Bukti Persangkaan dalam Sengketa Harta Gono-Gini

LEGAL OPINION
Hukum Semestinya Bersifat Logis, Konteks Hukum Perkawinan
Question: Saat ini saya sedang dalam hubungan perkawinan. Rencana saya hendak membeli sebuah aset, namun dana pembeliannya dari orang tua saya. Aset yang nantinya akan saya beli itu, tidak akan masuk sebagai harta gono-gini, bukan? Saya dan suami tidak ada perjanjian perkawinan pisah harta.
Brief Answer: Logisnya begitu, karena dana pembelian akan dikualifikasi sebagai hibah atau hadiah dari orang tua Anda, yang masuk dalam kategori “Harta Bawaan” salah satu pasangan yang tidak akan tercampur sebagai “Harta Bersama”. Namun, dalam praktik di peradilan di Indonesia, masih belum terdapat unifikasi hukum, meski telah terdapat undang-undang tentang perkawinan yang mengaturnya.
Praktik yang simpang-siur antar putusan pengadilan, menciptakan ketidakpastian hukum bagi warga negara. Telah banyak terbukti secara de facto, norma hukum tertulis berupa peraturan perundang-undangan tidak penrah menawarkan kepastian hukum. Hanya asas preseden yang menawarkan kepastian hukum—yang sayangnya tidak dianut oleh sistem hukum Indonesia.
Melihat fenomena masifnya gugatan perdata perihal harta “gono-gini” di Tanah Air, membuat SHIETRA & PARTNERS berkesimpulan, bahwa meski agak terkesan “tabu” dalam konteks budaya masyarakat Ketimuran, namun alangkah lebih baik membuat Perjanjian Pra / Pasca Kawin perihal pemisahan harta selama melangsungkan ikatan perkawinan guna menghindari sengketa yang tidak perlu dikemudian hari.
Dalam hukum, mengantisipasi selalu lebih baik, daripada kuratif—sebab kita tidak akan pernah tahu apakah kisah “asmara” akan lekang oleh waktu, atau justru sebaliknya. Perjanjian Perkawinan pisah harta adalah langkah preventif yang perlu diterapkan oleh setiap pasangan yang baru atau sedang melangsungkan pernikahan.
PEMBAHASAN:
Meski undang-undang yang mengatur adalah satu, namun dalam tataran praktik selalu terbuka ruang multi-tafsir yang berujung pada ketidakpastian hukum. Untuk itu SHIETRA & PARTNERS akan memberi ilustrasi sebagaimana tertuang dalam putusan Pengadilan Tinggi Surabaya sengketa harta “gono-gini” register Nomor 75/Pdt.G/2010/PTA.Sby tanggal 29 Maret 2010, dimana terhadap gugatan sang mantan suami, yang kemudian manjadi Putusan Pengadilan Agama Sumenep tanggal 22 Desember 2009 Nomor 1018/Pdt.G/2009/PA.Smp., dengan amar sebagai berikut:
MENGADILI :
Menolak gugatan Penggugat seluruhnya.”
Sang mantan suami mengajukan upaya hukum banding, dimana terhadapnya Pengadilan Tinggi membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa yang menjadi obyek sengketa antara Pembanding dengan Terbanding adalah satu unit mobil merk ... , buatan tahun 1994 Nomor Polisi NO POLISI Nomor : BPKB ... . Penggugat mendalilkan bahwa obyek sengketa tersebut merupakan harta bersama yang diperoleh selama perkawinan antara Pembanding dengan Terbanding;
“Menimbang, bahwa Terbanding membantah dalil Pembanding berdasarkan dalil-dalil yang pada pokoknya sebagai berikut:
- Bahwa obyek sengketa murni milik orang tua Terbanding, karena itu Pembanding dan Terbanding tidak berhak menurut hukum;
- Bahwa obyek sengketa sudah dijual oleh Terbanding setelah Pembanding pulang ke rumah orang tuanya, laku Rp. 32.000.000,00;
- Bahwa uang hasil penjualan obyek sengketa sudah habis untuk memperbaiki gizi anak Pembanding dan Terbanding yang bernama ... , untuk pengobatan serta trasportasi anak tersebut saat mendaftar TNI. akan tetapi gagal;
“Menimbang, bahwa Pembanding dalam repliknya mengemukakan bahwa Pembanding pekerjaannya sopir taksi dengan penghasilan rata-rata perhari Rp. 25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah). Setiap ada uang yang terkumpul dibelikan emas oleh Terbanding. Setelah uang terkumpul dibelikan mobil carry (obyek sengketa);
