Kupas Tuntas Peraturan Pemerintah Tahun 2015 tentang Pengupahan

LEGAL OPINION
Question: Mengapa Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan (PP 78 Tahun 2015) menjadi demikian kontroversif di tengah masyarakat?
Answer: Terdapat berbagai pengaturan yang bersifat substansif yang hanya dapat diatur oleh sebuah undang-undang, namun pihak pemerintah melalui kepala lembaga eksekutif telah mengambil alih peran lembaga legislatif dengan menerbitkan PP 78 Tahun 2015 yang mana tidak memiliki legitimasi oleh karena substansinya yang memiliki sifat dampak massal dan primair bagi kehidupan masyarakat sehingga pengaturan dalam sebuah peraturan pemerintah tidaklah sahih, disamping tiada keterlibatan lembaga legistatif selaku wakil rakyat, dan PP 78 Tahun 2015 tersebut mengatur berbagai norma baru tanpa adanya legitimasi undang-undang sebagai payung hukumnya, bukan sebagai peraturan pelaksana dari suatu pengaturan tertentu yang diamanatkan oleh undang-undang.
PEMBAHASAN :
Terdapat antinomi sudut pandang mengenai upah/gaji. Disamping menjadi isu strategis penyusun kebijakan, isu mengenai upah/gaji juga merupakan isu sensitif dalam hubungan kerja, sehingga tidak sepatutnya dituangkan sebagai kaedah atau norma hukum baru dalam sebuah peraturan pemerintah, isu sensitif serta strategis hanya memiliki validitas bila diatur bersama antara lembaga eksekutif bersama dengan lembaga legislatif, dalam bentuk undang-undang alih-alih peraturan pemerintah.
Masing-masing pihak melihat isu mengenai upah dengan sudut pandang berbeda, itu suatu postulat yang tidak dipungkiri dalam praktik. Pekerja mempersepsikan upah sebagai sumber penghasilan menghidupi keluarganya, sementara pihak pemberi kerja dapat melihat upah dengan sudut pandang sebagai “biaya produksi” atau sebagai “penghargaan terhadap karyawan yang menjadi aset atau mitra dari pengusaha”.
Bagaimana dengan sudut pandang pihak pemerintah terhadap isu mengenai “upah”? PP 78 Tahun 2015 menyebutkan bahwa upah adalah faktor yang menjamin kelayakan hidup pihak pekerja dan keluarganya. Sementara itu SHIETRA & PARTNERS menilai, pihak pemerintah belum sampai pada cara pikir bahwa komponen upah ialah faktor penggerak roda ekonomi suatu negara. Dalam arti, dengan kecondongan pemerintah memihak pengusaha, maka disadari hal tersebut akan berdampak terhadap roda perekonomian mikro maupun makro negaranya. Begitu pun sebaliknya. Cara pandang tersebut belum dicapai oleh pihak regulator penyusun peraturan pemerintah ini.
Peraturan ini berlaku bagi setiap pemberi kerja, baik perorangan, berupa badan usaha, maupun berupa badan hukum. Sementara yang menjadi dasar pengupahan ialah adanya suatu “Hubungan Kerja” (hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, baik tertulis maupun tidak tertulis,) Oleh karenanya Hak Pekerja/Buruh atas Upah timbul pada saat terjadi Hubungan Kerja antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha dan berakhir pada saat putusnya Hubungan Kerja.
Pasal 5 mengatur:
(1) Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a terdiri atas komponen:
a. Upah tanpa tunjangan;
b. Upah pokok dan tunjangan tetap; atau
c. Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap.
(2) Dalam hal komponen Upah terdiri dari Upah pokok dan tunjangan tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, besarnya Upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Upah pokok dan tunjangan tetap.
(3) Dalam hal komponen Upah terdiri dari Upah pokok, tunjangan tetap, dan tunjangan tidak tetap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, besarnya Upah pokok paling sedikit 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah Upah pokok dan tunjangan tetap.
