Question: Apakah seorang konsumen yang merasa dirugikan oleh pelaku usaha, dapat menggugat selain ke pengadilan umum, mengingat konsumen seringkali tidak punya kontrak apapun dengan produsen sehingga tiada satupun ketentuan pilihan forum sengketa? Dalam sengketa konsumen dan pelaku usaha, beban pembuktian terletak pada siapa? Apakah importir dapat dimintai pertanggungjawaban bila tiada agen maupun kantor perwakilan produsen asing yang produknya dipakai konsumen di Indonesia?
Brief Answer: Dapat mengajukan gugatan perdata ke hadapan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen selaku (BPSK) badan arbitrase yang khusus menangani sengketa konsumen. Hanya saja yang perlu diingat, definisi konsumen disini ialah konsumen akhir, bukan konsumen perantara (alias pihak pembeli yang kemudian menjual kembali barang dan/atau jasa tersebut). Beban pembuktian tiadanya unsur kesalahan diletakkan pada beban pelaku usaha. Yang juga perlu digarisbawahi, pilihan yurisdiksi BPSK yang bila tidak disepakati oleh para pihak maka hanya sebatas mediasi oleh BPSK, sehingga sengketa konsumen dapat diteruskan ke hadapan Pengadilan Negeri. Kecuali para pihak yang bersengketa sepakat menempuh langkah arbitrase pada BPSK, maka putusannya bersifat mengikat (memiliki daya ikat yang wajib dipatuhi pihak yang kalah), meski masih dapat diajukan keberatan ke Pengadilan Negeri dan upaya hukum kasasi atas putusan keberatan tersebut. Kelebihan utamanya putusan BPSK ialah adanya kewajiban mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima; meski kini terdapat mekanisme small claim court pada Pengadilan Negeri yang hanya memakan waktu kurang dari satu bulan). Importir barang dan/atau jasa dapat digugat bila tiada agen maupun kantor perwakilan produsen di Indonesia.
Explanation:
Pasal 1 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK): “Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
2. Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
3. Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
4. Barang adalah setiap benda baik berwujud maupun tidak berwujud, baik bergerak maupun tidak bergerak, dapat dihabiskan maupun tidak dapat dihabiskan, yang dapat untuk diperdagangkan, dipakai, dipergunakan, atau dimanfaatkan oleh konsumen.
5. Jasa adalah setiap layanan yang berbentuk pekerjaan atau prestasi yang disediakan bagi masyarakat untuk dimanfaatkan oleh konsumen.
11. Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen adalah badan yang bertugas menanganai dan menyelesaikan sengketa antara pelaku usaha dan konsumen.
Pasal 23 UUPK: “Pelaku usaha yang menolak dan atau tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1),ayat (2), ayat (3), dan ayat (4), dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan di tempat kedudukan konsumen.”
Pasal 19 UUPK:
1. Pelaku usaha bertanggung jawab memberikan ganti rugi atas kerusakan, pencemaran, dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang dihasilkan atau diperdagangkan.
2. Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Pemberian ganti rugi dilaksanakan dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari setelah tanggal transaksi.
4. Pemberian ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak menghapuskan kemungkinan adanya tuntutan pidana berdasarkan pembuktian lebih lanjut mengenai adanya unsur kesalahan.
5. Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak berlaku apabila pelaku usaha dapat membuktikan bahwa kesalahan tersebut merupakan kesalahan konsumen.
Pasal 28 UUPK: “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.”
Pasal 45 UUPK:
1. Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.
2. Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa..( Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat ini tidak menutup kemungkinan penyelesaian damai oleh para pihak yang bersengketa. Pada setiap tahap diusahakan untuk menggunakan penyelesaian damai oleh kedua belah pihak yang bersengketa. Yang dimaksud dengan penyelesaian secara damai adalah penyelesaian yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa (pelaku usaha dan konsumen) tanpa melalui pengadilan atau badan penyelesaian sengketa konsumen dan tidak bertentangan dengan Undang-undang ini.)
3. Penyelesaian sengketa di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak menghilangkan tanggung jawab pidana sebagaimana diatur dalam Undang-undang.
