LEGAL OPINION
Question: Ada beberapa harta debitor (dalam pailit) yang disita oleh polisi untuk kepentingan penyidikan serta penuntutan pidana, katanya. Untuk melawan penyitaan tersebut, karena yang pastinya merugikan boedel pailit yang menjadi hak pelunasan para kreditor, kemana atau pengadilan manakah yang paling berwenang memutus? Pengadilan Negeri ataukah Pengadilan Niaga?
Brief Answer: Masuk dalam yurisdiksi wewenang / kompetensi absolut Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara pidana terkait penyitaan atas dugaan tindak pidana tersebut, yakni lewat mekanisme pra peradilan, bukan “gugatan lain-lain” di Pengadilan Niaga.
PEMBAHASAN:
Pasal 38 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), menyebutkan:
“Penyitaan hanya dapat dilakukan oleh Penyidik dengan Surat Izin Ketua Pengadilan Negeri setempat.”
Sebagai ilustrasi, SHIETRA & PARTNERS mengangkat kasus dalam putusan Mahkamah Agung RI sengketa “gugatan lain-lain” register Nomor 156 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 tanggal 1 April 2015, perkara antara:
- GINDO HUTAHAEAN, S.H., dan H. MARTIN ERWAN, S.H., selaku Tim Kurator PT Aliga Internasional Pratama (dalam Pailit), sebagai Pemohon Kasasi dahulu Penggugat; terhadap
- KEPALA KEJAKSAAN AGUNG REPUBLIK INDONESIA qq. JAKSA AGUNG MUDA TINDAK PIDANA UMUM qq. DIREKTUR TINDAK PIDANA UMUM LAINNYA, selaku Termohon Kasasi dahulu Tergugat.
Penggugat adalah Tim Kurator PT. Aliga (dalam Pailit) yang diangkat berdasarkan Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang mempunyai tugas dan wewenang untuk mengurus dan membereskan harta pailit PT. Aliga (Dalam Pailit).
Tergugat menyita aset dalam boedel pailit PT. Aliga, terkait dakwaan terhadap seorang tersangka, berupa:
a. Hotel dengan nama The Aliga Hotel, disita berdasarkan Penetapan Plh. Ketua Pengadilan Negeri Padang; dan
b. Bangunan pabrik yang disita berdasarkan Penetapan Plh. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bekasi.
Dasar Penggugat mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga, ialah diasumsikan berdasarkan ketentuan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK):
“Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal lain-lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam undang-undang ini diputuskan oleh Pengadilan (Niaga) yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor.”
Penjelasan Resmi Pasal 3 ayat (1) UUK:
“Yang dimaksud dengan hal-hal lain adalah antara lain actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara di mana Debitor, Kreditor, Kurator atau Pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya.”
Gugatan ini diajukan melalui Pengadilan Niaga, oleh karena obyek perkara merupakan boedel/harta pailit dan berkaitan langsung dengan proses kepailitan dalam perkara yang telah diputus oleh Pengadilan Niaga pada tanggal 10 Januari 2013 Nomor 67/PAILIT/2012/PN.Niaga.Jkt.Pst. jo. Putusan Mahkamah Agung RI tertanggal 30 Mei 2013 Nomor 40 PK/Pdt.Sus-Pailit/2013.
Dengan demikian PT. Aliga telah dinyatakan pailit dengan segala akibat hukumnya, dan sekaligus mengangkat Penggugat sebagai Tim Kurator, yang amar putusannya berbunyi sebagai berikut:
“Mengadili:
- Mengabulkan permohonan pernyataan pailit Pemohon;
- Menyatakan Termohon PT. Aliga International Pratama, Pailit dengan segala akibat hukumnya;”
Penggugat mendalilkan, terhitung sejak tanggal putusan pailit, maka terhadap seluruh harta kekayaan PT. Aliga masuk dalam keadaan sita umum demi hukum, serta kewenangan menguasai dan mengurus seluruh harta kekayaan PT. Aliga beralih dari Debitor Pailit (PT. Aliga) kepada Penggugat selaku Tim Kurator.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1 Butir 1 UUK:
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”
Pasal 21 UUK:
“Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.”
