Pemilik Bangunan Berbeda dengan Pemilik Tanah, Kendala Asas Pemisahan Horizontal Hukum Pertanahan Nasional

LEGAL OPINION
Question: Ini koq, ada pihak yang mengklaim sebagai pemilik tanah, sementara saya kan merupakan pemilik bangunan ini. Jadinya seperti tumpang tindih kepemilikan. Sebenarnya bagaimana hukumnya? Jika sudah demikian, maka siapa yang paling berhak? Apakah sertifikat tanah lawan dapat saya bantah?
Brief Answer: Salah satu kelemahan sistem hukum pertanahan nasional Indonesia, ialah masih diadopsinya asas hukum adat perihal asas “pemisahan horizontal”, dalam arti antara pemilik tanah dengan pemilik bangunan bisa terletak pada dua pihak yang berbeda.
Sejarahnya, saat masyarakat adat mendirikan rumah, teknik pembangunan bersifat “know down” sehingga masih sangat sederhana, dapat dibongkar sewaktu-waktu, lalu dipindahkan dan dirakit ulang di tempat baru secara nomaden.
Asas hukum adat ini sudah tidak lagi relevan dalam hukum agraria modern yang bersifat rumah permanen terbuat dari beton, tulang besi, dan bata.
Hakim dapat saja dalam amar putusannya menyatakan agar pemilik bangunan membayar kompensasi uang sewa dari pemilik tanah, atau setidaknya menyatakan pemilik bangunan berhak menempati tanah sepanjang umur fisik bangunan (dalam arti ketika rumah/bangunan rubuh), maka penguasaan fisik tanah harus dikembalikan kepada pemilik yuridis hak atas tanah.
PEMBAHASAN:
Untuk menjawab seluruh pertanyaan hukum tersebut, tepat kiranya merujuk kaedah normatif yang dapat ditarik dari putusan Pengadilan Tinggi Medan perkara gugatan perdata register Nomor 283/PDT/2012/PT–MDN tanggal 19 Oktober 2012, sengketa antara:
- DRS. YANNIS SIMANJUNTAK, sebagai Pembanding, semula Penggugat; melawan
1. HUSMAN PAINAN, sebagai Terbanding, dahulu Tergugat; dan
2. KEPALA KANTOR PERTANAHAN KOTA MEDAN, selaku Turut Terbanding, semula Turut Tergugat.
Semula, pada tingkat pengadilan negeri, gugatan Penggugat dinyatakan ditolak oleh Majelis Hakim, sehingga Penggugat mengajukan banding, dimana selanjutnya Pengadilan Tinggi membuat pertimbangan hukum sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa mengenai pertimbangan Hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama dalam pokok perkara yang menolak gugatan Penggugat/Pembanding seluruhnya dengan mendasarkan kepada Pasal 23 huruf (a) angka 1 Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997, Pengadilan Tinggi tidak sependapat dengan alasan alasan sebagai berikut :
“Menimbang, bahwa Majelis Hakim Tingkat Pertama tidak memperhatikan azas (pemisahan) horizotal yang berlaku terhadap Undang-undang No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria yang memungkinkan adanya pemisahan antara tanah dengan bangunan yang ada diatasnya yang menurut Pengadilan Tinggi terjadi dalam sengketa ini;
“Menimbang, bahwa dari bukti P2 (Sertifikat Hak Milik No.689 tanggal. 7 September 2001, dapat dibuktikan bahwa saat ini pemilik tanah sengketa adalah Penggugat, yang diperoleh oleh Penggugat dengan cara membeli dari pemegang Hak Pakai Nomor : 485, Tanggal. 31 Desember 1968;
“Menimbang, bahwa meskipun Hak Pakai Nomor : 485, Tanggal 31 Desember 1968 masa berlakunya telah berakhir pada Tahun 1970, dan setelah itu tanah sengketa statusnya dikuasai langsung oleh Negara, namun secara Juridis pemegang Hak pakai yang secara nyata menguasai dan mengelola tanah sengketa adalah merupakan pihak yang memiliki prevelage untuk mendapatkan Hak-hak atas tanah sengketa dari Negara;
“Menimbang, bahwa atas dasar sebagai pengelola tanah sengketa (karena hak pakainya telah berakhir) Thien Heoe Kioeng telah memindahkan haknya kepada pihak lain dan terakhir dipegang oleh Penggugat;
“Menimbang, bahwa sebagai pengelola tanah bekas Hak Pakai No.485, Tanggal. 31 Desember 1968, Penggugat telah mengajukan permohonan untuk mendapat hak milik, dan berdasarkan pengakuan dipersidangan dari Turut tergugat (Badan Pertanahan Kota Medan) permohonan penggugat memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan undang-undang untuk mendapatkan Hak milik atas tanah sengketa karenanya kepadanya diterbitkan sertifikat Hak Milik Nomor : 689 tanggal. 7 September 2001;
