ARTIKEL HUKUM
Saatnya Mahkamah Agung RI Secara Terbuka Bersikap Membangkang dan Memberontak terhadap Mahkamah Konstitusi RI
Bukanlah kali pertama bagi lembaga Mahkamah Agung RI (MA RI) untuk bersikap membangkan terhadap berbagai putusan Mahkamah Konstitusi RI (MK RI). Sebagai contoh, sikap tegas MA RI yang membangkang terhadap putusan MK RI dengan menyatakan bahwa “PK terhadap PK” dalam perkara pidana yang oleh MK RI dinyatakan dapat diajukan tanpa batasan, dibatasi sebatas PK tingkat kedua.
Kedua, sikap tegas dan konsisten MA RI yang menyatakan bahwa Upah Proses dalam sengketa hubungan industrial, maksimum ialah 6 (enam) bulan upah, bukan sebanyak hitungan tahun hingga sengketa diputus berkekuatan hukum tetap, yang mana bisa jadi baru inkracht saat tingkat kasasi yang memakan waktu bertahun-tahun—alias “makan gaji buta selama bertahun-tahun”.
Dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, disebutkan bahwa substansi norma hukum haruslah dapat diimplementasi. Sesuatu yang tidak mungkin dapat dilaksanakan, membuat validitas norma menjadi tidak absah. Sama halnya, secara analogi, suatu kaedah hukum yang dibentuk lewat putusan Mahkamah Konstitusi, sepanjang putusan demikian tidaklah rasional untuk direalisasi, atau akan menimbulkan moral hazard baru yang lebih besar mudaratnya, maka norma hasil bentukan uji materiil (judicial review) demikian menjadi kehilangan validitasnya. Hukum yang valid, ialah hukum yang memiliki efektivitas dalam implementasinya—bukan hukum diatas kertas.
Bila MA RI selama ini telah memiliki berbagai sejarah pembangkangan terhadap lemabga MK RI, maka tiada beban moril apapun untuk kembali melakukan pembangkangan serupa secara kelembagaan dan bila perlu dilembagakan. Kita pernah menyimak istilah “terminal bayangan”, maka dapatlah dibenarkan bagi MA RI untuk menjelma pula sebagai “MK RI bayangan”.
Putusan MK RI, hanyalah berisi dan bersifat norma hukum abstrak, sementara hakim dibawah jajaran MA RI memutus dengan sifat norma “in concreto”—demikian MA RI dalam berbagai kesempatan memperlihatkan sikap dan pendirian, yang secara terang-terangan menyatakan sikap berseberangan dengan putusan MK RI.
Seburuk-buruknya seorang hakim, dan sekorup-korupnya kalangan korps hakim, adalah lebih berbahaya hakim yang tidak memahami arti penting konsistensi demi menghadirkan kepastian hukum bagi masyarakat agar tidak lagi “ber-ju-di” dengan hukum ataupun nasib di meja hijau—karena akan sangat mahal nilai taruhannya.
Hakim yang tidak konsisten, dalam putusannya yang terdahulu, dapat memutus sebaliknya dengan pokok perkara serupa dikemudian hari. Itulah yang disebut dengan judicial corruption berwujud penyalahgunaan kekuasaan. Bahaya dibalik penyimpangan terhadap prinsip mendasar inilah, yang tidak pernah disadari oleh berbagai kalangan profesi kehakiman di Indonesia maupun regulator yang demikian berjarak dari masyarakat.
Mahkamah Konstitusi RI sebagaimana register perkara Nomor 46/PUU-XIV/2016 pada akhirnya menjatuhkan putusan, dengan amar “menolak” permohonan pengujian undang-undang (judicial review) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang diajukan oleh kalangan akademisi. Salah satu Pasal yang dijadikan objek uji materiil, ialah Pasal 284 KUHP perihal perzinahan.
Adapun yang menjadi pertimbangan utama MK RI menolak permohonan Pemohon, ialah dengan mendalilkan bahwa MK RI tidak memiliki kewenangan untuk merumuskan tidak pidana baru (norma baru), dimana kewenangan tersebut ada pada pundak lembaga pembentuk undang-undang (open legal policy).