4. Apabila telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
Pasal 46 UUPK:
1. Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:
a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang bersangkutan;
b. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang sama; (Undang-undang ini mengakui gugatan kelompok atau class action. Gugatan kelompok atau class action harus diajukan oleh konsumen yang benar-benar dirugikan dan dapat dibuktikan secara hukum, salah satu diantaranya adalah adanya bukti transaksi.)
c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;
d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit. (Tolok ukur kerugian materi yang besar dan/atau korban yang tidak sedikit yang dipakai adalah besar dampaknya terhadap konsumen.)
2. Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.
Pasal 47 UUPK: “Penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan diselenggarakan untuk mencapai kesepakatan mengenai bentuk dan besarnya ganti rugi dan/atau mengenai tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terjadi kembali atau tidak akan terulang kembali kerugian yang diderita oleh konsumen.”
Pasal 48 UUPK: “Penyelesaian sengketa konsumen melalui pengadilan mengacu pada ketentuan tentang peradilan umum yang berlaku dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 45.”
Pasal 49 UUPK:
1. Pemerintah membentuk badan penyelesaian sengketa konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan.
3. Anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas unsur pemerintah, unsur konsumen, dan unsur pelaku usaha.
4. Anggota setiap unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berjumlah sedikit-dikitnya 3 (tiga) orang, dan sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.
Pasal 52 UUPK: “Tugas dan wewenang badan penyelesaian sengketa konsumen meliputi:
a. melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen, dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi;
b. memberikan konsultasi perlindungan konsumen;
c. melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausula baku; (Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen. Note: Mahkamah Agung, dalam putusannya terkait klausula baku “Penyelenggara tempat parkir tidak bertanggung jawab atas kehilangan kendaraan atas kendaraan yang diparkir di area penyelenggara parkir” adalah cacat secara hukum, sehingga konsumen jasa parkir demikian dihukum untuk memberikan ganti rugi materiel atas kendaraan konsumennya yang hilang selama parkir.)
d. melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran ketentuan dalam Undang-undang ini;
e. menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
f. melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen;
g. memanggil pelaku usaha yang diduga telah melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
h. memanggil dan menghadirkan saksi, saksi ahli dan/atau setiap orang yang dianggap mengetahui pelanggaran terhadap Undang-undang ini;
i. meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha, saksi, saksi ahli, atau setiap orang sebagaimana dimaksud pada huruf g dan huruf h, yang tidak bersedia memenuhi panggilan badan penyelesaian sengketa konsumen;
j. mendapatkan, meneliti dan/atau menilai surat, dokumen, atau alat bukti lain guna penyelidikan dan/atau pemeriksaan;
k. memutuskan dan menetapkan ada atau tidak adanya kerugian di pihak konsumen;
l. memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran terhadap perlindungan konsumen;
m. menjatuhkan sanksi administratif kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan Undang-undang ini.
Pasal 54 UUPK:
1. Untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen, badan penyelesaian sengketa konsumen membentuk majelis.
2. Jumlah anggota majelis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus ganjil dan sedikit-sedikitnya 3 (tiga) orang yang mewakili semua unsur sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (3), serta dibantu oleh seorang panitera.
3. Putusan majelis final dan mengikat. (Yang dimaksud dengan putusan majelis bersifat final adalah bahwa dalam badan penyelesaian sengketa konsumen tidak ada upaya banding dan kasasi. Note: berdasarkan UU Arbitrase, yang bersifat final dan mengikat hanya lembaga penyelesaian sengketa luar pengadilan jenis arbitrase, sehingga untuk mediasi dan konsiliasi yang diadakan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen, sifatnya tidak final dan tidak mengikat, sehingga masih dapat dibawa ke hadapan pengadilan umum,)
Pasal 55 UUPK: “Badan penyelesaian sengketa konsumen wajib mengeluarkan putusan paling lambat dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja setelah gugatan diterima.”
Pasal 56 UUPK:
1. Dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 55 pelaku usaha wajib melaksanakan putusan tersebut.
2. Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 4 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut.
3. Pelaku usaha yang tidak mengajukan keberatan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dianggap menerima putusan badan penyelesaian sengketa konsumen.
