Pemaksaan secara EKSPLISIT Vs. Pemaksaan secara TERSELUBUNG

ARTIKEL HUKUM

Pemerintah yang Pada Muaranya Direpotkan Menegakkan Hukum, ketika Pemuka Agama dan Kalangan Guru maupun Orangtua telah Gagal Menjalankan Fungsi dan Perannya Sebagaimana-Mustinya

Masih saja dapat kita jumpai Sarjana Hukum generasi muda yang sama “kolot” dengan generasi Sarjana Hukum “tua” sebelumnya, yang berpendirian secara kukuh namun kurang dilandasi logika yang rasional, bahwasannya hukum tidak identik dengan sanksi pemaksa. Mereka tidak bersedia memahami, bahwa alat atau instrumen pemaksa dalam norma peraturan perundang-undangan, tidak hanya berupa pemaksaan secara eksplisit, namun juga dapat berupa pemaksaan secara terselubung atau secara implisit sifat keberlakuan norma pemaksanya.

Sanksi itu sendiri, terbagi menjadi dua jenis, sanksi yang diberlakukan secara eksplisit, serta sanksi yang diberlakukan secara implisit. Norma hukum, tanpa disertai norma perihal sanksi pemaksa, tidak lagi dapat disebut sebagai “hukum”, namun “norma sosial” atau “norma moral” atau “norma agama”—sehingga selalu terdapat garis pemisah yang secara tegas memisahkan “norma hukum” dan norma-norma lainnya, tidak lain tidak bukan norma sanksi yang keberlakuannya dapat dipaksakan oleh pihak eksternal diri masing-masing warga selaku anggota masyarakat. Perihal sang warga menjalankan perintah atau larangan pemerintah, tidak secara sukarela, tidak menjadi relevan dalam negara hukum yang menjadikan keselamatan dan keamanan rakyat umum sebagai muara arah tujuannya, sementara itu “negara” adalah “perahu” (wadah) yang membawa seluruh rakyatnya mengarungi kehidupan global.

Singkat kata, ditanggalkannya corak ancaman terdapat sanksi dari norma hukum, maka norma tersebut menjelma turun derajat sebagai sebatas “norma sosial” atau “norma moral” semata keberlakuannya—dimana itu bukan tugas pembentuan peraturan perundang-undangan ataupun aparatur penegak hukum untuk memberlakukan dan menegakkannya, namun fungsi serta peran pemuka agama maupun para tokoh masyarakat dan kalangan profesi pendidik. Kegagalan fungsi dan peran para profesi yang disebut sebelumnya, bukanlah domain aparatur penegak hukum untuk “mencuci piring kotor”—biarkan para pemuka agama, tokoh masyarakat, dan kalangan profesi pendidik itu sendiri yang memperbaiki dan menyelesaikannya.

Sebagai contoh, mungkinkah Anda melangsungkan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dengan menyimpangi keberlakuan norma pengatur perihal kuorum dan voting sebagaimana telah diatur dalam Anggaran Dasar perusahaan maupun Undang-Undang tentang Perseroan Terbatas? Jawabannya jelas, tentu saja tidak mungkin menyimpanginya, mau tidak mau kita harus patuh dan tunduk, dengan ancaman akan ditolak oleh pihak otoritas yang mengepalai segala urusan pendirian dan manajerial Anggaran Dasar berbagai Perseroan Terbatas yang beroperasi dan berdiri di Indonesia.

Contoh lainnya, RUPS dapat diselenggarakan tidak secara bertatap-muka, namun cukup berupa “surat keputusan para pemegang saham yang diedarkan” (circulair resolution of shareholders), akan tetapi Undang-Undang Perseroan Terbatas menyertakan syarat harus disetujui dengan persetujuan bulat oleh seluruh pemegang saham. Pertanyaannya, beranikah Anda membuat RUPS secara sirkulair ini, dengan menyimpangi ketentuan di atas? Mengapa, Anda memilih untuk patuh, sekalipun tiada ancaman sanksi Anda akan dipenjara bila mencoba-coba melanggarnya?

Mengapa, tiadanya “norma sekunder” berupa ancaman sanksi berupa pemenjaraan, sebagai contoh, pada norma hukum perihal “RUPS sirkulair” demikian, masyarakat kita yang dikenal “gemar melanggar” demikian menjadi sangat patuh saat menyelengarakan “RUPS sirkulair”, alias tanpa berani menyimpangi syaratnya? Sehingga, kepatuhan tersebut bersumber dari daya pemaksa Undang-Undang dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas itu sendiri, sekalipun memang tidak terdapat ancaman “sanksi (secara) eksplisit” terhadap penyimpangan ketentuan kuorum dan voting dalam forum RUPS demikian, sehingga sifatnya ialah sebatas “pemaksaan (secara) terselubung”.