(4) Upah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
"Upah pokok" adalah imbalan dasar yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh menurut tingkat atau jenis pekerjaan yang besarnya ditetapkan berdasarkan kesepakatan. Sementara "tunjangan tetap" adalah pembayaran kepada Pekerja/Buruh yang dilakukan secara teratur dan tidak dikaitkan dengan kehadiran Pekerja/Buruh atau pencapaian prestasi kerja tertentu. Namun yang dimaksud dengan "tunjangan tidak tetap" adalah suatu pembayaran yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan Pekerja/Buruh, yang diberikan secara tidak tetap untuk Pekerja/Buruh dan keluarganya serta dibayarkan menurut satuan waktu yang tidak sama dengan waktu pembayaran Upah pokok, seperti tunjangan transport dan/atau tunjangan makan yang didasarkan pada kehadiran.
Pasal 6 menyebutkan, pendapatan non Upah berupa tunjangan hari raya keagamaan, dimana selain tunjangan hari raya keagamaan, Pengusaha dapat memberikan pendapatan non Upah berupa:
a. bonus;
b. uang pengganti fasilitas kerja; dan/atau
c. uang servis pada usaha tertentu.
Yang dimaksud dengan "fasilitas kerja" adalah sarana/peralatan yang disediakan oleh Perusahaan bagi jabatan atau pekerjaan tertentu atau seluruh Pekerja/Buruh untuk menunjang pelaksanaan pekerjaan. Contoh: Fasilitas kendaraan, kendaraan antar jemput Pekerja/Buruh, dan/atau pemberian makan secara cuma-cuma.
Pasal 11 mengatur, setiap Pekerja/Buruh berhak memperoleh Upah yang sama untuk pekerjaan yang sama nilainya. Yang dimaksud dengan "pekerjaan yang sama nilainya" adalah pekerjaan yang bobotnya sama diukur dari kompetensi, risiko kerja, dan tanggung jawab dalam satu Perusahaan.
Pasal 12 menjadi dasar hukum bagi praktik hubungan kerja pemborongan yang selama ini belum memiliki pengaturan hukum tertulis, sebagaimana diatur: Upah ditetapkan berdasarkan:
a. satuan waktu; dan/atau
b. satuan hasil.
Upah berdasarkan satuan waktu ditetapkan secara harian, mingguan, atau bulanan. Dalam hal Upah ditetapkan secara harian, perhitungan Upah sehari sebagai berikut:
a. bagi Perusahaan dengan sistem waktu kerja 6 (enam) hari dalam seminggu, Upah sebulan dibagi 25 (dua puluh lima); atau
b. bagi Perusahaan dengan sistem waktu kerja 5 (lima) hari dalam seminggu, Upah sebulan dibagi 21 (dua puluh satu).
Penetapan besarnya Upah berdasarkan satuan waktu dilakukan dengan berpedoman pada struktur dan skala Upah, yang wajib disusun oleh Pengusaha dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi. Struktur dan skala Upah tersebut wajib diberitahukan kepada seluruh Pekerja/Buruh, serta harus dilampirkan oleh Perusahaan pada saat permohonan:
a. pengesahan dan pembaruan Peraturan Perusahaan; atau
b. pendaftaran, perpanjangan, dan pembaruan Perjanjian Kerja Bersama.
Upah berdasarkan satuan hasil ditetapkan sesuai dengan hasil pekerjaan yang telah disepakati, serta dilakukan oleh Pengusaha berdasarkan hasil kesepakatan antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha.
Penetapan Upah sebulan berdasarkan satuan hasil, untuk pemenuhan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan ditetapkan berdasarkan Upah rata-rata 3 (tiga) bulan terakhir yang diterima oleh Pekerja/Buruh. Yang dimaksud dengan "pemenuhan pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah pemenuhan kewajiban Pengusaha kepada Pekerja/Buruh antara lain tunjangan hari raya keagamaan, Upah lembur, uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, Upah karena sakit, iuran dan manfaat jaminan sosial. Dengan kata lain, penerima Upah berdasarkan satuan hasil bukanlah freelance, bukan pula dipandang sebagai outsource maupun mitra. Fenomena bisnis trasportasi via online seperti ojek online maupun taksi online, meski berjudul kemitraan, namun berdasarkan PP No.78 Tahun 2015 ini dikategorikan sebagai Pekerja/Buruh berdasarkan satuan hasil. Dengan demikian pihak penyelenggara bisnis online memikul beban vicarious liability terhadap mitra-mitra-nya dalam memberikan pelayanan transportasi bagi masyarakat umum.
