LEGAL
OPINION
Question: Apa yang menjadi aturan hukum outsourcing maupun kegiatan pemborongan
usaha di Indonesia semisal bermitra dengan perusahaan pengemasan, distribusi,
pemasaran, dsb?
Brief Answer: Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada
perusahaan lain dapat dilakukan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau
perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh. Keduanya, baik pemborongan maupun
alih daya tenaga kerja, dikategorikan sebagai outsourcing. Saat ini terdapat dua regulasi induk yang mengatur
perihal alih daya tenaga kerja, namun terdapat beberapa kontradiksi antar
kedunya sebagaimana dibahas di bawah ini.
PEMBAHASAN:
UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2003
TENTANG
KETENAGAKERJAAN
Pasal
66
(1) Pekerja/buruh dari
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja
untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi, kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan
yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
(2) Penyedia jasa pekerja/buruh
untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung
dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh;
b. perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana
dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang
memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 dan/atau perjanjian
kerja waktu tidak tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh
kedua belah pihak;
c. perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh; dan
d. perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan
perusahaan lain yang bertindak sebagai perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal-pasal sebagaimana dimaksud dalam
undang-undang ini.
(3) Penyedia jasa pekerja/buruh
merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
(4) Dalam hal ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d
serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara
pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi
hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Penjelasan Resmi Pasal 66
Ayat (1): Pada pekerjaan yang
berhubungan dengan kegiatan usaha pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung
dengan proses produksi, pengusaha hanya diperbolehkan mempekerjakan
pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tertentu dan/atau perjanjian kerja
waktu tidak tertentu. Yang dimaksud kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang
tidak berhubungan langsung dengan proses produksi adalah kegiatan yang
berhubungan di luar usaha pokok (core business) suatu perusahaan. Kegiatan
tersebut antara lain: usaha pelayanan kebersihan (cleaning service), usaha
penyediaan makanan bagi pekerja/buruh catering, usaha tenaga pengaman (security/satuan
pengamanan), usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan, serta usaha
penyediaan angkutan pekerja/buruh.
Ayat (2) Huruf c: Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat
kerja maupun penyelesaian perselisihan antara penyedia jasa tenaga kerja dengan
pekerja/buruh harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pekerja/buruh
yang bekerja pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh memperoleh hak (yang
sama) sesuai dengan perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama atas perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta
perselisihan yang timbul dengan pekerja/buruh lainnya di perusahaan pengguna
jasa pekerja/buruh.
[ Note SHIETRA &
PARTNERS: Rumusan Penjelasan Resmi Pasal 66 Ayat (1) UU No. 13/2003 telah
cukup logis dengan mencantumkan frasa “antara
lain”, oleh sebab Pasal 66 Ayat (2) telah memberi rambu-rambu atau
batasan dengan rumusan norma: “Penyedia
jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai
berikut: ...” ]
PERATURAN MENTERI TENAGA
KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 2012
TENTANG
SYARAT-SYARAT PENYERAHAN SEBAGIAN PELAKSANAAN PEKERJAAN
KEPADA PERUSAHAAN LAIN
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan :
1. Perusahaan pemberi
pekerjaan adalah perusahaan yang menyerahkan sebagian pelaksanaan
pekerjaannya kepada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh.
2. Perusahaan penerima
pemborongan adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum yang memenuhi
syarat untuk menerima pelaksanaan sebagian pekerjaan dari perusahaan pemberi
pekerjaan.
3. Perusahaan penyedia jasa
pekerja/buruh adalah perusahaan yang berbentuk badan hukum Perseroan
Terbatas (PT) yang memenuhi syarat untuk melaksanakan kegiatan jasa penunjang
perusahaan pemberi pekerjaan.
4. Perjanjian pemborongan
pekerjaan adalah perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan
perusahaan penerima pemborongan yang memuat hak dan kewajiban para pihak.
5. Perjanjian penyediaan
jasa pekerja/buruh adalah perjanjian antara perusahaan pemberi pekerjaan
dengan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang memuat hak dan kewajiban
para pihak.
6. Pekerja/buruh adalah
setiap orang yang bekerja pada perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh yang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
7. Perjanjian kerja
adalah perjanjian antara perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh di perusahaan penerima
pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang memuat hak dan
kewajiban masing-masing pihak.
8. Menteri adalah
Menteri yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 2
Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dapat dilakukan
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau perjanjian penyediaan jasa
pekerja/buruh.
Pasal 3
(1) Perusahaan pemberi
pekerjaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
penerima pemborongan.
