KONSULTAN, TRAINER, ANALIS, PENULIS ILMU PENGETAHUAN ILMIAH HUKUM RESMI

Konsultasi Hukum Pidana, Perdata, Bisnis, dan Korporasi. Prediktif, Efektif, serta Aplikatif. Syarat dan Ketentuan Layanan Berlaku

Hak Asasi Manusia merupakan HAK RESIDU

ARTIKEL HUKUM

Hukum Negara pada Dasarnya Bersifat Membatasi Kebebasan Ruang Gerak Warga

Konon, setiap individu merupakan “born to be free”, terlahir bebas dan merdeka. Namun, itu dulu, sebelum hukum negara dibentuk dan negara berdiri, lebih tepatnya ketika masih diberlakukan “hukum rimba”. Secara falsafah, sifat dasariah dari hukum (the nature of law) bersifat membatasi kebebasan setiap warga yang menjadi subjek hukumnya (para pengemban hukum). Apa yang menjadi makna serta fungsi pembatasan ini, ilustrasi sederhana dikeseharian berikut, dapat menjadi analogi yang memudahkan pemahaman para pembaca, betapa segala sesuatunya, sifatnya harus dibatasi dan diberi batasan, semata agar orang lain tidak bisa seenaknya terhadap diri kita maupun terhadap sesama warga penduduk lainnya.

Pernah terjadi pada suatu waktu, seorang guru les secara privat di kediamannya, menyediakan jasa kursus mata pelajaran sekolah kepada salah seorang murid sekolahan. Perjanjian antara sang penyedia jasa kursus privat (sang guru les privat) dan orangtua pengguna jasa kursus privat (orangtua murid les privat), ialah kursus diberikan seharga sekian untuk sekian kali sesi les privat. Mendadak, orangtua sang siswa beserta anaknya datang ke kediaman sang guru les privat, diluar jadwal sesi les yang telah disepakati dan ditetapkan sebelumnya, dengan alasan sang anak akan menghadapi ujian di sekolah, karenanya perlu bertemu tatap-muka sang guru les privat untuk minta diajari agar lulus ujian sekolah.

Niat sang orangtua siswa, mungkin baik adanya, namun tidak “bijaksana”, melainkan semata “bijaksini”. Niat boleh baik, namun tanpa disertai cara yang benar, jadilah tidak bijaksana. Mari kita telaah secara lebih mengedepankan “EQ” (Emotional Quotient, alias kecerdasan berempati dan berkeadilan).  Mengapa sedari sejak awal, penting bagi sang guru les privat untuk membuat kesepakatan dan ketetapan, tarif jasa sekian untuk untuk sesi pertemuan sekian kali (sebagai limitasinya penggunaan jasa serta koridor waktu yang disediakan)—yang mana artinya tidak lain tidak bukan ialah dalam rangka untuk membuat pembatasan serta batasan itu sendiri.

Sehingga, mau lulus atau tidak lulus ujian sekolah, itu menjadi bergantung serta berpulang pada diri pribadi sang anak murid didik itu sendiri. Diluar itu, maka sebagai konsekuensi logisnya akan dihitung sebagai “sesi tambahan”, lengkap dengan disertai tambahan tarif jasa secara proporsional tarif jasa kursus les privat, dimana sang guru les privat selaku penyedia jasa, berhak untuk setuju maupun tidak setuju untuk menyediakan “sesi tambahan” demikian (tentatif sifatnya), yang karenanya orangtua sang siswa tidak dapat secara seenaknya dan secara sepihak datang secara mendadak diwaktu “suka-suka” yang bersangkutan dan tanpa persetujuan ataupun kesepakatan apapun sebelumnya dengan pihak penyedia layanan jasa kursus secara privat.

Terdapat sebuah alasan psikologis lain yang melatar-belakangi pembatasan secara pembuatan batasan secara tegas demikian, yakni logika sosio-psikologis sebagai berikut : Jika tidak ada batasan, sang murid les privat bisa bisa jadi tidak akan terpicu untuk bersikap serius dan akan cenderung bersikap seenaknya saat menghadapi sesi les privat, dimana menjadi beban tersendiri tambahan bagi sang guru les privat untuk bekerja ekstra keras berusaha mati-matian agar sang murid les privat memahami bimbingan dan pengajaran sang guru les privat disamping agar mau bersikap kooperatif. Alhasil, saat akan menghadapi ujian sekolah, dirinya tidak siap, dan merasa kembali harus bergantung dan menjadi beban bagi sang guru les privat untuk mengajarinya materi yang sebetulnya pernah diajarkan sebelumnya pada sesi les privat.

Sang guru les privat pun tidak perlu berpusing hati menghadapi ulah murid les privat lengkap dengan segala sikap kurang etis dari sang orangtua murid. Sekadar tambahan, jadikan “petaka” sebagai sumber “berkah” lewat teknik transformasi, layaknya hukum kekekalan energi dimana energi bisa ditransformasikan dari satu bentuk ke bentuk lainnya—sebuah “seni hidup”. Katakan pada sang orangtua di muka, atau buat tagihan tambahan susulan saat perjumpaan berikutnya, bahwa ada “tagihan tambahan” untuk “sesi tambahan” ini.