PP No.78 tahun 2015 menyebutkan, struktur dan skala Upah antara lain dimaksudkan salah satunya untuk menjamin kepastian Upah dan mengurangi kesenjangan antara Upah terendah dan tertinggi.
Pasal 17 mengatur: Upah wajib dibayarkan kepada Pekerja/Buruh yang bersangkutan, dan Pengusaha wajib memberikan bukti pembayaran Upah yang memuat rincian Upah yang diterima oleh Pekerja/Buruh pada saat Upah dibayarkan. Upah dapat dibayarkan kepada pihak ketiga dengan surat kuasa dari Pekerja/Buruh yang bersangkutan, dengan catatan bahwa surat kuasa tersebut hanya berlaku untuk 1 (satu) kali pembayaran Upah.
Sementara itu Pasal 19 mengatur, pembayaran Upah oleh Pengusaha dilakukan dalam jangka waktu paling cepat seminggu 1 (satu) kali atau paling lambat sebulan 1 (satu) kali kecuali bila Perjanjian Kerja untuk waktu kurang dari satu minggu.
Pasal 20: Upah Pekerja/Buruh harus dibayarkan seluruhnya pada setiap periode dan per tanggal pembayaran Upah.” Maka adalah bertentangan dengan hukum ketika terdapat praktik pengusaha yang baru membayar uang makan, sebagai contoh, satu tahun setelah karyawan bekerja.
Pasal 21 Ayat (1): Pembayaran Upah harus dilakukan dengan mata uang rupiah Negara Republik Indonesia.
Pasal 24 mengatur, Upah tidak dibayar apabila Pekerja/Buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan. Namun, Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan tetap dibayar Upahnya bila terdapat alasan:
a. berhalangan;
b. melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya; atau
c. menjalankan hak waktu istirahat kerjanya.
Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena berhalangan meliputi:
a. Pekerja/Buruh sakit sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan;
b. Pekerja/Buruh perempuan yang sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya sehingga tidak dapat melakukan pekerjaan; dan
c. Pekerja/Buruh tidak masuk bekerja karena:
1) menikah;
2) menikahkan anaknya;
3) mengkhitankan anaknya;
4) membaptiskan anaknya;
5) isteri melahirkan atau keguguran kandungan;
6) suami, isteri, orang tua, mertua, anak, dan/atau menantu meninggal dunia; atau
7) anggota keluarga selain sebagaimana dimaksud pada angka 6) yang tinggal dalam satu rumah meninggal dunia.
Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melakukan kegiatan lain di luar pekerjaannya, meliputi:
a. menjalankan kewajiban terhadap negara;
b. menjalankan kewajiban ibadah yang diperintahkan agamanya;
c. melaksanakan tugas serikat pekerja/serikat buruh atas persetujuan Pengusaha dan dapat dibuktikan dengan adanya pemberitahuan tertulis; atau
d. melaksanakan tugas pendidikan dari Perusahaan.
Alasan Pekerja/Buruh tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya apabila Pekerja/Buruh melaksanakan:
a. hak istirahat mingguan;
b. cuti tahunan;
c. istirahat panjang;
d. cuti sebelum dan sesudah melahirkan; atau
e. cuti keguguran kandungan.
Pasal 25 mengatur, Pengusaha wajib membayar Upah apabila Pekerja/Buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi Pengusaha tidak mempekerjakannya, karena kesalahan sendiri atau kendala yang seharusnya dapat dihindari Pengusaha. Yang dimaksud dengan "Pekerja/Buruh bersedia melakukan pekerjaan yang telah dijanjikan tetapi Pengusaha tidak mempekerjakannya" misalnya Pekerja/Buruh yang diperintahkan untuk membongkar muatan kapal akan tetapi karena sesuatu hal kapal tersebut tidak datang, maka Pengusaha harus membayar Upah Pekerja/Buruh.
Upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena sakit, sebagai berikut:
a. untuk 4 (empat) bulan pertama, dibayar 100% (seratus persen) dari Upah;
b. untuk 4 (empat) bulan kedua, dibayar 75% (tujuh puluh lima persen) dari Upah;
c. untuk 4 (empat) bulan ketiga, dibayar 50% (lima puluh persen) dari Upah; dan
d. untuk bulan selanjutnya dibayar 25% (dua puluh lima persen) dari upah sebelum Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan oleh Pengusaha.
Upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh perempuan yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena sakit pada hari pertama dan kedua masa haidnya, disesuaikan dengan jumlah hari menjalani masa sakit haidnya, paling lama 2 (dua) hari.
Upah yang dibayarkan kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan, sebagai berikut:
a. Pekerja/Buruh menikah, dibayar untuk selama 3 (tiga) hari;
b. menikahkan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
c. mengkhitankan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
d. membaptiskan anaknya, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
e. isteri melahirkan atau keguguran kandungan, dibayar untuk selama 2 (dua) hari;
f. suami, isteri, orang tua, mertua, anak, dan/atau menantu meninggal dunia, dibayar untuk selama 2 (dua) hari; atau
g. anggota keluarga selain sebagaimana dimaksud dalam huruf f yang tinggal dalam 1 (satu) rumah meninggal dunia, dibayar untuk selama 1 (satu) hari.
Pekerja/Buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara tidak melebihi 1 (satu) tahun dan penghasilan yang diberikan oleh negara kurang dari besarnya Upah yang biasa diterima Pekerja/Buruh, Pengusaha wajib membayar kekurangannya. Sementara bila Pekerja/Buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara tidak melebihi 1 (satu) tahun dan penghasilan yang diberikan oleh negara sama atau lebih besar dari Upah yang biasa diterima Pekerja/Buruh, Pengusaha tidak wajib membayar. Pekerja/Buruh yang menjalankan kewajiban terhadap negara wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pengusaha.
Sementara itu Pasal 28 mengatur, Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja atau tidak melakukan pekerjaannya karena menjalankan kewajiban ibadah yang diperintahkan oleh agamanya, sebesar Upah yang diterima oleh Pekerja/Buruh dengan ketentuan hanya sekali selama Pekerja/Buruh bekerja di Perusahaan yang bersangkutan.
Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena melaksanakan tugas pendidikan dari Perusahaan, sebesar Upah yang biasa diterima oleh Pekerja/Buruh. Pengusaha wajib membayar Upah kepada Pekerja/Buruh yang tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, sebesar Upah yang biasa diterima oleh Pekerja/Buruh.
Pasal 33 mengatur, Upah kerja lembur wajib dibayar oleh Pengusaha yang mempekerjakan Pekerja/Buruh melebihi waktu kerja atau pada istirahat mingguan atau dipekerjakan pada hari libur resmi sebagai kompensasi kepada Pekerja/Buruh yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 34:
(1) Komponen Upah yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon terdiri atas:
a. Upah pokok; dan
b. tunjangan tetap yang diberikan kepada Pekerja/Buruh dan keluarganya, termasuk harga pembelian dari catu yang diberikan kepada Pekerja/Buruh secara cuma-cuma, yang apabila catu harus dibayar Pekerja/Buruh dengan subsidi, maka sebagai Upah dianggap selisih antara harga pembelian dengan harga yang harus dibayar oleh Pekerja/Buruh.
(2) Dalam hal Pengusaha memberikan Upah tanpa tunjangan, dasar perhitungan uang pesangon dihitung dari besarnya Upah yang diterima Pekerja/Buruh.
Pasal 35: Upah untuk pembayaran pesangon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) diberikan dengan ketentuan:
a. dalam hal penghasilan Pekerja/Buruh dibayarkan atas dasar perhitungan harian, maka penghasilan sebulan adalah sama dengan 30 (tiga puluh) kali penghasilan sehari;
b. dalam hal Upah Pekerja/Buruh dibayarkan atas dasar perhitungan satuan hasil, potongan/borongan atau komisi, penghasilan sehari adalah sama dengan pendapatan rata-rata per hari selama 12 (dua belas) bulan terakhir, dengan ketentuan tidak boleh kurang dari ketentuan Upah minimum provinsi atau kabupaten/kota; atau
c. dalam hal pekerjaan tergantung pada keadaan cuaca dan Upahnya didasarkan pada Upah borongan, maka perhitungan Upah sebulan dihitung dari Upah rata-rata 12 (dua belas) bulan terakhir.