4. Apabila ketentuan sebagaimana-dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) tidak dijalankan oleh pelaku usaha, badan penyelesaian sengketa konsumen menyerahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. (note: dapat ditafsirkan, bahwa kelalaian menghormati dan mematuhi putusan badan penyelesaian perlindungan konsumen demikian, berakibat perkara yang semula perdata dapat memasuki ranah pidana.)
5. Putusan badan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud pada ayat (3) merupakan bukti permulaan yang cukup bagi penyidik untuk melakukan penyidikan.
Pasal 57 UUPK: “Putusan majelis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 ayat (3) dimintakan penetapan eksekusinya kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.”
Pasal 58 UUPK:
1. Pengadilan Negeri wajib mengeluarkan putusan atas keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 ayat (2) dalam waktu paling lambat 21 (dua satu) hari sejak diterimanya keberatan.
2. Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam waktu paling lama 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia.
3. Mahkamah Agung Republik Indonesia wajib mengeluarkan putusan dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak menerima permohonan kasasi.
Pasal 21 UUPK:
1. Importir barang bertanggung jawab sebagai pembuat barang yang diimpor apabila importasi barang tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan produsen luar negeri.
2. Importir jasa bertanggung jawab sebagai penyedia jasa asing apabila penyediaan jasa asing tersebut tidak dilakukan oleh agen atau perwakilan penyedia jasa asing.
(Penjelasan: Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik)
Pasal 22 UUPK: “Pembuktian terhadap ada tidaknya unsur kesalahan dalam kasus pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (4), Pasal 20, dan Pasal 21 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha tanpa menutup kemungkinan bagi jaksa untuk melakukan pembuktian.”
(Penjelasan: Ketentuan ini dimaksudkan untuk menerapkan sistem beban pembuktian terbalik)
Sementara itu, ketentuan lebih lanjut diatur dalam Keputusan Menteri Perindustrian Dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor: 350/MPP/Kep/12/2001 Tentang Pelaksanaan Tugas Dan Wewenang Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (Kepmen BPSK), beda antara arbitrase, konsiliasi, dan mediasi yang diperankan oleh BPSK ialah:
Konsiliasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa, dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.
Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan dengan perantaraan BPSK sebagai penasehat dan penyelesaiannya diserahkan kepada para pihak.
Arbitrase adalah proses penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan yang dalam hal ini para pihak yang bersengketa menyerahkan sepenuhnya penyelesaian sengketa kepada BPSK.
Pasal 2 Kepmen BPSK: “BPSK berkedudukan di Ibu Kota Daerah Kabupaten atau Daerah Kota yang berfungsi untuk menangani dan menyelesaikan sengketa konsumen di luar pengadilan.”
Pasal 4 Kepmen BPSK:
(1) Penyelesaian sengketa konsumen oleh BPSK melalui cara Konsiliasi atau Mediasi atau Arbitrase sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, dilakukan atas dasar pilihan dan persetujuan para pihak yang bersangkutan.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bukan merupakan proses penyelesaian sengketa secara berjenjang.
Pasal 5 Kepmen BPSK:
(1) Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh Majelis yang bertindak pasif sebagai Konsiliator.
(2) Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Mediasi dilakukan sendiri oleh para pihak yang bersengketa dengan didampingi oleh Majelis yang bertindak aktif sebagai Mediator.
(3) Penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase dilakukan sepenuhnya dan diputuskan oleh Majelis yang bertindak sebagai Arbiter.
Pasal 6 Kepmen BPSK:
(1) Penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) dilakukan dalam bentuk kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak yang bersengketa.
(2) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikuatkan dalam bentuk keputusan BPSK.
