Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi

ARTIKEL HUKUM
Mahkamah Agung telah menerbitkan peraturan yang berlaku bagi publik (erga omnes) perihal kejahatan pidana yang dilakukan oleh subjek hukum korporasi selaku entitas hukum yang berbentuk “badan hukum” (rechts persoon). Konsepsi mengenai Tindak Pidana Korporasi bukanlah isu baru, namun kemendesakan dalam praktik terus bergulir seakan terjadi kebekuan dalam doktrinal ilmu hukum.
Dalam artikel ini SHIETRA & PARTNERS akan mengupas PERMA No. 13 Tahun 2016 perihal persepsi Mahkamah Agung RI perihal Tindak Pidana Korporasi. Terlepas dari segala kontroversinya, serta kebekuan doktrinal hukum pidana yang seakan stagnan, meski berbagai modus dan motif kejahatan “kerah putih” terus berkembang dan berevolusi, demikianlah pandangan Mahkamah Agung RI, dengan beberapa poin yang kami soroti serta berikan catatan untuk menjadi perhatian kita bersama:
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 13 TAHUN 2016
TENTANG
TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI
Menimbang :
a. bahwa korporasi sebagai suatu entitas atau subjek hukum yang keberadaannya memberikan kontribusi yang besar dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pembangunan nasional, namun dalam kenyataannya korporasi ada kalanya juga melakukan pelbagai tindak pidana (corporate crime) yang membawa dampak kerugian terhadap negara dan masyarakat;
b. bahwa dalam kenyataannya korporasi dapat menjadi tempat untuk menyembunyikan harta kekayaan hasil tindak pidana yang tidak tersentuh proses hukum dalam pertanggungjawaban pidana (criminal liability);
c. bahwa banyak undang-undang di Indonesia menempatkan korporasi sebagai subjek tindak pidana yang dapat dimintai pertanggungjawaban, namun perkara dengan subjek hukum korporasi yang diajukan dalam proses pidana masih sangat terbatas, salah satu penyebabnya adalah prosedur dan tata cara pemeriksaan korporasi sebagai pelaku tindak pidana masih belum jelas, oleh karena itu dipandang perlu adanya pedoman bagi aparat penegak hukum dalam penanganan perkara pidana yang dilakukan oleh korporasi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai dengan huruf c, perlu menetapkan Peraturan Mahkamah Agung tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi;
Mengingat :
1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4958);
2. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076);
3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3209);
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN MAHKAMAH AGUNG TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Mahkamah Agung ini yang dimaksud dengan:
1. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisir, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.
Note SHIETRA & PARTNERS: Dengan demikian setiap bentuk usaha niaga/bisnis yang berorientasi profit adalah subjek hukum Tindak Pidana Korporasi. Namun antara tanggung jawab pemidanaan berbadan hukum dengan bukan badan hukum memiliki konsekuensi yuridis yang saling berbeda, karena badan usaha tidak memiliki kekayaan sendiri yang berbeda dari para pengurusnya, serta tidak dapat menggugat ataupun digugat tanpa menyertakan pengurus aktifnya—sehingga konsekuensi logisnya tanggung jawab pidana badan usaha adalah satu kesatuan dengan tanggung jawab pidana sang pengurus badan usaha itu sendiri.
Namun pemisahan konsepsi antara “badan hukum” dan “non badan hukum” dirasa sudah tidak relevan lagi, mengingat mudahnya mendirikan badan hukum di Indonesia, sehingga konsep tanggung jawab pidana yang terbatas dalam konsepsi badan hukum, sudah saatnya diberikan paradigma yang salah langkah lebih maju daripada modus kejahatan pidana itu sendiri—dengan harapan tiada lagi yang dengan mudahnya menyalahgunakan lembaga “badan hukum” untuk mengalihkan tanggung jawab pribadi sang pelaku kepada tanggung jawab korporasi.
2. Korporasi Induk (parent company) adalah perusahaan berbadan hukum yang memiliki dua atau lebih anak perusahaan (yang disebut perusahaan subsidairi yang juga memiliki status badan hukum tersendiri).