Pasal 284 KUHP selama ini dinilai hanya dapat menjerat pidana: (1) seseorang yang sudah menikah dan melakukan hubungan badaniah dengan orang lain yang bukan suami/istrinya; dan (2) orang lain yang melakukan hubungan badaniah dengan seseorang yang sudah menikah. Pihak Pemohon dalam uji materiil yang diajukan, meminta agar MK RI memberi penafsiran dengan memperluas makna pasal tersebut, agar dapat menjerat siapapun yang melakukan hubungan badaniah diluar ikatan perkawinan, maupun berbagai penyimpangan perilaku seperti LGBT, dilatar-belakangi penggerebekan kepolisian terhadap aksi pesta hubungan intim para sesama pria, yang berujung dibebaskannya seluruh pelaku karena tidak memenuhi unsur-unsur delik sebagaimana kualifikasi Pasal 284 KUHP.
Dalam putusan yang satu, oleh Majelis Hakim Konstitusi, kalangan dosen maupun pengacara dinyatakan memiliki legal standing (kepentingan hukum) untuk mengajukan uji materiil ke hadapan Mahkamah Konstitusi—sebagaimana perkara uji materiil tersebut diatas yang diajukan oleh seorang rektor suatu perguruan tinggi.
Namun, dalam putusan yang lain, juga oleh susunan Majelis Hakim yang sama, kalangan dosen ataupun pengacara dinyatakan tidak memiliki legal standing untuk mengajukan uji materiil. Menjadikan Mahkamah Konstitusi seakan “tebang pilih”, berdasarkan selera pribadi kesembilan anggota hakim yang duduk di singgasana menara gading.
Bandul putusan bergerak secara tidak menentu dengan liarnya, menjelma kian sukar diprediksi ataupun untuk mampu dipetakan oleh masyarakat. Bagai perjalanan “kapal hukum” tanpa kompas pemandu, menyerempet berbagai kaedah preseden yang ada—namun yang menanggung konsekuensi olehnya ialah masyarakat umum, bukan sang hakim pemutus.
Mahkamah Konstitusi RI, beberapa saat sebelumnya, juga dengan komposisi Hakim Konstitusi yang sama dengan perkara uji materiil diatas, pernah menjatuhkan putusan uji materiil register No. 21/PUU-XII/2014 dengan Setya Novanto sebagai Pemohon, yang menjadi titik-balik dibukanya kesempatan bagi niat “usil” para pelaku tindak pidana korupsi dengan memanfaatkan instrumen praperadilan yang oleh MK RI dibuka lebar lengkap dengan karpet merah, oleh sebab MK RI dengan suara bulat membuat norma hukum baru dengan membuat penafsiran “suka-suka” bahwa Pasal 77 Huruf (a) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Dengan demikian, menurut MK RI, pengujian sah tidaknya penetapan Tersangka termasuk ranah Praperadilan meski KUHAP sudah secara limitatif merinci apa saja yang menjadi objek praperadilan yang menjadi kewenangan seorang hakim tunggal untuk memeriksa dan memutus perkara praperadilan.
Mungkinkah para Hakim Konstitusi RI memutuskan demikian demi kepentingan pribadi sang hakim, sebagaimana fakta empirik bahwa salah satu Hakim Konstitusi yang menjadi anggota MK RI (pada saat itu), ialah Patrialis Akbar yang tidak lama kemudian terjerat tindak pidana korupsi? Belajar dari kasus tersebut saja, kita mulai mampu mahfum bahwa tidak tertutup kemungkinan adanya conflict of interest saat masing-masing hakim MK RI menjatuhkan putusan.
Pada satu sisi, diberbagai putusan, dengan penuh kepercayaan diri, Mahkamah Konstitusi RI mengangkangi kewenangan Lembaga Legislatif dengan mengamputasi, bahkan membatalkan satu undang-undang secara sepenuhnya (seluruh isi pasal dalam undang-undang sebagaimana nasib Undang-Undang tentang Koperasi).
Namun dalam kesempatan lain, bagaikan “tebang pilih”, Mahkamah Konstitusi RI menyebutkan dalam amar putusannya bahwa permohonan uji materiil tidak dapat diterima, atau bahkan ditolak, dengan alasan bahwa permasalahan yang diajukan pemohon merupakan domain “open legal policy” yang menjadi kewenangan pemerintah bersama parlemen untuk menyusun dan membentuk undang-undang.
Sang “Mahkamah Suka-Suka” ini, memutus secara “suka-suka”, dimana hakimnya diangkat dan ditunjuk secara “suka-suka”, membuat pertimbangan hukum secara “suka-suka” dengan tidak mengindahkan preseden putusan sebelumnya seperti kasus uji materiil importasi sapi (dimana “maximum security” secara suka-suka disimpangi menjadi “relative security”), bahkan memutus secara “suka-suka” selera sang hakim, dan “suka-suka” sang hakim memungkiri tudingan yang ada dibalik conflict of interest sang hakim saat memeriksa dan memutus suatu perkara.