Pasal 7 Ayat (1) Kepmen BPSK: “Sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 6 wajib diselesaikan selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja, terhitung sejak permohonan diterima oleh Sekretariat BPSK.“
Pasal 10 Kepmen BPSK: “Penelitian dan pemeriksaan sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f, meliputi:
penelitian dan pemeriksaan terhadap bukti surat, dokumen, bukti barang, hasil uji laboratorium, dan bukti lain yang diajukan baik oleh konsumen maupun oleh pelaku usaha;
pemeriksaan terhadap konsumen, pelaku usaha, saksi dan saksi ahli atau terhadap orang lain yang mengetahui adanya pelanggaran terhadap ketentuan Undang-undang Perlindungan Konsumen;
Pasal 11 Kepmen BPSK: “Penelitian, penilaian dan penyelidikan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf j dimaksudkan untuk mengetahui adanya pelanggaran terhadap Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam rangka menyelesaikan sengketa konsumen.”
Pasal 12 Kepmen BPSK:
(1) Putusan dan penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf k, meliputi ganti rugi atas kerusakan, pencemaran dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa.
(2) Ganti rugi atas kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa :
a. pengembalian uang;
b. penggantian barang dan/atau jasa yang sejenis atau setara nilainya; atau
c. perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan.
Pasal 15 Kepmen BPSK:
(1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat mengajukan permohonan penyelesaian sengketa konsumen kepada BPSK baik secara tertulis maupun lisan melalui Sekretariat BPSK.
(2) Permohonan penyelesaian sengketa konsumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat juga diajukan oleh ahli waris atau kuasanya.
(3) Permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan oleh ahli waris atau kuasanya sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan apabila konsumen :
a. meninggal dunia;
b. sakit atau telah berusia lanjut sehingga tidak dapat mengajukan pengaduan sendiri baik secara tertulis maupun lisan, sebagaimana dibuktikan dengan surat keterangan dokter dan bukti Kartu Tanda Penduduk (KTP);
c. belum dewasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan yangberlaku; atau
d. orang asing (Warga Negara Asing).
(4) Permohonan penyelesian sengketa konsumen yang dibuat secara tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang diterima oleh Sekretariat BPSK diberikan bukti tanda terima kepada pemohon.
(5) Permohonan penyelesaian sengketa konsumen yang diajukan secara tidak tertulis harus dicatat oleh Sekretariat BPSK dalam suatu format yang disediakan untuk itu dan dibubuhi tanda tangan atau cap jempol oleh konsumen atau ahli warisnya atau kuasanya dan kepada pemohon diberikan bukti tanda terima.
(6) Berkas permohonan penyelesaian sengketa konsumen baik tertulis maupun tidak tertulis dicatat oleh Sekretariat BPSK dan dibubuhi tanggal dan nomor registrasi.
Pasal 16 Kepmen BPSK: “Permohonan penyelesaian sengketa konsumen secara tertulis harus memuat secara benar dan lengkap mengenai:
a. nama dan alamat lengkap konsumen, ahli waris atau kuasanya disertai bukti diri;
b. nama dan alamat lengkap pelaku usaha;
c. barang atau jasa yang diadukan;
d. bukti perolehan (bon, faktur, wkitansi dan dokumen bukti lain);
e. keterangan tempat, waktu dan tanggal diperoleh barang atau jasa tersebut;
f. saksi yang mengetahui barang atau jasa tersebut diperoleh;
g. foto-foto barang dan kegiatan pelaksanaan jasa, bila ada.
Pasal 17 Kepmen BPSK: “Ketua BPSK menolak permohonan penyelesaian sengketa konsumen apabila :
a. permohonan tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16; dan
b. permohonan gugatan bukan merupakan kewenangan BPSK.
Pasal 21 Kepmen BPSK: “Alat bukti dalam penyelesaian sengketa konsumen berupa :
a. barang dan/atau jasa;
b. keterangan para pihak yang bersengketa;
c. keterangan saksi dan/atau saksi ahli;
d. surat dan/atau dokumen;
e. bukti-bukti lain yang mendukung.
Pasal 22 Kepmen BPSK: “Pembuktian dalam proses penyelesaian sengketa konsumen merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.”
Mengenai tata cara persidangan, diatur dalam Pasal 26 Kepmen BPSK:
(1) Ketua BPSK memanggil pelaku usaha secara tertulis disertai dengan copy permohonan penyelesaian sengketa konsumen, selambat-lambatnya dalam waktu 3 (tiga) hari kerja sejak permohonan penyelesaian sengketa diterima secara benar dan lengkap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16.