“Menimbang, bahwa Terbanding dalam dupliknya mengemukakan yang pada pokoknya bahwa mobil carry (obyek sengketa) dibeli dari hasil menjual sapi, gelang emas 30 gram dan kalung 15 gram, ditambah uang arisan sebesar Rp. 7.500.000,00 milik orang tua Terbanding;
“Menimbang, bahwa menurut hukum berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, harta benda dalam perkawinan, kemungkinannya berupa :
- harta bersama, yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan;
- harta bawaan masing-masing suami isteri, yaitu harta benda yang dibawa oleh masing-masing suami isteri ke dalam perkawinan;
- harta hadiah, yaitu hadiah yang diperoleh masing-masing selama perkawinan;
- harta warisan, yaitu harta warisan yang diperoleh masing-masing pihak selama perkawinan;
“Kemungkinan lain adalah harta milik pihak ketiga yang dikuasai oleh salah satu atau kedua orang suami isteri dalam rumah tangga;
“Menimbang, bahwa oleh karena dalil Pembanding dibantah oleh Terbanding, maka untuk memperoleh kebenaran mengenai apa yang di sengketakan tersebut harus ditempuh pembuktian. Tentang siapa yang harus membuktikan dan apa yang harus dibuktikan haruslah mengacu pada pasal 163 HIR. Yang memberikan beban pembuktian secara berimbang kepada para pihak, berarti Pembanding maupun Terbanding haruslah dibebani pembuktian. Adapun apa yang harus dibuktikan, karena yang disengketakan adalah harta benda dalam perkawinan, maka acuannya adalah pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 sebagaimana tersebut di atas.
“Dengan memperhatikan pasal tersebut, maka Pembanding harus dibebani pembuktian tentang perolehan harta benda obyek sengketa tersebut selama perkawinan. Terbanding sesuai dengan dalil bantahannya harus dibebani pembuktian tentang kepemilikan pihak ketiga (orang tua Terbanding) terhadap obyek sengketa, dan atau adanya harta bawaan, harta hadiah, ataupun warisan;
“Menimbang, bahwa bukti P.1. dan P. 2. adalah BPKB dan STNK mobil cerry obyek sengketa atas nama pemilik : SAKSI 2 PEMBANDING, Berdasarkan bukti P.1 dan P.2. tersebut harus dinyatakan terbukti bahwa mobil cerry obyek sengketa adalah milik SAKSI 2 PEMBANDING. Akan tetapi saksi Pembanding yang bernama SAKSI 1 PEMBANDING menerangkan bahwa yang saksi ketahui mobil cerry warna hijau yang menjadi obyek sengketa adalah milik Pembanding, sedangkan saksi Pembanding yang bernama SAKSI 2 PEMBANDING menerangkan bahwa saksi menjual mobil cerry obyek sengketa kepada Pembanding pada tanggal 10 Mei 2004 seharga Rp. 42.500.000,00 setelah itu Pembanding pernah meminjam KTP saksi satu kali untuk perpanjangan mobil tersebut.
“Keterangan kedua orang saksi tersebut di dasarkan atas pengetahuan dan apa yang dialami sendiri serta satu sama lain terdapat kesesuaian sehingga sah sebagai alat bukti. Berdasarkan keterangan dua orang saksi tersebut telah dapat dibuktikan bahwa mobil Suzuki cerry obyek sengketa yang semula milik saksi yang bernama SAKSI 2 PEMBANDING, sejak tanggal 10 Mei 2004 telah dijual kepada Pembanding sehingga sejak itu menjadi milik Pembanding;
“Menimbang, bahwa Pembanding menikah dengan Terbanding pada tanggal 25 Juli 1988 dan bercerai pada tanggal 22 April 2009, sedangkan mobil Suzuki cerry di beli oleh Pembanding atau oleh Pembanding dan Terbanding pada tanggal 10 Mei 2004. Dengan demikian harus dinyatakan terbukti bahwa mobil Suzuki cerry obyek sengketa tersebut diperoleh selama perkawinan;
“Menimbang, bahwa dalam membuktikan dalil bantahannya, Terbanding mengajukan dua orang saksi, yaitu : SAKSI 1 TERBANDING dan SAKSI 2 TERBANDING. SAKSI 1 TERBANDING menerangkan bahwa mobil obyek sengketa dibeli satu tahun setelah Pembanding dan Terbanding pulang haji. Waktu membeli mobil Terbanding menjual emas dan sapi. SAKSI 2 TERBANDING menerangkan bahwa saksi ikut bersama Pembanding dan Terbanding membeli mobil Suzuki cerry obyek sengketa di Pamekasan, saat itu saksi menerima uang pembelian itu dari Terbanding, harga pembelian sebesar Rp. 42.500.000,00. Keterangan kedua orang saksi tersebut terdapat kesesuaian sehingga dapat diterima sebagai alat bukti yang sah.