Pasal 37 menyatakan:
(1) Pengusaha yang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pernyataan pailit oleh pengadilan maka Upah dan hak-hak lainnya dari Pekerja/Buruh merupakan hutang yang didahulukan pembayarannya.
(2) Upah Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Hak-hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya setelah pembayaran para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan.
Satu hal penting yang penulis tegaskan guna meluruskan, ketentuan Pasal 37 Ayat (3) PP No.78 Tahun 2015 diatas hanya berlaku dalam konteks, bila agunan yang dipegang kreditor pemegang jaminan kebendaan tidak jatuh dalam boedel pailit berdasarkan Pasal 59 UU Kepailitan. Jika agunan jatuh dalam boedel pailit karena ditelantarkan oleh kreditor separatis, maka agunan jatuh sebagai hak pelunasan para kreditor preferen.
Pasal 38 mengatur, apabila Pekerja/Buruh jatuh pailit, Upah dan segala pembayaran yang timbul dari Hubungan Kerja tidak termasuk dalam kepailitan kecuali ditetapkan lain oleh hakim dengan ketentuan tidak melebihi 25% (dua puluh lima persen) dari Upah dan segala pembayaran yang timbul dari Hubungan Kerja yang harus dibayarkan.
Seorang Pekerja / Buruh sangat dimungkinkan akan dapat jatuh pailit yang disebabkan tidak terbayarnya hutang kepada pihak lain, baik kepada Pengusaha dan/atau orang lain. Untuk menjamin kehidupan Pekerja/ Buruh yang keseluruhan harta bendanya disita, ada jaminan untuk hidup bagi dirinya beserta keluarganya. Oleh karena itu dalam Pasal ini Upah dan pembayaran lainnya yang menjadi hak Pekerja/ Buruh tidak termasuk dalam kepailitan. Penyimpangan terhadap ketentuan Pasal ini hanya dapat dilakukan oleh hakim dengan batas sampai dengan 25% (dua puluh lima persen).
Apabila uang yang disediakan oleh Pengusaha untuk membayar Upah disita oleh juru sita berdasarkan perintah pengadilan maka penyitaan tersebut tidak boleh melebihi 20% (dua puluh persen) dari jumlah Upah yang harus dibayarkan.
Hingga sejauh ini saja kita sudah dapat menyimak dan membuat kesimpulan, bahwa substansi pengaturan dalam PP No.78 Tahun 2015 menyerupai bobot substansi sebuah undang-undang. Lembaga eksekutif adalah lembaga pelaksana ketentuan hukum, bukan lembaga pembentuk hukum layaknya parlemen bersamaa pemerintah membentuh sebuah undang-undang. Subtansi dalam PP No.78 Tahun 2015 hanya cocok diatur dalam sebuah undang-undang. Atau, dapatkah kita berkata bahwa karena abainya peran lembaga legislatif, maka demi mengisi kekosongan hukum maka pihak eksekutif melakukan intervensi regulasi dengan membentuk peraturan pemerintah ini?
Pasal 40 mengatur:
(1) Pekerja/Buruh atau kuasa yang ditunjuk secara sah berhak meminta keterangan mengenai Upah untuk dirinya dalam hal keterangan terkait Upah tersebut hanya dapat diperoleh melalui buku Upah di Perusahaan.
(2) Apabila permintaan keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berhasil maka Pekerja/Buruh atau kuasa yang ditunjuk berhak meminta bantuan kepada pengawas ketenagakerjaan.
(3) Keterangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) wajib dirahasiakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 41:
(1) Gubernur menetapkan Upah minimum sebagai jaring pengaman. (Note: jaring pengaman bagi siapa?)
(2) Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Upah bulanan terendah yang terdiri atas:
a. Upah tanpa tunjangan; atau
b. Upah pokok termasuk tunjangan tetap.
