KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Akses Jalan sebagai Fungsi Sosial Hak Atas Tanah

LEGAL OPINION
Question: Sering didengung-dengungkan bahwa tanah punya fungsi sosial. Sebenarnya maksudnya apa yang diartikan sebagai fungsi sosial ini?
Brief Answer: Terdapat beberapa ekses dari konsepsi negara agraria dengan fungsi sosial ini, yakni:
1. Tidak dibenarkan praktik partikelir tanah yang memiliki berbagai hak atas sebagai investasi yang menghalangi akses petani maupun masyarakat berekonomi lemah untuk memenuhi kebutuhan pokoknya berupa rumah tinggal ataupun lahan untuk bertani, sehingga hanya mampu menjadi petani gurem ataupun penyewa/pengontrak rumah untuk tempat tinggal keluarganya;
2. Negara melindungi hak setiap warga negara atas akses jalan dari dan menuju jalan umum dari kediamannya (servituut / hak pengabdian karang);
3. Negara berhak melakukan program pengadaan/pembebasan tanah untuk kepentingan umum;
4. Negara wajib menjaga harga tanah dan/atau rumah lewat instrumen pajak progresif hak atas tanah agar para spekulan tidak lagi menjadikan instrumen tanah sebagai investasi yang membuat para penguasa tanah ‘memetik’ keuntungan tinggi (lewat aksi “goreng-menggoreng” harga tanah dan penguasaan tanah yang masif di tangan satu atau beberapa pihak) sementara rakyat kecil tidak mampu memiliki lahan/rumah tinggal sendiri.
PEMBAHASAN:
Keberadaan lembaga hak milik atas tanah, tidak diartikan menafikan hak publik atas sumber daya yang bersifat terbatas—sementara setiap warga negara sejatinya saling berbagi ruang diatas ruang tanah yang terbatas tersebut. Sumber daya yang bersifat terbatas, melahirkan falsafah “hak publik atas fungsi sosial”—semisal hak atas akses air bersih, tanah, dsb.
Salah satu ilustrasi tanah dengan fungsi sosial sebagai hak publik atas jalan akses keluar-masuk menuju jalan umum, sebagaimana tertuang dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa tanah register Nomor 227 PK/Pdt/2004 tanggal 31 Januari 2007, perkara antara:
- RIDWAN KAWINDA, sebagai Pemohon Peninjauan Kembali dahulu Tergugat; melawan
- ONG BIEN SENG alias JEMMY ONG BIEN SEN, selaku Termohon Peninjauan Kembali dahulu Penggugat.
Pada tahun 1992, dalam rangka pendaftaran tanah, Tergugat mengajukan kepada Kantor Pertanahan Kodya Ujung Pandang untuk mengukur sebidang tanah bekas Eigendom Verp., dan setelah selesai diukur maka diterbitkan Gambar Situasi dengan atas nama Tergugat.
Selanjutnya Tergugat memohon Sertifikasi Hak Milik, sehingga terbitlah Sertifikat Hak Milik No. 783/Kel.Lariangbangi atas nama Tergugat. Atas permohonan Tergugat untuk diganti dengan sertifikat baru, Kantor Pertanahan menerbitkan Sertifikat Hak Milik No. 17/Kel. Lariangbangi dimana Gambar Situasi tahun 1992 telah diganti dengan Surat Ukur tahun 1998 atas nama Tergugat dengan batas-batasnya tetap seperti semula.
Dalam pembuatan Gambar Situasi tahun 1992, Tergugat yang menunjuk batas-batas tanah dan sekaligus menandatangangi Powert (Pallwerk), yang berarti Tergugat mengakui adanya gang kecil (lorong sengketa) panjang 20 meter lebar 1 meter, sebagai jalan keluar masuk yang digunakan warga masyarakat umum setempat sejak dahulu.
Gang kecil tersebut sejak sebelum dibuatkan Gambar Situasi tahun 1992 telah digunakan oleh warga setempat sebagai jalan keluar masuk, hal tersebut diakui oleh tetangga Tergugat. Ketentuan Pasal 6 Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA) menyatakan: Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial, yang berarti setiap orang atau badan hukum yang mempunyai hak atas tanah, selain dapat menarik manfaat dari hak atas tanah itu, orang lain juga mendapat dari hak atas tanah itu, orang lain juga mendapat kesempatan memanfaatkan hak atas tanah tersebut.
Note SHIETRA & PARTNERS: Hak publik tidak diderogasikan oleh keberlakuan hak pribadi suatu individu yang bersifat tidak seimbang dan tidak proporsional—inilah kata kunci konsepsi “fungsi sosial” atas hak milik pribadi.