Di dalam sistem keluarga hukum Anglo Saxon ala Common Law legal family di Amerika Serikat dan Inggris, terdapat satu mekanisme untuk mengontrol dan mengawasi kewenangan hakim yang demikian besar untuk memutus agar tidak bertendensi untuk disalahgunakan, yakni instrumen berupa keberlakuan secara tegas asas “the binding force of precedent” sebagai “pagar” bagi kekuasaan kehakiman di negara tersebut.
Dengan asas tersebut, hakim akan terikat oleh preseden putusan sebelumnya, sehingga tidak lagi terbuka ruang untuk “bermain” ataupun untuk “bernegosiasi”. Hakim dipaksa untuk konsisten dalam menjatuhkan putusan. Menyimpangi preseden adalah tabu, bahkan termasuk pelanggaran kode etik profesi dengan konsekuensi yang fatal bagi sang hakim yang menyimpangi preseden, bukan bagi para pencari keadilan—kondisi yang sebaliknya secara kontras terjadi di Indonesia dan menjadi resiko tersendiri ketika perkaranya diperiksa dan diputus oleh hakim yang memutus berdasarkan “selera” pribadi.
Dengan cara demikian, kepastian hukum dalam sistem hukum Anglo Saxon terbentuk dengan sangat rapat dan tegas, sehingga daya prediktabilitas dalam hukum menjadi sangat tinggi dan dapat diandalkan oleh masyarakat serta para pencari keadilan. Dengan demikian, masyarakat tidak lagi bergantung di tangan “selera” hakim ketika memutus suatu perkara, namun sepenuhnya dikontrol oleh mekanisme “the binding force of precedent” tanpa perlu berspekulasi tanpa kepastian yang dapat dipastikan akan memboroskan sumber daya yang ada.
Bila kita meminjam tata cara pengawasan dan penindakan terhadap hakim dengan perspektif sistem hukum Anglo Saxon sebagaimana dipraktikkan di negara Amerika Serikat, Inggris, maupun negara-negara Persemakmuran, maka kita dapat melakukan fit and proper test terhadap para hakim MK RI, dengan checklist indikator sederhana berikut:
- coret nama para Hakim Konstitusi yang dahulu pernah memutuskan bahwa harus dilarang adanya praktik importasi ternak dari negara eksportir yang endemik penyakit hewan ternak sebagai asas maximum security agar tidak menulari ternak lokal, kemudian dalam perkara uji materiil selanjutnya atas pokok perkara yang serupa, namun Hakim Konstitusi tersebut kemudian “menjilat ludah sendiri” dengan menggeser asas maximum security menjadi relative security meski kemudian terbukti bahwa sang importir telah menyuap salah seorang Hakim Konstitusi Patrialis Akbar;
- coret nama para Hakim Konstitusi yang dahulu pernah menolak kalangan dosen / pengacara untuk mengajukan uji materiil dengan alasan tidak memiliki legal standing, kemudian dibantah sendiri oleh Hakim Konstitusi yang sama dengan menyatakan dalam perkara berikutnya bahwa kalangan dosen maupun pengacara memiliki legal standing untuk mengajukan permohonan uji materiil ke hadapan MK RI;
- coret nama para Hakim Konstitusi yang dahulu pernah membuat norma hukum baru, seperti membuat norma baru dimana menjadi pemilih pada Pemilukada dapat dilakukan dengan cukup menunjukkan bukti pasport dan Kartu Keluarga meski tanpa KTP, status tersangka sebagai objek praperadilan, dsb, namun dalam perkara permohonan uji materiil perluasan penafsiran dan makna atas pasal pidana zina melingkupi pula praktik LGBT, Hakim Konstitusi bersangkutan menolak untuk mengabulkan, dengan dalih bahwa MK RI tidak memiliki kewenangan untuk membuat norma hukum baru (open legal policy).
Sayangnya, setelah penulis melakukan cross check, tiada satupun dari kesembilan hakim MK RI era kepemimpinan Arief Hidayat yang lolos dari fit and proper test sederhana tersebut diatas. Dalam sistem hukum Anglo Saxon, bukan hanya hakim seperti demikian akan dipecat secara tidak hormat, namun juga akan dikategorikan sebagai telah melakukan abuse of power dan dapat dijerat hukum, karena dinilai melanggar indikator preseden yang telah ada—sementara preseden memiliki peranan sentral dan vital sebagai jaring pengaman praktik judicial corruption.