(2) Pekerjaan yang dapat
diserahkan kepada perusahaan penerima pemborongan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memenuhi syarat sebagai berikut:
a. dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama baik manajemen maupun
kegiatan pelaksanaan pekerjaan;
b. dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan,
dimaksudkan untuk memberi penjelasan tentang cara melaksanakan pekerjaan agar
sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan;
c. merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan, artinya
kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang mendukung dan memperlancar
pelaksanaan kegiatan utama sesuai dengan alur kegiatan proses pelaksanaan
pekerjaan yang ditetapkan oleh asosiasi sektor usaha yang dibentuk sesuai
peraturan perundang-undangan; dan
d. tidak menghambat proses produksi secara langsung, artinya kegiatan tersebut
merupakan kegiatan tambahan yang apabila tidak dilakukan oleh perusahaan
pemberi pekerjaan, proses pelaksanaan pekerjaan tetap berjalan sebagaimana
mestinya.
Pasal 4
(1) Asosiasi sektor usaha
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2) huruf c harus membuat alur kegiatan
proses pelaksanaan pekerjaan sesuai sektor usaha masing-masing.
(2) Alur sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus menggambarkan proses pelaksanaan pekerjaan dari awal sampai
akhir serta memuat kegiatan utama dan kegiatan penunjang dengan memperhatikan
persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (2).
(3) Alur sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) dipergunakan sebagai dasar bagi perusahaan pemberi pekerjaan
dalam penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui pemborongan pekerjaan.
Pasal 5
Jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan kepada perusahaan penerima
pemborongan harus dilaporkan oleh perusahaan pemberi pekerjaan kepada
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan.
Pasal 6
Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 mengeluarkan bukti pelaporan jenis pekerjaan penunjang
yang akan diserahkan melalui pemborongan pekerjaan paling lambat 1 (satu)
minggu sejak pelaporan dilaksanakan oleh perusahaan pemberi pekerjaan.
Pasal 7
(1) Perusahaan pemberi
pekerjaan dilarang menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
penerima pemborongan apabila belum memiliki bukti pelaporan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6.
(2) Apabila perusahaan pemberi
pekerjaan menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan penerima
pemborongan sebelum memiliki bukti pelaporan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6, maka hubungan kerja antara pekerja/buruh dengan perusahaan penerima
pemborongan beralih kepada perusahaan pemberi pekerjaan.
Pasal 8
Perusahaan pemberi pekerjaan harus melaporkan secara tertulis setiap perubahan
jenis pekerjaan penunjang yang akan diserahkan melalui pemborongan pekerjaan,
kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
tempat pemborongan pekerjaan dilaksanakan dengan tetap memperhatikan proses
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5.
Pasal 9
(1) Penyerahan sebagian
pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dilaksanakan
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan secara tertulis.
(2) Perjanjian pemborongan
pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya harus memuat:
a. hak dan kewajiban masing-masing pihak;
b. menjamin terpenuhinya perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi
pekerja/buruh sesuai peraturan perundang-undangan; dan
c. memiliki tenaga kerja yang mempunyai kompetensi di bidangnya.
Pasal 10
(1) Perjanjian pemborongan
pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 harus didaftarkan oleh
perusahaan penerima pemborongan kepada instansi yang bertanggung jawab
dibidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pemborongan pekerjaan
dilaksanakan.
(2) Pendaftaran perjanjian
pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan setelah
perjanjian tersebut ditandatangani oleh perusahaan pemberi pekerjaan dengan
perusahaan penerima pemborongan, paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja
sebelum pekerjaan dilaksanakan.
Pasal 11
Dalam hal perjanjian pemborongan pekerjaan telah memenuhi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10, maka instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan menerbitkan
bukti pendaftaran paling lambat 5 (lima) hari kerja sejak berkas permohonan
pendaftaran perjanjian diterima.
Pasal 12
Perusahaan penerima pemborongan harus memenuhi persyaratan:
a. berbentuk badan hukum;
b. memiliki tanda daftar perusahaan;
c. memiliki izin usaha; dan
d. memiliki bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan.
Pasal 13
Setiap perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan wajib memuat ketentuan
yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja sebagaimana
diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 14
Perjanjian kerja dalam pemborongan pekerjaan mengatur tentang hubungan kerja
antara perusahaan penerima pemborongan dengan pekerja/buruhnya yang dibuat
secara tertulis.
Pasal 15
Hubungan
kerja antara perusahaan penerima pemborongan dengan pekerja/buruhnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dapat didasarkan atas perjanjian kerja
waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
Pasal 16
Pelaporan jenis kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan pendaftaran
perjanjian pemborongan pekerjaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 tidak
dikenakan biaya.
Pasal 17
(1) Perusahaan pemberi
pekerjaan dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh melalui perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh
yang dibuat secara tertulis.
(2) Pekerjaan yang dapat
diserahkan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus merupakan kegiatan jasa penunjang atau yang tidak
berhubungan langsung dengan proses produksi.
