi petaka, dan petaka menjadi berkah.” Ajaibnya, pernyataan sang klien menyerupai sebuah ramalan yang terbukti kebenarannya ketika wacana perihal “vaksin MADE IN CHINA” merebak lebih hebat daripada jumlah pasien terjangkit wabah itu sendiri.

Semula, lama sebelum ini, ketika Corona Virus Tipe-2 baru menjadi pandemik di Kota Wuhan, Provinsi Wubei, China, masyarakat Indonesia dengan penuh percaya diri menganggap bangsanya di Indonesia sebagai “kebal virus”, dan disaat bersamaan menyebutnya secara tidak empatik selaku negara yang bertetangga sebagai “kutukan dari Tuhan, AZAB bagi China”—meski Indonesia endemik virus Demam Berdarah dan Malaria, yang menjadi momok serta mimpi-buruk sepanjang tahun serta tidak jarang memakan korban jiwa. Ketika di Tiongkok sendiri dalam satu semester mampu terbebas dari wabah Corona Virus Tipe-2, sebaliknya, di Indonesia Corona Virus Tipe-2 menjadi lebih buruk dan lebih kelam daripada wabah Corona Virus Tipe-2 yang terjadi di negara asalnya, di China.

Kini, saat ulasan ini disusun pada medio akhir Bulan Oktober 2020, Negara China telah kembali bergeliat pembangunannya dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang kembali bangkit mencetak angka positif, meninggalkan negara-negara lain yang sibuk berjibaku menutupi lubang-lubang yang mengeluarkan darah dalam negaranya disertai resesi ekonomi ke angka minus serta defisit.

China dan rakyat Tiongkok tidak membutuhkan vaksin yang mereka buat dan produksi sendiri, sebaliknya menjual serta mengekspornya ke negara-negara semacam Indonesia yang kini sangat bergantung dan mengandalkan sekaligus mengharapkan agar dapat ditolong oleh “vaksin MADE IN CHINA”—petaka menjadi berkah, dan berkah menjadi petaka. Hidup bagai roda yang terus berputar, demikian pepatah sudah sejak lama mengingatkan, namun Rakyat Indonesia tidak pernah secara arif menyimak penuturan pepatah klasik demikian yang selalu terbukti kebenarannya.

Kembali pada tema utama kita, “HELLO INDONESIAN PEOPLE, DIKEMANAKAN-KAH, ‘VAKSIN IMAN’?” Mulanya Bangsa Indonesia yang “agamais” merasa cukup mengandalkan “vaksin IMAN” sebagai benteng pertahanan semata dan satu-satunya solusi paling “realible”. Mengapa kini menyerah dan berpindah haluan ke pihak “seberang” yang sebelumnya dikutuk oleh bangsa ini? Kemanakah harga diri dan martabat Bangsa Indonesia? Apakah “vaksin MADE IN CHINA” termasuk “halal lifestyle” ataukah sudah condong kepada “pindah keyakinan” terselubung?

Bila Tuhan di dalam Kitab Suci tidak pernah menjadikan hal semacam vaksin sebagai kebolehan terlebih dianjurkan tatkala wabah terjadi, mengapa di-“HALAL”-kan? Menduakan Tuhan, adalah “HALAL”? Mengapa Bangsa Indonesia tidak memberikan contoh yang baik mengenai teladan gaya dan pola hidup “halal lifestyle”? Apakah Tuhan yang selama ini dijunjung sebagai satu-satunya juru penyelamat, lengkap dengan keyakinan “tiada cobaan yang tidak dapat ditanggung oleh umat manusia”, bahwa “Tuhan MAHA TAHU” sehingga sejatinya tidak lagi perlu dikritik ataupun dikomplain, bahwa “semuanya atas dasar rencana, izin, serta kehendak Tuhan” karenanya tidak pada tempatnya sang umat merasa berhak untuk mengeluh ataupun untuk mencari pelarian dan menjadi “refugee” bernama “vaksin MADE IN CHINA”—dimana juga notabene “China” selalu disebut dengan julukan sebagai “KAFIR” (meng-kafir-kafir-kan).