3. Perusahaan Subsidairi (subsidairy company) atau perusahaan-perusahaan berbadan hukum yang mempunyai hubungan (sister company) adalah perusahaan yang dikontrol atau dimiliki oleh satu perusahaan induk.
4. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada perseroan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum perseroan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.
5. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua perseroan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu perseroan baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari perseroan yang meleburkan diri dan status badan hukum perseroan yang meleburkan diri berakhir karena hukum.
6. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh perseroan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada dua perseroan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva perseroan beralih karena hukum kepada satu perseroan atau lebih.
7. Pembubaran adalah bubarnya perusahaan karena keputusan RUPS/RUPS LB, atau jangka waktu berdirinya yang ditetapkan anggaran dasar telah berakhir, atau berdasarkan putusan Pengadilan, atau karena dicabut izin usaha perseroan sehingga mewajibkan perseroan melakukan likuidasi sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
8. Tindak Pidana oleh Korporasi adalah tindak pidana yang dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi sesuai dengan undang-undang yang mengatur tentang korporasi.
Note SHIETRA & PARTNERS: Rumusan diatas dapat menjegal langkah jaksa penuntut untuk mendakwa otak pelaku kejahatan (actor intelectualis), dikarenakan definisi “Tindak Pidana Korporasi” dipersempit menjadi “Tindak Pidana oleh Korporasi”. Terdapat perbedaan yang amat hakiki antara keduanya.
“Tindak Pidana Korporasi” artinya suatu kesatuan antara pelaku penggerak, pelaku otak, serta pelaku wadah (korporasi itu sendiri) dalam suatu rencana / aksi tindak pidana. Sehingga yang terlibat didalamnya ialah satu kesatuan antara subjek hukum manusia (dapat pengurus, manajer, atau pemilik modal) dan korporasi itu sendiri.
“Tindak Pidana oleh Korporasi” merupakan pandangan berhukum yang amat sempit serta dangkal, oleh sebab menjadi absurb, bahwasannya badan hukum dipandang mampu berpikir sendiri dan memiliki motif / minat / niat batin yang terpisah daripada para pengurusnya. Tidak heran bila kemudian terlontar pernyataan dari sang Ketua MA RI saat penerbitan PERMA ini: badan hukum korporat tak dapat dipidana badan, karena bagaimaan mungkin badan hukum dijebloskan ke sel?
9. Harta Kekayaan adalah semua benda bergerak atau benda tidak bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang diperoleh, baik secara langsung maupun tidak langsung dari hasil tindak pidana.
10. Pengurus adalah organ korporasi yang menjalankan pengurusan korporasi sesuai anggaran dasar atau undang-undang yang berwenang mewakili korporasi, termasuk mereka yang tidak memiliki kewenangan untuk mengambil keputusan, namun dalam kenyataannya dapat mengendalikan atau turut mempengaruhi kebijakan korporasi atau turut memutuskan kebijakan dalam korporasi yang dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana.
11. Hubungan Kerja adalah hubungan antara korporasi dengan pekerja/pegawainya berdasarkan perjanjian yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan/atau perintah.
12. Hubungan Lain adalah hubungan antara pengurus dan/atau korporasi dengan orang dan/atau korporasi lain sehingga menjadikan pihak lain tersebut bertindak untuk kepentingan pihak pertama berdasarkan perikatan, baik tertulis maupun tidak tertulis.
13. Lingkungan Korporasi adalah lingkup korporasi atau lingkup usaha korporasi atau lingkup kerja yang termasuk dan/atau mendukung kegiatan usaha korporasi baik langsung maupun tidak langsung.
14. Keterangan Korporasi adalah keterangan Pengurus yang mewakili korporasi.
Note SHIETRA & PARTNERS: Dari rumusan diatas sudah tampak sebuah kerancuan pada mindset para Hakim Agung ketika menyusun PERMA ini. Jika Keterangan Korporasi tidak lain tidak bukan ialah keterangan sang pengurus, maka sejatinya secara analogi konstruktif: aksi korporasi tidak lain merupakan aksi para pengurusnya, tindak pidana korporasi tidak lain tidak bukan ialah perilaku kejahatan pidana yang dilakukan oleh para pengurusnya itu sendiri.