(3) Kegiatan jasa penunjang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) meliputi:
a. usaha pelayanan kebersihan (cleaning service);
b. usaha penyediaan makanan bagi pekerja/buruh (catering);
c. usaha tenaga pengaman (security/satuan pengamanan);
d. usaha jasa penunjang di pertambangan dan perminyakan; dan
e. usaha penyediaan angkutan bagi pekerja/buruh.
[ Note SHIETRA & PARTNERS: Penggunaan frasa “meliputi” disertai frasa “dan” yang digunakan Pasal 17 Ayat
(3) diatas, menjadkan sifat keberlakuan jasa penunjang yang dapat
dialih-dayakan menjadi limitatif lima jenis butir tersebut saja. Hal ini kontradiktif
karena menderogasi keberlakuan Pasal 66 UU No. 13/2002 yang menggunakan frasa “antara lain” sehingga masih
dimungkinkan jasa penunjang diluar kelima jenis butir usaha yang demikian
spesifik seperti diurai diatas. ]
Pasal 18
Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dilarang menyerahkan
pelaksanaan sebagian atau seluruh pekerjaan yang diperjanjikan kepada
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh lain.
Pasal 19
Perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal
17 ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. jenis pekerjaan yang akan
dilakukan oleh pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
b. penegasan bahwa perusahaan
pemberi pekerjaan bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang terus menerus
ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi penggantian perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh; dan
c. hubungan kerja antara
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh yang
dipekerjakannya berdasarkan perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau
perjanjian kerja waktu tertentu.
[ Note SHIETRA &
PARTNERS: Asli redaksional Pasal 19 Huruf (b) berbunyi: “penegasan bahwa perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh bersedia menerima pekerja/buruh dari perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh sebelumnya untuk jenis pekerjaan yang terus menerus
ada di perusahaan pemberi pekerjaan dalam hal terjadi penggantian perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh;”—Redaksional tersebut keliru, sehingga SHIETRA
& PARTNERS sesuaikan dengan kaidah yang telah diputuskan oleh Mahkamah
Konstitusi. ]
Pasal 20
(1) Perjanjian penyediaan jasa
pekerja/buruh antara perusahaan pemberi pekerjaan dengan perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh harus didaftarkan kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan.
(2) Pendaftaran perjanjian
penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak ditandatangani dengan
melampirkan:
a. izin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang masih berlaku;
dan
b. draft perjanjian kerja antara perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan
pekerja/buruh yang dipekerjakannya.
(3) Pendaftaran perjanjian
penyediaan jasa pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
dikenakan biaya.
Pasal 21
(1) Dalam hal perjanjian
penyediaan jasa pekerja/buruh telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 19 dan Pasal 20, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan dilaksanakan menerbitkan bukti pendaftaran
paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak berkas permohonan pendaftaran
perjanjian diterima.
(2) Dalam hal perjanjian
penyediaan jasa pekerja/buruh tidak sesuai dengan ketentuan sebagaimana pada
ayat (1), maka pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota dapat menolak permohonan pendaftaran dengan memberi alasan
penolakan.
Pasal 22
Perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh tidak dapat melakukan operasional pekerjaannya
sebelum mendapatkan bukti pendaftaran perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh
dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota
tempat pekerjaan dilaksanakan.
Pasal 23
(1) Dalam hal perjanjian
penyediaan jasa pekerja/buruh tidak didaftarkan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tetap melaksanakan
pekerjaan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi
mencabut izin operasional berdasarkan rekomendasi dari instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(2) Dalam hal izin operasional
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dicabut, pemenuhan hak-hak pekerja/buruh
tetap menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang
bersangkutan.
Pasal 24
Perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh harus memenuhi persyaratan:
a. berbentuk badan hukum
Perseroan Terbatas (PT) yang didirikan berdasarkan peraturan
perundang-undangan;
b. memiliki tanda daftar
perusahaan;
c. memiliki izin usaha;
d. memiliki bukti wajib lapor
ketenagakerjaan di perusahaan;
e. memiliki izin operasional;
f. mempunyai kantor dan alamat
tetap; dan
g. memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak (NPWP) atas nama perusahaan.
Pasal 25
(1) Izin operasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 huruf e diajukan permohonannya oleh
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh kepada instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan provinsi tempat pelaksanaan pekerjaan, dengan
melampirkan:
a. copy anggaran dasar yang didalamnya memuat kegiatan usaha penyediaan
jasa pekerja/buruh;
b. copy pengesahan sebagai badan hukum Perseroan Terbatas (PT);
c. copy surat ijin usaha penyediaan jasa pekerja/buruh;
d. copy tanda daftar perusahaan;
e. copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan di perusahaan;
f. copy pernyataan kepemilikan kantor atau bukti penyewaan kantor yang
ditandatangani oleh pimpinan perusahaan; dan
g. copy Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) atas nama perusahaan.