“Menimbang, bahwa berdasarkan Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960, tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria menyatakan bahwa Hak milik adalah Hak turun temurun terkuat dan terpenuhi yang dapat dipunyai oleh seseorang atas tanah dengan mengingat ketentuan dalam Pasal 6 (dengan tidak menghilangkan fungsi sosial dari tanah tersebut);
“Menimbang, bahwa pengertian terkuat dalam Hak milik adalah paling kuat, paling atas, dan tidak ada hak lain diatas hak milik itu, sehingga mengandung arti bahwa hak-hak lain yang diatur dalam undang-undang berada dibawah hak milik ini;
“Menimbang, bahwa pengertian terpenuh adalah dalam membuktikan suatu hak atas tanah, seseorang cukup menunjukkan sertifikat Hak milik tersebut sehingga tidak perlu diikuti dengan alat-alat bukti lain atau tambahan bukti lainnya karena secara hukum sudah dianggap lengkap dan penuh;
“Menimbang, bahwa adalah benar Tergugat adalah pemilik bangunan yang didirikan diatas tanah sengketa yang merupakan hak milik Penggugat, yang dibeli oleh Tergugat dari Pemerintah Kota Medan yang membangun pertokoan dalam rangka pembenahan pertokoan sesuai master plan kota Medan;
“Menimbang, bahwa jika diteliti bukti T-1, berupa akte jual beli Nomor : 88 Tahun 1983, yang dijadikan objek jual beli antara RIAWAN KESUMA (KE LIAN TJOAN) dengan HUSMAN PAINAN (Tergugat) adalah satu pintu bangunan toko bertingkat permanen, lantai semen, dinding tembok, atap genteng berukuran kurang lebih 4,20 X 20 m, berikut turutannya lengkap dengan saluran-saluran air dan listrik serta sebuah pesawat telepon Nomor : 29692 serta hak-hak atas langganannya yang terletak di dalam kota Medan, setempat dikenal sebagai jalan Pandu dahulu Jalan Mangunsarkoro Nomor 2-A, bangunan toko bertingkat yang dimaksudkan diatas adalah kepunyaan RIAWAN KESUMA (KE LIAN TJOAN) yang antara lain berdasarkan “Surat Keterangan” tertanggal 28 Mei 1967 Nomor 200/PPS/67 yang diberikan dan dikeluarkan oleh Panitia Penertiban Toko-Toko Kios-Kios jalan Pandu Kota Medan;
“Menimbang, bahwa dalam akta tersebut Tergugat mengakui bahwa Toko yang dibelinya tersebut berdiri diatas tanah yang langsung dikuasai oleh Negara, yang berarti pembelian tersebut adalah hanya atas gedung toko dan tidak termasuk tanahnya karena pada saat jual beli tanah sengketa dikuasai langsung oleh Negara;
“Menimbang, bahwa oleh karena tanah tempat berdirinya pertokoan pada saat itu dibawah pengelolaan Tien Hoee Lioeng dan terakhir dipindahkan hak pengelolaannya kepada Penggugat dan atas dasar itu pula Penggugat memperoleh Hak Milik dari Negara, maka secara hukum dengan memperhatikan azas horizontal harus diakui bahwa Penggugat adalah pemilik atau pihak yang berhak atas tanah sengketa sedang Tergugat adalah pemilik atau pihak yang berhak atas bangunan toko yang berdiri diatasnya;
“Menimbang, bahwa dengan demikian permohonan Penggugat yang mohon agar Penggugat secara hukum dinyatakan sebagai pemilik tanah seluas ± 83 M2 yang terletak di Jalan Pandu No.2-A (d/h. Jalan Mangunsarkoro No.2-A) Kelurahan Pasar Baru, Kecamatan Medan Kota, Kota Medan, dengan bata-batas sebagai berikut: ... , adalah milik Penggugat, berdasarkan Sertifikat Hak Milik No.689/Pasar Baru, tanggal 07 September 2001 yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kota Medan, cukup beralasan untuk dikabulkan;
“Menimbang, bahwa terhadap permohonan Penggugat yang mohon agar Tergugat dinyatakan telah melakukan perbuatan melawan hukum (Onrechtsmatige Daad) karena telah menguasai tanah sengketa Pengadilan Tinggi menilainya tidak beralasan karena keberadaan bangunan Toko tersebut diatas tanah yang kemudian menjadi milik Penggugat bukanlah kehendak Tergugat melainkan kehendak Panitia Penataan kembali bangunan Toko yang ada didaerah tersebut, dan Tergugat mendapatkan bangunan Toko tersebut dengan cara membeli secara sah dari Panitia, maka kepemilikan atas toko tersebut haruslah dianggap sah secara hukum, sehingga bukanlah merupakan perbuatan melawan hukum, sehingga permintaan Penggugat sebagai mana tertuang dalam petitum angka 3 dan 5 tidak beralasan dan karenanya haruslah ditolak;
