Membantah Tanda Tangan dalam Kuitansi Utang

LEGAL OPINION
Question: Apa bisa, debitor mendalilkan bahwa dirinya tidak pernah menandatangani surat hutang, ketika akhirnya digugat oleh kreditor, dirinya bersikukuh tidak berhutang, dan mendalilkan dirinya sedang melaporkan pidana pemalsuan tanda-tangan terhadap kreditor? Maksudnya, apa mungkin hakim akan menolak gugatan kreditor, hanya karena debitor menolak kebenaran tanda tangannya sendiri?
Brief Answer: Jika surat perjanjian hutang-piutang, kuitansi penerimaan pinjaman dana, atau dokumen tanda terima lainnya yang terbit dalam transaksi bisnis, berupa akta otentik notariil, maka hakim pada perkara perdata tak perlu menunggu status perkara pidana sekalipun penyidik dan jaksa penuntut telah memajukan dakwaan terkait dugaan pemalsuan tanda-tangan dalam dokumen utang. Akta otentik memiliki ciri khas, tetap diakui pembuktian formilnya sepanjang akta otentik tersebut belum dibatalkan oleh pengadilan (presumption of valid).
Yang riskan ialah akta “dibawah tangan”, dimana pihak penandatangan dapat saja sewaktu-waktu berkilah untuk mengakui tanda-tangannya sendiri, oleh karenanya sifat alat bukti akta dibawah tangan demikian menjadi ‘bergantung’ alias bersyarat sahih sepanjang diakui atau setidaknya tidak dibantah oleh pihak penandatangan.
Oleh karenanya akta ‘dibawah tangan’ yang telah dibantah, perlu dikuatkan kembali legitimasinya oleh alat-alat bukti lain guna menerbitkan persangkaan pada benak keyakinan Majelis Hakim yang memeriksa dan memutus, bahwa benar hubungan hukum hutang-piutang tersebut benar adanya, sehingga tidak perlu menunggu status perkara tuduhan pemalsuan tanda tangan untuk disidik / didakwakan / diputus oleh hakim dalam perkara pidana.
Oleh karenanya, demi asas efesiensi, tidak melulu disyaratkan akta yang ditanda-tangani di hadapan pejabat publik (notaris), namun setidaknya disertai alat bukti seperti saksi atau rekaman / potret dokumentasi penandatanganan dimana tentunya gadget modern saat ini telah memungkinkan semua hal ini guna antisipasi—atau bisa juga menggunakan mekanisme sistem tanda-tangan elektronik tervalidasi (digital / electronik signature) yang mana sifatnya sama kuatnya dengan sebuah akta otentik karena alat bukti surat menjadi satu-kesatuan dengan alat bukti tanda-tangan elektronik. The circumstantial evidences speaks for itself.
PEMBAHASAN:
Ilustrasi hutang-piutang dengan akta dibawah tangan yang dipungkiri pihak debitor berikut, SHIETRA & PARTNERS harapkan dapat memberi gambaran konkret, sebagaimana putusan Mahkamah Agung RI sengketa hutang-piutang register Nomor 183 K/Pdt/2010 tanggal 16 Agustus 2011, perkara antara:
- LITHA DARISE, selaku Pemohon Kasasi dahulu Tergugat; melawan
- WINI MEWALO, SP sebagai Termohon Kasasi dahulu Penggugat.
Tergugat telah menerima pinjaman uang tunai dari Penggugat sebesar Rp. 20.000.000,- yang diperjanjikan untuk dikembalikan pada tanggal 4 Agustus 2008 sesuai kwitansi tertanggal 4 Juli 2008, kemudian pada tanggal 28 Juli 2008 Tergugat telah meminta lagi tambahan pinjaman uang tunai sebesar Rp. 20.000.000,- disertai kwitansi tanda terima.
Pada tanggal 1 Agustus 2008 Tergugat datang lagi untuk meminjamkan uang sebesar Rp. 40.000.000,- untuk tambahan modal kerja proyek yang digarap oleh Tergugat. Mengingat hubungan Penggugat dan Tergugat cukup baik dan untuk menolong sesama teman sehingga Penggugat memberikan pinjaman-pinjaman tersebut pada Tergugat sebagai pinjaman tanpa jaminan apa-apa karena saling percaya, dibuatlah kwitansi pinjaman.
Selanjutnya, sehari sebelum waktu jatuh tempo pinjaman tersebut lalu Tergugat datang lagi pada Penggugat untuk meminta tambahan pinjaman sebesar Rp. 20.000.000,- dengan alasan pekerjaan proyek belum selesai, disebutkan pula apabila tak dapat tambahan pinjaman maka pengembalian uang pinjaman tersebut akan terhambat.
