Perbedaan Penetapan Pengawas Ketenagakerjaan & Anjuran Mediator Disnaker

LEGAL OPINION
Question: Seperti apa beda antara nota pemeriksaan pegawai pengawas ketenagakerjaan dan surat anjuran dari Dinas Tenaga Kerja (Disnaker)? Bukannya sama-sama diterbitkan oleh lembaga yang sama, Disnaker?
Brief Answer: Anjuran mediator pada Disnaker, tidak terdapat upaya hukum, karena memang sifatnya hanya sebatas anjuran (mediatif), sehingga tidak isinya mengikat para pihak, juga tidak mengikat hakim. Berbeda halnya dengan penetapan Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan, yang sifatnya mengikat seluruh pihak sehingga masih terbuka upaya administrasi berupa keberatan—dimana bila keberatan tidak diajukan, maka dianggap isi penetapan disetujui dan mengikat. Bila disimpulkan, Penetapan Pegawai Pengawas merupakan produk ajudikasi, sementara surat Anjuran Mediator Disnaker merupakan rekomendasi mediatif belaka.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi konkret berikut dapat menjadi representasi, sebagaimana dapat SHIETRA & PARTNERS rujuk pada putusan Mahkamah Agung RI sengketa hubungan industrial register Nomor 725 K/Pdt.Sus-PHI/2016 tanggal 23 September 2016, perkara antara:
- PT. POLA KAHURIPAN INTI SAWIT, sebagai Pemohon Kasasi, semula selaku Tergugat; melawan
- 4 orang Pekerja, selaku Termohon Kasasi dahulu Para Penggugat.
Para Penggugat bekerja di perusahaan Tergugat dengan sistem kerja sejak kurang lebih tahun 2007 sampai kurang lebih tahun 2014, Para Penggugat masuk kerja kurang lebih mulai pukul 07.00 sampai dengan pulang kerja kurang lebih pukul 19.00—yang artinya melampaui jam kerja normal, alias lembur.
Perusahaan Tergugat dalam membayar upah kerja lembur kepada Para Penggugat, terindikasi kuat tidak sesuai dengan perhitungan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Tranmigrasi Nomor 102/MEN/VI/2004 tentang Waktu Kerja Lembur, oleh karena itu Tergugat terindikasi melanggar norma Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Pasal 78 Ayat (2), dengan ketentuan sanksi diatur dalam Pasal 187 Ayat (1).
Oleh karena perusahaan Tergugat sejak kurang lebih tahun 2007 hanya membayar insentif kepada Para Penggugat kurang lebih sebesar Rp18.000,00 per hari, sedangkan tahun 2013 hanya membayar insentif kepada Para Penggugat kurang lebih sebesar Rp22.000,00 per hari, dimana selain insentif tersebut, Tergugat tidak pernah memberikan upah kerja lembur kepada Para Penggugat, sehingga sangat jelas Tergugat yang tidak membayar upah kerja lembur kepada Para Penggugat, merupakan perbuatan melawan hukum.
Para Penggugat pernah mengajukan pengaduan penyimpangan jam kerja kepada Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tanah Laut pada tanggal 21 Januari 2015, selanjutnya pada tanggal 20 Februari 2015 Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tanah Laut cq. Bidang Pengawasan mengeluarkan keputusan penetapan pembayaran upah kerja lembur yang mewajibkan Tergugat untuk membayar upah kerja lembur kepada Para Penggugat. Lewat gugatan ini, Para Penggugat meminta agar Pengadilan Hubungan Industrial memerintahkan Tergugat untuk membayar upah kerja lembur sesuai penetapan Dinas Tenaga Kerja, secara tunai tanpa syarat.
Terhadap gugatan para Buruh, pihak Pengusaha menyanggah dengan dalil bahwa oleh karena dalam menerima pengupahan, Para Penggugat telah menerima insentif yang dibayarkan setiap bulannya, yang dalam gugatan ini sama sekali tidak diperhitungkan oleh Para Penggugat, maka Tergugat meminta pengembalian insentif dimaksud.
Untuk itu Tergugat mengajukan gugatan balik (rekonpensi), meminta pengembalian uang insentif sejak Januari 2013 sampai Desember 2014 kepada masing-masing Penggugat, sebagai berikut: Penggugat Abdul Muad sebesar Rp15.840.000,00. Penggugat Lani sebesar Rp15.840.000,00. Penggugat Suriyanto sebesar Rp15.840.000,00. Penggugat Syaifudin sebesar Rp15.840.000,00. Penggugat M. Utar sebesar Rp15.840.000,00.