(2) Dalam surat panggilan tersebut dalam ayat (1) dicantumkan secara jelas mengenai hari, tanggal, jam dan tempat persidangan serta kewajiban pelaku uaha untuk memberikan surat jawaban terhadap penyelesaian sengketa konsumen dan disampaikan pada hari persidangan pertama.
(3) Persidangan 1 (pertama) dilaksanakan selambat-lambatnya pada hari kerja ke-7 (ketujuh) terhitung sejak diterimanya permohonan penyelesaian sengketa konsumen oleh BPKS.
Persidangan dengan cara Konsiliasi diatur dalam Pasal 28 Kepmen BPSK: “Majelis dalam menyelesaikan sengketa konsumen dengan Konsiliasi, mempunyai tugas :
a. memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
b. memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan;
c. menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa;
d. menjawab pertanyaan konsumen dan pelaku usaha, perihal peraturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.
Pasal 29 Kepmen BPSK: “Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi adalah :
a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi;
b. Majelis bertindak pasif sebagai Konsiliator;
c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan mengeluarkan keputusan.
Persidangan Dengan Cara Mediasi diatur dalam Pasal 30 Kepmen BPSK: “Majelis dalam menyelesaikan sengketa konsumen dengan cara Mediasi, mempunyai tugas : memanggil konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; memanggil saksi dan saksi ahli bila diperlukan; menyediakan forum bagi konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; secara aktif mendamaikan konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa; secara aktif memberikan saran atau anjuran penyelesaian sengketa konsumen sesuai dengan praturan perundang-undangan di bidang perlindungan konsumen.
Pasal 31 Kepmen BPSK: “Tata cara penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Mediasi adalah :
a. Majelis menyerahkan sepenuhnya proses penyelesaian sengketa kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan, baik mengenai bentuk maupun jumlah ganti rugi;
b. Majelis bertindak aktif sebagai Mediator dengan memberikan nasehat, petunjuk, saran dan upaya-upaya lain dalam menyelesaikan sengketa;
c. Majelis menerima hasil musyawarah konsumen dan pelaku usaha dan mengeluarkan ketentuan.
Persidangan Dengan Cara Arbitrase diatur dalam Pasal 32 Kepmen BPSK:
(1) Dalam penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase, para pihak memilih arbitor dari anggota BPSK yang berasal dari unsur pelaku usaha dan konsumen sebagai anggota Majelis.
(2) Arbitor yang dipilih oleh para pihak sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) memilih arbitor ketiga dari anggota BPSK yang berasal dari unsur Pemerintah sebagai Ketua Majelis.
Pasal 33 Kepmen BPSK:
(1) Ketua Majelis di dalam persidangan wajib memberikan petunjuk kepada konsumen dan pelaku usaha, mengenai upaya upaya hukum yang digunakan oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa.
(2) Dengan izin Ketua Majelis, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa dapat mempelajari semua berkas yang berkaitan dengan persidangan dan membuat kutipan seperlunya.
Pasal 34 Kepmen BPSK:
(1) Pada hari persidangan I (pertama) Ketua Majelis wajib mendamaikan kedua belah pihak yang bersengketa dan bilamana tidak tercapai perdamaian, maka persidangan dimulai dengan membacakan isi gugatan konsumen dan surat jawaban pelaku usaha.
(2) Ketua Majelis memberikan kesempatan yang sama kepada konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa untuk menjelaskan hal-hal yang dipersengketakan.
Pasal 35 Kepmen BPSK:
(1) Pada persidangan I (pertama) sebelum pelaku usaha memberikan jawabannya konsumen dapat mencabut gugatannya dengan membuat surat pernyataan.
(2) Dalam hal gugatan dicabut oleh konsumen sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) maka dalam persidangan pertama Majelis wajib mengumumkan bahwa gugatan dicabut.
(3) Apabila dalam proses penyelesaian sengketa konsumen terjadi perdamaian antara konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, Majelis wajib membuat putusan dalam bentuk penetapan perdamaian.