Mengingat hubungan Penggugat dan Tergugat begitu baik dan apabila Tergugat tidak mendapat bantuan dana Rp. 20.000.000,- maka akan menghambat pengembalian uang pinjaman yang sudah diterima oleh Tergugat, maka dengan bersusah payah Penggugat berusaha mencari dana talangan.
Sehingga total seluruh kewajiban Tergugat ialah senilai Rp. 100.000.000,- yang diperjanjian akan dilunasi pada tanggal 01 Oktober 2008 dan Tergugat akan memberikan pembagian bagi hasil dari keuntungan pekerjaan proyek yang digarap oleh Tergugat.
Namun setelah waktu yang diperjanjikan untuk pengembalian pinjaman telah jatuh tempo, Tergugat tidak kunjung menepati janji. Kebaikan hati dibalas dengan ketidakjujuran.
Terhadap gugatan Penggugat, Pengadilan Negeri Poso kemudian menjatuhkan putusan No. 45/PDT.G/2008/PN.Pso tanggal 7 April 2009, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut :
“menimbang bahwa selanjutnya dalam dalil bantahan Tergugat / Pembanding telah mengemukakan mengenai kwitansi tertanggal 4 Juli 2008 dengan nilai pinjaman Rp. 20.000.000.- dan / atau kwitansi tertanggal 28 Juli 2008 dengan nilai pinjaman sebesar Rp. 20.000.000.- dan / atau kwitansi tertanggal 01 September 2008 dengan nilai pinjaman sebesar Rp. 20.000.000.- sebagaimana dalil gugatan Penggugat, Tergugat dalam keadaan sadar serta dengan keyakinan penuh menyatakan bahwa Tergugat tidak pernah merasa membuat / menandatangani kwitansi-kwitansi tersebut;
“Menimbang bahwa berdasarkan surat bukti P.1 dan P.2 berupa toto copy kwitansi yang telah dicocokkan dengan aslinya, dan juga surat bukti T.9 dan T.10 berupa foto copy yang sama, tanpa asli tertera nama LITHA DARISE (Tergugat) sebagai penerima yang membubuhkan tanda tangannya, dan antara bukti P.1, P.2 dan T.1 dan T.10 jika dicocokkan, maka tanda tangan yang dibubuhkan di kwitansi tersebut adalah sama;
“Menimbang bahwa berdasarkan surat bukti P.4 dan surat Bukti P. 5 sebagai Pembanding, maka dapat dilihat tanda tangan yang sama tertera sebagaimana kwitansi-kwitansi yang lain seperti tertera dalam surat bukti P.1, P.2, T.9 dan T.10 yang dibawahnya tertulis nama LITHA DARISE sehingga Majelis Hakim berpendapat bahwa tanda tangan yang tertera pada surat-surat bukti berupa kwitansi peminjaman uang tersebut adalah tanda tangan orang yang sama yaitu LITHA DARISE (Tergugat), sehingga Majelis Hakim berkesimpulan bahwa dalil bantahan dari Tergugat yang menyatakan bahwa Tergugat tidak pernah merasa membuat / menandatangani kwitansi-kwitansi tersebut tidak dapat diterima;
MENGADILI :
DALAM POKOK PERKARA :
- Mengabulkan gugatan Penggugat untuk sebagian;
- Menyatakan menurut hukum bahwa Tergugat telah melakukan perbuatan ingkar janji (wanprestasi) karena tidak mengembalikan pinjaman uang (hutangnya) kepada Penggugat sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah);
- Menghukum Tergugat untuk segera membayar hutangnya kepada Penggugat sebesar Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) secara tunai;
- Menolak gugatan Penggugat selebihnya.”
Dalam tingkat banding atas permohonan Tergugat, putusan Pengadilan Negeri tersebut diatas kemudian dikuatkan oleh Pengadilan Tinggi Sulawesi Tengah di Palu dengan putusan No. 33/PDT/2009/PT.PALU tanggal 18 Agustus 2009.
Selanjutnya Tergugat mengajukan upaya hukum kasasi, dengan argumentasi bahwasannya klasifikasi alat bukti surat terdiri dari : 1. Akta Otentik. 2. Akta Bawah Tangan dan 3. Akta Sepihak atau Pengakuan Sepihak. Dimana masing-masing memiliki nilai kekuatan pembuktian, dimana tidaklah sama antara nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada akta otentik dengan akta bawah tangan karena undang undang sendiri membedakannya.
Tergugat mendalilkan, agar akta bawah tangan melekat kekuatan pembuktian, harus terpenuhi dulu syarat formil dan syarat materiil :
1. dibuat secara sepihak atau sekurang-kurangnya dua pihak, tanpa campur tangan pejabat yang berwenang.
