Question: Dalam hal eksekusi hak tanggungan yang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara apabila barang yang telah dilelang itu tidak dengan sukarela diserahkan kepada pembeli atau pemenang lelang, maka apakah pihak pembeli lelang dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar Pengadilan Negeri melakukan pengosongan terhadap obyek yang telah dilelang tersebut tanpa perlu mengajukan gugatan biasa?
Brief Answer: Tidak perlu mengajukan gugatan biasa untuk pengosongan, pemenang lelang dapat langsung mengajukan permohonan pengosongan kepada pengadilan negeri tempat tergugat ataupun objek sengketa terletak.
Explanation:
SEMA Nomor 07 Tahun 2012 Tentang RUMUSAN HUKUM HASIL RAPAT PLENO KAMAR MAHKAMAH AGUNG SEBAGAI PEDOMAN PELAKSAAN TUGAS BAGI PENGADILAN, hlm. 58 mencantumkan: “XIII. Pelelangan Hak Tanggungan yang dilakukan oleh Kreditur sendiri melalui kantor lelang, apabila terlelang tidak mau mengosongkan obyek yang dilelang tidak dapat dilakukan pengosongan berdasarkan Pasal 200 ayat (11) HIR melainkan harus diajukan gugatan. Karena pelelangan tersebut diatas bukan lelang eksekusi melainkan lelang sukarela.”
Pasal 1 PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 106/PMK.06/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 93/PMK.06/2010 TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN LELANG:
4. Lelang Eksekusi adalah lelang untuk melaksanakan putusan/penetapan pengadilan, Dokumendokumen lain yang dipersamakan dengan itu, dan/atau melaksanakan ketentuan dalam peraturan perundangundangan.
6. Lelang Noneksekusi Sukarela adalah lelang atas barang milik swasta, orang atau badan hukum/badan usaha yang dilelang secara sukarela.
Surat Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Yudisial No.02/Wk.MA.Y/I/2010, tertanggal 8 Januari 2010 yang ditujukan kepada seluruh Ketua Pengadilan Negeri di Indonesia, perihal Perbaikan Perumusan Hasil Rakernas Palembang tahun 2009 tentang Eksekusi Grosse Akta Pengakuan Hutang atau Hak Tanggungan, menuliskan:
a. Bahwa dalam hal eksekusi hak tanggugnan yang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara apabila barang yang telah dilelang itu tidak dengan sukarela diserahkan kepada pembeli lelang maka pihak pembeli lelang dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Negeri agar Pengadilan Negeri melakukan pengosongan terhadap obyek yang telah dilelang tersebut tanpa perlu mengajukan gugatan biasa, sebab pada dasarnya Pasal 200 (11) HIR/208 ayat (2) RBg tidak semata-mata ditujukan untuk melaksanakan suatu putusan pengadilan tetapi juga terhadap pelelangan yang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara;
b. Bahwa eksekusi akta pengakuan hutang sebagaimana yang diatur dalam pasal 224 HIR/258 RBg, apabila obyek yang akan dieksekusi adalah Hak Tanggungan, maka hal itu berlaku baik terhadap Krediturnya yang merupakan Lembaga Keuangan yang saha maupun apabila Krediturnya merupakan perorangan. Tetapi apabila obyek yang akan dieksekusi tersebut harus dilakukan dengan melalui gugatan biasa (Stbl.1938-523), begitu pula apabila grosse akta pengakuan hutang yang jumlah hutangnya tidak pasti.
Pasal 1 Ayat (36) PERATURAN MENTERI KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 160/PMK.06/2013 TENTANG PERUBAHAN ATAS PERATURAN MENTERI KEUANGAN NOMOR 176/PMK.06/2010 TENTANG BALAI LELANG: “Grosse Risalah Lelang adalah Salinan asli dari Risalah Lelang yang berkepala "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.”
Pasal 224 HERZIEN INLANDSCH REGLEMENT (H.I.R) / REGLEMEN INDONESIA YANG DIPERBAHARUI (R.I.B.) : “Surat asli dari pada surat hipotek dan surat hutang yang diperkuat di hadapan notaris di Indonesia dan yang kepalanya memakai perkataan "Atas nama Undang-undang" berkekuatan sama dengan putusan hakim, jika surat yang demikian itu tidak ditepati dengan jalan damai, maka perihal menjalankannya dilangsungkan dengan perintah dan pimpinan ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya orang yang berhutang itu diam atau tinggal atau memilih tempat tinggalnya dengan cara yang dinyatakan pada pasal-pasal di atas dalam bagian ini, akan tetapi dengan pengertian, bahwa paksaan badan itu hanya dapat dilakukan, jika sudah diizinkan dengan keputusan hakim. Jika hal menjalankan keputusan itu harus dijalankan sama sekali atau sebahagian di luar daerah hukum pengadilan negeri, yang ketuanya memerintahkan menjalankan itu, maka peraturan-peraturan pada pasal 195 ayat kedua dan yang berikutnya
dituruti.”
