ARTIKEL HUKUM
Belakangan ini fenomena klien yang mencoba menipu dan memperdaya konsultan
hukumnya sendiri kian marak. Penulis secara pribadi dalam bulan ini mencetak
rekor tertipu klien dalam skala masif. Hendak dilayani secara profesional,
namun klien selalu memakai alasan-alasan seccara tidak profesional untuk
menghindar dari kewajibannya membayar fee atas jasa profesional konsultasi
hukum yang SHIETRA & PARTNERS sediakan.
Artikel ini menjadi salah satu kajian sosiologi hukum yang menarik,
dimana kita akan melihat bagaimana budaya hukum bangsa Indonesia masih jauh
dari kata sehat. Bagaimana mungkin seorang konsultan hukum akan diharapkan
menolong klien yang mana sang klien justru berusaha menipu konsultan hukumnya
sendiri?
Baru-baru ini seorang klien, yang menjadi debitor dari satu Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) di Bali, meminta layanan jasa hukum SHIETRA &
PARTNERS, dengan alasan agunannya digelapkan oleh kreditornya tersebut dengan
menyamarkan letak de facto agunan yang
akan dilelang eksekusi mengingat pemohon lelang eksekusi sendiri yang
mengadakan pengumuman lelang eksekusi, bukan kantor lelang negara (inilah celah hukum lelang eksekusi hak tanggungan),
dengan tujuan agar tiada peminat lelang lain selain afiliasi kreditor itu
sendiri sehingga tiada kompetitor yang mana bertujuan membuat harga terjual lelang
terpatok rendah pada nilai likuidasi.
SHIETRA & PARTNERS yang memberikan jasa layanan hukum pada klien yang
merupakan debitor tersebut, menunggak fee konsultasi, namun terus meminta
pelayanan dengan alasan belum mampu membayar jasa fee konsultasi meski telah
dipatok amat sangat murah dimana objek agunan senilai empat miliar rupiah namun
klien keberatan dibebani fee konsultasi yang hanya hitungan beberapa juta
rupiah.
Alhasil, waktu kami tersita untuk klien satu ini, yang terjadi, klien ini
terus-menerus meminta dilayani, sementara tagihan telah membengkak. SHIETRA
& PARTNERS terpaksa harus memutus hubungan kerjasama dan memilih mundur sebagai
konsultan hukum privat baginya.
Yang terjadi kemudian, ialah fakta bahwa adanya semacam fenomena unik di
tengah masyarakat Indonesia, seseorang atau bahkan korporasi yang diberikan
kebaikan hati, akan meminta lebih dari itu. Alhasil, mantan klien tersebut
meminta lagi dilayani, namun dengan iming-iming janji akan melunasi tunggakan,
dengan alasan sedang kesulitan ekonomi, meminta agar waktu SHIETRA &
PARTNERS tersita kembali untuknya.
Sebagai penyedia jasa hukum profesional, SHIETRA & PARTNERS memiliki limitasi
bantuan hukum terhadap klien yang telah menunggak sejumlah besar fee. Dan untuk
menghadapi sikap “mental miskin” klien yang sejatinya telah mendapat kucuran
dana sejumlah 2,5 miliar rupiah serta nilai objek agunan senilai 4 miliar
rupiah, kami katakan secara tegas bahwa sang klien telah menipu SHIETRA &
PARTNERS.
Klien tersebut terus saja berkilah, dan hebatnya memakai 1001 alasan. Setiap
konsultan hukum pastilah telah banyak makan asam garam menghadapi dusta klien
yang mencoba untuk menghindari kewajiban dan terus-menerus membohongi
konsultannya sendiri.
Pada akhirnya, dengan terpaksa kami sampaikan kalimat berikut: “Jika Anda
memang tidak bermaksud berbohong, hendak membayar fee, bersikap profesional, dan
tidak hendak menipu kami, lantas apa namanya meminta diberikan jasa konsultasi
hukum kembali dan menyatakan siap membayar sementara tagihan konsultasi
sebelumnya telah menggunung dan hingga kini belum dilunasi?”
