Question:
Dapatkah sanak keluarga seseorang membantah perbuatan hukum yang dilakukan oleh
seorang dari anggota keluarganya dengan alasan bahwa seseorang tersebut telah tua, pikun,
sehingga persetujuan dan tandatangannya dinyatakan tidak sah sehingga pihak
lain tidak dapat menuntut pemenuhan apapun darinya? Bagaimana jika
ketidakcakapan tersebut berlangsung secara temporer? Apakah seseorang yang
ditempatkan dibawah pengampuan dapat membuat surat wasiat? Apakah pengampuan
sama dengan perwalian?
Brief Answer:
Salah satu syarat sah perjanjian memang adalah kecakapan hukum seesorang untuk
melakukan perbuatan hukum. Namun cakap hukum yang dikenal hukum Indonesia ialah
batas umur minimum untuk melakukan sesuatu perbuatan hukum tertentu,
sehingga belum terdapat pengaturan batas umur maksimum untuk melakukan
tanda-tangan suatu perjanjian, sebagai contoh. Untuk menyatakan seseorang
karena lanjut usianya, dinyatakan tidak lagi cakap hukum untuk melakukan
perbuatan hukum, maka perlu dimintakan permohonan kepada pengadilan negeri agar
diterbitkan surat ketetapan/penetapan dari pengadilan bahwa seseorang yang
dimohonkan oleh keluarganya tersebut dinyatakan sebagai “terampu”, dan siapa
yang merupakan “pengampunya”. Tanpa surat penetapan demikian, pihak ketiga akan
dilindungi oleh hukum, sehingga kekuatan perikatan atas perbuatan hukum orang
yang telah lanjut usia sekalipun, tetap mengikat dan sah tanpa dapat dibantah
oleh sanak keluarganya. Seseorang yang telah diampu bukan karena keborosan, surat
wasiat yang kemudian dibuatnya adalah cacat hukum. Pada dasarnya pengampuan
berbeda namun sama dengan perwalian, oleh karena orang yang ditempatkan di
bawah pengampuan berkedudukan sama dengan anak yang belum dewasa.
Explanation:
Pasal
433 KUHPerdata: “Setiap orang dewasa, yang selalu berada
dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah
pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya.
Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.”
Pasal
446 KUHPerdata: “Pengampuan mulai berjalan, terhitung
sejak putusan atau penetapan diucapkan. Semua tindak perdata yang setelah itu dilakukan oleh orang yang
ditempatkan di bawah pengampuan, adalah batal demi hukum. Namun
demikian, seseorang yang ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan,
tetap berhak membuat surat-surat wasiat. “
Pasal
447 KUHPerdata: “Semua tindak perdata yang terjadi sebelum
perintah pengampuan diucapkan berdasarkan keadaan dungu, gila dan mata gelap,
boleh dibatalkan, bila dasar
pengampuan ini telah ada pada saat tindakan-tindakan itu dilakukan.”
Pasal
448 KUHPerdata: “Setelah seseorang meninggal dunia, maka segala
tindak perdata yang telah dilakukannya, kecuali pembuatan surat-surat wasiat berdasarkan keadaan dungu,
gila dan mata gelap, tidak dapat disanggah, selain bila pengampuan atas
dirinya telah diperintahkan atau dimintakan sebelum ia meninggal dunia,
kecuali bila bukti-bukti tentang penyakit itu tersimpul dari perbuatan yang
disanggah itu.”
Pasal
451 KUHPerdata: “Kecuali jika ada alasan-alasan penting
menghendaki pengangkatan orang lain menjadi pengampu, suami atau isteri harus
diangkat menjadi pengampu bagi isteri atau suaminya, tanpa mewajibkan isteri
mendapatkan persetujuan atau kuasa apa pun juga untuk menerima pengangkatan itu.”