Yang menjadi blunder kontraproduktif bagi Pekerja/Buruh, bersumber dari pengaturan Pasal 42:
(1) Upah minimum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) hanya berlaku bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun pada Perusahaan yang bersangkutan.
(2) Upah bagi Pekerja/Buruh dengan masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih dirundingkan secara bipartit antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha di Perusahaan yang bersangkutan.
Yang menjadi keberatan utama kalangan Buruh/Pekerja, mayoritas pekerja di Indonesia merupakan Pekerja yang acapkali menggunakan haknya untuk berhenti bekerja dan bekerja di tempat baru. Namun pengaturan Pasal 42 tersebut mengakibatkan pengalaman kerja pekerja tidak lagi diperhitungkan, karena jatuh sebagai kategori Karyawan baru, meski senyatanya Pekerja tersebut telah berpengalaman di tempat kerja sebelumnya. Contoh, A telah bekerja selama 10 tahun di perusahaan PT. ABC, lalu A berhenti bekerja dan melamar kerja di PT.DEF, maka A akan dikategorikan pekerja baru dengan masa kerja tahun pertama dengan standar Upah yang juga disesuaikan dengan mereka yang merupakan pekerja baru tanpa pengalaman.
Pasal 44  mengatur mengenai penetapan Upah minimum, dihitung dengan menggunakan formula perhitungan Upah minimum, sebagai berikut: UMn = UMt + {UMt x (Inflasit + % ∆ PDBt)}
Formula perhitungan Upah minimum adalah Upah minimum tahun berjalan ditambah dengan hasil perkalian antara Upah minimum tahun berjalan dengan penjumlahan tingkat inflasi nasional tahun berjalan dan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Bruto tahun berjalan.
Contoh:
Upah minimum tahun berjalan (Umt) = Rp. 2.000.000,00
Inflasi yang dihitung dari periode September tahun yang lalu sampai dengan periode September tahun berjalan (Inflasit) = 5%
Pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang dihitung dari pertumbuhan Produk Domestik Bruto yang mencakup periode kwartal III dan IV tahun sebelumnya dan periode kwartal I dan II tahun berjalan (∆ PDBt) = 6%
Maka, Upah minimum yang akan ditetapkan = UMt + {UMt x (Inflasit + % ∆ PDBt)} = Rp. 2.000.000,00 + {Rp. 2.000.000,00 x (5% + 6%))
= Rp. 2.000.000,00 + {Rp. 2.000.000,00 x 11%}
= Rp. 2.000.000,00 + Rp. 220.000,00 = Rp. 2.220.000,00
Pasal 53 mengatur, Pengusaha atau Pekerja/Buruh yang melanggar ketentuan dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama karena kesengajaan atau kelalaiannya dikenakan denda apabila diatur secara tegas dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Pasal 54:
(1) Denda kepada Pengusaha atau Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 dipergunakan hanya untuk kepentingan Pekerja/Buruh.
(2) Jenis-jenis pelanggaran yang dapat dikenakan denda, besaran denda dan penggunaan uang denda diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.
Tidak semua pengaturan dalam PP No.78 Tahun 2015 bersifat buruk bagi kalangan Pekerja/Buruh, sebagaimana pengaturan dalam Pasal 55:
(1) Pengusaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 yang terlambat membayar dan/atau tidak membayar Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (4) dikenai denda, dengan ketentuan:
a. mulai dari hari keempat sampai hari kedelapan terhitung tanggal seharusnya Upah dibayar, dikenakan denda sebesar 5% (lima persen) untuk setiap hari keterlambatan dari Upah yang seharusnya dibayarkan;
b. sesudah hari kedelapan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a ditambah 1% (satu persen) untuk setiap hari keterlambatan dengan ketentuan 1 (satu) bulan tidak boleh melebihi 50% (lima puluh persen) dari Upah yang seharusnya dibayarkan; dan
c. sesudah sebulan, apabila Upah masih belum dibayar, dikenakan denda keterlambatan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b ditambah bunga sebesar suku bunga yang berlaku pada bank pemerintah.
(2) Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar Upah kepada Pekerja/Buruh.