Jika tak mau terbelit masalah dengan kreditor nakal yang mencoba
menggelapkan agunan, jangan meminjam kredit. Jika tak mau ada resiko agunan
dilelang eksekusi, jangan menggagunkan aset pribadi. Jika tak mau tertipu,
jangan lalai dan jangan acuh tak acuh untuk bersikap cerdas.
Sebagian besar klien yang meminta jasa SHIETRA & PARTNERS, bersumber
masalah dari perbuatan ataupun kelalaian mereka sendiri. Jika sudah demikian,
terbakar karena diri mereka sendiri yang bermain api, kewajiban dari mana bagi
kami untuk menjadi “pemadam kebakaran”? Permasalahan hukum tersebut merupakan urusan dan masalah mereka sendiri. Konsultan hukum baru memiliki kewajiban ketika ia memiliki kontraprestasi berupa hak atas fee. Setiap profesi menggunakan prinsip resiprositas yang sama: take and give.
Karena konsultasi hukum adalah bidang usaha kami, dimana pada profesi
inilah kami mencari penghasilan untuk memberi nafkah diri dan keluarga,
pantaskan kami dituntut untuk melayani mereka yang “terbakar karena bermain api
sendiri”? Mereka seyogianya harus “membayar mahal” akibat perbuatan atau
kelalaian mereka sendiri.
Dari fakta yang penulis alami dan dari berbagai pengalaman setelah selama
tiga tahun lamanya menekuni bidang konsultasi hukum, sebagai seorang konsultan
tentunya telah mengetahui benar watak klien. Tidak sanggup membayar fee bukan
karena tidak mampu, namun karena mental kikir dan tamak. Itu fakta yang penulis
temui di lapangan.
Baru-baru ini salah satu klien penulis, sebuah perusahaan penipu berkedok rekruitmen tenaga kerja bernama PT. Auditsi Utama dan PT. Metro Pacific yang sanggup
menyewa unit ruang kantor di pusat bisnis Jakarta dengan tarif sewa sebesar dua
ratus juta per tahun, tidak bersedia membayar jasa layanan hukum yang SHIETRA
& PARTNERS berikan dengan tarif yang sangat murah meriah, berupa pembuatan draf surat Permohonan Audit
Investigasi ke Pengadilan Negeri Jakarta selatan.
Draf surat tersebut penulis rancang dan bangun dengan menghabiskan hampir
dua ratus jam kerja untuk riset dan penelitian data hingga presentasi. Namun menyedihkan, waktu
yang habis untuk riset dan pengetikan sama sekali tidak dihitung sebagai
komponen fee, sementara hingga draf tersebut dinyatakan finish dan dipergunakan
klien sekalipun, fee yang hitungannya tak seberapa tak kunjung diberikan. Bahkan terus meminta pelayanan demi pelayanan dengan perintah yang tidak manusiawi.
SHIETRA & PARTNERS mencoba menagih, namun seribu satu alasan yang
didapat. Mereka tanpa tahu malu justru meminta pelayanan lainnya lebih banyak
lagi. Bukan karena mereka tak sanggup membayar, namun karena sikap tamak itu
sendiri yang menjadi masalah serta tabiat utama klien semacam ini: tidak mengenal kata "malu".
Merasa menggugat klien semacam itu akan lebih banyak mudarat ketimbang
waktu dan tenaga yang terbuang percuma, maka SHIETRA & PARTNERS serahkan
kepada hukum karma untuk melakukan eksekusi.
Pernah juga, suatu kali klien menolak membayar fee yang nilainya cukup lumayan, yang mana fee
tersebut barulah dibayarkan setelah SHIETRA & PARTNERS melayangkan somasi
gugatan bila fee tak kunjung ditunaikan.
Ada juga klien perorangan yang tidak melunasi fee dengan alasan baru saja
mengundurkan diri dari pekerjaan. Memang itu urusan penulis? Penulis telah
memberi pelayanan jasa secara profesional, sehingga semestinya klien pun
bersikap profesional. Namun sifat kemanusiaan tidak dapat lepas dari karakter jiwa
/ spirit SHIETRA & PARTNERS. Sisa fee direlakan begitu saja.