Penjelasan:
1. Pasal 224 ini menerangkan, bahwa surat-surat yang dianggap mempunyai kekuatan yang pasti untuk dieksekusikan seperti surat keputusan hakim yaitu:
a. surat utang memakai hipotik.
b. surat utang yang dilakukan di hadapan notaris (akte notaris) yang kepalanya memakai perkataan-perkataan dahulu "Atas nama Raja", kemudian berturut-turut diubah menjadi "Atas nama Republik Indonesia", "Atas nama Undang-undang" dan sekarang berdasarkan pasal 4 UU Pokok Kehakiman No. 14/1970 menjadi "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
2. Apabila surat-surat yang tersebut di atas itu tidak ditepati dengan jalan damai, maka akan dijalankan seperti keputusan hakim biasa, yaitu dilangsungkan dengan perintah dan pimpinan ketua pengadilan negeri yang dalam daerah hukumnya orang yang berhutang itu diam atau tinggal atau memilih sebagai tempat tinggalnya, akan tetapi mengenai paksaan badan (sanders = gijzeling) hanya dapat dilakukan apabila sudah diizinkan dengan keputusan pengadilan negeri.
Argumen: Dari penjelasan Pasal 224 HIR di atas, kekuatan hukum irah-irah adalah sama seperti putusan dalam gugatan. Bila kemudian gugat lagi, maka ada overlaping tumpang tindih antara irah-irah dalam gross akta risalah lelang dan putusan PN soal pengosongan oleh pemenang lelang. Maka menjadi terang dan jelas bahwa gros akta risalah lelang eksekusi memiliki keistimewaan sendiri dibanding risalah lelang non eksekusi, karena di dalamnya terkandung irah-irah, yang berarti sudah eksekutoriel, dapat dieksekusi. Maka jika harus gugat lagi, berarti terjadi NEBIS IN IDEM, dimana hukum acara perdata melarang NEBIS IN IDEM.
KEPUTUSAN BERSAMA KETUA MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA DAN KETUA KOMISI YUDISIAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR: 047/KMA/SKB/IV/2009, NOMOR : 02/SKB/P.KY/IV/2009, TENTANG KODE ETIK DAN PEDOMAN PERILAKU HAKIM: “Wewenang dan tugas hakim yang sangat besar itu menuntut tanggungjawab yang tinggi, sehingga putusan pengadilan yang diucapkan dengan irah-irah ”Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” menunjukkan kewajiban menegakkan hukum, kebenaran dan keadilan itu wajib dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada semua manusia, dan secara vertikal dipertanggungjawabkan kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Apakah bentuk itikad tidak baik debitor yang kredit macet, lantas tidak mengembalikan hutang yang ia pinjam merupakan pihak yang layak dilindungi oleh hukum? Kepastian hukum bagi pihak kreditor dan pemenang lelang ialah demi keadilan itu sendiri. Membiarkan debitor mengambil untung dengan merugikan kreditor dan pemenang lelang adalah bentuk ketidakberadaban itu sendiri.
Pasal 14 UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996 TENTANG HAK TANGGUNGAN ATAS TANAH BESERTA BENDA-BENDA YANG BERKAITAN DENGAN TANAH:
(1) Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHAN-AN YANG MAHA ESA”.
(3) Sertipikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti grosse acte Hypotheek sepanjang mengenai hak atas tanah. Bila sudah berkekuatan hukum tetap, mengapa harus digugat lagi? Gross akta risalah lelang ialah turunan dari lelang eksekusi, bukan lelang sukarela, sehingga wajar dan sepatutnya tercantumkan pula irah-irah yang melekat sebagai transfer dari sertifikat hak tanggungan yang berpindah pada gross akta risalah lelang, sebagai bukti otentik kekuatan dan kepastian hukumnya.