Pasal 36 Kepmen BPSK:
(1) Apabila pelaku usaha atau konsumen tidak hadir pada hari persidangan I (pertama) Majelis memberikan kesempatan terakhir kepada konsumen dan pelaku usaha untuk hadir pada persidangan ke II (kedua) dengan membawa alat bukti yang diperlukan.
(2) Persidangan ke II (kedua) diselenggarakan selambat-lambatnya dalam waktu 5 (lima) hari kerja terhitung sejak hari persidangan I (pertama) dan diberitahukan dengan surat panggilan kepada konsumen dan pelaku usaha oleh Sekretariat BPSK.
(3) Bilamana pada persidangan ke II (kedua) konsumen tidak hadir, maka gugatannya dinyatakan gugur demi hukum, sebaliknya jika pelaku usaha yang tidak hadir, maka gugatan konsumen dikabulkan oleh Majelis tanpa kehadiran pelaku usaha.
Pasal 37 Kepmen BPSK:
(1) Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Konsiliasi atau Mediasi dibuat dalam perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh konsumen dan pelaku usaha yang bersangkutan.
(2) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dikuatkan dengan Keputusan Majelis yang ditandatangani oleh Ketua dan anggota Majelis.
(3) Keputusan Majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak memuat sanksi administratif.
(4) Hasil penyelesaian sengketa konsumen dengan cara Arbitrase dibuat dalam bentuk putusan Majelis yang ditandatangani oleh Ketua dan anggota Majelis.
(5) Keputusan Majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (4) dapat memuat sanksi administratif.
Pasal 38 Kepmen BPSK: “Majelis wajib menyelesaikan sengketa konsumen selambat-lambatnya dalam waktu 21 (dua puluh satu) hari kerja terhitung sejak gugatan diterima oleh BPSK.”
Pasal 39 Kepmen BPSK:
(1) Putusan Majelis didasarkan atas musyawarah untuk mencapai mufakat, namun jika setelah diusahakan dengan sungguh-sungguh tidak dapat mencapai mufakat, maka putusan diambil dengan suara terbanyak.
(2) Putusan Majelis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah sebagai putusan BPSK.
Pasal 40 Kepmen BPSK:
(1) Putusan BPSK dapat berupa :
a. perdamaian;
b. gugatan ditolak; atau
c. gugatan dikabulkan.
(2) Dalam hal gugatan dikabulkan, maka dalam amar putusan ditetapkan kewajiban yang harus dilakukan oleh pelaku usaha.
(3) Kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berupa pemenuhan :
a. ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (2); dan atau
b. sanksi administratif berupa penetapan ganti rugi paling banyak Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah).
Pasal 41 Kepmen BPSK:
(1) Ketua BPSK memberitahukan putusan Majelis secara tertulis kepada alamat konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa, selambat-lambatnya dalam 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan dibacakan.
(2) Dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak putusan BPSK diberitahukan, konsumen dan pelaku usaha yang bersengketa wajib menyatakan menerima atau menolak putusan BPSK.
(3) Konsumen dan pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri selambat-lambatnya dalam waktu 14 (empat belas) hari kerja terhitung sejak keputusan BPSK diberitahukan.
(4) Pelaku usaha yang menyatakan menerima putusan BPSK, wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak menyatakan menerima putusan BPSK.
(5) Pelaku usaha yang menolak putusan BPSK, tetapi tidak mengajukan keberatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) setelah batas waktu dalam ayat (4) dilampaui, maka dianggap menerima putusan dan wajib melaksanakan putusan tersebut selambat-lambatnya 5 (lima) hari kerja setelah batas waktu mengajukan keberatan dilampaui.
(6) Apabila pelaku usaha tidak menjalankan kewajibannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (5) maka BPSK menyurahkan putusan tersebut kepada penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal 42 Kepmen BPSK:
(1) Putusan BPSK merupakan putusan yang final dan telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. (Note: namun Pasal 41 Ayat (3) justru kontradiktif, karena putusan BPSK ternyata masih dapat diajukan keberatan ke pengadilan)
(2) Terhadap putusan BPSK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimintakan penetapan eksekusi oleh BPSK kepada Pengadilan Negeri di tempat konsumen yang dirugikan.
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA.
Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.