Pada dasarnya selama ini SHIETRA & PARTNERS memberi dua jenis
pelayanan jasa hukum, yakni konsultasi secara online via internet seperti email, chatting via aplikasi online, sambungan telepon, dan juga secara tatap muka. Hubungan kerja sama layanan konsultasi
secara tatap muka tak menjamin kejujuran klien terhadap konsultannya. Hubungan kerja
sama via email maupun telepon dengan kami, dimana SHIETRA & PARTNERS bahkan
belum pernah berjumpa dengan calon klien, toh tetap ada terdapat klien yang loyal
dan jujur, meski minoritas.
Tak selamanya pemberian jasa hukum secara profesional akan dihargai
dengan sikap profesional pula oleh klien.
Namun juga, dari pengamatan penulis secara pribadi, bila memang mental
klien yang bermasalah, diberikan bantuan hukum hanya akan menolong secara
temporer, karena memang mental klien itu sendiri yang bermasalah, termasuk
mental kikir dan manipulatif yang paling ditakutkan para konsultan hukum. Selama akar masalah terdapat pada diri sang klien, maka hanya mengatasi gejala dan komplikasi tidak akan menyelesaikan masalah hukum secara tuntas.
Jadi, keliru bila para pembaca memiliki persepsi bahwa kalangan profesi
konsultan hukum adalah para mafia dunia hitam. Klien yang tidak memiliki latar
belakang hukum bisa jauh lebih nakal dan lebih hitam dari kalangan sarjana
hukum.
Siapa bermain api, ia harus siap untuk terbakar. Dan jika sudah terbakar,
ia hanya berhak untuk menyalahkan dirinya sendiri. Ini merupakan falsafah dasar
kehidupan, disamping juga sebagai falsafah dasar hukum di semua negara.
Bila hendak dilayani secara profesional, disamping konsultan yang
profesional, klien pun harus mampu bersikap profesional. Take and give secara berimbang. Inilah secuplik kisah ringan bagaimana
klien yang justru telah mencuri hak konsultan hukumnya sendiri.
Sebagai penutup, pernahkah Anda mendengar rumor bahwa kalangan sarjana
hukum bisa sangat bias, dalam arti bisa jadi memihak pihak lawan disaat
bersamaan membela kliennya?
Dari pengalaman pribadi penulis, tak selamanya hubungan klien dan sarjana
hukum berlangsung linear demikian. Bisa jadi, dan sering terjadi, klien yang
telah menipu pemberi jasa hukum mengakibatkan “desersi”, dan inilah cost terbesar yang tidak pernah mau
dipikirkan klien yang berpikiran pendek.
Sebagian besar karya dalam publikasi SHIETRA & PARTNERS adalah hasil kerja keras SHIETRA & PARTNERS yang mana klien justru tidak membayar fee sebagaimana mestinya, tidak melunasi sisa fee, atau bahkan "hit and run". Salah satunya ialah Surat Permohonan Audit Investigasi setebal 40 halaman yang juga dapat para pembaca akses dan lihat dalam publikasi SHIETRA & PARTNERS ini karena sengaja kami publikasikan akibat wanprestasinya klien.
Namun setiap publikasi ini telah penulis lindungi dengan Hak Cipta, sehingga bila SHIETRA & PARTNERS ketahui adanya plagiat, ancaman pemidanaan berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta akan kami terapkan secara tegas dan keras. Menghargai orang lain lewat menghormati jirih-payah keringatnya.
Namun setiap publikasi ini telah penulis lindungi dengan Hak Cipta, sehingga bila SHIETRA & PARTNERS ketahui adanya plagiat, ancaman pemidanaan berdasarkan Undang-Undang Hak Cipta akan kami terapkan secara tegas dan keras. Menghargai orang lain lewat menghormati jirih-payah keringatnya.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR
dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi
Hery Shietra selaku Penulis.