“Menimbang, bahwa namun demikian dengan memperhatikan permohonan Penggugat yang memohon agar Pengadilan menjatuhkan putusan yang seadil adilnya (ex aequo et bono) terhadap kedua belah pihak maka dengan kedudukan keduanya sebagaimana telah dipertimbangkan diatas Pengadilan Tinggi akan mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut:
“Menimbang, bahwa dengan posisi kedua belah pihak sebagaimana tersebut diatas, pihak Penggugat adalah merupakan pihak yang sama sekali tidak mendapatkan kenikmatan dari hak yang dimilikinya, yaitu tanah sengketa sebagai tanah yang menjadi miliknya, sedang Tergugat dapat menikmati hak yang diperoleh dari hak kepemilikan atas bangunan toko yang telah dibelinya itu, yaitu dapat melakukan usaha dengan memanfaatkan tokonya itu;
“Menimbang, bahwa dengan demikian adalah adil jika Tergugat dihukum untuk membayar ganti rugi atas pemanfaatan tanah sengketa kepada Penggugat untuk membayar uang sewa yang dihitung sejak terbitnya sertifikat Hak milik atas nama Penggugat yaitu sejak Tahun 2001 hingga saat putusan ini dijatuhkan yang lamanya jika dihitung adalah selama 11 tahun, dan jika nilai harga sewa tanah tersebut setiap tahunnya Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) maka adalah patut jika Tergugat dihukum untuk membayar ganti rugi atas sewa tanah yang seyogianya dapat diperoleh oleh Penggugat sebesar Rp. 20.000.000 x 11 = Rp. 220.000.000,- (dua ratus dua puluh juta rupiah);
“Menimbang, bahwa permintaan Penggugat yang mohon agar Tergugat dihukum untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) setiap hari, apabila Tergugat lalai untuk menjalankan keputusan Hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, oleh karena salah satu amar putusan Pengadilan Tinggi adalah untuk membayar sejumlah uang yang eksekusinya terbilang sulit maka permohonan tersebut menjadi relevan ntuk dikabulkan;
“Menimbang, bahwa dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut diatas gugatan Penggugat / Pembanding akan dikabulkan sebahagian sehingga dengan demikian maka putusan Pengadilan Negeri Medan, tanggal. 29 Nopember 2010 Nomor : 128/Pdt.G/2010/PN-Mdn, sepanjang mengenai pokok perkara, tidak dapat dipertahankan lagi, karenanya haruslah dibatalkan dan selanjutnya Pengadilan Tinggi akan mengadili sendiri sebagaimana disebut dalam amar putusan dibawah ini:
M E N G A D I L I :
- Menerima permohonan Banding dari Kuasa Penggugat/Pembanding ;
- Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Medan tanggal 29 Nopember 2010 Nomor : 128/Pdt.G/2010/PN-Mdn, yang dimohonkan Banding tersebut ;
MENGADILI SENDIRI :
DALAM KONPENSI :
DALAM POKOK PERKARA :
- Mengabulkan gugatan Penggugat / Pembanding sebahagian ;
- Menyatakan demi hukum tanah seluas ± 83 m2 (delapan puluh tiga meter persegi) yang terletak di Jalan Pandu No.2-A (d/h. Jalan Maungsarkoro No.2-A) Kelurahan Pasar Baru, Kecamatan Medan Kota, Kota Medan dengan batas-batas sebagai berikut : ... adalah milik Penggugat, berdasarkan Sertifikat Hak Milik No.689/Pasar Baru,tanggal 07 September 2001 yang dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Kota Medan;
- Menghukum Tergugat/Terbanding untuk membayar ganti rugi atas pemanfaatan tanah milik Penggugat / Pembanding kepada Penggugat / Pembanding sebesar Rp. 220.000.000.- (dua ratus dua puluh juta rupiah);
- Menghukum Tergugat/Terbanding untuk membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp. 500.000,- (lima ratus ribu rupiah) perbulan kepada Penggugat/Pembanding atas setiap kelalaian untuk mematuhi isi putusan ini setelah mempunyai kekuatan hukum tetap;
- Menolak gugatan Penggugat / Pembanding untuk selebihnya.”
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.