15. Restitusi adalah pemberian ganti kerugian oleh korporasi kepada korban atau keluarganya sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 1 angka 5 Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008.
16. Satu hari adalah dua puluh empat jam.
17. Satu bulan adalah tiga puluh hari.
BAB II
MAKSUD DAN TUJUAN
Pasal 2
Maksud dan tujuan pembentukan tata cara penanganan perkara tindak pidana oleh Korporasi adalah untuk:
a. menjadi pedoman bagi penegak hukum dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau Pengurus;
b. mengisi kekosongan hukum khususnya hukum acara pidana dalam penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau Pengurus; dan
c. mendorong efektivitas dan optimalisasi penanganan perkara pidana dengan pelaku Korporasi dan/atau Pengurus.
Note SHIETRA & PARTNERS: Dari paradigma diatas, kita sudah dapat menarik suatu inferensi, bahwasannya Mahkamah Agung membuat embarkasi yang tegas antara dua entitas korporasi dengan manusia selaku pengurus korporasi. Senyatanya, antara korporasi dengan pelaku otak korporasi tak mungkin dapat dipisahkan satu sama lain.
BAB III
TATA CARA PENANGANAN PERKARA
Bagian Kesatu
Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dan Pengurus
Pasal 3
Tindak pidana oleh Korporasi merupakan tindak pidana yang dilakukan oleh orang berdasarkan hubungan kerja, atau berdasarkan hubungan lain, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama yang bertindak untuk dan atas nama Korporasi di dalam maupun di luar Lingkungan Korporasi.
Note SHIETRA & PARTNERS: Mahkamah Agung sendiri telah bersikap rancu dengan tidak mengakui adanya faktor pelaku penyertaan dalam konsepsi “Tindak Pidana oleh Korporasi” tersebut diatas. Bagaimana mungkin, pelaku “turut serta/perbantuan” lolos dari ancaman pidana hanya karena mengatasnamakan korporasi?
Pasal 4
(1) Korporasi dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana sesuai dengan ketentuan pidana Korporasi dalam undang-undang yang mengatur tentang Korporasi.
(2) Dalam menjatuhkan pidana terhadap Korporasi, Hakim dapat menilai kesalahan Korporasi sebagaimana ayat (1) antara lain:
a. Korporasi dapat memperoleh keuntungan atau manfaat dari tindak pidana tersebut atau tindak pidana tersebut dilakukan untuk kepentingan Korporasi;
b. Korporasi membiarkan terjadinya tindak pidana; atau
c. Korporasi tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk melakukan pencegahan, mencegah dampak yang lebih besar dan memastikan kepatuhan terhadap ketentuan hukum yang berlaku guna menghindari terjadinya tindak pidana.
Pasal 5
Dalam hal seorang atau lebih Pengurus Korporasi berhenti, atau meninggal dunia tidak mengakibatkan hilangnya pertanggungjawaban Korporasi.
Bagian Kedua
Pertanggungjawaban Grup Korporasi
Pasal 6
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh Korporasi dengan melibatkan induk Korporasi dan/atau Korporasi subsidiari dan/atau Korporasi yang mempunyai hubungan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana sesuai dengan peran masing-masing.
Bagian Ketiga
Pertanggungjawaban Korporasi dalam Penggabungan, Peleburan, Pemisahan dan Pembubaran Korporasi
Pasal 7
(1) Dalam hal terjadi penggabungan atau peleburan Korporasi maka pertanggungjawaban pidana dikenakan sebatas nilai harta kekayaan atau aset yang ditempatkan terhadap Korporasi yang menerima penggabungan atau Korporasi hasil peleburan.
(2) Dalam hal terjadi pemisahan Korporasi, maka pertanggungjawaban pidana dikenakan terhadap Korporasi yang dipisahkan dan/atau Korporasi yang melakukan pemisahan dan/atau kedua-duanya sesuai dengan peran yang dilakukan.