Penjelasan Pasal 14 UU Hak Tanggungan: “Irah-irah yang dicantumkan pada sertipikat Hak Tanggungan dan dalam ketentuan pada ayat ini, dimaksudkan untuk mene-gaskan adanya kekuatan eksekutorial pada sertipikat Hak Tang-gungan, sehingga apabila debitor cidera janji, siap untuk dieksekusi seperti halnya suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, melalui tata cara dan dengan menggunakan lembaga parate executie sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata. Lihat Penjelasan Umum angka 9 dan penjelasan Pasal 26.”
Penjelasan Pasal 26 UU Hak Tanggungan: “Yang dimaksud dengan peraturan-preaturan mengenai eksekusi hypotheek yang ada dalam pasal ini, adalah ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbarui (Het Herziene Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941-44) dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura, Staatsblad 1927-227). Ketentuan dalam Pasal 14 yang harus diperhatikan adalah bahwa grosse acte hypotheek yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya hypotheek, dalam hal Hak Tanggungan adalah sertipikat Hak Tanggungan. Adapun yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan yang belum ada, adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur secara khusus eksekusi Hak Tanggungan, sebagai peng-ganti ketentuan khusus mengenai eksekusi hypotheek atas tanah yang disebut di atas. Sebagaimana dijelaskan dalam Penjelasan Umum angka 9, ketentuan peralihan dalam pasal ini memberikan ketegasan, bahwa selama masa peralihan tersebut, ketentuan hukum acara di atas berlaku terhadap eksekusi Hak Tanggungan, dengan penyerahan sertipikat Hak Tanggungan sebagai dasar pelaksanaannya.” Bisa disimpulkan, bahwa eksekusi pengosongan debitor pemilik agunan hak tanggungan adalah bagian dari eksekusi dari hak tanggungan itu sendiri.
PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 1996: “9. Salah satu ciri Hak Tanggungan yang kuat adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya, jika debitor cidera janji. Walaupun secara umum ketentuan tentang eksekusi telah diatur dalam Hukum Acara Perdata yang berlaku, dipandang perlu untuk memasukkan secara khusus ketentuan tentang eksekusi Hak Tanggungan dalam Undang-undang ini, yaitu yang mengatur lembaga parate executie sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224 Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (Het Herziene Indonesisch Reglement) dan Pasal 258 Reglemen Acara Hukum Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Reglement tot Regeling van het Rechtswezen in de Gewesten Buiten Java en Madura). Sehubungan dengan itu pada sertipikat Hak Tanggungan, yang ber-fungsi sebagai surat-tanda bukti adalah Hak Tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”, untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.” Kewajiban melakukan gugat pengosongan justru melanggar asas kepastian hukum eksekusi hak tanggungan demikian, karena lelang eksekusi itu sendiri terjadi karena adanya wanprestasi dari debitor, maka apanya lagi yang harus dibuktikan dalam pengadilan lewat gugatan?
ARGUMENTASI:
- Risalah lelang, kutipan risalah lelang, maupun gross akta ada konsekuensi logis (turunan) dari suatu eksekusi hak tanggungan. Bila dalam Sertifikat Hak Tanggungan, terdapat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka itu adalah amanat dari undang-undang. Karena sertifikat hak tanggungan memiliki irah-irah, konsekunsi logisnya gross akta bukti risalah lelang bagi pemenang lelang, maka ia memiliki pula irah-irah demikian;
- Pencantuman “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” merupakan Irah-irah eksekutorial, yang artinya berfungsi seperti putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sehingga atas dokumen hukum tersebut, upaya hukum yang tersisa ialah hanya eksekusinya saja. Bila terhadap dokumen yang telah berkekuatan hukum eksekutorial irah-irah demikian masih harus melewati upaya hukum gugatan pengosongan atas objek yang dilelang sebagai konsekuensi logis eksekusi hak tanggungan atas wanprestasinya debitor, maka terjadi pelanggaran terhadap ketentuan hukum acara mengenai nebis in idem, yakni atas suatu perkara yang telah diputus, tidak dapat diadili ulang;
- Tujuan irah-irah ialah demi kepastian hukum. Kreditor memberikan pinjaman yang bersumber dari nasabah kepada debitor, bila tidak dijamin oleh irah-irah, maka posisi kreditor rentan. Bila peminat lelang tak dilindungi oleh kepastian hukum akan objek lelang eksekusi, maka itu artinya bukan lelang eksekusi, tapi lelang atas objek non-eksekusi, alias semata lelang sukarela, dan itulah yang dimaksudkan oleh SEMA No.7 tahun 2010. Efek dominonya, tak ada yang menjadi peminat lelang, dan tiada lagi kredtor yang berani memberi kredit. Ujungnya, perekonomian negara tumbang;
- Bila tetap menolak eksekusi pengosongan oleh pemenang lelang eksekusi, maka kami siap menempuh langkah hukum pelaporan pada Komisi Yudisial atas praktik pengadilan yang menolak eksekusi dokumen gross akta “risalah lelang” yang memiliki irah-irah eksekutorial, karena berarti pengadilan telah lalai dan abai terhadap putusan pengadilan itu sendiri (irah-irah dalam dokumen hukum berfungsi dan disamakan seperti putusan pengadilan);
- Bahwa pada dasarnya SEMA No.7 tahun 2012 bukan merujuk pada lelang eksekusi, oleh karena tidak mungkin diadakan lelang sukarela oleh kreditor atas objek agunan hak tanggungan. Maka SEMA No.7 tahun 2012 adalah tidak dapat diimplementasikan sama sekali karena cacat redaksional.