“Dari keterangan saksi itu telah dapat dibuktikan Terbanding dan Pembanding membeli mobil Suzuki cerry obyek sengketa seharga Rp. 42.500.000,00. Dengan bukti keterangan dua orang saksi tersebut, Terbanding tidak berhasil membuktikan bahwa mobil Suzuki carry obyek sengketa adalah milik orang tua Terbanding harta bawaan, harta hadiah, ataupun warisan yang dimiliki Terbanding. Sebaliknya justru menguatkan dalil Pembanding bahwa obyek sengketa diperoleh selama perkawinan;
“Menimbang, bahwa menurut ketentuan Pasal 35 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Obyek sengketa berupa mobil Suzuki cerry tersebut diperoleh selama Pembanding dan Terbanding masih dalam ikatan perkawinan. Karena itu berdasarkan persangkaan menurut hukum tersebut harus dinyatakan terbukti bahwa obyek sengketa adalah harta bersama antara Pembanding dan Terbanding;
“Menimbang, bahwa faktanya mobil Suzuki cerry obyek sengketa diperoleh selama perkawinan, dipergunakan oleh Pembanding dan Terbanding sejak dibeli tanggal 10 Mei 2004 sampai menjelang perceraian tahun 2009 atau selama kurang lebih empat tahun, Pembanding mengurus perpanjangan dengan meminjam KTP. Penjual kemudian obyek sengketa dijual oleh Terbanding. Dari fakta-fakta tersebut dapat disangka bahwa obyek sengketa adalah harta bersama yang diperoleh Pembanding dan Terbanding selama perkawinan
“Menimbang, bahwa berdasarkan bukti surat P.1, P.2, P.3. dan keterangan dua orang saksi serta persangkaan baik menurut Undang-undang maupun persangkaan hakim harus dinyatakan terbukti bahwa mobil Suzuki cerry ST. 100 SP. Jenis Station Wagon, tahun pembuatan 1994 atas nama SAKSI 2 PEMBANDING. adalah harta bersama yang diperoleh Pembanding dan Terbanding selama perkawinan;
“Menimbang, bahwa faktanya mobil obyek sengketa telah dijual oleh Terbanding setelah Pembanding dan Terbanding berpisah tempat tinggal sebelum terjadi perceraian seharga Rp. 32.000.000,00. Karena yang dijual adalah harta bersama, maka hasil penjualannya adalah harta bersama. Karena itu harus dinyatakan bahwa hasil penjualan mobil Suzuki cerry obyek sengketa sebesar Rp. 32.000.000,00 adalah harta bersama antara Pembanding dengan Terbanding;
“Menimbang, bahwa dalil Terbanding yang menyatakan bahwa uang hasil penjualan mobil telah habis untuk keperluan memperbaiki gizi anak Pembanding dan Terbanding yang bernama ANAK PEMBANDING DAN TERBANDING, untuk mengobati farisesnya dan untuk keperluan tranportasi pendaftaran TNI. Tidak dapat menghilangkan hak Pembanding atas bagian harta bersama tersebut, sebab berdasarkan Pasal 36 ayat 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tindakan hukum yang dilakukan oleh Terbanding menjual dan menggunakan hasil penjualan harta bersama harus atas persetujuan Pembanding.