Atas dasar keberlakuan Pasal 6 UUPA tersebut, maka gang kecil (lorong sengketa) harus tetap disediakan sebagai jalan keluar masuk bagi masyarakat, dan oleh karena itu lorong sengketa tersebut mempunyai fungsi sosial. Tahun 1993. Tergugat kemudian menutup gang kecil (lorong sengketa), sehingga masyarakat umum tidak dapat lagi keluar masuk, yang berarti Tergugat telah merugikan kepentingan masyarakat umum setempat, termasuk Penggugat.
Atas penutupan gang kecil oleh Tergugat, telah ditegur dan diperingatkan oleh Pejabat Pemerintah namun Tergugat tidak menghiraukannya dan sampai kini gang kecil lorong sengketa masih tetap ditutup oleh Tergugat sehingga masyarakat tidak dapat memanfaatkannya sebagai jalan keluar masuk, dengan demikian Tergugat telah menghilangkan fungsi sosial hak atas tanah lorong sengketa tersebut.
Atas gugatan Penggugat, amar putusan Pengadilan Negeri Medan No. 39/Pdt.G/1999/PN.Uj.Pdg, tanggal 8 Juni 1999 adalah sebagai berikut :
- Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
- Menyatakan bahwa hak atas tanah yang merupakan gang kecil (lorong sengketa) dengan ukuran panjang ± 20 meter dan lebar ± 1 meter mempunyai fungsi sosial sehingga harus tetap dan selalu terbuka sebagai jalan keluar masuk bagi warga masyarakat umum setempat termasuk Penggugat sebagai jalan keluar masuk bagi warga masyarakat umum setempat termasuk Penggugat;
- Menghukum Tergugat membuka penutup gang kecil (lorong sengketa) untuk digunakan masyarakat umum setempat termasuk Penggugat sebagai jalan keluar masuk;
- Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding atau kasasi.”
Dalam tingkat banding, amar putusan Pengadilan Tinggi Medan No. 421/PDT/1999/PT.UJ.PDG. tanggal 29 Desember 1999 sebagai berikut :
- Menerima permohonan banding dari Tergugat – Pembanding;
- Sebelum mengambil putusan akhir, memerintahkan kepada Pengadilan Negeri Ujung Pandang untuk memanggil para pihak yang berperkara atau kuasanya menghadap di persidangan Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan, pada hari Rabu, tanggal 22 Desember 1999 jam 10.00 Wita bertempat di Lorong antara rumah No. 125 dengan No. 127 Jl. Gunung Merapi, Makassar.”
Dalam tingkat kasasi, amar putusan Mahkamah Agung RI. No. 2686 K/Pdt/2000 tanggal 15 Januari 2002 disertai pertimbangan hukum sebagai berikut :
“Oleh karena Pengadilan Tinggi telah salah menerapkan hukum pembuktian, karena berdasarkan keterangan saksi-saksi yang adalah pemuka masyarakat satu pendapat lorong tersebut/tanah sengketa sejak lama telah dipergunakan sebagai jalan keluar masuk oleh warga masyarakat di sekitar tempat itu yang mempunyai rumah di belakang rumah Tergugat;
MENGADILI :
- Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi : ONG BIEN SENG alias JEMMY ONG BIEN SENG, tersebut;
- Membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Ujung Pandang tanggal 29 No. 1999 No. 421/Pdt/1999/PT.Uj.Pdg.;
MENGADILI SENDIRI :
- Mengabulkan gugatan Penggugat seluruhnya;
- Menyatakan bahwa hak atas tanah yang merupakan gang kecil (lorong sengketa) dengan ukuran panjang ± 20 meter dan lebar ± 1 meter mempunyai fungsi sosial sehingga harus tetap dan selalu terbuka sebagai jalan keluar masuk bagi warga masyarakat umum setempat termasuk Penggugat;
- Menghukum Tergugat membuka penutup gang kecil (lorong sengketa) untuk digunakan masyarakat umum setempat termasuk Penggugat sebagai jalan keluar masuk;
- Menyatakan putusan ini dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding atau kasasi.”
Tergugat mengajukan upaya hukum Peninjauan Kembali, dengan dalil bahwa lorong kecil yang menjadi objek sengketa tidak termasuk kategori jalan umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960 Pasal 6 yang berfungsi sosial, sebab tanah tersebut merupakan satu kesatuan dengan hak milik Tergugat dengan Sertifikat Hak Milik. Terhadapnya, Mahkamah Agung seketika membuat amar putusan sebagai berikut:
M E N G A D I L I :
Menolak permohonan Peninjauan Kembali dari Pemohon Peninjauan Kembali : RIDWAN KAWINDA, tersebut.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.