Pasal 24 Ayat (1) UUK:
“Debitor demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.”
Pasal 178 ayat (1) UUK:
“Jika dalam Rapat Pencocokan Piutang tidak ditawarkan rencana perdamaian, rencana perdamaian yang ditawarkan tidak diterima atau pengesahan perdamaian ditolak berdasarkan putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, demi hukum harta pailit berada dalam keadaan insolvensi.”
Dengan telah ditetapkannya Debitor Pailit (PT. Aliga) dalam keadaan insolvensi, yang artinya Debitor Pailit dalam keadaan tidak mampu membayar seluruh hutang yang wajib dibayar, maka Penggugat diperintahkan oleh Hakim Pengawas untuk segera melaksanakan pemberesan dalam rangka likuidasi terhadap harta pailit PT. Aliga demi kepentingan para kreditornya.
Peletakkan sita terhadap harta pailit PT. Aliga bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Kepailitan dan PKPU, dimana terdapat 2 (dua) bangunan yang merupakan bagian boedel pailit, yaitu bangunan The Aliga Hotel dan bangunan pabrik / kantor, telah dilakukan penyitaan oleh Penyidik Bareskrim Polri Direktorat II Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus, berdasarkan Penetapan Plh. Ketua Pengadilan Negeri Padang tertanggal 18 Desember 2012 dan Penetapan Plh. Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bekasi tertanggal 20 Desember 2012.
Demi kegiatan usahanya sebelum jatuh pailit, PT. Aliga meminjam sejumlah dana modal usaha kepada sejumlah perbankan dan kreditor lainnya. Dana yang telah dihimpun PT. Aliga, dipergunakan oleh PT. Aliga untuk membeli barang-barang modal dan/atau menginvestasikan dalam bentuk tanah, bangunan dan/atau peralatan mesin, serta dipergunakan dalam membeli, membangun dan menjalankan tanah untuk bisnis perhotelan (The Aliga Hotel), yang kini disita oleh Tergugat.
Berbagai aset yang disita Tergugat tersebut, senyatanya merupakan agunan milik para kreditor yang telah diikat Hak Tanggungan Peringkat I sebagaimana tercatat dalam Sertifikat Hak Tanggungan No. 3751/2010 tertanggal 2 September 2010—alias sebelum sita pidana terjadi.
Dasar keberadaan aset debitor pailit, ialah bersumber dari dana kredit pembiayaan para kreditornya. Sehingga fakta yang dapat ditarik:
a. Bangunan dengan nama The Aliga Hotel di Padang adalah bangunan yang diperoleh / dibeli dan dibangun dengan menggunakan uang / kredit dari PT. Bank BRI (Persero), Tbk., sedangkan tanah-tanahnya dengan alas hak SHM telah dijadikan agunan yang diikat dengan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan piutang yang telah diberikan;
b. Bangunan pabrik di Kawasan Industri Cikarang, Kabupaten Bekasi, dengan alas hak SHM Nomor 3442/Pasir Sari dijadikan agunan untuk pinjaman kredit Bank BRI yang diikat dengan hak tanggungan, dimana dibeli oleh Sdr. Umar Ali Yanto pada tahun 2007.
Hak kepemilikan Sdr. Umar Ali Yanto, atas bangunan hotel di Padang dan pabrik di Cikarang adalah berstatus hukum sebagai agunan yang menjadi hak pelunasan piutang PT. Bank BRI (Persero), Tbk. Saat ini, penyidikan Bareskrim Polri dalam perkara dugaan Tindak Pidana Perbankan dan TPPU yang dilakukan oleh Sdr. Umar Ali Yanto, dinyatakan sudah lengkap (P-21) oleh Kejaksaan Agung RI.
Namun oleh karena masih dalam tahap penuntutan pada Kejaksaan, maka belum dapat dikatakan Terdakwa, telah bersalah melakukan Tindak Pidana. Seseorang dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana, apabila sudah ada Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht).
Faktanya, sampai gugatan diajukan, belum terdapat Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang menyatakan debitor penjamin tersebut terbukti bersalah melakukan Tindak Pidana. Oleh karenanya, segala benda yang berkaitan dan tercatat atas nama diri Terdakwa, tidak dapat didasarkan hanya dengan tindakan menduga-duga bahwa aset tanah yang disita tersebut berasal dari uang hasil kejahatan perbankan dan TPPU.