Bila orangtua sang siswa tidak mau menghargai dan menghormati profesi sang guru les privat, itu pertanda “warning system” memberi peringatan untuk sebaiknya memutus hubungan kerja-sama. Analogi demikian di atas, dapat kita terapkan pada setiap aspek kehidupan kita, terutama pada aspek bisnis dan pekerjaan. Setiap penyedia jasa profesional, menggunakan pendekatan serupa, karena memang sumber daya waktu mereka sangatlah terbatas. Untuk itu, para profesional tersebut membuat semacam sistem, dimana pihak-pihak pengguna jasa atau pengguna produk mereka akan membentur sistem bila mereka bergerak melampaui “koridor” yang telah ditentukan sebelumnya, dimana sistem tersebutlah yang menjadi “bumper” sang pelaku usaha. Karenanya, sebuah sistem pun dibentuk dan dibangun dalam rangka tujuan untuk membuat batasan alias pembatasan itu sendiri, hanya saja sifat penerapannya bersifat otomatisasi.

Sama halnya, orang-orang penting (VIP, very important person), bukan bermaksud hati membuat citra kepada publik seolah dirinya sibuk sehingga tidak mudah dijumpai dan ditemui, namun memang semata demi membuat batasan dan pembatasan terhadap pihak-pihak eksternal dalam rangka tujuan yang sama seperti contoh kasus sebelumnya di atas. Begitupula sumber daya alam suatu negara, sumber daya waktu seseorang, sumber daya produksi suatu produsen, sumber daya keuangan suatu organisasi, dsb, bersifat terbatas adanya dan dasariahnya (by nature), karenanya tidak ada cara lain untuk melakukan konservasi dan proteksionisme terkontrol serta berkesinambungan selain menetapkan serta memberlakukan pembatasan dan batasan, semisal menetapkan harga dan tarif tertentu ataupun semacam SOP (prosedur operasional terstandar).

Dengan demikian, para pembaca telah lebih memiliki pemahaman yang lebih komprehensif mengenai fungsi hukum suatu negara sebagai alat untuk membatasi dan menetapkan sebentuk pembatasan tertentu yang disebut sebagai “koridor hukum” sebagai ruang gerak bebas bagi rakyatnya. Kita dapat mengenalnya sebagai norma hukum yang mengatur prosedur, hukum acara pidana, hukum perdata materiil, dan lain sebagainya, yang pada pokoknya ialah mengandung norma bersifat imperatif-preskriptif berisi muatan : perintah, larangan, dan kebolehan.

Lantas, bagaimana penjelasan falsafahnya terhadap konsep semacam “hak asasi manusia”? Secara falsafah pembentukan hukum nasional maupun ilmu negara, konsep semacam “hak asasi manusia” tergolong sebagai “hak residu”, dalam pengertian hak-hak penduduk suatu bangsa dipangkas dengan dirampas sebagian kemerdekaan dan kebebasannya oleh otoritas negara, sehingga selebihnya yang tersisa ialah “residu” dari kebebasan atau kemerdekaan absolut semula miliknya tersebut.

Untuk lebih memudahkan pemahaman, contoh ilustrasi berikut dapat cukup menggambarkan konstruksi sosial bermasyarakat yang terjadi saat pembentukan negara dan hukum negara pada suatu bangsa merdeka (termasuk pada negara-negara jajahan kolonial). Kita mulai pada saat negara yang resmi belum terbentuk, dimana kohesi atau ikatan sosial antar masyarakat masih bersifat tradisional yang cukup cair atau sebentuk hukum adat yang parsial antara suku dan komunitas yang sifatnya kecil dan tersebar luas, terkadang nomaden. Pada saat itu, penggunaan senjata oleh masing-masing penduduk, menjadi hal lazim, bahkan aksi “main hakim sendiri” dapat kita jumpai di keseharian kehidupan warga, karena memang belum terbentuk sistem pemerintahan modern seperti dewasa ini semacam aparatur penegak hukum, jaksa penuntut, dan hakim di persidangan.

Barulah ketika negara dan hukum negara secara resmi dibentuk—antara negara dan hukum negara (yang kita juluki sebagai peraturan perundang-undangan), merupakan satu paket yang tidak saling terpisahkan saat pendiriannya, setidaknya berupa Konstitusi atau Undang-Undang Dasar—maka masing-masing penduduk yang pada mulanya bebas sebebas-bebasnya, dalam arti yang sesungguhnya, semisal bebas membayar pajak, bebas menyandang senjata tajam dan senjata api, bebas “main hakim sendiri”, bebas menghakimi, bebas ingkar janji, bebas dari urusan administrasi kependudukan, bebas membuang sampah sembarangan, bebas merampas hak hidup penduduk lainnya, kemudian kebebasan-kebebasan dan kemerdekaan demikian dirampas oleh negara dan ditransformasikan menjadi monopolistik kewenangan aparatur penegak hukum yang dibentuk oleh negara lewat otoritasnya yang diberi mandat khusus untuk itu. Karenanya, menjadi dapat dimaklumi bila hak-hak warga masing-masing negara, dapat demikian beragam dan berlainan. Sebagai contoh “wajib militer”, suatu saat nanti tetap terbuka peluang hak-hak untuk tidak menyandang senjata dirampas oleh negara, dengan mewajibkan setiap pria dewasa di Indonesia untuk ikut latihan “bela negara”.