Pertanyaan-pertanyaan logis dengan rasio paling mendasar seperti itulah, yang selama ini gagal dijawab dan dijelaskan oleh para akademisi hukum “tua” yang terlampau “kolot” untuk memandang dan menyikapi ilmu hukum secara lebih “membumi” dan rasional. Karena itulah, penetrasi hukum ke tengah masyarakat, dapat memasuki dua pintu gerbang, secara eksplisit daya pemaksanya atau secara terselubung sifat pemaksanya, atau bisa saja keduanya secara paralel dalam banyak kasus.

Ciri khas untuk mengidentifikasinya sangat mudah, bila “pemaksaan (secara) eksplisit” berupa “norma sekunder” berisi ancaman sanksi yang bersifat “top to down” secara eksternal (seperti oleh aparatur penegak hukum), maka “pemaksaan (secara) terselubung” tidak perlu mengaturnya dalam sebuah “norma sekunder”, alias tidak berpasangan antara “norma primer” (yang mengandung perintah atau larangan) dan “norma sekunder” (yang mengatur perihal sanksi bagi pelanggarnya). Pemaksaan secara implisit, lebih banyak kita jumpai dalam rezim hukum perizinan.

Sebagai contoh paling sederhana, bila seorang warga tidak turut “menyerahkan dirinya” untuk patuh dan tunduk pada “program pemerintah” berupa Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sebagai anggota dan rutin membayar iuran setiap bulannya, dan tersandera membayarnya, suka atau tidak suka, memakai layanannya atau tidak, semata karena pelayanan publik barulah dapat diakses oleh sang warga bila telah terdaftar sebagai peserta JKN serta rutin membayar iuran tanpa menunggak—terkadang, dirasakan lebih memaksa ketimbang “pemaksaan (secara) eksplisit”.

Contoh lainnya, orang-orang berpikir bahwa meminjam dana pinjaman (berhutang) pada “fintech” (financial technology), tiada memerlukan agunan seperti sertifikat hak atas tanah yang diikat Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang, maka apakah artinya, tidak terdapat ancaman sanksi pemaksa? Secara eksplisit semacam “norma sekunder”, mungkin tidak, namun terdapat instrumen “pemaksa (secara) terselubung”, alias secara eksplisit.

Ketika seorang debitor menunggak, maka pihak pengelola “fintech” akan menyebar-luaskan informasi bahwa sang debitor telah “menunggak satu juta rupiah”, sehingga reputasi nama baik sang debitor menjadi rusak di mata rekan, saudara, keluarga, teman-teman, hingga atasan di kantor. Bagi mereka yang menjadikan reputasi sebagai bernilai lebih tinggi daripada sekadar kendaraan motor yang diagunkan, maka artinya daya pemaksanya adalah “implisit namun bernuansa eksplisit”, sehingga mau tidak mau harus melunasinya tepat waktu agar reputasi nama diri terjaga. Sama halnya, Kredit Tanpa Agunan (KTA), berani tidak mencicil tunggakan kredit hingga lunas, maka nama Anda selaku peminjam akan di-blacklist secara nasional, sehingga mau tidak mau, suka tidak suka, Anda terdorong untuk patuh mencicil hingga lunas, meski tiada agunan saat meminjam KTA, semata karena nama baik Anda lebih berharga.

Terdapat pula norma hukum pemaksa yang sifatnya “eksplisit namun bernuansa implisit”. Sebagai contoh, Undang-Undang tentang Transfer Dana mengatur “norma sekunder” berupa ancaman hukuman bagi seseorang yang menerima dana “salah transfer”, namun tidak mengembalikan kepada pihak pen-transfer, dengan sanksi berupa penjara. Norma pemaksa secara eksplisit demikian dapat disalah-gunakan oleh para “preman digital” (pelaku usaha “fintech ilegal”) dengan secara serta-merta (secara memaksa) mengirim sejumlah dana ke rekening Anda, meski Anda tidak jadi meminjam namun tetap dikirim sejumlah dana pinjaman, dimana bila Anda tidak melunasi plus bunga selangit yang ditentukan sepihak syarat dan ketentuannya oleh pihak “mafia digital” demikian, maka Anda akan dikenakan Undang-Undang Transfer Dana dengan alasan “tidak mengembalikan uang salah transfer”. Semula eksplisit, namun disalah-gunakan sehingga menjadi pula berlaku secara implisit norma pemaksanya.