(2) Instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
menerbitkan izin operasional terhadap permohonan yang telah memenuhi
persyaratan dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak
permohonan diterima.
(3) Izin operasional
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berlaku di seluruh kabupaten/kota di
provinsi yang bersangkutan.
Pasal 26
(1) Izin operasional
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 berlaku untuk jangka waktu 3 (tiga)
tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama.
(2) Perpanjangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), diberikan berdasarkan persyaratan yang diatur dalam
Peraturan Menteri ini dan hasil evaluasi kinerja perusahaan yang dilakukan oleh
instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota.
(3) Berdasarkan hasil evaluasi
kinerja perusahaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi menyetujui atau menolak.
Pasal 27
(1) Setiap perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh wajib membuat perjanjian kerja secara tertulis
dengan pekerja/buruh.
(2) Perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicatatkan kepada instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerjaan
dilaksanakan.
(3) Dalam hal perjanjian kerja
tidak dicatatkan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), maka instansi yang
bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan provinsi mencabut izin operasional
berdasarkan rekomendasi dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan
kabupaten/kota.
(4) Pencatatan perjanjian kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak dikenakan biaya.
Pasal 28
Setiap perjanjian kerja penyediaan jasa pekerja/buruh wajib memuat
ketentuan yang menjamin terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh dalam hubungan kerja
sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
Pasal 29
(1) Hubungan kerja antara
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruhnya sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 28 dapat didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak
tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu.
(2) Dalam hal hubungan kerja
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tertentu yang objek kerjanya tetap ada
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), sekurang-kurangnya harus memuat:
a. jaminan kelangsungan bekerja;
b. jaminan terpenuhinya hak-hak pekerja/buruh sesuai dengan peraturan perundang-undangan
dan yang diperjanjikan; dan
c. jaminan perhitungan masa kerja apabila terjadi pergantian perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh untuk menetapkan upah.
(3) Hak-hak pekerja/buruh
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi:
a. hak atas cuti apabila telah memenuhi syarat masa kerja;
b. hak atas jaminan sosial;
c. hak atas tunjangan hari raya;
d. hak istirahat paling singkat 1 (satu) hari dalam 1 (satu) minggu;
e. hak menerima ganti rugi dalam hal hubungan kerja diakhiri oleh perusahaan
penyedia jasa pekerja/buruh sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir
bukan karena kesalahan pekerja;
f. hak atas penyesuaian upah yang diperhitungkan dari akumulasi
masa kerja yang telah dilalui; dan
g. hak-hak lain yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan dan/atau
perjanjian kerja sebelumnya.
Pasal 30
Dalam hal
perjanjian kerja waktu tertentu tidak memuat ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 28 dan Pasal 29, maka hubungan kerja antara perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh dengan pekerja/buruh berubah menjadi hubungan kerja yang
didasarkan atas perjanjian kerja waktu tidak tertentu sejak ditandatanganinya
perjanjian kerja yang tidak memenuhi persyaratan.
Pasal 31
Dalam hal pekerja/buruh tidak memperoleh jaminan kelangsungan bekerja, maka
pekerja/buruh dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
Pasal 32
(1) Dalam hal perusahaan
pemberi pekerjaan tidak melanjutkan perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh
dan mengalihkan pekerjaan penyediaan jasa pekerja/buruh kepada perusahaan penyedia
jasa pekerja/buruh yang baru, maka perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang
baru, harus melanjutkan perjanjian kerja yang telah ada sebelumnya tanpa mengurangi
ketentuan yang ada dalam perjanjian kerja yang telah disepakati.
(2) Dalam hal terjadi
pengalihan pekerjaan kepada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang baru
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka masa kerja yang telah dilalui para
pekerja/buruh pada perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh yang lama harus tetap
dianggap ada dan diperhitungkan oleh perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
yang baru.
Pasal 33
Pengawasan pelaksanaan peraturan ini dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan.
Pasal 34
(1) Setiap perusahaan pemberi
pekerjaan, perusahaan penerima pemborongan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri ini paling lama 12
(dua belas) bulan sejak diundangkannya Peraturan Menteri ini.
(2) Dalam hal perusahaan
penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
tidak menyesuaikan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka
perusahaan penerima pemborongan pekerjaan atau perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh
tetap bertanggung jawab terhadap hak-hak pekerja/buruh sesuai perjanjian kerja.
Pasal 35
Pada saat Peraturan Menteri ini mulai berlaku, Keputusan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor KEP.101/MEN/VI/2004 tentang Tata Cara Perijinan
Penyediaan Jasa Pekerja/buruh dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP.220/MEN/X/2004 tentang Syarat-syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan Kepada Perusahaan Lain, dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Pasal 36
Peraturan Menteri ini mulai
berlaku pada tanggal diundangkan.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.