(3) Dalam hal Korporasi sedang dalam proses pembubaran, maka pertanggungjawaban pidana tetap dikenakan terhadap Korporasi yang akan dibubarkan.
Pasal 8
(1) Korporasi yang telah bubar setelah terjadinya tindak pidana tidak dapat dipidana, akan tetapi terhadap aset milik Korporasi yang diduga digunakan untuk melakukan kejahatan dan/atau merupakan hasil kejahatan, maka penegakkan hukumnya dilaksanakan sesuai dengan mekanisme sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
(2) Gugatan terhadap aset yang dimaksud ayat (1) dapat diajukan terhadap mantan pengurus, ahli waris atau pihak ketiga yang menguasai aset milik Korporasi yang telah bubar tersebut.
Bagian Keempat
Pemeriksaan Korporasi
Pasal 9
(1) Pemanggilan terhadap Korporasi ditujukan dan disampaikan kepada Korporasi ke alamat tempat kedudukan Korporasi atau alamat tempat Korporasi tersebut beroperasi.
(2) Dalam hal alamat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diketahui, pemanggilan ditujukan kepada Korporasi dan disampaikan melalui alamat tempat tinggal salah satu Pengurus.
(3) Dalam hal tempat tinggal maupun tempat kediaman Pengurus tidak diketahui, surat panggilan disampaikan melalui salah satu media massa cetak atau elektronik dan ditempelkan pada tempat pengumuman di gedung pengadilan yang berwenang mengadili perkara tersebut.
Pasal 10
Isi surat panggilan terhadap Korporasi setidaknya memuat:
a. nama Korporasi;
b. tempat kedudukan;
c. kebangsaan Korporasi;
d. status Korporasi dalam perkara pidana (saksi/ tersangka/terdakwa);
e. waktu dan tempat dilakukannya pemeriksaan; dan
f. ringkasan dugaan peristiwa pidana terkait pemanggilan tersebut.
Pasal 11
(1) Pemeriksaan terhadap Korporasi sebagai tersangka pada tingkat penyidikan diwakili oleh seorang Pengurus.
(2) Penyidik yang melakukan pemeriksaan terhadap Korporasi memanggil Korporasi yang diwakili Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan surat panggilan yang sah.
(3) Pengurus yang mewakili Korporasi dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib hadir dalam pemeriksaan Korporasi.
(4) Dalam hal Korporasi telah dipanggil secara patut tidak hadir, menolak hadir atau tidak menunjuk Pengurus untuk mewakili Korporasi dalam pemeriksaan maka penyidik menentukan salah seorang Pengurus untuk mewakili Korporasi dan memanggil sekali lagi dengan perintah kepada petugas untuk membawa Pengurus tersebut secara paksa.
Pasal 12
(1) Surat dakwaan terhadap Korporasi dibuat sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
(2) Bentuk surat dakwaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merujuk pada ketentuan Pasal 143 ayat (2) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dengan penyesuaian isi surat dakwaan sebagai berikut:
a. nama Korporasi, tempat, tanggal pendirian dan/atau nomor anggaran dasar / akta pendirian / peraturan/ dokumen / perjanjian serta perubahan terakhir, tempat kedudukan, kebangsaan Korporasi, jenis Korporasi, bentuk kegiatan/usaha dan identitas pengurus yang mewakili; dan
b. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
Pasal 13
(1) Pengurus yang mewakili Korporasi pada tingkat penyidikan wajib pula hadir pada pemeriksaan Korporasi dalam sidang Pengadilan.
(2) Jika Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak hadir karena berhalangan sementara atau tetap, hakim/ketua sidang memerintahkan penuntut umum agar menentukan dan menghadirkan Pengurus lainnya untuk mewakili Korporasi sebagai terdakwa dalam pemeriksaan di sidang Pengadilan.
(3) Dalam hal Pengurus yang mewakili Korporasi sebagai terdakwa telah dipanggil secara patut tidak hadir dalam pemeriksaan tanpa alasan yang sah, hakim/ketua sidang menunda persidangan dan memerintahkan kepada penuntut umum agar memanggil kembali Pengurus yang mewakili Korporasi tersebut untuk hadir pada hari sidang berikutnya.