Bangunan hotel dibeli dan dibangun dengan menggunakan dana fasilitas kredit investasi yang diberikan oleh PT. Bank BRI (Persero), Tbk. dan menjadi agunan kredit investasi dimaksud, sedangkan pabrik di Bekasi menjadi agunan pembelian dan pembangunan The Aliga Hotel.
PT. Aliga telah diputus pailit dengan segala akibat hukumnya oleh Pengadilan Niaga, maka demi hukum seluruh harta kekayaan perusahaan (PT. Aliga), masuk dalam boedel pailit, jatuh dalam sita umum kepailitan.
Oleh karena harta pailit PT. Aliga berada dalam sita umum dalam kepailitan, maka segala sita yang sudah ada sebelum pailit segera dihentikan (diangkat), hal ini secara tegas dinyatakan UUK Pasal 31 UUK yang menyatakan:
(1) Putusan pernyataaan pailit berakibat bahwa segala penetapan pelaksanaan Pengadilan terhadap setiap bagian dari kekayaan Debitor yang telah dimulai sebelum kepailitan harus dihentikan seketika dan sejak itu tidak ada suatu putusan yang dapat dilaksanakan termasuk atau juga dengan menyandera Debitor.
(2) Semua penyitaan yang telah dilakukan menjadi hapus dan jika diperlukan Hakim Pengawas harus memerintahkan pencoretannya.
Note SHIETRA & PARTNERS: Masalah hukum utama yang tampaknya berkembang dalam praktik, “sita umum” tidak terjadi secara sendirinya meski disebutkan “demi hukum”. Inilah sumber utama sengketa diatas. Kedua, terminologi 'Hakim Pengawas' hanya dikenal dalam ranah Pengadilan Niaga.
Berdasarkan ketentuan diatas, Penggugat berkesimpulan, sita yang diletakkan atas bangunan / hotel dan bangunan pabrik, yang mana kedua obyek tersebut termasuk dalam boedel / harta pailit PT. Aliga, bertentangan dengan UUK.
Penggugat turut mengutip yurisprudensi, yaitu dalam perkara kepailitan PT. Sinar Central Rejeki (SCR) yang telah diputus pada tingkat Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung RI tertanggal 20 Mei 2013 Nomor 202 PK/PDT.SUS/2012, dimana dalam amarnya Mahkamah Agung RI mengabulkan gugatan Kurator agar Bareskrim Polri menghentikan (mengangkat) sita pidana terhadap harta pailit PT. SCR tersebut. (Note SHIETRA & PARTNERS: Dalam kasus PT. SCR, Pengadilan Niaga dinyatakan berwenang oleh Mahkamah Agung untuk memutus sengketa sita boedel pailit yang tersangkut-paut perkara pidana ini.)
Sementara pihak Tergugat dalam sanggahannya mendalilkan, upaya hukum yang dapat dilakukan Penggugat atas keberatannya terkait tindakan penyitaan yang dilakukan oleh Penyidik pada Bareskrim Polri adalah melalui gugatan praperadilan sesuai dengan ketentuan Pasal 82 ayat (3) huruf d Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang KUHAP yang berbunyi:
“Dalam hal putusan (praperadilan) menetapkan bahwa benda yang disita ada yang tidak termasuk alat pembuktian, maka dalam putusan dicantumkan bahwa benda tersebut harus segera dikembalikan kepada Tersangka atau dari siapa benda itu disita.”
Pasal 95 Ayat (1) KUHAP:
“Tersangka, Terdakwa atau Terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa atasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan.”
Penjelasan Pasal 95 Ayat (1) KUHAP:
“Yang dimaksud dengan “kerugian karena dikenakan tindakan lain” ialah kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penyitaan yang tidak sah menurut hukum.”
Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP:
“Dalam memeriksa dan memutus tentang sah atau tidaknya penangkapan atau penahanan, sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penuntutan, permintaan ganti kerugian dan atau rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau penahanan, akibat tidak sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan dan ada benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, Hakim mendengar keterangan baik dari Tersangka atau Pemohon maupun dari pejabat yang berwenang.”