Apakah dengan tunduk dan menyerah kalah pada “vaksin MADE IN CHINA”, artinya Bangsa Indonesia telah menang ataukah sebaliknya gagal total terhadap cobaan yang diberikan oleh Tuhan? Kini, kian ke kini semakin kian membingungkan disamping kian ambigu, sebenarnya apakah yang dimaksud dengan “halal lifestyle”? Mengapa pemerintah dan Bangsa Indonesia semakin sibuk dan lebih ramai memperbincangkan perihal “vaksin MADE IN CHINA” ketimbang lebih menyibukkan diri untuk beribadah dan beriman kepada “vaksin IMAN”? Haloo “vaksin IMAN”, dikemanakan dan kemanakah, engkau? Apa kabar “vaksin IMAN” hari ini? Perihal “vaksin IMAN”, kini sepi-senyap, tiada lagi yang menggaung-gaungkannya seperti dahulu kala. Bagai angin semilir yang hanya dapat menggoyangkan rumput yang membisu.

Menggaung-gaungkan “halal lifestyle”, namun disaat bersamaan begitu “tergila-gila” pada produk yang “NON”, berupa “vaksin MADE IN CHINA”, hal demikian tampak sangat kontradiktif sekaligus kian membuat bias serta ambigu, perihal apa itu “HALAL” dan apa itu “HARAM”. Seperti atas pertanyaan terhadap, “Bagaimana bila seseorang, makanan yang masuk ke dalam mulut-nya, ialah serba HALAL tanpa kompromi, begitu memilih-milih dalam hal makanan HALAL, namun perkataannya demikian jahat, buruk perangainya, atau bahkan korupsi?

Demikian berfokusnya pada perihal “HALAL” yang dipertentangkan terhadap yang “HARAM”, seolah terjadi segregasi sosial, eksklusivisme kaum tertentu, pengucilan atau clusterisasi golongan, hingga berujung pada diskriminasi hingga diskredit pada golongan yang berbeda, dengan cap sebagai “HARAM”. Tidak dapat penulis bayangkan, sebuah produk atau jasa disebut dan diberi “cap stigma” sebagai “HARAM”, semata karena pembuat atau penjualnya ialah seorang berlatar-belakang “NON”.

Bahkan seseorang yang membeli produk dari toko yang dikelola oleh seorang “NON”, sama artinya telah mengkonsumsi produk “HARAM”. Dengan kata lain, hanya negara-negara di Timur Tengah yang betul-betul mampu menerapkan “halal lifestyle”, karena tiada kaum “NON” yang diberi izin untuk eksis terlebih untuk dibagi “ruang gerak” dan “ruang nafas” pada negara-negara eksklusif tersebut.

Segala hal yang berbau “HARAM”, terlebih “vaksin MADE IN CHINA”, semestinya dijauhi karena itu adalah larangan Tuhan, dengan juga tetap mematuhi disamping menjalankan perintah Tuhan untuk hanya memeluk yang “HALAL” semata. “HARAM” adalah musuh serta ancaman besar yang harus dihindari, dimusuhi, dijauhi, serta ditentang. Segala hal terkait “HALAL” semata yang sesuai ajaran agama, sehingga aman didekati, dikonsumsi, ditemani, serta dibela dan diperjuangkan disamping dijunjung tinggi serta dikejar-kejar.

Labelisasi “HALAL” Vs. “HARAM”, merupakan sarana untuk mendiskreditkan segala sesuatu yang disebut sebagai “HARAM”, seolah menjadi “NON” adalah dosa, seolah dengan mengkonsumsi satu jenis hewan tertentu ialah dosa dan pantang hukumnya, seolah mengandalkan dan meminta atau bersedia disuntikkan “vaksin MADE IN CHINA” merupakan pembangkangan terhadap perintah dan larangan Tuhan, bahkan dapat disebut “berpaling ke lain hati”.