Itulah sebabnya, praktik peradilan di Indonesia demikian tidak menarik, karena bagaikan “ber-ju-di” di tangan hakim yang memutus berdasarkan selera pribadi sang hakim, selera mana dapat demikian tidak konsisten bukan hanya terhadap preseden yang telah dibentuk dan dibakukan oleh para hakim terdahulu, namun tidak konsisten terhadap putusan sang hakim itu sendiri. Sungguh tidak ada yang lebih membuat frustasi mengandalkan nasib di tangan hakim berwatak spekulan demikian.
Tavern sejak dahulu sudah berkata: Berikan saya polisi, jaksa, dan hakim yang jujur, sekalipun isi pasal-pasal hukum tidak adil, maka dapat dipastikan akan terbit putusan yang adil. Integritas bukan ditentukan oleh geral doktoral atau profesor hukum yang melekat dalam nama di KTP seorang calon hakim, namun dibuktikan lewat konsistensi putusan.
Lihatlah fakta betapa Akil Mochtar dan Patrialis Akbar sama-sama merupakan doktor hukum lulusan Universitas Padjadjaran, dimana salah satu profesor tenaga pengajar Universitas Padjadjaran tidak lain tidak bukan ialah Prof. Romli Atmasasmita, yang demikian alergi KPK dengan ciri khas slogan: “Apapun yang terjadi, bubarkan KPK” sekalipun telah dua era kepemimpinan KPK silih-berganti namun sang profesor tidak dapat lepas dari bayang-bayang rekam jejak hitamnya saat pimpinan KPK era kepemimpinan sebelumnya yang hampir berhasil menjerat yang Prof. Romli. Menjadi pembentuk undang-undang, bukan berarti dirinya imun terhadap undang-undang yang dibuatnya, itu namanya meminta pamrih tidak pada tempatnya.
Lihatlah pula perilaku Prof. Arief Hidayat yang pernah dilaporkan melanggar kode etik Hakim Konstitusi karena berdusta. Bukankah hanya orang-orang bodoh, yang memandang bahwa keadilan dan kebenaran adalah monopoli kalangan doktor atau profesor hukum. Lihatlah betapa kontroversi berbagai putusan sang profesor, dimana berbagai putusan MK RI pra kepemimpinan Arief Hidayat tidak pernah menimbulkan antipati sedemikian hebatnya dari publik. Seorang profesor semestinya mengedepankan intelektual dan sikap kenegarawanan, bukan lobi-lobi politik yang melecehkan institusinya sendiri.
Mungkinkah ada kekeliruan proses rekruitmen, dimana alih-alih merekrut seorang jurist, namun yang diloloskan ialah seorang spekulan yang gemar “menggoreng” isu dan arah bandul tanpa kepastian yang bergerak kemana. Panelis rekruitmen calon hakim yang baik, sudah saatnya meng-interview sang calon, dengan menanyakan pertanyaan yang menjadi esensi dari hukum, yakni: apakah yang dimaksud dengan ilmu hukum?
Bila jawaban yang dilontarkan ialah diluar jawaban “hukum adalah ilmu tentang prediksi”, maka sebaiknya kandidat calon hakim tersebut digugurkan. Tidak perlu memaksakan diri untuk meluluskan seorang “sampah” atau bahkan “racun”, untuk memegang palu hakim pemutus, dimana nasib orang banyak bergantung / berharap pada sosok dan peran seorang hakim pemutus yang mampu meng-gugu.
Namun demikian, mengingat masih primitifnya sistem kurikulum maupun materi pendidikan tinggi hukum di Perguruan Tinggi Hukum di Tanah Air sebagaimana telah penulis rasakan secara langsung, tidak akan mengherankan bila tiada satupun kandidat calon hakim Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Konstitusi yang akan lulus proses seleksi dan rekruitmen. Para pembaca akan mendapati kekecewaaan, sekalipun mencoba menempuh pendidikan tinggi hukum pada almamater tempat penulis menempuh gelar kesarjaan hukum. Justru berangkat dari kekecewaan itulah, penulis mendirikan SHIETRA & PARTNERS maupun hukum-hukum.com yang menggunakan pendekatan metodologi Common Law, dalam setiap layanan jasa hukum maupun publikasi ilmu hukum.
© SHIETRA & PARTNERS Copyright.