Pasal
452 KUHPerdata: “Orang yang ditempatkan di bawah pengampuan
berkedudukan sama dengan anak yang belum dewasa. Bila seseorang yang karena
keborosan ditempatkan di bawah pengampuan hendak melangsungkan perkawinan, maka
ketentuan-ketentuan Pasal 38 dan 151 berlaku terhadapnya. Ketentuan
undang-undang tentang perwalian atas anak belum dewasa, yang tercantum dalam
pasal 331 sampai dengan 344, Pasal-pasal 362, 367, 369 sampai dengan 388, 391
dan berikutnya dalam Bagian 11, 12 dan 13 Bab XV, berlaku juga terhadap
pengampuan.”
Pasal
459 KUHPerdata: “Tiada seorang pun, kecuali suami isteri dan
keluarga sedarah dalam garis ke atas atau ke bawah, wajib menjalankan suatu
pengampuan lebih dari delapan tahun lamanya setelah waktu itu lewat, pengampu
boleh minta dibebaskan dan permintaan ini harus dikabulkan. “
Pasal
460 KUHPerdata: “Pengampuan berakhir bila sebab-sebab yang
mengakibatkannya telah hilang; tetapi pembebasan dari pengampuan itu tidak akan
diberikan, selain dengan memperhatikan tata cara yang ditentukan oleh
undang-undang guna memperoleh pengampuan, dan karena itu orang yang ditempatkan
di bawah pengampuan tidak boleh menikmati kembali hak-haknya sebelum keputusan
tentang pembebasan pengampuan itu memperoleh kekuatan hukum yang pasti. “
Pasal 461 KUHPerdata: “Pembebasan diri pengampuan harus diumumkan
dengan cara yang diatur dalam Pasal 444.”
Pasal 434 KUHPerdata: “Setiap keluarga sedarah berhak minta
pengampuan keluarga sedarahnya berdasarkan keadaan dungu, gila atau mata gelap.
Disebabkan karena pemborosan, pengampuan hanya dapat diminta oleh para keluarga
sedarah dalam garis lurus, dan oleh mereka dalam garis samping sampai derajat
keempat. Barang siapa karena lemah akal pikirannya, merasa tidak cakap mengurus
kepentingan sendiri dengan baik, dapat minta pengampuan bagi dirinya sendiri.
“
Pasal 435 KUHPerdata: “Bila seseorang yang dalam keadaan mata gelap
tidak dimintakan pengampuan oleh orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu,
maka jawatan Kejaksaan wajib memintanya. Dalam hal dungu atau gila, pengampuan
dapat diminta oleh jawatan Kejaksaan bagi seseorang yang tidak mempunyai suami
atau isteri, juga yang tidak mempunyai keluarga sedarah yang dikenal di
Indonesia. “
Pasal 436 KUHPerdata: “Semua permintaan untuk pengampuan harus
diajukan kepada Pengadilan Negeri yang dalam daerah hukumnya tempat berdiam
orang yang dimintakan pengampuan. “
Pasal 437 KUHPerdata: “Peristiwa-peristiwa yang menunjukkan keadaan
dungu, gila, mata gelap atau keborosan, harus dengan jelas disebutkan dalam
surat permintaan. dengan bukti-bukti dan penyebutan saksi-saksinya. “
Pasal 438 KUHPerdata: “Bila Pengadilan Negeri berpendapat, bahwa
peristiwa-peristiwa itu cukup penting guna mendasarkan suatu pengampuan, maka
perlu didengar para keluarga sedarah atau semenda.“
Pasal 439 KUHPerdata: “Pangadilan Negeri setelah mendengar atau
memanggil dengan sah orang-orang tersebut dalam pasal yang lalu, harus
mendengar pula orang yang dimintakan pengampuan, bila orang itu tidak mampu
untuk datang, maka pemeriksaan harus dilangsungkan di rumahnya oleh seorang
atau beberapa orang Hakim yang diangkat untuk itu, disertai oleh panitera, dan
dalam segala hal dihadiri oleh jawatan Kejaksaan. Bila rumah orang yang dimintakan pengampuan
itu terletak dalam jarak sepuluh pal dari Pengadilan Negeri, maka pemeriksaan
dapat dilimpahkan kepada kepala pemerintahan setempat. Dan pemeriksaan ini,
yang tidak perlu dihadiri jawatan Kejaksaan, harus dibuat berita acara yang
salinan otentiknya dikirimkan kepada Pengadilan Negeri. Pemeriksaan tidak akan
berlangsung sebelum kepada yang dimintakan pengampuan itu diberitahukan isi
surat permintaan dan laporan yang memuat pendapat dari anggota-anggota keluarga
sedarah.”