Kini kita beralih pada isu perihal diwajibkannya seluruh anggota masyarakat disuntik vaksin untuk meningkatkan imunitas tubuhnya dalam menghadapi wabah yang diakibatkan pandemik virus menular mematikan antar manusia. Pemerintah sempat membuat kebijakan, terdapat ancaman hukuman pemenjaraan bagi warga yang menolak disuntik vaksin, meksi ironisnya, pasokan atau ketersediaan vaksin masih sangat terbatas sekalipun antusiasme warga sangat membludak—suatu ancaman pemaksaan yang terlampau prematur dan segera mendapat antipati dari masyarakat alih-alih simpatik dari publik terhadap program vaksinasi nasional. Idealnya, komunikasi publik oleh pemerintah membuat rakyat merasa dekat, turut berkepentingan, sehingga rela membuka diri pada vaksinasi.

Terdapat bahaya laten dibalik konsepsi perihal “hak asasi manusia”, yakni seolah tidak terdapat “kewajiban asasi manusia” sebagai batasan dan rambu-rambunya. Bila kita semata memakai kacamata “hak asasi manusia”, pemaksaan vaksin jelas melanggar “hak asasi”. Namun dari konsepsi kacamata “kewajiban asasi”, menolak vaksin adalah melanggar “kewajiban asasi” sebagai individu manusia serta sebagai bagian dari sesama warga masyarakat itu sendiri—mengingat kita tidak hidup seorang diri, namun saling berbagi udara untuk bernafas serta saling berbagi ruang publik, disamping eksistensi berupa hak-hak warga lainnya dikala wabah. Konsep semacam “hak asasi”, hanya cocok bila seseorang tersebut hidup seorang diri di hutan bersama para kawanan monyet-monyet liar.

Karenanya, kewajiban bagi setiap anggota masyarakat tanpa terkecuali, oleh pemerintah untuk berpartisipasi dalam program vaksinasi nasional dikala wabah merebak, bukanlah sebuah pelanggaran “hak asasi”, namun lebih merupakan “kewajiban asasi”, menimbang bahwa kita tidak sedang tinggal dan hidup seorang diri di hutan rimba. Justru, orang-orang yang kerap berbicara perihal “hak asasi”, yang paling kerap melanggar “hak asasi” orang lain, mengingat kita tidak hidup seorang diri, namun saling berbagi ruang dengan orang-orang yang bisa jadi sudah lanjut usia (lansia), mengidab penyakit pemberat (komorbit), dan balita, sehingga kita hidup secara penuh tanggung jawab, bukan kebebasan tanpa batasan.

Namun begitu, idealnya pemerintah bukan mengambil jalan pintas dengan cara mengancam lewat pemaksaan secara eksplisit (diberi ancaman sanksi hukuman penjara) maupun pemaksaan secara implisit (tidak diperkenankan ke luar kota tanpa bukti berupa sertifikat pernah mengikuti program vaksinasi), namun akan lebih kreatif bila memilih untuk memberi edukasi dan sosialisasi secara efektif dan tepat sasaran kepada masyarakat, dengan kebijakan tegas kriminalisasi bagi warga yang memprovokasi warga lainnya agar tidak mau ikut vaksin, itu yang lebih ideal sebagai solusinya meski lebih menuntut kerja keras disamping konsistensi. Faktanya, kalangan pembicara sipil yang lebih banyak menggiatkan sosialiasi kepada publik tentang kesadaran vaksinasi disamping “protokol kesehatan (dikala wabah)”.

Terdapat pula norma pengatur maupun pemaksa, yang tampaknya memang memaksa seseorang warga untuk melanggarnya. Sebagai contoh, seseorang meminjam dana dari “pinjaman online” baik yang legal maupun yang ilegal, semisal sebesar satu juta rupiah, namun dalam tempo satu bulan menunggak, menjelma berbunga ratusan persen menjelma enam puluh juta rupiah (praktik rentenir atau “lintah darat”), sehingga kebijakan demikian lebih mendorong sang debitor untuk cidera janji dan memilih untuk sama sekali tidak melunasi.

Sama halnya, bila ancamannya menolak program vaksinasi ialah berupa hukuman pemenjaraan, seolah pemerintah hendak menantang sebagian diantara masyarakat Indonesia yang dikenal gemar memamerkan sikap arogansi dengan “memasang badan” untuk menantang, dengan berseru lantang, “Penjarakan saja saya, saya tidak mau disuntik vaksin!” Jika saja ancamannya ialah dicabut izin usaha atau izin mengemudinya tidak dapat diperpanjang, mungkin akan lain ceritanya, bahkan antusiasme kian membludak, namun ketersediaan vaksin tidak mencukupi. Setidaknya, arah tujuan pemerintah telah tercapai, setidaknya sebagian besar warga telah disuntik vaksin meski tidak mencapai seluruhnya, sekalipun caranya kurang kreatif dan cara-cara pemaksaan secara terselubung selalu mengandung “duri dalam daging” di hati rakyat yang merasa terlecehkan tanpa daya.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.