“Di dalam Pasal 92 Kompilasi Hukum Islam juga dikatakan bahwa suami atau isteri tanpa persetujuan pihak lain tidak diperbolehkan menjual atau memindahkan harta bersama. Karena harta bersama berupa mobil Suzuki cerry tersebut telah dijual dan dipergunakan oleh Terbanding, maka Terbanding harus bertanggung jawab sebatas yang menjadi hak Pembanding;
“Menimbang, bahwa menurut hukum berdasarkan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Dalam penjelasannya dikatakan bahwa yang dimaksud “hukumnya masing-masing” ialah hukum agama, hukum adat, dan hukum lainnya. Pembanding dan Terbanding beragama Islam, menurut hukum yang hidup dan dipedomani dalam pembagian harta bersama adalah sebagaimana diatur dalam pasal 97 Kompilasi Hukum Islam, yaitu janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
“Karena tidak ternyata dalam hal ini ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan, maka Pembanding dan Terbanding berhak atas separoh bagian dari harta bersama. Karena harta bersama berupa uang sebesar Rp. 32.000.000,00 maka Pembanding dan Terbanding masing-masing berhak memperoleh sebesar Rp. 16.000.000,00;
“Menimbang, bahwa harta bersama berupa hasil penjualan mobil Suzuki cerry obyek sengketa berada dalam penguasaan Terbanding. Karena itu Terbanding harus dihukum untuk menyerahkan separoh harta bersama tersebut dengan membayar uang kepada Pembanding sebesar Rp. 16.000.000,00;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas, maka putusan Pengadilan Agama Sumenep a quo harus dibatalkan dan Pengadilan Tinggi Agama akan mengadili sendiri yang amarnya sebagaimana tersebut dalam amar putusan;
“Menimbang, bahwa dalam musyawarah Majelis Hakim pada Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, terjadi adanya pendapat yang berbeda (dissenting opinion), yaitu pendapat dari Hakim Tinggi nama Drs. MUHAMMAD SHALEH, SH. M.Hum. yang berpendapat sebagai berikut:
“Bahwa atas dasar apa yang telah dipertimbangkan dan disebutkan sebagai pendapat Pengadilan Agama dalam amar putusannya, Hakim yang bersangkutan sependapat dengan pertimbangan dan pendapat Pengadilan Agama, karena pada dasarnya menurut Hakim yang bersangkutan dalam perkara a quo, Penggugat tidak cukup apabila hanya membuktikan bahwa obyek sengketa telah dibeli didalam masa perkawinan, akan tetapi harus membuktikan pula tentang asal usul uang yang digunakan untuk membeli obyek sengketa, apakah uang tersebut merupakan hasil kerja keras Penggugat atau Tergugat didalam masa perkawinan atau bukan.
“Karena berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, ada 2 macam harta benda yang diperoleh dalam perkawinan yaitu harta bersama dan harta bawaan. Dan begitu pula menurut M. Yahya Harahap ada 2 macam harta benda yang diperoleh dalam perkawinan yaitu:
1. Harta bersama, yaitu harta benda yang merupakan hasil kerja keras suami atau isteri selama perkawinan. Harta inilah yang sering disebut harta gono-gini;
2. Harta Pribadi, yaitu harta benda yang diperoleh masing-masing suami isteri dalam bentuk warisan, hibah, hadiah baik yang diperoleh sebelum perkawinan atau sesudah perkawinan atau harta benda yang diperoleh dari kerja keras suami atau isteri sebelum perkawinan;
“Ternyata berdasarkan keterangan saksi-saksi yang diajukan oleh Penggugat tak satupun keterangan yang menyatakan bahwa obyek sengketa telah dibeli dengan uang hasil jerih payah kolektif kedua belah pihak. Begitu pula Tergugat yang membantah bahwa obyek sengketa tersebut adalah bukan harta bersama akan tetapi murni milik orang tua Tergugat, (dari menjual sapi, menjual gelang mas 30 gram, kalung 15 gram, ditambah arisan Rp.7.500.000,00 milik orang tua Tergugat), ternyata juga tidak bisa membuktikan tentang asal-usul uang untuk membeli obyek sengketa tersebut;
“Bahwa menurut Hakim Tinggi tersebut, berdasarkan Pasal 163 HIR, bahwa seseorang yang menyatakan bahwa ia mempunyai hak, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu, sedangkan Tergugat menurut Hakim Tinggi tersebut tidak perlu dibebani pembuktian karena ia tidak menyatakan mempunyai hak terhadap obyek sengketa.