Dengan demikian Jaksa berpendirian, berdasar pasal-pasal tersebut diatas, keberatan terhadap penyitaan merupakan wewenang praperadilan Pengadilan Negeri. Sementara merujuk pada Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat Lingkungan Peradilan, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI Tahun 2009 halaman 256, menyebutkan:
“Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus:
- Sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan;
- Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan;
- Permintaan ganti rugi atau rehabilitasi oleh Tersangka atau keluarganya atau pihak lain atau kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke Pengadilan (Pasal 1 butir 10 jo. Pasal 77 KUHAP);
- Sah atau tidaknya penyitaan barang bukti (Pasal 82 ayat (1) huruf b KUHAP).”
Pepatah hukum yang menyatakan “Boni judicis est ampliare justitiam” yang artinya bahwa adalah kewajiban seorang Hakim yang baik untuk tidak memperluas batas-batas putusan atau Yurisdiksinya. Note SHIETRA & PARTNERS: Yang menjadi masalah, terjadi persinggungan antara hukum pidana dan perdata, maka ranah peradilan perdata ataukah pidana yang lebih mendominasi terkait sita pidana terhadap boedel pailit yang merupakan ranah perdata?
Terhadap permohonan Gugatan Lain-Lain tersebut, Pengadilan Niaga Jakarta Pusat kemudian menjatuhkan Putusan Nomor 11/Pdt.Sus-Pailit/Gugatan Lain-lain/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst., tanggal 15 Desember 2014, dengan pertimbangan hukum serta amar sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa oleh karena sita terhadap 1 (satu) bangunan / hotel dengan nama The Aliga Hotel dan bangunan pabrik, terletak di Kabupaten Bekasi, termasuk ke dalam lingkup peradian pidana, maka untuk membatalkan sita dalam perkara pidana tidak dapat dilakukan oleh lembaga peradilan yang lain (Pengadilan Niaga), akan tetapi harus dilakukan oleh lembaga peradilan pidana itu sendiri (pra peradilan);
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, dapat diambil kesimpulan balnva yang berwenang untuk menyatakan sah tidaknya suatu sita didalam perkara pidana adalah lembaga peradilan pidana (pra peradilan) bukan lembaga peradilan lain (Pengadilan Niaga), oleh karenanya Majelis berpendapat Tergugat dapat membuktikan dalil eksepsi absolute kompetensinya, sehingga oleh karenanya dalil eksepsi tersebut beralasan dan dapat dikabulkan;
“MENGADILI :
Dalam Eksepsi:
1. Menerima eksepsi Tergugat;
2. Menyatakan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak berwenang untuk mengadili perkara tersebut.”
Penggugat mengajukan upaya hukum kasasi, dimana terhadapnya Mahkamah Agung membuat pertimbangan serta amar putusan sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa terhadap alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung berpendapat:
“Bahwa keberatan tersebut tidak dapat dibenarkan, oleh karena Judex Facti dalam hal ini Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak salah menerapkan hukum dengan pertimbangan sebagai berikut:
“Bahwa gugatan a quo tidak memenuhi Pasal 3 (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, malahan masuk secara absolute dalam jurisdiksi Peradilan Pidana;
“Bahwa oleh karena sita yang dilakukan oleh Termohon Kasasi dilakukan berdasarkan pemeriksaan pidana, maka pembatalan sita harus dilakukan melalui ketentuan yang diatur dalam KUHAP;
“Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas, ternyata Putusan Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor 11/Pdt.Sus-Pailit/Gugatan Lain-lain/2014/PN.Niaga.Jkt.Pst., tanggal 15 Desember 2014 dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang, sehingga permohonan kasasi yang diajukan oleh Pemohon Kasasi GINDO HUTAHAEAN, S.H., dan H. MARTIN ERWAN, S.H., tersebut harus ditolak;
“M E N G A D I L I
“Menolak permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi GINDO HUTAHAEAN, S.H., dan H. MARTIN ERWAN, S.H., selaku Tim Kurator PT. Aliga Internasional Pratama (dalam Pailit) tersebut.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.