Terhadap gugatan sang Buruh, Pengadilan Hubungan Industrial Banjarmasin kemudian menjatuhkan putusan Nomor 23/PHI.G/2015/PN.Bjm. tanggal 14 Maret 2016, dengan pertimbangan serta amar sebagai berikut:
“Bahwa terhadap posita gugatan Para Penggugat angka 5, 6, dan 7 terkait ketidaksesuaian pembayaran upah kerja lembur, laporan penyimpangan dan penetapan upah kerja lembur, serta anjuran penetapan pembayaran upah kerja lembur, maka menurut hemat Majelis Hakim mengakibatkan penghitungan upah kerja lembur menjadi tidak jelas;
“Bahwa Tergugat dalam jawabannya membantah dalil Para Penggugat tentang upah lembur yang dituntut oleh Para Penggugat, menurut Tergugat sejak awal Para Penggugat sudah mengetahui dan menandatangani Perjanjian Kerja sesuai bukti Surat T-3 dengan system pembayaran upah kerja lembur menggunakan system insentif;
“Bahwa ternyata terhadap surat penetapan tersebut tidak ada keberatan baik dari pihak Para Penggugat maupun dari pihak Tergugat;
MENIMBANG :
DALAM POKOK PERKARA:
1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk sebagian;
2. Memerintahkan Tergugat untuk membayar upah kerja lembur sesuai penetapan Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Sosial Kabupaten Tanah Laut Bidang Pengawasan secara tunai dan tanpa syarat kepada Para Pengugat, yaitu sebagai berikut:
2.1. Abdul Muad sebesar Rp26.662.884,00;
2.2. Lani sebesar Rp26.662.884,00;
2.3. Suriyanto sebesar Rp26.662.884,00;
2.4. Syaifudin sebesar Rp26.662.884,00;
2.5. M. Utar sebesar Rp36.177.572,00;
3. Menolak gugatan Para Penggugat untuk selain dan selebihnya.”
Pihak Pengusaha mengajukan upaya hukum kasasi, dengan pokok keberatan bahwa pihak Penggugat tidak secara adil penghitungan kekurangan upah lembur yang menjadi dasar Surat Penetapan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tanah Laut, disamping tidak dapat menjelaskan metode penghitungan yang dimintakan, apakah kekurangan upah lembur yang sudah dikurangi dengan besaran nominal insentif?
Penggugat tidak dapat menjelaskan mekanisme penghitungan upah kerja lembur secara baik, bahkan menghitung dua kali untuk satu hal yang sama, sehingga terjadi penggelembungan besaran nominal kekurangan upah lembur pada Surat Penetapan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tanah Laut, sekalipun senyatanya telah diberi insentif kerja lembur.
Jika para Penggugat selaku petugas Security dan Penjaga Malam tidak menyetujui insentif, semestinya sedari awal menolak, bukan justru diam-diam menikmati selama bertahun-tahun, akan tetapi pada akhirnya menggugat perusahaan, demikian pihak Pengusaha berkeberatan. Penetapan Dinas Tenaga Kerja Kabupaten Tanah Laut tidak dapat menjelaskan metode penghitungan yang dimintakan, apakah kekurangan upah lembur demikian sudah dikurangi dengan besaran nominal insentif, menjadi rancu.
Dimana terhadapnya, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena setelah meneliti secara saksama memori kasasi tanggal 19 April 2016 dan kontra memori kasasi dihubungkan dengan pertimbangan judex facti, dalam hal ini Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa Judex Facti telah benar menerapkan ketentuan dalam Pasal 78 ayat (4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Kepmenakertrans Nomor 102/Men/VI/2004 dalam perhitungan upah lembur para Penggugat sebagaimana telah dihitung berdasarkan Penetapan Pegawai Pengawas Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Tanah Laut ( Vide: bukti P.6);
“Bahwa atas Penetapan Pegawai Pengawas tersebut Tergugat tidak melakukan upaya keberatan ke Dinas Tenaga Kerja Propinsi sebagaimana dimaksud ketentuan Pasal 13 Kepmenakertrans Nomor 102/Men/VI/2004;
“Menimbang, bahwa namun demikian Hakim Agung anggota I: H. Dwi Tjahyo Soewarsono, S.H., M.H., menyatakan beda pendapat (dissenting opinion) dengan mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:
“Bahwa alasan-alasan keberatan dari Pemohon kasasi tidak dapat dibenarkan, karena Judex Facti telah tepat dan benar dalam menilai, menimbang dan menerapkan hukumnya, namun khususnya mengenai pembayaran upah lembur harus dikurangi uang premi dan uang insentif kehadiran yang dihitung sejak tahun 2008 s/d tahun 2015, karena uang premi dan insentif kehadiran merupakan kompensasi kelebihan waktu kerja yang sudah disepakati;
“Menimbang, bahwa oleh karena terjadi perbedaan pendapat dalam Majelis Hakim dan telah diusahakan musyawarah dengan sungguh-sungguh tetapi tidak tercapai mufakat, maka berdasarkan Pasal 30 ayat (3) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009, Majelis Hakim mengambil putusan dengan suara terbanyak;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, ternyata Putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 23/PHI.G/2015/PN.BJM tanggal 14 Maret 2016 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi: PT. POLA KAHURIPAN INTI SAWIT tersebut harus ditolak;
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi PT. POLA KAHURIPAN INTI SAWIT tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.