Note SHIETRA & PARTNERS: Bagaimana mungkin, benda mati dan fiktif belaka yang bernama korporasi, dijadikan terdakwa? Korporasi senyatanya merupakan konsep abstrak, ia tidak memiliki pikiran maupun kehendak sendiri. Sebuah korporasi sepenuhnya tunduk dan bergerak berdasarkan niat atau arahan dari sang “otak intelektual” yang berdiri dibaliknya. Korporasi hanyalah wadah belaka.
(4) Dalam hal Pengurus tidak hadir pada persidangan dimaksud pada ayat (3), hakim/ketua sidang memerintahkan penuntut umum supaya Pengurus tersebut dihadirkan secara paksa pada persidangan berikutnya.
Pasal 14
(1) Keterangan Korporasi merupakan alat bukti yang sah.
(2) Sistem pembuktian dalam penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi mengikuti Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan ketentuan hukum acara yang diatur khusus dalam undang-undang lainnya.
Pasal 15
(1) Dalam hal Korporasi diajukan sebagai tersangka atau terdakwa dalam perkara yang sama dengan Pengurus, maka Pengurus yang mewakili Korporasi adalah Pengurus yang menjadi tersangka atau terdakwa.
(2) Pengurus lainnya yang tidak menjadi tersangka atau terdakwa dapat mewakili Korporasi dalam perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 16
(1) Dalam hal ada kekhawatiran Korporasi membubarkan diri dengan tujuan untuk menghindari pertanggungjawaban pidana, baik yang dilakukan sesudah maupun sebelum penyidikan, Ketua Pengadilan Negeri atas permintaan penyidik atau penuntut umum melalui suatu penetapan dapat menunda segala upaya atau proses untuk membubarkan Korporasi yang sedang dalam proses hukum sampai adanya putusan berkekuatan hukum tetap.
(2) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan sebelum permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang atau permohonan pailit didaftarkan.
(3) Penetapan pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diajukan terhadap Korporasi yang bubar karena berakhirnya jangka waktu sebagaimana ditentukan dalam dokumen pendirian.
Pasal 17
(1) Dalam hal terjadi penggabungan atau peleburan Korporasi sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (1), maka pihak yang mewakili Korporasi dalam pemeriksaan perkara adalah Pengurus saat dilakukan pemeriksaan perkara.
(2) Dalam hal terjadi pemisahan Korporasi, maka pihak yang mewakili Korporasi dalam pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (2) adalah Pengurus dari Korporasi yang menerima peralihan setelah pemisahan dan/atau yang melakukan pemisahan.
(3) Dalam hal Korporasi dalam proses pembubaran maka pihak yang mewakili Korporasi dalam pemeriksaan perkara sebagaimana dimaksud pada Pasal 7 ayat (3) adalah likuidator.
(4) Tata cara pemanggilan dan pemeriksaan terhadap Korporasi yang diwakili oleh Pengurus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) mengikuti tata cara pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 16.
Bagian Kelima
Pemeriksaan Pengurus
Pasal 18
Pemanggilan dan pemeriksaan Pengurus yang diajukan sebagai saksi, tersangka dan/atau terdakwa dilaksanakan sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan peraturan perundang-undangan lain yang berlaku.
Bagian Keenam
Pemeriksaan Korporasi dan Pengurus
Pasal 19
(1) Pemeriksaan pada tahap penyidikan dan penuntutan terhadap Korporasi dan/atau Pengurus dapat dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama.
(2) Dalam hal pemeriksaan pada tahap penyidikan dan penuntutan terhadap Korporasi dan Pengurus dilakukan bersama-sama, maka tata cara pemanggilan dan pemeriksaan mengikuti ketentuan yang diatur dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 18.
Bagian Ketujuh
Gugatan Ganti Rugi dan Restitusi
Pasal 20
Kerugian yang dialami oleh korban akibat tindak pidana yang dilakukan oleh Korporasi dapat dimintakan ganti rugi melalui mekanisme restitusi menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku atau melalui gugatan perdata.
