LEGAL OPINION
Question: Benarkah telah terbit peraturan yang menyatakan tenaga kerja asing yang menduduki posisi direksi atau komisaris suatu perseroan terbatas di Indonesia, namun bertempat tinggal tetap di luar negeri, tidak lagi diwajibkan memiliki IMTA?
Brief Answer: Secara leterlijk, kini pengguna jasa Tenaga Kerja Asing yang menduduki jabatan anggota Direksi maupun anggota Dewan Komisaris yang berdomisili di luar negeri tidak lagi diwajibkan memiliki IMTA. Namun timbul problema baru, bagaimana jika Direksi atau Komisaris Warga Negara Asing (WNA) tersebut acapkali datang bekerja di teritori Indonesia namun bertempat tinggal tetap di luar negeri? Permasalahan baru justru lahir oleh ketentuan tersebut. Meski agak mengherankan pula bila jabatan Direksi maupun Komisaris dikategorikan sebagai pekerja atau tenaga kerja. Jabatan berbeda dengan pegawai, seperti seorang gubernur tidak harus seorang pegawai negeri sipil karir.
PEMBAHASAN :
Pasal 37 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015 tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing, mengatur dengan bunyi ketentuan sebagai berikut:
1. Setiap pemberi Kerja Tenaga Kerja Asing wajib memiliki IMTA yang diterbitkan oleh Direktur Pengendalian Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
2. Tenaga Kerja Asing yang menduduki jabatan anggota Direksi, anggota Dewan Komisaris atau anggota Pembina, anggota Pengurus, anggota Pengawas yang berdomisili di luar negeri tidak wajib memiliki IMTA.
3. Kewajiban memiliki IMTA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi perwakilan negara asing yang mempergunakan Tenaga Kerja Asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler.
Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) ialah izin tertulis yang diberikan oleh Menteri atau Pejabat yang ditunjuk kepada pemberi kerja Tenaga Kerja Asing.
Sementara yang dimaksud dengan “Tenaga Kerja Asing” merujuk pada ketentuan definisi dalam Pasal 1 Ayat (1) Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 16 Tahun 2015, ialah: “warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah indonesia.”
Jika yang dimaksud dengan “Tenaga Kerja Asing” ialah dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia dan merupakan pemegang visa kerja, maka mengapa justru tidak wajib mengantongi IMTA?
Bagaimana dengan Direksi yang mengontrol jalannya perseroan cukup dari luar negeri tanpa pernah hadir di teritori Indonesia, seperti menggenakan teleconference? Bukankah menjadi mubazir memiliki visa kerja di Indonesia?
Untuk apa juga menjadi Komisaris tapi tidak mengawasi langsung jalannya perseroan? Apakah mungkin menjalankan peran sebagai seorang komisaris namun secara nyatanya tidak pernah mengawasi langsung jalannya perseroan di lapangan? Komisaris yang tidak pernah muncul di Indonesia, adalah bentuk penyelundupan hukum, karena hukum perseroan di Indonesia mewajibkan adanya organ perseroan bernama Komisaris. Bisa jadi pejabat Dewan Komisaris tersebut hanya sekadar pinjam nama belaka.
Mungkin benar yang dikatakan beberapa kalangan, bahwasannya hukum ketenagakerjaan adalah segmen hukum paling berliku, disamping karena berbagai pasal dalam undang-undang tentang ketenagakerjaan yang telah dipereteli sehingga tidak jelas lagi rupa utuhnya, kompleksitas dan unsur kepentingan serta politis dibaliknya serumit dan sekompleks hukum perpajakan, hukum pertanahan, dan hukum pasar modal.
Namun penulis selalu meyakini, asal ada kemauan politik pemegang kekuasaan, maka tiada yang mustahil membentuk dan menerapkan hukum yang sehat serta positif bagi mereka yang paling membutuhkan.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.