Jika kita konsisten dalam menjalankan tertib “halal lifestyle”, maka mengapa Bangsa Indonesia justru kian menjauh dari “vaksin IMAN” alih-alih berpaling kepada “vaksin MADE IN CHINA”? Itu menjadi pertanyaan besar yang tidak kunjung terjawab di republik bernama Indonesia ini. Bukankah fenomena dan realita demikian sangatlah “absurd” disamping penuh akrobatik logika disamping moralitas? Seolah hukum dan hukum agama dapat disimpangi serta dibengkokkan sesuai kepentingan yang pragmatis? Bangsa Indonesia sejatinya tidak membutuhkan vaksin penangkal wabah virus menular mematikan semacam “vaksin MADE IN CHINA”, cukup berbekal konsistensi dalam tertib bermasyarakat dengan mematuhi “protokol kesehatan”, atau semacam “puasa makan” dan “puasa ekonomi” bernama “LOCK DOWN murni”.

Ekonomi terpuruk, tidak mungkin terjadi tanpa se-izin dan kehendak Tuhan. Tiada mungkin ekonomi terpuruk ataupun bangkit, tanpa kuasa dan rencana Tuhan. Sikap masyarakat Indonesia yang “ANTI puasa makan”, sudah merupakan cerminan betapa tidak “agamais”-nya Bangsa Indonesia yang selama ini membalut tubuh dengan segala ritual serta atribut busana keagamaan. Menyebut-nyebut nama Tuhan secara membahana, namun pada akhirnya bertekuk-lutut menyerah dan mengandalkan nasib kepada “vaksin MADE IN CHINA” yang keluar sebagai “pahlawan penolong”-nya, sementara itu “vaksin IMAN” disisihkan menjadi nomor kesekian.

Bila negara yang “HARAM” semacam China, mampu mengatasi wabah dan mengendalikannya, mengapa Indonesia gagal dan menyerah, sekalipun sejatinya Bangsa Indonesia telah diberikan “vaksin IMAN” oleh Yang Maha Kuasa? Buktikan, inilah ajang pembuktian diri ke hadapan mata Tuhan yang selalu “Maha Melihat” dan “Maha Tahu”, bahwa benar Bangsa Indonesia adalah bangsa yang ber-iman, bukan sekadar klaim ataupun jargon belaka, terlebih menyerah dan bertekuk-lutut pada “vaksin MADE IN CHINA”—seolah-olah Tuhan TIDAK Maha Pengasih.

Apakah Bangsa Indonesia hendak membuat “preseden”, bahwa “CHINA” adalah “HALAL”? Sekali menjadi preseden, maka tiada lagi boleh ada ruang “standar ganda”, terutama ketika “habis manis, sepah dibuang”, sepenuhnya harus konsistem dan komitmen karena sejarah “preseden” yang tercetak selamanya menjadi sejarah yang tidak lagi dapat dihapuskan bagai mencoba “menghapus dosa”. Menghapus dan merubah sejarah, sama artinya dengan manipulasi terhadap sejarah “preseden”. Tiada lagi boleh ada diskriminasi terhadap kaum minoritas ataupun terhadap kaum keturunan Tionghua di Bumi Pertiwi ini.

Ketika Bangsa Indonesia pada akhirnya tertolong bukan berkat “vaksin IMAN”, namun berkat “vaksin MADE IN CHINA”, maka bayangkan, betapa besarnya hutang-budi bangsa ini terhadap “CHINA”. Karenanya juga, masih berhak-kah bangsa ini menyebut “China” maupun etnik keturunan Tionghua sebagai “HARAM” ataupun “KAFIR”? Ketika Tuhan memutuskan sesuai izin dan kehendak rencananya, maka itulah yang menjadi suara Tuhan. Hutang darah balas darah, hutang budi balas budi—itu pun bila Bangsa Indonesia masih mengaku sebagai bangsa beradab yang berperadaban. Semestinya Indonesia mampu menjadi negara peng-ekspor Vaksin IMAN, alih-alih sebagai peng-impor Vaksin MADE IN CHINA.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.