Bagian Kedelapan
Penanganan Harta Kekayaan Korporasi
Pasal 21
(1) Harta kekayaan Korporasi yang dapat dikenakan penyitaan adalah benda sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
(2) Dalam hal benda sitaan terdiri atas benda yang dapat lekas rusak atau yang membahayakan, sehingga tidak mungkin untuk disimpan sampai putusan pengadilan terhadap perkara yang bersangkutan memperoleh kekuatan hukum tetap atau jika biaya penyimpanan benda tersebut akan menjadi terlalu tinggi atau dapat mengalami penurunan nilai ekonomis, sejauh mungkin dengan persetujuan tersangka atau kuasanya benda tersebut dapat diamankan atau dilelang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Harta kekayaan yang dilelang, sebagaimana dimaksud ayat (2), tidak dapat dibeli oleh tersangka atau terdakwa dan/atau pihak yang mempunyai hubungan keluarga sedarah sampai derajat kedua, hubungan semenda, hubungan keuangan, hubungan kerja/manajemen, hubungan kepemilikan dan/atau hubungan lain dengan tersangka atau terdakwa tersebut.
(4) Dalam hal benda sitaan, sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), telah dilelang dan penetapan tersangka terhadap Korporasi dinyatakan tidak sah oleh putusan praperadilan atau penyidikan maupun penuntutan terhadap Korporasi dihentikan berdasarkan surat penetapan penghentian penyidikan atau penuntutan, maka uang hasil penjualan lelang barang sitaan harus dikembalikan kepada yang berhak paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan praperadilan berkekuatan hukum tetap atau sejak surat penetapan penghentian penyidikan atau penuntutan berlaku.
(5) Dalam hal benda sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan pada ayat (3) telah dilelang, namun berdasarkan putusan berkekuatan hukum tetap dinyatakan benda sitaan tersebut tidak dirampas untuk negara, maka uang hasil penjualan lelang barang sitaan harus dikembalikan kepada yang berhak paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
(6) Dalam hal dari penyimpanan uang hasil lelang benda sitaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan/atau ayat (3) terdapat bunga keuntungan maka perampasan atau pengembalian uang hasil lelang benda sitaan juga disertai dengan bunga keuntungan yang diperoleh dari penyimpanan uang hasil lelang benda sitaan tersebut.
Bagian Kesembilan
Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan
Menjalankan Pidana
Pasal 22
Kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana terhadap Korporasi hapus karena daluwarsa sebagaimana ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
BAB III
PUTUSAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN
Bagian Kesatu
Penjatuhan Pidana
Pasal 23
(1) Hakim dapat menjatuhkan pidana terhadap Korporasi atau Pengurus, atau Korporasi dan Pengurus.
(2) Hakim menjatuhan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada masing-masing undang-undang yang mengatur ancaman pidana terhadap Korporasi dan/atau Pengurus.
(3) Penjatuhan pidana terhadap Korporasi dan/atau Pengurus sebagaimana dimaksud ayat (1) tidak menutup kemungkinan penjatuhan pidana terhadap pelaku lain yang berdasarkan ketentuan undang-undang terbukti terlibat dalam tindak pidana tersebut.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Bagaimana jika undang-undang tidak mengatur rumusan klausul yang tegas menyatakan bahwa “korporasi dan pengurusnya dijatuhi pidana”? Apakah jika tiada pencantuman frasa “pengurusnya” dalam redaksional undang-undang, artinya menutup kemungkinan bagi jaksa untuk menuntut pertanggung-jawaban pidana terhadap pengurus korporasi tersebut?]
Bagian Kedua
Putusan
Pasal 24
(1) Putusan pemidanaan dan putusan bukan pemidanaan terhadap Korporasi dibuat sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
(2) Putusan pemidanaan dan bukan pemidanaan terhadap Korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencantumkan identitas sebagai berikut:
a. nama Korporasi;
b. tempat, tanggal pendirian dan/atau nomor anggaran dasar/akta pendirian/peraturan/dokumen/perjanjian serta perubahan terakhir;
c. tempat kedudukan;
d. kebangsaan Korporasi;
e. jenis Korporasi;
f. bentuk kegiatan/usaha; dan
g. identitas Pengurus yang mewakili.