Begitupula dalam pengaturan Pasal 56:
(1) Pengusaha yang terlambat membayar tunjangan hari raya keagamaan kepada Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dikenai denda sebesar 5% (lima persen) dari total tunjangan hari raya keagamaan yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban Pengusaha untuk membayar.
(2) Pengenaan denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak menghilangkan kewajiban Pengusaha untuk tetap membayar tunjangan hari raya keagamaan kepada Pekerja/Buruh.
Pasal 57:
(1) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk:
a. denda;
b. ganti rugi; dan/atau
c. uang muka Upah,
dilakukan sesuai dengan Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Peraturan Kerja Bersama.
(2) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk pihak ketiga hanya dapat dilakukan apabila ada surat kuasa dari Pekerja/Buruh.
(3) Surat kuasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setiap saat dapat ditarik kembali.
(4) Surat kuasa dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk semua kewajiban pembayaran oleh Pekerja/Buruh terhadap negara atau iuran sebagai peserta pada suatu dana yang menyelenggarakan jaminan sosial yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Note SHIETRA & PARTNERS: semisal iuran BPJS dan PPh)
(5) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk:
a. pembayaran hutang atau cicilan hutang Pekerja/ Buruh; dan/ atau
b. sewa rumah dan/atau sewa barang-barang milik Perusahaan yang disewakan oleh Pengusaha kepada Pekerja/Buruh, harus dilakukan berdasarkan kesepakatan tertulis atau perjanjian tertulis.
(6) Pemotongan Upah oleh Pengusaha untuk kelebihan pembayaran Upah kepada Pekerja/Buruh dilakukan tanpa persetujuan Pekerja/Buruh.
Pasal 58 menyatakan, jumlah keseluruhan pemotongan Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 paling banyak 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran Upah yang diterima Pekerja/Buruh.
Pasal 59:
(1) Sanksi administratif dikenakan kepada Pengusaha yang:
a. tidak membayar tunjangan hari raya keagamaan kepada Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2);
b. tidak membagikan uang servis pada usaha tertentu kepada Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2);
c. tidak menyusun struktur dan skala Upah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) serta tidak memberitahukan kepada seluruh Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3);
d. tidak membayar Upah sampai melewati jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19;
e. tidak memenuhi kewajibannya untuk membayar denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53; dan/atau
f. melakukan pemotongan Upah lebih dari 50% (lima puluh persen) dari setiap pembayaran Upah yang diterima Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud dalam Pasal 58.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. teguran tertulis;
b. pembatasan kegiatan usaha;
c. penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi; dan
d. pembekuan kegiatan usaha.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberian sanksi administratif diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 60 lebih lanjut mengatur:
(1) Menteri, menteri terkait, gubernur, bupati/walikota, atau pejabat yang ditunjuk sesuai dengan kewenangannya mengenakan sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 kepada Pengusaha.
(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan berdasarkan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan yang berasal dari:
a. pengaduan; dan/atau
b. tindak lanjut hasil pengawasan ketenagakerjaan.
(3) Pemeriksaan yang dilakukan oleh pengawas ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 61 menambahkan, Pengusaha yang telah dikenai sanksi administratif tidak menghilangkan kewajibannya untuk membayar hak Pekerja/Buruh.
Pasal 63: Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku:  
a. upah minimum provinsi yang masih dibawah kebutuhan hidup layak, gubernur wajib menyesuaikan Upah minimun provinsi sama dengan kebutuhan hidup layak secara bertahap paling lama 4 (empat) tahun sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan;
b. Pengusaha yang belum menyusun dan menerapkan struktur dan skala Upah, wajib menyusun dan menerapkan struktur dan skala Upah berdasarkan Peraturan Pemerintah ini serta melampirkannya dalam permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (4) paling lama 2 (tahun) tahun terhitung sejak Peraturan Pemerintah ini diundangkan.
 Terkait ketentuan Pasal 63 Butir (b) diatas, Pasal 66 menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan, yakni 23 Oktober 2015. Sehingga, struktur dan skala Upah wajib telah disusun dan ditetapkan oleh Pengusaha paling lambat per tanggal 23 Oktober 2017.
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.