Pasal 440 KUHPerdata: “Bila Pengadilan Negeri, setelah mendengar
atau memanggil dengan sah keluarga sedarah atau semenda, dan setelah mendengar
pula orang yang dimintakan pengampuan, berpendapat bahwa telah cukup keterangan
yang diperoleh, maka Pengadilan dapat memberi keputusan tentang surat
permintaan itu tanpa tata cara lebih lanjut, dalam hal yang sebaliknya,
Pengadilan Negeri harus memerintahkan pemeriksaan saksi-saksi agar
peristiwa-peristiwa yang dikemukakannya menjadi jelas.”
Pasal 441 KUHPerdata: “Setelah mengadakan pemeriksaan tersebut
dalam Pasal 439, bila ada alasan, Pengadilan Negeri dapat mengangkat seorang
pengurus sementara untuk mengurus pribadi dan barang-barang orang yang
dimintakan pengampuannya. “
Pasal 442 KUHPerdata: “Putusan atas suatu permintaan akan
pengampuan harus diucapkan dalam sidang terbuka, setelah mendengar atau
memanggil dengan sah semua pihak dan berdasarkan kesimpulan Jaksa. “
Pasal 443 KUHPerdata: “Bila dimohonkan banding, maka Hakim banding
sekiranya ada alasan,. dapat mendengar lagi atau menyuruh mendengar lagi orang
yang dimintakan pengampuan. “
Pasal 444 KUHPerdata: “Semua penetapan dan putusan yang
memerintahkan pengampuan, dalam waktu yang ditetapkan dalam penetapan atau
keputusan ini, harus diberitahukan oleh pihak yang memintakan pengampuan kepada
pihak lawannya dan diumumkan dengan menempatkan dalam Berita Negara;
semuanya atas ancaman hukuman membayar segala biaya, kerugian dan bunga
sekiranya ada alasan untuk itu.”
Pasal 445 KUHPerdata: “Bila pengampuan diminta sehubungan dengan
alinea keempat Pasal 434, Pengadilan Negeri mendengar para keluarga sedarah
atau semenda dan, sendiri atau dengan wakilnya,, suami atau isterinya yang
meminta, sekiranya ini berada di Indonesia; juga harus dilakukan
ketentuan-ketentuan dalam Pasal 439 alinea kesatu dan kedua, 440,441 dan 442.
Dalam hal demikian jawatan Kejaksaan harus menyelenggarakan pengumuman mengenai
keputusan dengan cara yang dicantumkan dalam Pasal 444.”
Pasal 449 KUHPerdata: “Bila keputusan tentang pengampuan telah
mendapatkan kekuatan hukum yang pasti, maka oleh Pengadilan Negeri diangkat
seorang pengampu. Pengangkatan itu segera diberitahukan kepada Balai Harta
Peninggalan. Pengampuan pengawas diperintahkan kepada Balai Harta Peninggalan.
Dalam hal yang demikian, berakhirlah segala campur tangan pengurus sementara,
yang wajib mengadakan perhitungan dan pertanggungjawaban atas pengurusannya
kepada pengampu, bila Ia sendiri yang diangkat menjadi pengampu, maka
perhitungan dan pertanggungjawaban itu harus dilakukan kepada pengampu pengawas.”
Pasal 454 KUHPerdata: “Penghasilan orang yang ditempat di bawah
pengampuan karena keadaan dungu. gila atau mata gelap, harus digunakan khusus
untuk memperbaiki nasibnya dan memperlancar penyembuhan. “
Pasal 456 KUHPerdata: “Terhadap orang-orang yang tidak dapat
dibiarkan mengurus diri sendiri atau membahayakan keamanan orang lain karena
kelakuannya terlanjur buruk dan terus menerus buruk, harus dilakukan tindakan
seperti diatur dalam Reglemen Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan Mengadili di
Indonesia.”
…
© Hak Cipta HERY SHIETRA. Budayakan hidup jujur dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak
Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.