2. ditanda-tangani pembuat atau para pihak yang membuatnya.
3. isi dan tanda-tangan diakui.
Sementara itu terdapat dua faktor yang dapat mengubah dan memerosotkan nilai kekuatan dan batas dan batas minimal pembuktian akta bawah tangan : 1. terhadapnya diajukan bukti lawan; 2. isi dan tanda-tangan diingkari atau tidak diakui oleh pihak lawan. Dalam kasus yang demikian, terjadi perubahan yang sangat substansial : 1. nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya jatuh menjadi bukti permulaan tulisan. 2. sedang batas minimalnya berubah menjadi alat bukti yang tidak bisa berdiri sendiri, tetapi memerlukan tambahan dari salah satu alat bukti yang lain. (Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Hlm. 545-547).
Sejak awal Tergugat telah membantah bahwa tidak pernah membuat / menandatangani kwitansi-kwitansi yang telah diajukan oleh Penggugat. Pasal 1874 KUHPerdata mengatur perihal waarmerking terhadap akta bawah tangan, dimana tanda-tangan para pihak yang tercantum dalam akta kemudian disahkan kebenarannya oleh notaris atau pejabat yang berwenang untuk itu.
Pada dasarnya pengesahan kebenaran tanda tangan yang terdapat dalam akta bawah tangan (Waarmerking van onderhands akten), dengan sendirinya meliputi pengesahan tanggal (waarmerking van datum), dengan tujuan: 1. agar terdapat kepastian atas kebenaran tanda-tangan dalam akta; 2. Para pihak tidak leluasa lagi untuk mengingkari tanda-tangan yang tercantum dalam akta (Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Hlm. 597).
Tergugat mengutip pula ketentuan Pasal 1876 KUHPerdata, menegaskan suatu ketentuan yang bersifat imperatif, yaitu diwajibkan kepada setiap orang untuk mengakui atau memungkiri tanda-tangannya pada suatu akta bawah tangan yang ditunjukan kepadanya. Tidak diakuinya tanda-tangan dapat mengakibatkan hapusnya daya kekuatan formiI dan materiil akta bawah tangan, dalam konteks: 1. untuk menghindari terjadinya pemalsuan tanda tangan secara sewenang-wenang. 2. sekiranya undang-undang tidak memberi hak kepada seseorang memungkiri tanda-tangan yang tercantum dalam akta bawah tangan, dengan mudah akan terjadi pemalsuan tanda-tangan oleh pihak yang beritikat buruk untuk menguntungkan diri sendiri (Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Hal. 598).
Tergugat justru memberi ‘kuliah’, bahwa begitu rawannya keberadaan dan keabsahan akta bawah tangan apabila pihak lawan mengingkari tanda-tangannya. Untuk memperkecil kerawanan itu, dapat menggunakan mekanisme waarmerking. Selama tanda-tangan masih diperselisihkan, fungsi dan nilai akta bawah tangan, dapat dikatakan tidak ada.
Tergugat mengutip pula kaedah yang tercantum dalam putusan MA RI No. 537 K/Pdt/1985 :
“Alat bukti pokok Penggugat adalah bukti P.1, padahal alat bukti itu dengan tegas diingkari atau dibantah Tergugat secara keseluruhan. Berarti bantahan itu meliputi isi maupun tanda-tangan yang tercantum didalamnya.”
Terggugat mendalilkan dirinya pada pihak yang benar, dengan bersandarkan pada Surat Tanda Penerimaan Laporan Polisi Sektor Pamona Utara No. Pol. STPL/19/II/2009/Reskrim tentang laporan pidana Pemalsuan Surat berupa Kwitansi yang terkait dalam perkara perdata ini. Posisi penyidikan perkara tuduhan pidana tersebut yang menyeret pihak Penggugat sebagai pihak terlapor, pada saat ini akan segera memasuki proses pemeriksaan spesimen tanda-tangan pada Laboratorium Forensik, sebab dari hasil penyelidikan dan penyidikan pihak berwajib, terindikasi bahwa Penggugat telah melakukan Pemalsuan Surat (kwitansi) / Pemalsuan tanda-tangan milik Tergugat yang ada pada kwitansi.
Dimana terhadap berbagai dalil Tergugat diatas, Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat :
“Bahwa alasan-alasan kasasi Pemohon Kasasi / Tergugat tersebut tidak dapat dibenarkan, Judex Facti tidak salah menerapkan hukum karena Tergugat terbukti telah melakukan perbuatan wanprestasi;
M E N G A D I L I
Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : LITHA DARISE Tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.