Pasal 200 HIR:
(1) Penjualan barang yang disita dilakukan dengan perantaraan kantor lelang, atau menurut keadaan, menurut pertimbangan ketua, oleh orang yang melakukan penyitaan itu atau orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, yang ditunjuk barang yang tetap maka syarat-syarat yang tersebut pada ayat di atas ini, dipakai bagi penjualan itu.
(10) Hak orang yang barangnya dijual, atas barang tetap yang dijual itu berpindah kepada pembeli, karena pemberian hak padanya setelah ia memenuhi syarat-syarat pembelian. Setelah syarat-syarat itu dipenuhi maka kepadanya diberikan surat keterangan oleh kantor lelang, atau oleh orang yang diserahi penjualan yang bersangkutan.
(11) Jika orang yang barangnya dijual itu, enggan meninggalkan barang yang tetap itu, maka ketua pengadilan negeri membuat satu surat perintah kepada orang yang berkuasa menjalankan surat jurusita, supaya dengan bantuan panitera pengadilan negeri, jika perlu dengan pertolongan polisi, barang yang tetap itu ditinggalkan dan dikosongkan oleh orang, yang dijual barangnya itu, serta oleh kaum keluarganya.
Penjelasan Pasal 200 HIR:
1. Penjualan barang-barang yang disita dilakukan:
a. dengan perantaraan kantor lelang. Maka menjadi jelas, Pasal 200 (11) HIR merujuk pada barang yang disita. Maka adalah mustahil barang yang disita dapat dilelang secara sukarela. Maka SEMA No.7 tahun 2012 adalah cacat secara formil dan materiel.
b. oleh pejabat yang menyita barang itu, atau
c. orang lain yang cakap dan dapat dipercaya, satu sama lain menurut pertimbangan ketua.
5. Bagaimana kalau keputusan hakim itu mengenai pengosongan barang tetap oleh pihak yang kalah, atau sesudah barang tetap itu dijual lelang, orang yang dijual barangnya tidak mau meninggalkan barang itu? Dalam hal ini ketua pengadilan negeri membuat surat perintah kepada pejabat yang berkuasa menjalankan penyitaan untuk dengan bantuan panitera serta jika perlu dengan pertolongan polisi, agar barang tetap itu dikosongkan.
Note SHIETRA & PARTNERS: Sebagai update terhadap artikel diatas, pada tahun 2014 Mahkamah Agung telah menerbitkan SEMA No. 4 Tahun 2014 tentang perbaikan terhadap rumusan SEMA No. 7 Tahun 2012 diatas, dimana MA RI mengoreksi kekeliruan SEMA tahun 2012 tersebut dengan menyatakan bahwa pemenang lelang cukup mengajukan permohonan eksekusi berdasarkan Gross Risalah Lelang yang memiliki "irah-irah" tanpa perlu didahului dengan gugatan perdata terhadap penghuni objek tanah.
Note SHIETRA & PARTNERS: Sebagai update terhadap artikel diatas, pada tahun 2014 Mahkamah Agung telah menerbitkan SEMA No. 4 Tahun 2014 tentang perbaikan terhadap rumusan SEMA No. 7 Tahun 2012 diatas, dimana MA RI mengoreksi kekeliruan SEMA tahun 2012 tersebut dengan menyatakan bahwa pemenang lelang cukup mengajukan permohonan eksekusi berdasarkan Gross Risalah Lelang yang memiliki "irah-irah" tanpa perlu didahului dengan gugatan perdata terhadap penghuni objek tanah.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.