“Adapun mengenai pernyataan Tergugat bahwa obyek sengketa murni milik orang tua Tergugat, (dari menjual sapi, menjual gelang mas 30 gram, kalung 15 gram, ditambah arisan Rp.7.500.000,00 milik orang tua Tergugat), menurut Hakim Tinggi tersebut pada dasarnya seseorang tidak bisa diwajibkan untuk membuktikan sesuatu hak milik orang lain;
“Bahwa oleh karena kedua belah pihak tidak bisa membuktikan asal-usul uang yang digunakan untuk membeli obyek sengketa, maka menurut Hakim Tinggi tersebut bukti persangkaan-persangkaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 164 HIR dapat digunakan untuk memutus perkara ini, hal ini sesuai pula dengan Yurisprudensi Mahkamah Agung RI. Nomor 1200K/Pdt/2008 Tanggal 22 Desember 2008 yang mengandung abstraksi hukum bahwa apabila pihak-pihak tidak bisa membuktikan asal-usul uang yang digunakan untuk membeli suatu harta benda dalam perkawinan maka bukti PERSANGKAAN dapat diterapkan dalam perkara tersebut;
“Bahwa berdasarkan saksi-saksi yang diajukan kedua belah pihak serta berdasarkan pengakuan dan keterangan Penggugat dan Tergugat yang tidak dibantah oleh pihak lainnya, telah diperoleh fakta sebagai berikut:
1. Penggugat dan Tergugat sejak menikah tahun 1988, keduanya menumpang tinggal bersama dengan orang tua Penggugat, dan kemudian pindah dan menumpang di rumah orang tua Tergugat;
2. Pada tahun 2003 Penggugat bersama dengan Tergugat menunaikan ibadah haji, namun ongkos dan semua biaya keberangkatannya ditanggung oleh orang tua Tergugat;
3. Yang membayar harga pembelian obyek sengketa seharga Rp. 42.500.000,00 adalah adik kandung Tergugat;
4. Selama Penggugat menumpang tinggal bersama dirumah orang tua, menurut pengakuan Penggugat, ia bekerja sebagai seorang sopir mobil angkutan dengan penghasilan Rp.25.000,00 (dua puluh lima ribu rupiah) setiap hari, sedangkan Tergugat tidak bekerja kecuali hanya sebagai ibu rumah tangga;
“Bahwa berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas dapat diduga kuat bahwa tidak mungkin Penggugat bisa membeli sebuah mobil seharga Rp.42.500.000,00 padahal kedua belah pihak selama hidupnya masih menumpang tinggal dirumah orang tua, serta tidak mempunyai usaha lain kecuali hanya sebagai seorang sopir mobil angkutan yang penghasilannya Rp.25.000,00 setiap hari, yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga dengan 2 orang anak setiap hari;
“Bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, Hakim Tinggi tersebut berpendapat bahwa obyek sengketa yang berupa sebuah mobil Suzuki Carry tersebut, bukanlah harta bersama antara Penggugat/Pembanding dan Tergugat/Terbanding, sehingga oleh karenanya Putusan Pengadilan Agama yang menolak gugatan Penggugat seharusnya dapat dikuatkan;
“Menimbang, bahwa sekalipun ada dua pendapat yang berbeda (dissenting opinion), namun demi terciptanya rasa keadilan maka pendapat Hakim Tinggi terbanyaklah yang tertuang dalam amar Putusan perkara ini;
M E N G A D I L I :
“Menerima permohonan banding dari Pembanding;
“Membatalkan Putusan Pengadilan Agama Sumenep tanggal 22 Desember 2009 Masehi bertepatan dengan tanggal 5 Muharram 1431 Hijriyah Nomor 1018/Pdt.G/2009/PA.Smp.;
DENGAN MENGADILI SENDIRI :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat / Pembanding untuk sebagian ;
2. Menjatakan bahwa hasil penjualan harta bersama berupa mobil Suzuki carry ST.100 SP. Station Wagon buatan tahun 1994 Nomor Polisi NO POLISI sebesar Rp. 32.000.000,00 (tiga puluh dua juta rupiah) adalah harta bersama antara Penggugat/Pembanding dengan Tergugat/Terbanding;
3. Menyatakan bahwa Penggugat/Pembanding dan Tergugat/Terbanding masing-masing berhak atas separuh bagian dari harta bersama tersebut pada diktum nomor 2 di atas;
4. Menghukum Tergugat/Terbanding untuk menyerahkan separuh harta bersama yang menjadi hak Penggugat/Pembanding dengan membayar uang kepada Penggugat/Pembanding sebesar Rp. 16.000.000,00 (enam belas juta rupiah);
5. Menolak selain dan selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.