Pasal 25
(1) Hakim menjatuhkan pidana terhadap Korporasi berupa pidana pokok dan/atau pidana tambahan.
(2) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap Korporasi sebagaimana ayat (1) adalah pidana denda.
[Note SHIETRA & PARTNERS: Inilah pasal yang menjadi tempat perlindungan teraman bagi pelaku “otak intelektual” Tindak Pidana Korporasi.]
(3) Pidana tambahan dijatuhkan terhadap Korporasi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 26
Dalam hal Korporasi dan Pengurus diajukan bersama-sama sebagai terdakwa, putusan pemidanaan dan bukan pemidanaan mengikuti ketentuan sebagaimana dimaksud pada Pasal 24 dan Pasal 25.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Putusan
Pasal 27
(1) Pelaksanaan putusan dilakukan berdasarkan putusan Pengadilan yang memperoleh kekuatan hukum tetap.
(2) Petikan putusan dapat digunakan sebagai dasar dalam pelaksanaan putusan sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 28
(1) Dalam hal pidana denda yang dijatuhkan kepada Korporasi, Korporasi diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar denda tersebut.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
(3) Jika terpidana Korporasi tidak membayar denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) maka harta benda Korporasi dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar denda.
Pasal 29
(1) Dalam hal pidana denda dijatuhkan kepada Pengurus, Pengurus diberikan jangka waktu 1 (satu) bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar denda tersebut.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
(3) Jika denda tidak dibayar sebagian atau seluruhnya, Pengurus dijatuhkan pidana kurungan pengganti denda yang dihitung secara proposional.
(4) Pidana kurungan pengganti denda sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan setelah berakhirnya hukuman pidana pokok.
Bagian Keempat
Pelaksanaan Pidana Tambahan atau Tata Tertib
Terhadap Korporasi
Pasal 30
Pidana tambahan atau tindakan tata tertib atau tindakan lain terhadap Korporasi dilaksanakan berdasarkan putusan Pengadilan.
Pasal 31
(1) Dalam hal Korporasi dijatuhkan pidana tambahan berupa perampasan barang bukti, maka perampasan barang bukti dilaksanakan paling lama 1 (satu) bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap.
(2) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (2) dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) bulan.
(3) Dalam hal terdapat keuntungan berupa harta kekayaan yang timbul dari hasil kejahatan maka seluruh keuntungan tersebut dirampas untuk negara.
Pasal 32
(1) Korporasi yang dikenakan pidana tambahan berupa uang pengganti, ganti rugi dan restitusi, tata cara pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(2) Dalam hal pidana tambahan berupa uang pengganti, ganti rugi dan restitusi dijatuhkan kepada Korporasi, Korporasi diberikan jangka waktu paling lama 1 (satu) bulan sejak putusan berkekuatan hukum tetap untuk membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi.
(3) Dalam hal terdapat alasan kuat, jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (2) dapat diperpanjang untuk paling lama 1 (satu) bulan.
(4) Jika terpidana Korporasi tidak membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk membayar uang pengganti, ganti rugi dan restitusi.
Pasal 33
Korporasi yang dikenakan pidana tambahan berupa perbaikan kerusakan akibat dari tindak pidana, tata cara pelaksanaannya dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB IV
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 34
Peraturan Mahkamah Agung ini tidak dapat menjadi dasar bagi upaya hukum terhadap perkara pidana oleh Korporasi yang telah diputus sebelum Peraturan Mahkamah Agung ini diundangkan.
BAB V
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 35
Perkara pidana dengan terdakwa Korporasi yang telah dilimpahkan ke pengadilan tetap dilanjutkan sampai memperoleh putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum tetap dengan mengacu pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum adanya Peraturan Mahkamah Agung ini.
BAB VI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 36
Pada saat Peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku, ketentuan penanganan perkara pidana oleh Korporasi mengikuti Peraturan Mahkamah Agung ini.
Pasal 37
Peraturan Mahkamah Agung ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.