Alibi para negarawan dan para sarjana ilmu negara terhadap konstruksi “penyerahan sebagian hak dan kebebasan” dari dan oleh rakyatnya sedemikian ialah, adanya konsensus berskala nasional, sebuah “Kontrak Sosial”—sebuah teori yang sangat fiktif dan ambigu, karena bagaimana mungkin kontrak sosial yang dibentuk oleh para “founding fathers” mengikat untuk segenap rakyat semesta, sebelum kemudian diwariskan serta mengikat pula kepada anak, cucu, dan cicit hingga para generasi penerusnya, sementara itu masing-masing dari kita adalah subjek hukum yang saling mandiri dan tersandera kehendak bebasnya (bagaikan praktik perbudakan) tiada ruang kebebasan untuk memilih “option in” maupun “option out”—meskipun yang lebih rasional ialah adanya sebentuk ikatan kejiwaan sesama anak bangsa, membentuk sebuah kohesi bersama secara komunal lewat “perwalian” maupun “penundukan diri”, dengan konsekuensi perwalian dan pemberian kuasanya dapat sewaktu-waktu dicabut oleh pemberi mandat serta terbukanya ruang “option out” dalam suatu “penundukan diri”. Konsep yang imajiner semacam “kontrak sosial”, sejatinya bersifat pragmatis, menjelma “taken for granted” bagi anak dan cucu generasi penerusnya. Satu-satunya opsi yang masih dibiarkan terbuka, ialah hak untuk berpindah kewarganegaraan dan menjadi warga negara yang berdomisili di negara lain (baca : eksodus).

Akibat serta konsekuensi yuridis dari pembentukan suatu negara (lengkap dengan hukum negara) diatas suatu bangsa ialah, tercerabut atau dirampasnya sebagian hak-hak maupun kemerdekaan warganya. Sebagai contoh, kini bahkan seluruh rakyat diwajibkan membayar pajak, patuh terhadap setiap regulasi yang diterbikan pemerintah, mengikuti rezim perizinan, aparatur penegak hukum memonopoli penggunaan senjata api dan akses peradilan pidana hingga proses penghakiman di persidangan, sehingga ruang bebas bagi pergerakan rakyatnya hanya tersedia selebar dan sesempit apa yang disisakan, yakni dalam ruang yang diberi nama “koridor hukum”—terlagi-lagi konsep abstrak, bahkan terkandung asas fiksi semacam “semua warganegara dianggap tahu hukum”.

Adapun yang dibiarkan tersisa tanpa turut dirampas dan tercerabut dari hak-hak maupun kemerdekaan rakyatnya, ialah hak-hak serta kebebasan semacam hak untuk hidup, hak untuk mencari nafkah, hak untuk beribadah sesuai keyakinan masing-masing, hak untuk berkumpul dan berserikat, hak untuk berkeluarga, hak untuk memiliki properti, hak praduga tidak bersalah, hak untuk mengakses pendidikan, hak untuk bebas dari perampasan kemerdekaan tanpa putusan pengadilan, hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilihan umum, hak untuk hidup, dan lain sebagainya—yang mana kesemua itu menjadi apa yang kini disebut sebagai “hak asasi manusia”.

Karenanya itulah, “hak asasi manusia” tidak mengherankan bila kemudian oleh penulis disebut sebagai suatu “hak residu”, alias hak-hak yang dibiarkan tetap melekat pada masing-masing subjek hukum, tanpa dirampas dan tanpa tercerabut oleh otoritas negara dalam hal ini pemerintah—tanpa tertutup kemungkinan atau peluang akan turut dicabut dan dirampas oleh negara sebagian diantaranya di kemudian hari. Kemudian berkembang pula konsepsi perihal “non derogable rights” semisal hak untuk hidup, yang ternyata tiada yang benar-benar mutlak, karena hak untuk hidup pun telah dirampas terkhusus bagi para penjahat atau kriminal yang telah melakukan kejahatan berat seperti penyelundup dan pengedar obat-obatan terlarang yang dapat dijatuhi vonis “death penalty”.

© Hak Cipta HERY SHIETRA.

Budayakan hidup JUJUR dengan menghargai Jirih Payah, Hak Cipta, Hak Moril, dan Hak Ekonomi Hery Shietra selaku Penulis.